Pekerja Kita Butuh Perlindungan, Bukan Fleksibilisasi

Di akhir bulan Juni yang lalu, Hanif Dhakiri, selaku Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), melontarkan sebuah komentar yang sangat menggelitik. Ia mengibaratkan UU Ketenagakerjaan kita saat ini “kaku seperti kanebo kering” sehingga butuh direvisi agar pasar tenaga kerja di Indonesia menjadi lebih fleksibel.

Komentar “kanebo kering” dari Menaker memang terdengar seperti sebuah jenaka. Akan tetapi, ia senada dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.  Harapannya, pasar tenaga kerja yang fleksibel dapat menggaet investasi luar negeri terutama di bidang industri padat karya, memperluas lapangan pekerjaan, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Namun, kebijakan ketenagakerjaan kita bukanlah suatu lelucon.

Tanpa mengubah UU Ketenagakerjaan sekalipun, pekerja di Indonesia sudah menghadapi kondisi yang cukup sulit. Pasalnya, UU Ketenagakerjaan kita telah mengadopsi prinsip pasar tenaga kerja fleksibel melalui mekanisme kerja kontrak dan alih-daya (outsourcing).

Beberapa kajian lapangan, misalnya oleh Benny Juliawan atau Indrasari Tjandraningsih, telah menemukan bahwa meluasnya praktik kerja kontrak dan outsourcing telah membuat posisi pekerja menjadi lebih rentan. Selain menghadapi kepastian kerja yang tidak menentu, pekerja kontrak dan outsourcing juga tidak mendapatkan berbagai tunjangan dan hak-hak kerja yang umumnya diberikan kepada pekerja tetap. Mereka juga menerima upah yang lebih rendah dan bahkan tidak sedikit yang upahnya di bawah ketentuan upah minimum.

Bisa dimengerti mengapa pengusaha sangat menginginkan sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel. Sistem ini dapat meringankan ongkos yang perlu dibayar oleh pengusaha. Namun, keringanan ini didapatkan dengan mengorbankan kesejahteraan para pekerja yang dipaksa menghadapi kondisi kerja yang jauh lebih sulit dan tidak menentu.

Wajar jika rencana Menaker menimbulkan penolakan dari banyak serikat pekerja di Indonesia. Beberapa serikat pekerja seperti KPBI, KASBI, SPN, SINDIKASI, dengan tegas menolak rencana pemerintah untuk merevisi UU Ketenagakerjaan. Melihat realitas dan kerentanan kerja yang dihadapi oleh para pekerja, penolakan ini bukannya tanpa dasar.

Rencana pemerintah untuk merevisi UU Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa kesejahteraan sosial pekerja masih belum menjadi pertimbangan dasar dalam merumuskan kebijakan. Ketimbang memperluas fleksibilisasi tenaga kerja, para pekerja jauh lebih membutuhkan perlindungan sosial dan ketenagakerjaan yang mampu meringankan beban yang sudah mereka pikul.

Pengalaman dari negara-negara lain memperlihatkan bahwa upaya untuk melindungi kesejahteraan pekerja bergantung pada dua syarat yang perlu dipenuhi.

Pertama, adanya sistem jaminan sosial yang kuat dari negara. Sistem jaminan sosial berfungsi untuk melindungi para pekerja dari kerentanan yang dihasilkan akibat fleksibilisasi kerja. Kebanyakan negara-negara di Eropa memiliki sistem jaminan sosial, umumnya dikenal dengan istilah welfare state, yang relatif besar, bersifat universal, dan komprehensif di saat mereka melakukan fleksibilisasi.

Melalui jaminan sosial seperti layanan kesehatan, tunjangan pengangguran (unemployment benefit), dsb, negara-negara di Eropa mampu melindungi pekerja mereka dari kerentanan yang ditimbulkan akibat fleksibilisasi. Dengan begitu, kalaupun para pekerja tersingkirkan akibat dari pasar tenaga kerja yang tidak pasti, mereka tak perlu terlalu cemas karena masih bisa sedikit tersokong oleh layanan kesehatan gratis ataupun tunjangan dari negara.

Kedua, hadirnya kekuatan serikat pekerja yang relatif terorganisir dan berpengaruh di masyarakat. Selain untuk mengadvokasikan aspirasi para anggotanya, serikat pekerja juga berfungsi untuk melakukan perundingan kolektif dengan pengusaha demi memenuhi hak-hak pekerja dan menciptakan relasi kerja yang adil di tempat kerja mereka.

Pengalaman negara-negara di Eropa memperlihatkan bahwa mereka cenderung memiliki serikat dan organisasi pekerja yang cukup besar dan berpengaruh. Di Islandia, Swedia, atau Finlandia, keanggotan serikat pekerja mencangkup hingga 60% dari seluruh tenaga kerja di negara mereka. Sementara di Inggris, Jerman, atau Belanda, jumlahnya sekitar 15%-25%.

Tidak hanya melalui jumlah, serikat-serikat pekerja di Eropa juga acap kali mengerahkan pengaruh mereka untuk menentukan kebijakan-kebijakan negara ataupun perusahaan tempat mereka bekerja.

Serikat pekerja di Eropa umum melakukan perundingan tripartit bersama negara dan pengusaha dalam menentukan kebijakan ketenagakerjaan, mengorganisir aksi mogok dan demonstrasi untuk menyuarakan aspirasi mereka, atau melakukan perundingan kolektif di pabrik-pabrik atau kantor-kantor mereka untuk menekan perusahaan agar memperbaiki kondisi kerja mereka atau memenuhi hak-hak pekerja yang terabaikan.

Sementara itu, realita di Indonesia sangat bertolak belakang. Kedua syarat penting yang mampu menjamin kesejahteraan pekerja dalam menghadapi fleksibilisasi justru belum terpenuhi.

Di satu sisi, sistem jaminan sosial di Indonesia masih sangat terbatas. Jaminan kesehatan misalnya. Memang terdapat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mulai dirintis pada tahun 2014. Namun, JKN bukanlah universal health care yang umum dilakukan di Eropa melainkan berbentuk iuran mandiri yang mesti ditanggung oleh anggotanya. Bukan pelayanan kesehatan universal yang ditanggung negara melalui pajak dan mampu diakses dengan murah, dan bahkan gratis, oleh semua orang.

Terlebih mengingat besarnya surplus pekerja yang mencari nafkah di sektor informal, yang jumlahnya lebih dari separuh dari tenaga kerja kita, dan bekerja tanpa perlindungan aturan ketenagakerjaan sama sekali. Cukup besar kemungkinannya jika kebanyakan dari mereka masih belum dilindungi oleh layanan JKN.

Di sisi lain, kekuatan serikat pekerja di Indonesia masih cenderung kecil dan belum terorganisir. Berdasarkan perkiraan dari Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah anggota serikat buruh di Indonesia hanya berjumlah 2,7 juta orang atau hanya meliputi sekitar 3% dari seluruh tenaga kerja. Jauh angkanya dari yang umum di negara-negara Eropa.

Lemahnya kekuatan serikat pekerja di Indonesia membuat daya tawar yang dimiliki para pekerja tidak cukup besar dalam proses perundingan kolektif. Jangankan mendorong pemerintah untuk menciptakan aturan ketenagakerjaan yang lebih adil, bahkan untuk menuntut pengusaha memenuhi hak-hak normatif saja terkadang masih belum mampu.

Lebih dari itu, demi menciptakan “iklim investasi” yang lebih baik, negara cenderung mengabaikan pelanggaran aturan ketenagakerjaan dan hak-hak pekerja yang dilakukan oleh pengusaha. Laporan dari ILO misalnya menyebutkan bahwa sekitar 40% dari pekerja formal di Indonesia masih mendapatkan upah di bawah ketentuan upah minimum. Belum lagi hak-hak pekerja lainnya seperti hak untuk pesangon, THR, cuti, atau kebebasan berserikat yang sering kali diabaikan baik oleh aparatur negara maupun pengusaha.

Alih-alih mendapatkan perlindungan atau sokongan dari negara, pekerja di Indonesia terpaksa memperjuangkan hak-hak mereka secara mandiri.

Absennya kedua syarat yang diperlukan untuk melindungi kesejahteraan pekerja membuat rencana pemerintah untuk merevisi UU Ketenagakerjaan dan memperluas fleksibilisasi seakan terlalu dipaksakan. Tanpa kedua hal itu, fleksibilisasi hanya akan memberi keringanan bisnis bagi pengusaha sementara pekerja-pekerja mereka mesti menanggung beban yang semakin berat.

Mungkin ada benarnya ketika Hanif Dhakiri mengibaratkan pasar tenaga kerja kita sebagai “kanebo kering.” Namun pada kenyataannya, yang menjadi kanebo kering bukanlah regulasi pasar tenaga kerja kita melainkan tubuh para pekerja setelah diperas keringat dan tenaganya oleh pengusaha.

Dengan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel, pengusaha diberikan cara lebih mudah untuk menggantikan para pekerja yang habis diperas kering dengan “kanebo basah” lainnya yang masih mengantri panjang di luar pintu perusahaan. Sementara itu, mereka yang tersingkirkan dari pekerjaan, karena dipecat sewenang-wenang atau karena kondisi pasar sedang tidak menentu, hanya akan menjadi surplus pekerja yang terlempar ke dalam ketidakpastian hidup.

Tanpa sistem jaminan sosial dan kekuatan serikat pekerja yang berarti, upaya fleksibilisasi tenaga kerja di Indonesia hanya akan menciptakan flexibility with precarity: fleksibilitas ditambah bonus kerentanan hidup bagi pekerja di Indonesia.

Leave a Reply