Keringat Murah Buruh Jahit di Perdesaan Jawa

Setelah bangun tidur, Surati (31 tahun) bergegas memasak untuk sarapan pagi keluarganya. Ibu dua anak itu lantas membangunkan Randi (7 tahun, kelas 2 Sekolah Dasar) dan Ima (3 tahun) untuk segera mandi dan sarapan. Dia kemudian mencuci hingga membersihkan rumah dari debu yang bertebaran. Selesai menjalankan pekerjaan domestik, Surati menjalakan pekerjaan kesehariannya yaitu menjahit. Suaminya pekerja lepas (informal) pertambangan emas tradisional di Pulau Sumatera. Upah yang tidak menentu, telah memaksa Surati turut bekerja demi dapur keluarganya tetap ngebul.

Surati bekerja sebagai buruh jahit rumahan yang kini tengah marak di kawasan perdesaan Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Dia biasanya mulai bekerja pukul 08.00 pagi dan istirahat pukul 12.00 siang. Saat istirahat digunakan untuk makan sekaligus menyuapi anak gadisnya yang masih balita. Setelah itu dia kembali bekerja hingga sore menjelang. Jika tengah terdesak oleh tuntutan ekonomi seperti membayar cicilan hutang (dikarenakan menggadaikan BPKB Motor untuk membeli mesin jahit), membayar biaya sekolah anaknya dan tuntutan hidup yang lain, dia biasanya akan kerja lembur sampai larut malam.

Hal serupa juga dilakukan oleh Nina (35 tahun, memiliki 1 anak berusia 5 tahun), tetangga Surati. Dunia jahit menjahit bukan sesuatu yang baru bagi mereka. Nina dan Surati termasuk buruh jahit terampil karena pada periode tahun 2002 – 2009-an pernah bekerja di perusahaan tekstil Jabodetabek. Setelah menikah, mereka akhirnya memilih menetap di desa tempat mereka dilahirkan, yaitu Desa Ngudiluhur, Pati. Perbedaannya, Surati memiliki mesin jahit sendiri hasil dari menggadaikan BPKB Motor, sedangkan Nina menjadi buruh jahit di tempat Tardiman (karena tidak memiliki sarana produksi sendiri), sub-unit produksi di dukuh mereka.

Baca Juga:
Buruh Tani di Selubung Mitos Agraria
Populasi Terbuang, Informal Proletariat dalam Kuasa Negara Neoliberal

Pola kehidupan di atas merupakan keseharian yang dilakukan Surati, Nina dan juga buruh jahit perempuan lainnya yang tersebar di Perdesaan Jawa. Industri pakaian rumahan di Pati sendiri diperkirakan telah menyerap hampir puluhan ribu tenaga kerja yang 80%nya adalah perempuan. Para perempuan ini melakukan pekerjaan ganda yaitu pekerjaan domestik dan pekerjaan sebagai buruh-upahan di industri pakaian rumahan.

Kondisi Kerja Buruh Jahit

Hubungan kerja pada industri pakaian rumahan di Pati ini bersifat informal. Para pekerja bertahan hidup tanpa memiliki jaminan sosial, waktu kerja tidak menentu, tidak adanya perlindungan hukum, upah berdasarkan kuantitas dibanding waktu kerja, dan kondisi kerja yang cenderung buruk. Upah yang diterima oleh para buruh di industri pakaian rumahan ini tidak berdasarkan waktu kerja, akan tetapi berdasarkan kuantitas dan kualitas komoditi yang dihasilkan. Untuk buruh jahit rumahan seperti Surati, mendapatkan Rp2.500 per satu lusin (12 buah) kaos yang dijahitnya. Upah berbeda diterima ketika mereka mengerjakan pakaian model (karena lebih rumit, seperti gamis), setiap satu lusin diupah Rp5.500. Hal yang sama juga diterima oleh Nina walaupun dia menjadi buruh di tempat sub-unit produksi. Insentif diberikan oleh sub-kontraktor kepada pekerja rumahan yang mengambil orderan langsung dari mereka berupa uang biaya listrik antara Rp20.000 sampai Rp50.000 per bulan sesuai dengan besaran pakaian yang telah dikerjakan setiap bulannya. Sedangkan untuk pekerja yang bertugas melipat pakaian yang sudah jadi serta membersihkan sisa benang yang masih menempel di pakaian, mendapatkan upah Rp500/lusinnya.

Para pekerja yang sudah terampil, per hari rata-rata mampu mengerjakan 10 lusin kaos setiap 8 jam kerja (penulis menggunakan standar waktu kerja formal untuk menghitung), sehingga upah yang didapat per hari oleh pekerja terampil yaitu Rp25.000,- (10 kali Rp2.500). Jika mengerjakan pakaian model, pekerja yang terampil seperti Surati mampu menyelesaikan 4 lusin per 8 jam kerja. Upah mereka berarti 4 kali Rp 5.500 yaitu Rp22.000. Jika mereka bekerja satu bulan penuh, maka rata-rata upah yang mereka terima adalah Rp750.000. Upah itu masih jauh dibanding dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Pati yang senilai Rp1.585.000/bulan pada tahun 2018.

Jika para buruh terampil bisa mendapatkan rata-rata Rp750.000/bulan, kondisi berbeda didapat oleh buruh yang kurang terampil. Yati salah satunya, dia baru bekerja sebagai buruh jahit pada akhir tahun 2017 dan hanya mampu mengerjakan rata-rata 6-7 lusin kaos per hari atau 2-3 lusin pakaian model per hari (Wawancara, 21/10/2018). Per hari, para buruh yang masih kurang terampil mendapatkan upah Rp15.000 sampai Rp18.000, sehingga per bulan upah mereka dikisaran Rp500.000. Sebagian besar pekerja yang kurang terampil ini adalah mereka yang tidak mempunyai pengalaman di industri tekstil seperti perempuan seusia Nani dan Surati. Mereka usianya sebagian besar di atas 40 tahun dan sebelumnya bekerja sebagai petani.

Upah para buruh jahit yang cukup kecil, menjadikan mereka cenderung melakukan kerja lembur atau melakukan pengurangan proporsi pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari. Surati contohnya, dia sering melakukan kerja lembur hingga pukul 22.00. Jika dikalkulasi, sehari dia bisa bekerja menjadi buruh jahit selama 11-12 jam. Dengan kerja lembur itu dia bisa memperoleh Rp 35.000,- – Rp 40.000,- per hari. Akan tetapi itu sangat menyita waktu dan tenaganya, belum lagi kerja-kerja domestik yang harus dijalaninya. Dengan kerja lembur, Surati dapat memperoleh Rp 1.100.000,- sampai Rp 1.250.000,- per bulan. Hasil yang diperoleh walaupun ditambah dengan kerja lembur masih tetap di bawah UMK dari Kabupaten Pati. Hasil itu juga belum mampu memenuhi kebutuhan hidupnya setiap bulan yang mencapai Rp 1.500.000 sampai Rp 2.000.000 di setiap bulannya.

Rantai Pasokan dan Pendisiplinan Buruh Jahit

Rantai pasokan dalam industri pakaian rumahan ini bertitik pusat di Ibukota Indonesia yaitu Jakarta yang menjual komoditi tersebut untuk tujuan pasar luar negeri, ke Mall-Mall besar di tingkat nasional, hingga pasar tradisional. Pekerjaan yang dilakukan buruh rumahan ini terhubung melalui skema rantai pasokan global (global supply chain) yang cenderung tidak diketahui oleh para buruh. Rantai pasokan terendah adalah buruh jahit rumahan. Bagi buruh rumahan yang memiliki mesin jahit sendiri (seperti Surati), mereka berproduksi dengan cara mengambil order ke sub-kontraktor di tingkat desa. Sementara para buruh jahit bekerja kepada pemilik mesin jahit rumahan (sub-unit produksi) yang mengambil order dari sub-kontraktor. Sedangkan para sub-kontraktor mendapatkan order dari kontraktor utama di Jakarta.

Baca Juga:
May Day & Komodifikasi Isu Perburuhan di Antara Para Elite
Perebutan Makna May Day dan Upaya Depolitisasi Kesadaran Kaum Buruh

Peran sub-kontraktor di tingkat desa untuk memastikan bahwa pakaian selesai tepat waktu dengan hasil yang sesuai pesanan. Sub-kontraktor ini memiliki peran yang dominan dalam hubungan kerja industri pakaian rumahan ini. Mereka menentukan pembagian orderan, waktu pakaian harus diselesaikan, sangsi untuk pekerja rumahan, dan insentif tertentu. Sub-kontraktor di tingkat dusun, memiliki sub-unit produksi rumahan dengan kepemilikan antara 5 — 10 mesin jahit atau obras. Mereka mempekerjakan buruh dengan upah sesuai kuantitas produksi dan kadang turut ikut menjahit. Sub-kontraktor menggunakan sub-unit produksi ini untuk memastikan bahwa pakaian selesai tepat waktu.

Pihak sub-kontraktor menetapkan kebijakan denda sebagai mekanisme pendisiplinan setiap pakaian yang salah jahit. Setiap kesalahan satu pakaian didenda dikisaran Rp50.000. Para pekerja kurang terampil menjadi pihak yang sangat rentan mengalami kesalahan dalam proses jahit karena kurangnya skill yang dimiliki. Yati pernah mendapatkan denda satu kali karena salah mengobras pakaian. Dia harus merelakan sekitar 3 hari waktu kerjanya hilang untuk membayar denda itu. Begitupula dengan para buruh yang mengejar lembur juga rentan mengalami kesalahan dalam proses menjahit dan rawan terkena denda yang cukup besar dan bisa menyita 2-3 hari upah kerja mereka untuk setiap satu pakaian.

Dengan proses rantai pasokan dan hubungan industrial informal di atas, pihak pengusaha dan sub-kontraktor menjadi pihak yang sangat diuntungkan. Sementara, para buruh jahit menjadi pihak yang sangat dirugikan. Yati menggambarkan bahwa para sub-kontraktor di tingkat desa menjadi orang yang kaya raya. Di sisi yang lain, para buruh jahit hidup dengan kondisi yang sangat rentan karena ketiadaan jaminan kerja, jaminan kesehatan, upah yang layak dan jaminan hari tua. Mereka hanya mendapatkan upah hampir setengahnya UMK Pati dengan kerja sama-sama 8 jam per hari. Ketiadaan lapangan kerja, menjadikan para buruh jahit itu terpaksa untuk menjalani kerja dengan upah murah dan kondisi kerja yang buruk tersebut.

Perubahan Agraria dan Asal Usul Buruh Jahit

Baik Surati, Nani dan Yati adalah surplus populasi relatif yang tidak terserap dalam pekerjaan inti kapitalisme. Para buruh jahit ini hampir semuanya adalah masyarakat desa setempat. Di Desa Ngudiluhur, mayoritas pekerjanya adalah para perempuan. Di desa ini hampir 60%-70% angkatan kerjanya bekerja di prantauan. Mereka yang bekerja di prantauan sebagian besar adalah para lelaki. Di desa ini dan juga desa-desa lainnya di Kabupaten Pati, pertanian tidak lagi sebagai pekerjaan yang dominan. Kondisi struktural penguasaan tanah menjadi penyebab proses deagrarianisasi di Perdesaan Jawa. Sebelumnya, pertanian adalah mata pencaharian mayoritas dari penduduk desa.

Struktur penguasaan tanah yang timpang dan ketidakberpihakan kebijakan pemerintah menjadi faktor utama proses deagrarianisasi di Pati. Seperti Husken (1998: 182) tunjukkan di salah satu desa di Pati, ketimpangan penguasaan tanah begitu nyata di mana hanya 5% penduduk menguasai dua pertiga total tanah sawah di desa itu. Sementara lebih dari separuh penduduk tidak punya tanah sama sekali. Bahkan bagi mereka yang masih punya tanah, rata-rata luasnya hanya secuil. Dalam sensus pertanian tahun 2013 ditunjukkan bahwa dari 189.987 rumah tangga pertanian (RTP) di Pati, sebanyak 134.445 RTP adalah petani gurem (petani dengan kepemilikan lahan < 0,5 ha). Jika diprosentasekan, 71,77 persen RTP di Pati adalah petani gurem. Dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 ha, kecenderungan yang terjadi, keluarga petani akan kesulitan untuk mentransformasikan kehidupannya menjadi lebih baik lagi (Bachriadi & Wiradi, 2011; Hall, Hirsch & Li, 2011).

Tidak heran jika mereka memilih tidak lagi bertani karena pertanian dirasa tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Data sensus pertanian di Kabupaten Pati dalam rentang waktu 10 tahun menunjukan adanya penurunan jumlah RTP. Pada sensus pertanian di tahun 2003 ada 266.504 rumah tangga sedangkan di tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 189.987 rumah tangga. Ada pengurangan jumlah RTP sebanyak 77.004 rumah tangga (BPS Pati, 2014).

Mereka yang tersingkir dari pertanian di Pati dan tidak terserap dalam industri formal kapitalisme, salah satunya bekerja menjadi pekerja informal dalam industri pakaian rumahan. Sangat sedikitnya lapangan pekerjaan telah membuat relasi hubungan industrial informal tumbuh subur. Beberapa buruh jahit perempuan yang penulis temui mengungkapkan bahwa mereka bekerja hanya untuk mengisi waktu luang, sehingga tidak mempermasalahkan dengan upah dan kondisi kerja buruk yang mereka dapatkan. Para perempuan ini masih menganggap bahwa peran perempuan hanya sebagai pekerja domestik dengan selubung budaya patriarki yang lain seperti bahwa tugas pencari nafkah utama adalah lelaki. Hal itu menjadikan kerangka berpikir bahwa menjadi buruh jahit informal hanya sebagai kerja sampingan untuk mengisi waktu luang ketika selesai menjalankan pekerjaan domestik. Padahal dalam hubungan industrial, nilai kerja mereka adalah dari waktu kerja yang telah mereka curahkan tanpa memperdulikan alasan klasik tentang budaya patriarki itu. Jika merujuk apa yang dialami oleh Surati, Nina dan Yati, menunjukan bahwa menjadi buruh jahit sejatinya bukan kerja “untuk mengisi waktu luang”, karena mereka bahkan melakukan kerja lembur untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Buruh Jahit dan Pekerja Informal di Kapitalisme Pinggiran

Konseptualisasi klasik hubungan industrial yang mengejawantahkan kondisi kerja secara standar, bahwa jam kerja 8 jam/hari, pekerjaan tetap, adanya upah minimum dan diberikannya jaminan kesehatan serta kondisi kerja yang layak kini telah mengalami kemunduran kebelakang. Pekerjaan informal telah membuat kehidupan buruh dalam kondisi rentan. Kondisi itu seperti apa yang terjadi di Inggris pada abad ke 19, di mana waktu kerja berlangsung hingga 15 jam/hari, ketiadaan jaminan kesehatan, ketiadaan jaminan kerja, kondisi kerja yang buruk dan upah yang tidak layak (Engels, 2009 [1845]). Reorganisasi kapital untuk mencapai akumulasi dalam skala luas, telah mempromosikan hubungan industrial secara informal ke berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.

Baca Juga:
Beban Ganda dan Komodifikasi Perempuan dalam Kapitalisme
Tenaga Kerja Honorer di Pusaran Surplus Populasi Relatif

Proses informalisasi dan fleksibilitas tenaga kerja mulai terjadi pada kuartal terakhir di abad ke-20. Tingkat nilai upah buruh mengalami penurunan dan angka pemutusan hubungan kerja secara formal mulai meningkat. Proses penurunan tidak hanya secara ekonomi, namun juga secara sosial. Penurunan tajam dalam pekerjaan telah diikuti oleh berkurangnya pekerjaan tetap, pembayaran upah berdasarkan kuantitas dan kualitas daripada waktu bekerja, dan promosi kewirausahaan mandiri (Breman & van der Linden, 2014). Formalisasi pekerjaan masih tetap berlangsung di satu sisi, namun dibentuk menjadi fleksibel. Di sisi lainnya informalisasi bergerak secara cepat dan luas. Thomas Piketty dalam bukunya Capital in the Twenty-First Century (2013) menunjukan angka ketimpangan dunia meningkat tajam pasca reorganisasi kapital terjadi di kuartal terakhir abad 20. Artinya tujuan utama reorganisasi kapital dengan pembentukan fleksibilitas tenaga kerja dan informalisasi pekerjaan adalah untuk memperlancar proses akumulasi kapital.

Kalangan ekonom mainstream sering mengklaim bahwa pekerjaan informal memberikan pendapatan yang tidak kalah dari pekerjaan formal. Bahkan dalam kasus pekerja mandiri informal seperti penjahit yang punya mesin jahit sendiri, dianggap memiliki fleksibilitas dan otonomi dalam menentukan kapan dia mau bekerja sehingga lebih banyak waktu bagi keluarga. Tetapi bagi Barbara Harris-White (2014), para penjahit yang punya mesin jahit sendiri itu lebih tepat disebut sebagai para pekerja upahan yang tersamarkan (disguised wage labour). Relasi kerja informal menjadikan para pekerja sebagai pekerja mandiri yang seolah dapat menentukan waktu kerja dan jumlah komoditi yang diproduksi sesuai kehendaknya. Mereka juga sering disebut sebagai mitra kerja yang tidak sepenuhnya terikat. Namun sejatinya mereka adalah para pekerja yang tersamarkan melalui relasi industri informal yang cenderung merugikan mereka.

Maraknya buruh jahit rumahan yang dibayar murah dengan kondisi kerja yang buruk di Perdesaan Pati, Jawa Tengah tidak terlepas dari konteks kepentingan akumulasi kapital dan keterpaksaan yang dialami oleh para buruh karena ketiadaan lapangan pekerjaan lain. Kontraktor utama industri pakaian yang memberikan order ke Pati sebelumnya bergerak di Jabodetabek. Sub-kontraktor di Desa Ngudiluhur mengatakan bahwa upah yang besar di Jabodetabek dan berbagai tuntutan gerakan buruh, membuat kontraktor memilih untuk mengalihkan produksinya ke perdesaan yang cenderung upahnya sangat murah (Wawancara informal, 21/10/2018). Di Bekasi pada tahun 2018 UMKnya adalah Rp 3.837.939/bulan atau DKI Jakarta Rp 3.648.035/bulan, sangat jauh ketika perusahaan mengupah Surati, Nina & Yati yang hanya Rp 750.000/bulan. Sementara para perempuan buruh jahit informal terpaksa menjalankan pekerjaan dikarenakan tidak ada alternatif pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan kehidupan. Para buruh jahit informal ini adalah bagian dari surplus populasi relatif yang sebelumnya tersingkir dalam pertanian (baca: akumulasi primitif). Mereka menjadi surplus populasi relatif sembari mengantri jikalau ada pekerjaan formal yang lebih layak.

Penutup

Regim tenaga kerja dalam reorganisasi yang baru telah membentuk kepengaturan yang menurunkan standar kehidupan buruh demi proses akumulasi kapital. Pasar tenaga kerja fleksibel dan informalisasi pekerjaan diterapkan sebagai mekanisme reorganisasi kapital. Kondisi seperti itu menyebarluas terutama di negara kapitalisme pinggiran dengan memanfaatkan surplus populasi relatif yang begitu melimpah, seperti yang terjadi di Pati dalam industri pakaian. Ketiadaan opsi pekerjaan layak yang dapat mengakomodasi mereka, membuat para buruh (sebagian besar perempuan) bekerja dengan upah sangat murah dan kondisi kerja yang buruk. Mereka dihisap keringatnya dengan harga murah dengan kehidupan yang serba susah, sementara para pengusaha menikmati hasil keringat mereka menjadi kekayaan yang terus terakumulasi dari hari ke hari.

 

Daftar Pustaka:

Bachriadi, Dianto & Wiradi, Gunawan. 2011. Enam Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia. Bandung: ARC, Bina Desa & KPA.

BPS Pati. 2014. Pati Dalam Angka di Tahun 2014. – : –

Breman, Jan & van der Linden, Marcel. 2014. “Informalizing the Economy: The Return of the Social Question at a Global Level”. Development and Change 45(5): 920–940.

Engels, Friedrich. 2009 [1845]. The Condition of the Working Class in England. London: Penguin Classics).

Habibi, Muhtar. 2016. Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi, dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980an. Tangerang: Marjin Kiri.

Hall, Hirsch & Li. 2011. Power of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Singapore: NUS Press.

Husken, F (1998), Masyarakat Desa dalam Perubahan Jaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980, Jakarta: Grasindo

Piketty, Thomas. 2013. Capital in the Twenty-First Century. Cambridge: Harvard University Press.

Wawancara dengan Nina pada 29 Juli 2017 di Pati, Jawa Tengah

Wawancara dengan Surati pada 27 Juli 2017 di Pati, Jawa Tengah

Wawancara dengan Yati pada 21 Oktober 2018 di Pati, Jawa Tengah

Wawancara Informal dengan Sub-Kontraktor pada 21 Oktober 2018 di Pati, Jawa Tengah

White, Barbara Harriss. 2014. “Labour & Petty Production”. Development and Change 45(5): 981–1000.

_____________________
Tulisan ini
sebelumnya dimuat di Majalah Basis edisi No. 11-12, Tahun ke-67, 2018
Dimuat ulang untuk tujuan memperluas gagasan.

Leave a Reply