Di Balik Kemudi: Relasi Kerja Informal Sopir Bus Metromini dan Kopaja
Masyarakat kota Jakarta ataupun para komuter yang acap kali berulang-alik ke Jakarta mungkin telah akrab dengan kehadiran bus-bus Metromini dan Kopaja. Sejak tahun 1976, mereka merupakan moda transportasi publik andalan bagi masyarakat yang tinggal ataupun beraktivitas di Jakarta. Para penumpang akan cukup kenal dengan perilaku para pengemudi ketika mereka menyetir di jalan raya. Mengebut dan menyalip antrian kemacetan di jalan dengan lihai, menerobos rambu-rambu lalu-lintas, berhenti secara mendadak dan di sembarangan tempat, dan ngetem berlama-lama adalah gambaran umum dari bus-bus yang pernah menjadi pilihan utama masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mobilitas di Jakarta.
Perilaku sopir-sopir Metromini dan Kopaja dalam mengemudikan bus mereka kerap menimbulkan persoalan bagi masyarakat. Gaya menyetir sopir bus, yang cenderung ugal-ugalan dan tidak mengindahkan aturan lalu-lintas, sangat membahayakan keselamatan penumpang dan menimbulkan kecelakaan. Tidak hanya itu, banyak bus yang sebenarnya sudah berumur tua dan tidak layak untuk mengangkut penumpang lagi. Mulai dari rem yang bocor, besi yang berkerat dan bolong-bolong, hingga mesin yang sering mogok membuat bus-bus itu menjadi lebih rentan mengalami kecelakaan di jalan. Sebagaimana telah dilaporkan oleh Tirto.id, pada tahun 2015 “Metromini menjadi penyumbang 10 persen kecelakaan lalu lintas di Jakarta dari total 609 kasus. Sedangkan Kopaja menyumbang 41 kasus kecelakaan” (Tirto.id, 26/04/2017).
Baca Juga:
Buruh Tani di Selubung Mitos Agraria
Keringat Murah Buruh Jahit di Perdesaan Jawa
Dengan kondisi demikian, wajar jika masyarakat cenderung menggunakan kendaraan pribadi ketimbang transportasi publik. Pada tahun 2000-2010, terjadi peningkatan jumlah mobil pribadi sebanyak dua kali lipat, dari 1 juta menjadi 2 juta buah dan motor pribadi sebanyak lima kali lipat dari 1,5 juta menjadi 7,5 juta buah (Rukmana, 2018: 3). Sementara itu, dalam rentang waktu yang sama, proporsi penggunaan transportasi publik oleh masyarakat mengalami penurunan drastis dari 38,8% menjadi 12,9% (Prakesit, 2011: 12). Meningkatnya jumlah penggunaan kendaraan pribadi berakibat pada kemacetan kronis yang kerap di Jakarta.
Ketidakmampuan bus-bus Metromini atau Kopaja untuk menjadi transportasi publik yang memadai bagi masyarakat secara tidak langsung berkontribusi terhadap semakin parahnya kemacetan yang melanda Jakarta. Demi mengatasi tingkat kemacetan yang menjadi-jadi, selama satu dekade terakhir, pemerintah mulai melakukan pembaruan sistem transportasi publik di Jakarta dengan diluncurkannya Bus Rapid Transit TransJakarta sejak tahun 2004 dan Mass Rapid Transit yang mulai dibangun pada tahun 2013. Sementara itu, melalui Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2014, pemerintah provinsi Jakarta menghentikan pemberian izin operasi bus-bus Metromini dan Kopaja. Otomatis, hal ini akan berujung pada hilangnya bus-bus itu secara perlahan dari jalanan Jakarta.
Walaupun buruknya kualitas transportasi publik di Indonesia umum diketahui khalayak, tidak banyak penelitian mendalam yang dilakukan mengenai sistem pengoperasian bus-bus transportasi publik dan kondisi kerja pada sopir. Kebanyakan penelitian mengenai masalah transportasi di daerah perkotaan cenderung fokus pada persepsi penumpang sebagai konsumen transportasi publik (misal Joewono et al, 2015) atau masalah membludaknya kendaraan pribadi (Susilo et al, 2015). Abainya penelitian mengenai cara kerja Metromini dan Kopaja membuat penyelesaian masalah buruknya kualitas transportasi publik di Indonesia menjadi lebih sulit. Padahal, memahami cara kerja dan pengoperasian bus-bus Metromini dan Kopaja menjadi penting mengingat bahwa keselamatan para penumpang sangat tergantung pada para sopir.
Daladala
Dalam konteks seperti ini, hasil penelitian Matteo Rizzo mengenai sistem transportasi publik di Dar es Salaam, ibukota sekaligus kota terbesar di Tanzania, memberikan perspektif segar dalam menganalisis permasalahan transportasi publik di negara-negara pinggiran seperti Indonesia. Bukunya, Taken for a Ride: Grounding Neoliberalism, Precarious Labour, and Public Transport in an African Metropolis (Oxford University Press, 2017), mampu memberikan gambaran detail mengenai sistem pengoperasian dan relasi kerja di balik setir kemudi daladala (sebutan masyarakat Dar es Salaam untuk bus).
Baca Artikel Terkait:
Populasi Terbuang, Informal Proletariat dalam Kuasa Negara Neoliberal
Pekerja Konstruksi Informal, Tumbal Perubahan Wajah Kota
Berdasarkan pengamatan Rizzo, kondisi transportasi publik di Dar es Salaam tidak jauh berbeda dengan di Jakarta. Seperti halnya bus-bus Metromini atau Kopaja, melanggar aturan lalu-lintas, ugal-ugalan di jalan dan memenuhi bus hingga di luar kapasitas adalah gambaran akrab masyarakat terhadap bus daladala. Namun, Rizzo juga mengamati beberapa karakteristik penting dari transportasi bus daladala:
- Daladala adalah sistem transportasi publik informal karena tidak diatur dan diawasi secara ketat oleh pemerintah. Peran pemerintah hanya sebatas pemberi izin pengoperasian bus di trayek-trayek tertentu sementara manajemen bus diserahkan sepenuhnya kepada operator bus swasta yang memegang izin.
- Bisnis daladala “ditandai dengan pembagian yang jelas antara kelas pemilik bus dan kelas buruh transportasi” (Rizzo, 2017: 62). Sekitar 90% pekerja bus daladala tidak memiliki bus sendiri dan bekerja sebagai buruh.
- Hubungan kerja antara pemilik bus dan pekerja bus berwatak informal. Artinya tidak ada kontrak atau kepastian kerja yang jelas antara keduanya. Pemilik bus “mempekerjakan” para sopir melalui perjanjian informal atas jumlah setoran harian yang mesti dibayar sebagai biaya sewa bus.
Sistem seperti ini, menurut Rizzo, memosisikan para pekerja bus, baik sopir ataupun kondektur, dalam kondisi yang cukup rentan. Selain tidak memiliki kontrak dan kepastian kerja yang jelas, relasi kerja informal juga mencegah para pekerja untuk menuntut hak-hak buruh seperti upah minimum atau pembatasan waktu kerja kepada pemilik bus. Selain itu, membludaknya surplus pekerja di Dar es Salaam mendorong para pemilik bus untuk menetapkan tingkat setoran yang relatif tinggi (Rizzo, 2017: 72). Para pekerja bus pun terpaksa menerimanya karena pemilik bus dapat dengan mudah “memecat” dan menggantikan mereka.
Pengaturan informal seperti ini menjadi strategi bagi para pemilik bus untuk mendapatkan keuntungan yang lebih dengan “menyerahkan resiko bisnis sepenuhnya kepada pekerja” (Rizzo, 2017: 74). Para pekerja bus mengalami “pemerasan” (financial squeeze) karena dipaksa menanggung beban pengoperasian bus. Tidak haya untuk setoran harian, pendapatan mereka juga dipotong untuk membatar ongkos bensin dan perawatan bus. Konsekuensinya, sopir bus daladala dipaksa mengakali cara demi memaksimalkan pendapatan harian mereka. Kebiasaan sopir untuk memperpanjang jam kerja hingga 15 jam per hari, melanggar aturan lalu-lintas, mengebut di jalan, dan mengisi bus dengan sebanyak-banyaknya penumpang, “mesti dipahami sebagai upaya yang perlu mereka lakukan untuk menghidupi diri mereka sendiri” (Rizzo, 2017: 73). Dengan begitu, buruknya transportasi publik di Dar es Salaam merupakan konsekuensi dari kerentanan kerja yang dialami oleh sopir daladala.
Metromini dan Kopaja
Penelitian Rizzo memberikan perspektif yang bermanfaat dalam menelaah bagaiamana relasi kerja informal menyebabkan buruknya kualitas transportasi publik di negara-negara pinggiran seperti Tanzania. Namun, apakah kondisi kerja yang dialami oleh sopir-sopir bus daladala juga berlaku di Jakarta? Terbatasnya penelitian mengenai relasi kerja dalam sistem transportasi publik di Jakarta memang membuat studi komparatif menjadi tidak mudah. Beruntungnya, beberapa reportase dari Tirto.id pada tahun 2017 mampu memberikan gambaran penting mengenai relasi kerja di balik setir kemudi bus Metromini dan Kopaja yang sebelumnya kurang diperhatikan. Informasi yang diberikan dalam laporan tersebut menunjukkan beberapa persamaan karakteristik antara bus daladala di Dar es Salaam dan Metromini serta Kopaja di Jakarta.
Baca Juga:
Beban Ganda dan Komodifikasi Perempuan dalam Kapitalisme
Tenaga Kerja Honorer di Pusaran Surplus Populasi Relatif
Pertama, layaknya bus daladala, transportasi bus Metromini dan Kopaja juga berwatak informal karena tidak diatur secara ketat oleh pemerintah. Tanggung jawab atas pengoperasian bus ditangguhkan kepada operator atau pemilik bus sementara pemerintah hanya berperan sebagai pemberi izin operasi. Kedua, bisnis Metromini dan Kopaja dikuasai oleh, di satu sisi, kelas pemilik bus dan, di sisi lain, kelas pekerja yang dipekerjakan oleh pemilik bus sebagai sopir atau kondektur untuk mengoperasikan dan mengemudikan bus-bus mereka. Salah satu pemilik bus yang diwawancarai masih mengoperasikan lima bus Metromini yang dikerjakan oleh 10 orang sopir sedangkan seorang pemilik bus yang lain mengaku pernah memiliki armada sebanyak 15 bus sebelum akhirnya diloakkan karena sudah berumur senja (Tirto.id, 26/04/2017, 24/12/2017).
Ketiga, relasi kerja antara pemilik bus Metromini dan Kopaja dengan pekerjanya juga berbentuk informal. Kontrak kerja antara sopir-sopir Metromini dan Kopaja dengan pemilik bus hanya sebatas perjanjian atas batas setoran harian yang harus dibayar oleh sopir selepas shift kerja mereka berakhir. Keempat, sopir Metromini dan Kopaja juga berhadapan dengan kondisi kerja yang rentan. Kelangsungan kerja para sopir bus bergantung pada kemampuan mereka dalam menegosiasikan batas setoran harian dengan pemilik bus dan mendapatkan semaksimalkan mungkin jumlah penumpang pada hari itu juga. Para sopir diancam akan diganti orang lain yang masih mengantri kerja bila uang setoran tidak terbayarkan. “Bos masih enak, kalau [tetap tidak mampu membayar setoran] terus ganti sopir,” keluh seorang sopir Metromini kepada reporter Tirto.id (24/12/2017).
Kelima, seperti sepupu mereka di Dar es Salaam, sopir-sopir Metromini dan Kopaja juga mengalami “pemerasan” dari pemilik bus melalui tingginya setoran harian yang ditetapkan dan biaya perawatan bus yang dibebankan ke mereka. Berdasarkan hasil wawancara dari Tirto.id, harga setoran yang mesti dibayar oleh sopir bus bisa mencangkup setengah dari hasil pendapatan kotor mereka pada hari itu juga. “Sehari paling dapat Rp400 ribu, Rp200 ribu sudah buat setoran. Bensin Rp100 ribu. Bersih bawa pulang Rp100 ribu. Itu pun pas lagi ramai,” ujar sopir Metromini lainnya kepada reporter Tirto.id (26/04/2017). Pada tahun 2017, dari pendapatan kotor sopir bus Metromini dan Kopaja yang berkisar Rp400-500 ribu per harinya, sekitar Rp200-250 ribu di antaranya dihabiskan untuk membayar setoran harian kepada pemilik bus (Tirto.id, 26/04/2017, 24/12/2017).
Tingginya setoran harian yang ditetapkan, beserta dengan biaya perawatan yang dibebankan kepada mereka, memaksa sopir bus Metromini dan Kopaja untuk memaksimalkan jumlah penumpang yang harus mereka angkut setiap harinya. Selain dengan mengebut, menyalip, memotong jalan, dan ngetem berlama-lama, mereka juga memperpanjang waktu kerja mereka hingga 12 jam per harinya dan merawat bus-bus tua mereka dengan seadanya (Tirto.id, 24/12/2017). Sementara itu, pada saat sang sopir Metromini dan Kopaja bersusah payah membanting setir demi mendapatkan penghasilan yang cukup, para pemilik bus meraup keuntungan lebih dari pemerasan yang dialami para sopir. Seorang pemilik bus yang diwawancarai mengaku mampu menghasilkan Rp3-5 juta per harinya dari hasil setoran harian dengan pendapatan per bulan mencapai Rp90-110 juta (Tirto.id, ibid).
Layaknya transportasi publik di Dar es Salaam, tidak memadainya kondisi transportasi publik di Jakarta merupakan konsekuensi dari relasi kerja informal yang menjerat dan memeras sopir-sopir bus Metromini dan Kopaja. Relasi kerja seperti ini, dengan tidak adanya kontrak kerja yang jelas, tidak dipenuhinya hak-hak buruh, dan jumlah setoran harian yang relatif tinggi menempatkan para sopir pada posisi yang lebih rentan. Kerentanan ini memaksa mereka memaksimalkan pendapatan harian untuk sekedar menutup setoran harian yang mesti mereka bayar kepada pemilik bus dan membawa pulang sejumlah uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Perilaku sopir bus di jalanan, ditambah dengan kondisi bus yang semakin tidak layak, membuat Metromini dan Kopaja tidak mampu menjadi sistem transportasi publik pilihan masyarakat Jakarta. Upaya pemerintah untuk memperbarui layanan transportasi publik di Jakarta pada beberapa tahun terakhir pun akan menjadikan Metromini dan Kopaja hanya kenangan saja.
Namun, permasalahan yang dihadapi mereka masih sering ditemui dalam sistem transportasi publik di Indonesia. Sistem transportasi publik informal seperti Metromini, Kopaja, ataupun Angkot (Angkutan Kota) kerap mendominasi jalanan di kota-kota besar seperti Tangerang, Bandung, Medan, dan Makassar. Apabila kondisi kerja para sopir di kota-kota tersebut sama seperti sopir Metromini, Kopaja, ataupun daladala, sangat tidak mungkin mereka mampu memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat perkotaan dengan memadai. Pada saat perkembangan kota-kota di Indonesia begitu pesat, ketidaktersediaan transportasi publik yang memadai hanya akan membuat kota-kota besar di Indonesia terjangkit kemacetan kronis seperti yang dialami Jakarta (Susilo et al, 2015; Rukmana, 2018).
Meskipun masalah transportasi publik di Indonesia telah menarik banyak perhatian dari akademisi ataupun masyarakat, namun “diskusi mengenai operasi bisnis dan perannya dalam sistem transportasi di kota-kota Indonesia masih jarang” (Joewono et al, 2015: 1347). Minimnya studi mengenai relasi kerja di balik kemudi bus transportasi publik informal membuat masyarakat tidak hanya abai terhadap jerih payah para sopir bus untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi juga mempersulit ditemukannya jalan keluar atas permasalahan transportasi publik di Indonesia.
Daftar Rujukan
Joewono, T. B., Santoso, D. S., & Susilo, Y. O. (2015) “Paratransit Transport in Indonesia: Characteristics and User Perceptions.” Journal of the Eastern Asia Society for Transportation Studies. 11: 1346-1361.
Parikesit, D. (2011) “Menyelamatkan Jakarta dari kemacetan total.” Jurnal Prakasa Infrastruktur Indonesia. 6: 9–17.
Rizzo, M. (2017) Taken for a Ride: Grounding Neoliberalism, Precarious Labour, and Public Transport in an African Metropolis. Oxford: Oxford University Press.
Rukmana, D. (2018) “Rapid urbanization and the need for sustainable transportation policies in Jakarta.” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 124. 012017.
Susilo, Y. O., Santosa. W., Joewono, T. B., and Parikesit D. (2007) “A reflection of motorization and public transport in Jakarta metropolitan area.” IATSS research. 31(1): 59-68.
Tirto.id. (26/04/2017) Menunggu Ajal Metromini dan Kopaja pada 2018. Di akses dari https://tirto.id/menunggu-ajal-metromini-dan-kopaja-pada-2018-cnse (31 Agustus 2018).
Tirto.id. (24/12/2017) Potret Sehari-hari Sopir Metromini: Copet Saja Sudah Ogah Naik. Diakses dari https://tirto.id/potret-sehari-hari-sopir-metromini-copet-saja-sudah-ogah-naik-cCfG (31 Agustus 2018).
______________________________
Tulisan inisebelumnya dimuat di Majalah Basis edisi No. 11-12, Tahun ke-67, 2018
Dimuat ulang untuk tujuan memperluas gagasan.