Reformasi “Total” yang Dikorupsi

Pengantar Redaksi

Gerakan menuntut dipertahankannya capaian Reformasi 98 atau yang akrab disebut dengan gerakan menolak “Reformasi Dikorupsi”, menjadi salah satu gerakan massa terbesar pasca tumbangnya Soeharto. Gerakan ini seperti jamur di musim hujan, tumbuh di berbagai kota di Indonesia. Mereka disatukan oleh beragam isu, dari mulai masalah korupsi, pelecehan seksual, lingkungan hidup, hingga undang-undang sipil. Mereka menolak berbagai upaya pemerintah (eksekutif & legislatif) merevisi RKUHP, merevisi UU KPK, revisi UU Pertanahan, dan UU yang lain, karena dinilai akan memundurkan capaian Reformasi 98.

Esai berikut ini adalah tulisan dari Nining (Aktivis 98 & mantan anggota PRD 1996-2004), pemantik diskusi MAP Corner Klub MKP UGM dengan tema “Reformasi yang Dikhianati” yang dilangsungkan pada 24 September 2019. Dalam tulisan ini, Nining menunjukan bahwa “Reformasi”, bukanlah tujuan utama gerakan pro-demokrasi yang melawan rezim Soeharto. “Reformasi” hanya menjadi bagian dari kompromi politik yang dilakukan oleh para elite-elite dalam menghadapi besarnya gelombang protes massa. Sadar bahwa tuntutan mereka dibelokan, gerakan pro-demokrasi kemudian menggunakan istilah “Reformasi Total” sebagai cara agar tetap membawa gerakan sesuai di rel tujuan perombakan tatanan ekonomi dan politik mendasar di Indonesia. Namun, gerakan ini tidak mampu memenangkan tuntutan utamanya, karena dibajak oleh para elite sehingga hanya menghadirkan sebatas “Reformasi”. Kini, hasil-hasil kompromis tersebut, justru tetap berupaya dimundurkan oleh para elite yang berkuasa. Itulah mengapa, gerakan Reformasi Dikorupsi muncul sebagai respon terhadap upaya tersebut. Selengkapnya, silahkan simal tulisan dari Nining berikut ini:

*** *** ***

Istilah Reformasi baru terdengar saat elit-elit politik seperti Amien Rais mulai muncul di tengah gelombang aksi massa yang sudah begitu besar. Istilah ini, menurut saya, justru menggambarkan watak yang tidak menghendaki perubahan mendasar dalam struktur ekonomi dan politik Indonesia. “Re” + “formasi” adalah penataan ulang formasi saja, tanpa perubahan sistem yang lebih mendasar.Hal ini yang pada perkembangannya membuat massa terilusi. Kita pun kemudian tidak dapat mengelak untuk ikut menyebutnya sebagai “Reformasi 1998”.

Istilah Reformasi dengan tambahan kata “Total” merupakan strategi gerakan untuk tetap menciptakan perubahan mendasar. Istilah  “Reformasi Total” bermakna: perubahan formasi disertai perubahan sistem yang mendasar, di samping juga bersih dari anasir-anasir anti-demokrasi yang mendukung berjalannya sistem sebelumnya. Namun seiring waktu, kata “Total” pada akhirnya juga menghilang. Tinggallah hanya kata “Reformasi”, yang maknanya dan semangatnya semakin kabur seiring dengan berjalannya waktu.

Untuk bisa membicarakan tema “Reformasi yang Dikorupsi” ini, pertama kita harus punya pegangan, tentang apa saja “rumusan program reformasi” ini. Pertanyaan saya, apakah ada yang pernah membaca atau menemukan rumusan program ini? Kalau bagi kami (PRD saat itu –ed) jelas bahwa program yang harus dicapai di tahap awal pasca Soeharto jatuh adalah program-program yang bahkan sejak awal berdirinya PRD di tahun 1994 menjadi program (politik) yang selalu kami usung: Cabut 5 UU Politik, Cabut Dwi Fungsi ABRI dan Referendum bagi Rakyat Maubere.

Rumusan program yang, jangankan bagi kelompok lain, bahkan bagi kami sendiri, rumusan program ini terasa menakutkan dan dianggap berbahaya, karena dengan menyatakan program ini, kami sekaligus juga menyatakan posisi kami berhadap-hadapan secara frontal dengan penguasa militeris. Maka tidak mengherankan ketika rumusan yang kemudian dinyatakan dalam deklarasi Persatuan Rakyat Demokratik di tahun 1994 merupakan rumusan program yang sudah “diperhalus” bahasanya. Penghalusan Bahasa ini juga yang kemudian membuat sebagian anggota yang lain memandang rumusan program ini menjadi kurang atau tidak tepat. Persoalan ini menjadi salah satu penyebab timbulnya friksi dalam organisasi, sehingga muncul Komite Penyelamat Organisasi (KPO) yang kemudian membentuk badan bernama Presidium Sementara-Persatuan Rakyat Demokratik (PS-PRD). Selanjutnya, PS-PRD ini membentuk kepanitian untuk melaksanakan Kongres Luar Biasa di tahun 1996 di Kaliurang Yogyakarta pada 14-17 April 1996.

Pasca Kongres 1996 tersebut, kepengurusan baru langsung bekerja, meski organisasi baru menggelar deklarasi pada tanggal 22 Juli 1996 di kantor LBH Jakarta. Maka, rezim sudah dapat mengindikasi bahaya besar dari organisasi ini berkaitan dengan program-program dan sepak terjangnya. Tidak mengherankan ketika lima hari pasca deklarasi, dikaitkan dengan terjadinya Kerusuhan Dua puluh Tujuh Juli (Kudatuli) 1996 di Jakarta, PRD dituduh menjadi dalang kerusuhan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. PRD sudah diincar oleh Rezim Soeharto sebagai organisasi yang mengancam kekuasaan, sehingga harus ditumpas. Para pimpinan dan aktivisnya diburu sampai ke kota-kota di mana cabang-cabang organisasi dan underbouwnya PRD ada di sana.

Bukan hanya aktivis PRD dan organisasi-organisasi Massa di bawahnya yang diburu dan ditangkap, tapi juga aktivis gerakan pro-demokrasi lain. Hal ini yang membuat gerakan pro-demokrasi tiarap selama sekitar tiga bulan, karena tanggal 7 November 1996, di Yogyakarta, kami sudah berhasil (memberanikan diri) menggelar aksi massa (meski dengan jumlah peserta yang sangat kecil) dengan memanfaatkan momentum digerebeknya percetakan Suara Independen di Jakarta. Menurut saya, aksi ini merupakan tonggak awal bangkitnya kembali Gerakan pro-Demokrasi yang selama ini tiarap akibat digebuk dan direpresi pasca peristiwa Kudatuli pada tahun 1996. Selama masa tiarap ini, kami tidak hanya menghadapi represi rejim, namun juga “pengadilan” dari sesama aktivis pro-demokrasi lain. Setiap ada kesempatan, mereka akan mengkritik dan menyalahkan program-program kami yang dianggap terlalu maju, yang menyebabkan dipukulnya dan tiarapnya seluruh gerakan pro-demokrasi di seluruh Indonesia[1].

Untuk selanjutnya, mari mulai kita bedah, kira-kira program-program (politik) apa saja yang “terkorupsi” dari semangat awal yang kemudian memunculkan momentum di bulan Mei 1998 itu.[2]

  1. Cabut Lima Paket UU Politik

Keberadaan Paket Lima UU Politik adalah benteng pengabsahan pemerintah dalam membatasi hak-hak politik rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan tata-kenegaraan. Lima Paket Undang-Undang Politik tahun 1985 terdiri dari: UU tentang Partai Politik dan Golkar, UU tentang Organisasi Massa, UU tentang Pemilihan Umum, UU tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR/MPR, dan UU tentang Referendum.

a) UU Tentang Partai Politik dan Golkar

Berdasarkan UU No. 3 tahun 1985 pasal 1 ayat 1 ditentukan bahwa hanya ada dua partai politik yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan satu Golongan Karya (Golkar). Dua partai dan satu Golkar tersebut pun sudah dalam kondisi terkooptasi. Dari sini dapat diketahui secara pasti bahwa UU Kepartaian di Indonesia tidak pernah mengatur syarat-syarat atau pun cara-cara pendirian partai politik baru karena menurut UU tersebut, hanya ada PDI, PPP dan Golkar.

UU Kepartaian itu pun nyata-nyata menghalangi partisipasi politik rakyat. Ini nampak dari pasal 10 ayat 1 yang mengatur kepengurusan partai politik hanya sampai tingkat kecamatan. Ketentuan tersebut merupakan legitimasi formal bagi politik massa mengambang yang mengisolasi partai politik dari rakyat. Rakyat dikondisikan untuk menjadi apolitis, asing, dan jauh dari aktivitas politik praktis, hanya diberi kesempatan berpolitik sekali dalam lima tahun.

UU tentang Partai Politik dan Golkar tahun 1985 dicabut dan diganti pada tahun 1999. Kemudian diganti lagi tahun 2002, diperketat lagi tahun 2008. Penggantian dan pengetatan di tahun 2002 dan 2008 lebih berpretensi agar tidak terlalu banyak berdiri partai-partai baru (lebih karena alasan teknis). Namun, bukan sekedar masalah jumlah yang sebenarnya hendak dipersoalkan. Hal yang hendak dikemukakan PRD dalam program umumnya: “Demokrasi Multi-partai Kerakyatan di bawah pimpinan Koalisi Demokratik Kerakyatan”. Demokrasi Multi Partai Kerakyatan” adalah demokrasi dalam arti yang sedemokratis-demokratisnya termasuk dalam hal spektrum politik dan ideologi. “…Pembangunan demokrasi sejati dan sepenuh-penuhnya harus diabdikan pada kedaulatan rakyat. Untuk itu, suatu Pemerintahan Koalisi-sipil Demokratik Kerakyatan harus diciptakan di masa depan untuk menyalurkan partisipasi rakyat dengan saling menghormati aliran ideologi dan alat-alat politiknya masing-masing secara damai tanpa kekerasan”.

b) UU Tentang Organisasi Massa

Kemudian, UU No. 8 tahun 1985 tentang Keormasan menentukan bahwa organisasi kemasyarakatan masuk dalam teritori pembinaan pemerintah. Ada ketentuan dalam UU Keormasan ini yang melarang ormas untuk berafiliasi ke sebuah partai politik (pasal 8) dan dihambat dalam pendiriannya. Penjelasan pasal 8 ini berkonsekuensi hanya ada satu wadah untuk satu jenis sektor, misalnya ormas yang diakui untuk sektor tani hanya HKTI, untuk pemuda hanya KNPI, untuk buruh hanya SPSI, dan sebagainya. Pemerintah juga memiliki kewenangan membekukan dan membubarkan kepengurusan ormas jika ormas tersebut “disinyalir” melakukan aktivitas yang dilarang dalam UU Keormasan. Tindakan pembubaran ini pun dilakukan tanpa prosedur pengawasan melalui jalur hukum (pasal 12-13).

Dalam perkembangannya, UU No. 8 tahun 1985 ini sudah dinyatakan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga perlu diganti (ini tercantum di poin D pertimbangan UU No, 17 tahun 2013). Dalam UU No. 17 tahun 2013 yang merupakan pengganti UU No. 8 tahun 1985 tentang Keormasan tersebut dikatakan bahwa pencabutan status badan hukum ormas dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran ormas berbadan hukum (pasal 68 ayat 2). Pengajuan permohonan pembubaran ormas berbadan hukum diajukan ke Pengadilan Negeri oleh kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia (pasal 71 ayat 1).

Perkembangannya kemudian, dengan pintu masuk merebaknya persoalan tentang organisasi bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), pemerintah mengeluarkan Perpu, Perpu No. 2 tahun 2017, yang memberikan kewenangan pada pemerintah, lewat Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan HAM, melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. Berdasarkan pasal 80 A, pencabutan status badan hukum ormas adalah sekaligus bermakna pembubaran. Perpu yang ditetapkan Presiden pada 10 Juli 2017 kemudian ditetapkan menjadi UU dalam UU No. 16 tahun 2017 yang disahkan 22 November 2017.

c) UU Tentang Pemilu

UU No. 1 tahun 1985 tentang Pemilu memberikan peluang pemerintah untuk menyelenggarakan screening terhadap calon anggota legislatif sesuai kepentingannya. Ada satu pernyataan juga dalam UU ini bahwa Pemilu dilaksanakan oleh pemerintah di bawah presiden. Untuk menyelenggarakan pemilu dibentuk Lembaga Pemilihan Umum diketuai Mendagri. Hampir seluruh struktur panitia dan penyelenggara Pemilu dikuasai oleh birokrasi yang adalah wakil penguasa dan Golkar, mulai dari Mendagri hingga Lurah, yang notabene hanya berkepentingan untuk memenangkan Golkar sebagai partai penguasa.

Baik UU tentang Partai Politik, tentang Ormas maupun tentang Pemilu, substansi sikap yang seharusnya dikedepankan menurut kami masih berpatokan pada: “Demokrasi Multi Partai Kerakyatan” yang bermakna demokrasi yang sedemokratis-demokratisnya termasuk dalam hal spektrum politik dan ideologi. Ini yang sampai saat ini masih terganjal. Salah satu contoh kongkrit pengganjalan ini adalah masih belum dicabutnya TAP MPRS No. 25 tahun 1966. Ketetapan ini, menurut Refli Harun, menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk menangkap para pengguna atribut palu-arit, menyita buku-buku yang dianggap berhaluan kiri dan membubarkan berbagai diskusi terkait Peristiwa 1965. Ini sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan berpikir dan berekspresi tiap warga negara Indonesia. Dan dengan adanya RUU KUHP yang sedang dipermasalahkan sekarang (ada bagian yang membahas tentang bahaya terhadap ideologi negara), kekayaan spektrum politik dan ideologi seperti yang seharusnya mewarnai perpolitikan kita akan semakin sulit terwujud.

d) UU tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR/MPR

ABRI mendapat hak khusus diangkat oleh Presiden tanpa melalui Pemilu. Hal ini didasarkan aturan tentang pengangkatan anggota DPR menurut UU tentang susunan dan kedudukan DPR/MPR berjumlah 100 orang. Selain itu, UU ini juga memungkinkan terjadinya “pengusiran” alias recall bagi anggota parlemen yang dianggap ancaman karena bersikap kritis.

Pasca Reformasi, beberapa kali UU tentang Susunan dan kedudukan DPR/MPR ini dirubah. Saya kembali memberi pemantik kepada Saudara-saudara sekalian untuk mencermati perubahan perundang-undangan yang sekarang disebut sebagai UU MD3. Apa-apa saja yang coba diubah, kira-kira target dari perubahan-perubahan itu apa.

Kalau saya boleh mengatakan hasil kesimpulan saya sendiri berdasarkan pengamatan saya, perubahan-perubahan tersebut justru makin menampakkan betapa wakil-wakil rakyat yang duduk dalam DPR/MPR itu hanya memperjuangkan kepentingan kelompok masing-masing, partai masing-masing. Makin memberikan gambaran substansi dasar dari negara: negara merupakan alat kepentingan kelompok pemegang kekuasaan. Di era sekarang, negara adalah alat pemilik modal. Maka jangan heran, di saat-saat ini, kita dapat melihat berbagai macam UU yang sudah disahkan dan RUU yang hendak disahkan seperti apa. Itu gambaran nyata, kelas manakah yg sekarang sedang berkuasa.

e) UU Tentang Referendum

MPR melalui Tap MPR No. IV/MPR 1983 pasal 1 menyatakan tidak akan merubah UUD 1945. Pasal 2  menyatakan bahwa apabila MPR berkehendak untuk merubah UUD 1945 terlebih dulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Pasal 3 menyatakan bahwa referendum dilaksanakan oleh Presiden/mandataris MPR yang diatur dengan UU. Atas dasar pasal 3 inilah dilahirkan UU No. 5 tahun 1985 tentang referendum. Karena hanya mengatur tentang perubahan UUD 1945, UU tentang referendum ini sama sekali tidak membahas dimungkinkannya referendum untuk menentukan nasib sendiri rakyat Maubere (Timor Leste). Di sisi lain, UUD 1945 berubah menjadi sesuatu yang sakral dan tak bisa diganggu gugat tanpa mempertimbangkan perubahan situasi ekonomi, politik dan budaya dunia.

Gelombang “Reformasi 1998” membawa perubahan dengan mencabut aturan tentang Referendum untuk dapat mengubah UUD 1945. Tap MPR No. 8 tahun 1998 telah mencabut Tap MPR No. 4 tahun 1993 tentang Referendum. UU No. 6 tahun 1999 mencabut UU No. 5 tahun 1985 tentang Referendum.

  1. Cabut Dwi Fungsi ABRI

Belakangan ini isu akan kembalinya Dwi Fungsi ABRI mengemuka berkaitan dengan rencana pemerintah untuk memberikan sejumlah jabatan di kementrian kepada Perwira Militer. Ini mendapat respon keras masyarakat atas kemungkinan kembalinya doktrin traumatis di era Orde Baru ini. Doktrin Dwi Fungsi ABRI mulai ditinggalkan di tahun 1998 dengan dihilangkannya jatah kursi di MPR. Gus Dur juga memisahkan jabatan Panglima ABRI dengan jabatan Menteri Pertahanan.

Cikal bakal doktrin ini kerap dikaitkan dengan UU keadaan darurat perang di tahun 1957. Peraturan ini memungkinkan militer untuk mengeluarkan perintah atau peraturan yang menyangkut ketertiban umum dan keamanan ketika kondisi darurat perang.

Menurut pengamat militer Salim Said, pada tahun 1958, peran militer ini tampak ingin diperluas melalui konsep jalan tengah yang dikemukakan oleh KSAD Jenderal Besar A.H. Nasution, yang kurang lebih menyatakan bahwa militer tidak hanya menjadi alat pemerintah dan bahwa militer juga bukan rezim yang mendominasi.  Militer disebut sebagai kekuatan perjuangan rakyat yang bekerjasama dengan kekuatan rakyat lainnya. Para serdadu harus diberikan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan militernya sehingga harus ditempatkan di segala bidang. Doktrin tersebut kemudian semakin menampakkan bentuknya di tahun 1959. Pada masa itu, hampir sepertiga kabinet diisi militer.

Ide jalan tengah ini kemudian semakin matang ketika terjadi Seminar Angkatan Darat II di bandung, 25-31 Agustus 1966. Seminar ini mengeluarkan kesepakatan bahwa militer diperbolehkan untuk memiliki fungsi sosial-politik. Dari sini, konsep Jalan Tengah Nasution membuka jalan bagi militer untuk ikut dalam urusan sosial politik di Indonesia.

Konsep tersebut baru dimatangkan dan dilegalkan sebagai Dwi Fungsi di era Orde Baru. Berbagai peraturan dibuat sehingga militer resmi punya dua fungsi yaitu menjaga keamanan dan ketertiban negara dan memegang kekuasaan serta mengatur negara. Tidak heran jika di era tersebut terdapat jabatan menteri, gubernur, bupati dan walikota yang dipegang oleh militer aktif.

Militer juga masuk ke ranah legislatif, di mana mereka duduk sebagai fraksi ABRI di DPR. Ada pula doktrin kekaryaan, di mana anggota militer dikirim ke sektor-sektor non militer. Kritik terhadap praktik Dwi Fungsi kemudian muncul di akhir 1980-an. Kala itu, beragam perubahan sosial, seperti semakin menguatnya masyarakat sipil, membuat doktrin itu mulai dipertanyakan. Selain itu, keterbukaan menjadi gagasan utama yang menggoyang dominasi dwi Fungsi ABRI selama bertahun-tahun. Para akademisi seperti Arbi Sanit dan Miriam Budiardjo mengatakan bahwa idealnya militer dapat dilepaskan dari parlemen untuk menjalankan demokrasi.

Banyak pihak menganggap bahwa Dwi Fungsi ABRI menjadi alat bagi Orde Baru untuk menekan kebebasan sipil di Indonesia. Dwi Fungsi melalui penetrasi kekaryaan dan militer di parlemen menekan secara ketat partisipasi politik di negara ini. Memang, praktik Dwi Fungsi kala itu banyak digunakan untuk menjaga stabilitas dari kebijakan di era Orde baru.

Pasca lengsernya Soeharto, doktrin Dwi Fungsi ABRI ini mulai diikis perlahan-lahan. Langkah pertama adalah dengan menghilangkan jatah fraksi ABRI di MPR. Presiden Abdurrahman Wahid kala itu juga melakukan pemisahan antara jabatan panglima TNI dengan Menteri pertahanan.

Permintaan untuk menghilangkan Dwi Fungsi ABRI sesuai dengan profesionalisme militer yang dikemukakan oleh Samuel Huntington yang berpandangan bahwa di negara-negara demokratis, militer seharusnya kembali ke barak dan mendapatkan kontrol dari sipil. Hal ini jelas berbeda dengan doktrin Dwi Fungsi yang memberikan keleluasaan pada para serdadu untuk melakukan pengaturan di negeri ini.

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa Dwi Fungsi ABRI yang punya sejarah panjang ini banyak dikritik, bahkan tidak diinginkan. Doktrin itu selalu identik dengan upaya Soeharto untuk menjaga stabilitas kekuasaannya.

Pertanyaan saya yang justru saya ajukan kepada saudara-saudara sekalian: Kira-kira, pendapat apa yang timbul dengan adanya ide pemerintah yang hendak memberikan jabatan di kementrian kepada para perwira militer di atas? Silakan simpulkan sendiri.

  1. Referendum bagi Rakyat Maubere

Sikap politik PRD hasil Kongres Luar Biasa pada 14-17 April 1996 sangat jelas tergambar dalam Manifestonya. Manifesto ini dibacakan saat PRD mendeklarasikan telah berdirinya partai tersebut pada tanggal 22 Juli 1996 di Kantor YLBHI, Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat. Tidak ada demokrasi di Indonesia, dan ini berkonsekuensi pada program tuntutan pencabutan Paket Lima Undang-undang Politik 1985 dan Dwi Fungsi ABRI. Dinyatakan juga keberpihakan yang jelas terhadap perjuangan rakyat Timor Leste untuk menentukan nasib sendiri. Kerjasama Internasional harus berada di bawah syarat damai dan kemanusiaan, maka PRD menilai bahwa perjuangan demokrasi Indonesia tidaklah lengkap dan palsu bila tidak dihubungkan dengan tuntutan kemerdekaan bagi rakyat Maubere.

Dan merupakan hasil dari gelombang “Reformasi 1998” juga, tanpa memiliki peraturan perundangan yang membahas soal tata cara referendum, Presiden BJ. Habibie mengirim surat pada Sekjend PBB Kofie Anan untuk meminta pendapat rakyat Timor Leste menyangkut masa depan bangsanya. Dan pada tanggal 30 Agustus 1999, rakyat Timor Leste memberikan suaranya dalam suatu jajak pendapat dengan dua opsi: menerima otonomi khusus atau berdiri sendiri menjadi negara merdeka. Hasilnya, 78,50 % memilih merdeka.

Sekarang ini, justru tidak ada UU yang membahas soal Referendum apa pun. Namun, ini justru menjadi alasan bagi Wiranto untuk mengancam siapa pun yang bicara soal referendum sebagai tindakan yang melanggar hukum justru dengan alasan “tidak ada peraturan perundangan yang membahas soal Referendum”.

Oto Kritik bagi Gerakan pro-Demokrasi

Mengapa terjadi (kalau boleh saya menyatakan hal-hal yang saya uraikan di atas sebagai) kemunduran-kemunduran seperti yang sekilas saya gambarkan di atas? Karena ide sistem negara alternatif belum menjadi pemahaman yang meluas. Elit politik, para pimpinan politik masih terpisah jauh dari rakyat. Partisipasi rakyat masih terbatas pada even-even tertentu semacam Pemilu yang hanya terjadi dalam jangka waktu lima tahunan, yang hanya menjadi alat legitimasi suatu golongan atau kelompok tertentu naik sebagai penguasa baru. Soal bentuk masih harus didiskusikan dan diperdebatkan. Yang jelas, watak yang harus ada dalam system negara ini: memfasilitasi rakyat seluas mungkin untuk terlibat dalam proses penentuan kebijakan.

Penutup:

Tidak ada demokrasi di Indonesia”. Itu adalah kalimat pembuka dari Manifesto politik Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalam deklarasi berdirinya partai ini pada tanggal 22 Juli 1996 di kantor YLBHI Jakarta. Sebuah pernyataan tegas yang kemudian menjadi dasar perumusan program politik umum partai.

Pembangunan demokrasi sejati dan sepenuh-penuhnya yang diabdikan pada kedaulatan rakyat menjadi garis politik PRD. Rumusan program umum PRD saat itu adalah Demokrasi Multipartai Kerakyatan di bawah pimpinan Koalisi-sipil Demokratik Kerakyatan. Perubahan mendasar yang dibutuhkan sebagai tahapan awal untuk mencapai hal itu yaitu melalui perjuangan membuka gerbang demokrasi dengan pencabutan Lima UU Politik dan Dwi Fungsi ABRI. Sehingga suatu Pemerintahan Koalisi-sipil Demokratik Kerakyatan harus diciptakan di masa depan untuk menyalurkan partisipasi rakyat dengan saling menghormati aliran ideologi dan alat-alat politiknya masing-masing secara damai tanpa kekerasan.

Ya, demokrasi sepenuh-penuhnya, sedemokratis-demokratisnya, sesejati-sejatinya, karena dalam situasi demokratis sepenuh-penuhnya maka partisipasi politik rakyat akan meluas, akan terjadi diskusi dan perdebatan seluas mungkin, yang akan melibatkan sekaya mungkin spektrum ideologi dan politik yang ada. Dari sini, diharapkan akan muncul dan berkembang ide-ide, gagasan-gagasan tentang kehidupan politik dan kenegaraan alternatif yang akan lebih mendekatkan syarat-syarat kesejahteraan dan keadilan.

Selain partisipasi politik rakyat seluas mungkin, muncul ide dan gagasan alternatif, diharapkan juga partisipasi rakyat untuk mengontrol jalannya pemerintahan. “Fungsi control” ini penting karena: pertama, power tends to corrupt, kedua, dalam pemerintahan sebelumnya korupsi merajalela. (Di sinilah lahirnya KPK yang biasa disebut sebagai anak kandung Reformasi menemukan konteksnya). Korup tidak hanya dalam arti ekonomi (mencuri harta negara/masyarakat) tapi juga korup dalam arti perilaku (merekayasa segala macam hal demi mempertahankan kekuasaannya). Dalam konteks kekinian, saya sangat gembira dan mendukung aksi massa yang dilakukan di berbagai penjuru Indonesia. Ini adalah contoh kongkrit partisipasi politik rakyat dalam fungsi kontrolnya.

Setelah sekian puluh tahun iklim demokrasi di Indonesia diberangus, dari tahun 1965 sejak Orde Baru berkuasa sampai tumbangnya Soeharto di tahun 1998, situasi keterbukaan selama 1998-2019 ini pun tidak banyak menghasilkan ide-ide dan gagasan-gagasan alternatif, termasuk ide dan gagasan tentang sistem negara alternatif selain sistem yang kita warisi dari rezim sebelumnya. Pada kenyataannya kita masih memakai system lama yang membuat DPR/MPR masih bisa gonta-ganti UU MD3, misalnya, demi kepentingan golongan mereka saja, tanpa memperhatikan apa sebenarnya arti pentingnya bagi rakyat. Pada kenyatannya kita masih kecolongan UU Keormasan yang membuat kita kembali seperti ke zaman Orde Baru. Karena watak “fasis” ternyata justru kita internalisir, meski suatu saat, tanpa kita sadari, UU Keormasan ini bisa saja berbalik menyasar organisasi kita.

Agenda demokratisasi sampai saat ini belum juga terwujud. Berbagai macam RUU sedang menunggu untuk ditetapkan. Dan deretan persoalan itu justru makin memperjelas penampakan “the rulling class” dalam wajah negara.

 

[1] Silakan baca tulisan-tulisan saya di dnk.id jika ingin tahu lebih lanjut tentang “Kisah-kisah Seputar Gerakan 1998 di Yogyakarta”. Setelah sekitar 20 tahun menyimpannya, saya terdorong untuk menuliskannya justru karena saya kemudian melihat bahwa bahkan kawan sendiri yang pernah sama-sama dalam satu organisasi, tidak bisa memahami bahwa terjadinya momentum di tahun 1998 bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan ada pihak-pihak yang terus-menerus mengusahakan, terus-menerus berjuang agar kerja yang dilakukan sebelumnya tidak sia-sia, bahwa ada benang merah yang selalu kita usahakan tersambung dan tidak dibiarkan terputus.

[2] Catatan: ada program-program lain selain program politik tentu saja, di bidang ekonomi, Pendidikan, kebudayaan, hukum dan lain-lain, namun program politik merupakan prasyarat dapat dicapainya program-program di bidang lain. Hal ini pun ada penjelasannya dalam manifesto PRD di tahun 1996: PRD memandang pentingnya menyelesaikan solusi-solusi politik terlebih dahulu untuk mempermudah solusi-solusi ekonomi Indonesia.

Leave a Reply