Pekerja Konstruksi Informal, Tumbal Perubahan Wajah Kota

Awal Abad 21 ditengarai sebagai era dimana kota di berbagai negara berkembang mengalami geliat perubahan. Wilayah yang dulunya dipandang kurang berkembang, bisa jadi kini telah menjelma layaknya kota metropolitan negara-negara maju. Kemunculan gedung pencakar langit dalam jumlah besar dengan waktu relatif cepat, menjadi pertanda paling jelas dari geliat perubahan. Orang banyak mengibaratkan kemunculan gedung-gedung ini dengan pertumbuhan jamur yang meledak sporadis ketika musim penghujan. Pertanyaan-pertanyaan seperti “… sejak kapan kota ini berubah, bukanya hotel ini dulunya rumah reyot? sejak kapan muncul gedung setinggi ini?…”, terlalu sering dilontarkan oleh mereka yang jarang memperhatikan perubahan sekelilingnya.

Meskipun negara maju juga mengalami fenomena ini, namun tingkat perubahan di negara berkembang lebih terasa nyata. Perbedaan kondisi awal sebuah wilayah menjadi penyebabnya. Wilayah yang awalnya belum terlalu padat di negara berkembang, akan berubah drastis penampilanya ketika muncul banyak gedung. Salah satu contohnya terjadi di Yogyakarta. Banyak orang mungkin tidak percaya, Yogyakarta dengan puluhan hotel mewah dan mall mewahnya hari ini, dulunya dipadati perkampungan yang hunianya berdinding anyaman bambu (Hampton, 2003:2). Transformasi wilayah tertinggal menjadi lebih maju karena dijejali oleh properti mewah dalam waktu relatif cepat sepert ini, dikenal dengan istilah gentrifikasi.

Menunjang Genrifikasi dengan Subsidi Pekerja Informal

Terdapat berbagai pandangan dalam merespon terjadinya proses gentrifikasi. Selain dianggap sebagai proses alamiah perkembangan perkotaan, terdapat pandangan yang yakin jika gentrifikasi merupakan bentuk dari tren gaya hidup pekerja kerah putih. Pekerja kerah putih yang terdiri dari golongan muda, dianggap lebih suka tinggal di pusat kota. Seiring semakin banyaknya lapangan pekerja kerah putih di perkotaan, permintaan hunian sesuai kriteria mereka juga meningkat. Meskipun dianut banyak pihak, pondasi pandangan ini terguncang hebat oleh kritik tajam yang disusun Smith. Menurutnya, penggunaan “kriteria” atau secara konseptual disebut rasionalitas individu, memiliki keterbatasan jika digunakan sebagai penjelas sebuah proses sosial yang kompleks. Tidak hanya terlalu sepele, pandangan ini secara empiris bahkan diragukan kebenaranya ketika diuji oleh Smith di tempat lain (1979: 539-541).

Baca Juga:
Buruh Tani di Selubung Mitos Agraria
Keringat Murah Buruh Jahit di Perdesaan Jawa

Menggantikan pandangan yang dikritiknya, Smith menjelaskan bahwa gentrifikasi pada dasarnya merupakan sebuah proses produksi komoditas properti yang masif. Masifnya skala produksi disebabkan oleh munculnya perlombaan antara developer dalam memanfaatkan kesenjangan sewa lahan yang tercipta. Perkembangan ekonomi dan pembangunan fasilitas publik di perkotaan membuat nilai potensial lahan meningkat signifikan. Nilai potensial dari sebuah lahan tidak dapat diraih secara maksimal ketika hanya digunakan untuk permukiman masyarakat miskin atau dibiarkan kosong. Konversi atau pembangunan properti yang bersifat higest and best use sesuai kondisi wilayah, menjadi satu-satunya cara efektif untuk menyerap potensi secara maksimal. Developer, pemilik lahan, bank, dan agen properti yang paham dengan kesenjangan ini, akhirnya saling bekerja sama untuk memproduksi properti (Smith, 1979: 545-546). Koalisi ini juga tidak jarang menggandeng pemerintah di wilayah agar bersedia menyediakan regulasi yang memuluskan langkahnya. Apabila daerah pariwisata maka mereka membangun hotel atau villa mewah. Jika pusat perekonomian, pilihan terbaik diantaranya seperti mall, gedung perkantoran atau apartemen. Tingginya harga penjualan properti, menjadi cerminan tingkat keuntungan yang diperoleh dari kesenjangan. Villa mewah yang dibangun oleh pekerja konstruksi informal di Bali, bahkan dibanderol dengan harga fantastis antara Rp,11 hingga Rp 85 Milliar.

Keuntungan akan semakin maksimal ketika biaya konstruksi mampu ditekan lebih murah oleh developer dkk. Pekerja merupakan unsur produksi yang paling dapat dikorbankan untuk menurunkan biaya. Dibandingkan dengan pekerja formal, pekerja informal jauh memiliki ongkos yang lebih murah (Lukmanasari & Soemardi, 2016:94). Pekerja informal tidak perlu diberikan berbagai jaminan dan hak pekerja, yang seringkali membuat beban ongkos produksi meningkat. Berkat “keunggulan” ini, penggunaan pekerja informal dalam proses konstruksi menjadi tren umum di berbagai tempat. Kebutuhan pekerja konstruksi yang cukup banyak, developer tentu akan kehilangan banyak keuntungan jika mempekerjakan mereka lewat sistem formal. Selain itu, pekerja konstruksi informal memiliki fleksibilitas karena bersedia menyesuaikan berbagai keadaan konsumen. Ketika dana konsumen macet, mereka siap untuk berhenti bekerja.

Pembangunan masif selama proses genrtifikasi membutuhkan suplai pekerja dalam jumlah besar. Aktivitas renovasi permukiman lama hingga pembangunan gedung-gedung baru tidak dapat dikerjakan hanya dengan 1-2 orang saja. Breslin menemukan, penggunaan pekerja informal rupanya dapat membuat perusahaan developer menghemat ongkos tenaga kerja hingga tiga kali lipat (dalam Curran, 2004; 1255).  Sesuai dengan dugaan Curran, ketersediaan buruh murah akibat relasi kerja informal mampu membuat gentrifikasi berjalan semakin pesat (2004:1244).

Sebagai negara penyedia pekerja informal dalam jumlah besar, kegiatan konstruksi berbagai jenis properti di Indonesia berkembang dengan pesat. Colliers International melansir, jumlah proyek apartemen sepanjang tahun 2016 meningkat hingga 16,8 persen atau bertambah 19.272 unit. Jika ditotalkan dengan data di awal tahun 2017, apartemen di Indonesia jumlahnya telah mencapai lebih dari 176.178 unit (CNN Indonesia, 6/1/2018). Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat, hanya sekitar 41 hotel pada tahun 2010 di Yogyakarta. Namun pada akhir tahun 2017, jumlahnya membengkak empat kali lipat menjadi 174 hotel. Di tahun sebelumya, apartemen dan condotel tiba-tiba juga ikut muncul hingga 21 unit.

Nelangsa Pekerja Konstruksi Informal

Kemunculan gentrifikasi seringkali masih dianggap sekedar proses alami perkotaan. Anggapan yang menyepelekan ini, membuat berbagai komponen penting penyangga proses gentrifikasi rentan terabaikan. Gentrifikasi juga dapat dimaknai sebagai proses produksi masif properti. Selain modal, pekerja konstruksi juga merupakan unsur vital yang memainkan peran selama proses produksi properti. Sayangnya sebagai elemen penting, pekerja konstruksi tidak pernah mendapatkan sorotan secara serius. Mereka biasanya mendapat sorotan hanya ketika terjadi kasus kecelakaan kerja yang cukup viral. Mirisnya kebanyakan komentar termasuk juga para akademisi justru selalu menyalahkan kelalaian pekerja konstruksi. Mungkin tidak banyak dari mereka yang tahu, jika pekerja konstruksi justru memiliki kondisi pekerjaan paling rentan karena berada dalam relasi informal.

Baca Artikel Terkait:
Populasi Terbuang, Informal Proletariat dalam Kuasa Negara Neoliberal
Aksi ‘Grebek Pabrik’: Dari Kesadaran Spontan Menuju Kesadaran Revolusioner?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 mencatat pekerja konstruksi di Indonesia jumlahnya 1.623.773.301 jiwa. Jumlah ini meningkat signifikan sebesar 59,5% jika dibandingkan tahun 2010 yang hanya 990.358.361 jiwa. Dari sekian banyak jumlah pekerja konstruksi hari ini, hampir seluruhnya berada dalam relasi kerja informal. Di tahun 2010 jumlah mereka mencapai 99,91%, sedangkan di tahun 2016 mencapai 99,93%.

Pekerja menjadi pihak yang paling banyak menerima kerugian ketika berada dalam relasi informal. Laporan International Labour Organization (ILO) di kota Nairobi, Kenya, menunjukan jika para pekerja informal sektor konstruksi kehilangan berbagai fasilitas yang seharusnya menjadi haknya. Mulai dari kontrak pekerjaan, jaminan sosial, asuransi kesehatan, dan hak-hak pekerja seperti cuti sakit tidak mereka peroleh. Padahal selama bekerja, berbagai masalah kesehatan tidak pernah berhenti mengancam mereka (Mitullah & Wachira,2003: 44). Begitupun yang ditemukan di Indonesia, bahkan sekedar untuk uang makan juga tidak mereka peroleh (Lukmanasari & Soemardi, 2016:94).

Keselamatan dalam pekerjaan ditangkap oleh pekerja informal sebagai tanggungjawab pribadinya. Anggapan ini lahir karena ketika bekerja mereka diharuskan menyediakan pakaian pengaman secara mandiri (Mitullah & Wachira,2003:41). Tentunya tidak semua dari mereka mampu menyediakan peralatan keamanan yang harganya cukup mahal. Mungkin untuk helm pelindung kepala, perusahaan penyedia atau kontraktor akan “meminjami” mereka. Tetapi dengan peralatan lain seperti seragam keselamatan, masker, kacamata, penutup telinga, hingga sepatu, seringkali harus mereka sediakan sendiri. Agar tidak perlu menambah pengeluaran, mereka lebih memilih menggunakan perlengkapan seadanya. Lebih sering sekiranya pekerja informal yang menggunakan sepatu sekolah butut ditemui di area konstruksi, daripada yang menggenakan sepatu safety. Lebih ekstrim lagi, mereka umumnya hanya mengenakan topi, kaos lengan panjang, dan sendal ketika mondar-mandir mengangkut bahan material.

Apabila terjadi kecelakaan kerja, nasib malang nan tragis pasti akan menimpa pekerja informal. Lantaran tidak memiliki jaminan asuransi dari perusahaan, otomatis biaya kesehatan menjadi tanggungan mereka sendiri. Perusahaan yang cukup bertanggungjawab terkadang masih memberikan santunan. Namun, santunan hanya bersifat pemberian yang bergantung pada kehendak hati si pemberi. Laporan Keselamatan Kerja tahun 2018 menunjukan, jika konstruksi merupakan salah satu sektor dengan tingkat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja tertinggi (ILO, 2018: 21). Berbagai tugas daam sektor konstruksi memilik sifat sangat berbahaya.

Selain kecelakaan kerja secara langsung, sektor konstruksi juga masih menyimpan segudang ancaman kesehatan jangka panjang. Pekerja konstruksi seringkali tidak menyadari bahaya dari mendengar suara bising setiap hari, ancaman terpapar bahan kimia, atau bahkan pengaruh rendahnya kualitas fasilitas sanitasi di tempat kerja. Dalam persaingan ketat untuk mendapatkan tender proyek, anggaran keselamatan kerja paling sering dikorbankan oleh kontrakaktor. Agar dapat menawarkan harga paling kompetitif, kontraktor cenderung untuk menekan habis biaya keselamatan kerja dan tidak jarang bahkan dihilangkan (Tirto.id, 26/01/2018). Hasilnya jarang sekali pekerjaan konstruksi yang memiliki standar keselamatan lengkap.

Jangankan segi keamanan, sektor konstruksi masih jauh dari kata layak dalam hal memberikan peningkatan kesejahteraan. Upah yang diperoleh pekerja informal dihitung berdasarkan jumlah hari bekerja sehingga meraka juga disebut sebagai pekerja harian lepas. Apabila dihitung perhari upah mereka memang lebih tinggi jika dibanding pekerja formal (Lukmanasari & Soemardi, 2016:94). Namun upah tinggi belum tentu berbanding lurus dengan kesejahteraan pekerja informal. Upah yang telat dibayarkan, seringkali harus dihadapi mereka dengan pasrah. Upah yang tinggi juga tidak sebanding dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Jam kerja mereka hampir selalu lebih dari 8 jam/hari. Untuk alasan mengejar target, mereka diharuskan bekerja setiap hari dalam seminggu. Sayangnya, kelebihan jam ini juga tidak pernah dihitung sebagai bentuk dari kerja lembur. Cerita dari Made (Bukan nama sebenarnya), perempuan 35 tahun, barangkali dapat sedikit memberi gambaran kehidupan berat yang mereka hadapi,

“….Yang paling sulit adalah, saya kadang kecapekan. Kadang saya enggak tahan lagi, saya cuma selonjoran lalu menangis. Kalau sudah begitu, saya terbayang betapa menyedihkannya hidup saya ….Kadang rasanya sedih, tapi saya enggak bisa kerja yang lain. Kalau saya enggak begini, keluarga saya enggak bisa makan….” (Vice.com, 11/9/2017).

Pekerja informal juga tidak pernah memiliki masa kontrak yang jelas dari perusahaan perekrutnya. Mereka hanya akan bekerja ketika perusahaan mendapatkan kontrak dari proyek konstruksi, jika proyek sepi maka mereka menjadi penggangguran hingga waktu yang tidak jelas. Gaji tinggi yang mereka dapatakan, tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga selama proses menunggu pekerjaan kembali (Mitullah & Wachira, 2003: 30-36).

Menginformalkan Pekerja Konstruksi

Tidak semua pekerja di sektor konstruksi berada dalam relasi informal. Bagian managerial dan administrtatif (pekerja kerah putih) bukan termasuk di dalamnya. Pekerja informal ialah mereka berposisi sebagai tenaga manual atau kasar yang bertugas mengerjakan berbagai pekerjaan teknis bangunan, seperti: mandor, tukang dan laden (pembantu tukang) (Lukmanasari & Soemardi, 2016: 92). Berbeda dengan bagian administratif, mereka tidak langsung terhubung sebagai pekerja kontrak dengan perusahaan. Hubungan mereka terbatas hanya kepada pengsuplai pekerja kepada kontraktor dan developer.

Baca Juga:
Beban Ganda dan Komodifikasi Perempuan dalam Kapitalisme
Tenaga Kerja Honorer di Pusaran Surplus Populasi Relatif

Apapun jenis pekerjaan yang dilakukan, tidak satupun dari mereka menginginkan bekerja di bawah relasi informal. Woman in Informal Employment: Globalising and Organizing (WIEGO) (2002) menemukan bahwa, pensuplai memang sengaja membuat relasi kerja bersifat informal untuk menghindari berbagai hak pekerja yang harus dibayarkan. Meskipun demikian, mereka tidak akan khawatir kekurangan suplai. Pengsuplai dapat memanfaatkan dengan baik ketersediaan pengangguran dalam jumlah besar yang ada disekelilingnya. Relasi personal menjadi sarana paling efektif untuk menjerat mereka. Bukanlah menjadi hal asing apabila pasukan pekerja informal dalam sebuah proyek konstruksi, biasanya masih memilki ikatan kekeluargaan atau berasal dari daerah yang sama (Mitullah & Wachira, 2003: 33)

Curran menemukan jika pekerja konstruksi informal di negara maju berasal dari bekas buruh formal di industri manufaktur (Curran, 2004; 1253-1255). Dalam era deindustrialisasi saat ini, eksistensi pabrik tidak lagi dipandang penting oleh pemerintah kota. Ketika pabrik terpaksa ditutup atau dipindahkan ke wilayah pinggiran, pemutusan hubungan masal akhirnya melahirkan pengangguran baru dalam jumlah besar. Untuk tetap dapat bertahan hidup bersama keluarganya di kota, bekas buruh pabrik rela melakukan pekerjaan apapun termasuk menjadi pekerja informal di sektor konstruksi.

Di negara berkembang pekerja konstruksi informal jarang yang berasal dari sektor industri. Hasil penelusuran Vice di Bali, menemukan bahwa kebanyakan dari mereka berasal dari buruh pertanian yang menganggur ketika menunggu musim panen. Ketika berlangsung gentrifikasi di Bali, tidak sedikit buruh tani yang tersedot ke sektor konstruksi. Mereka memilih mengadu nasib untuk mendapatkan pemasukan yang lebih stabil sembari menunggu musim tanam atau panen. Tingginya ketimpangan penguasaan tanah di perdesaan dan banyaknya petani tanpa tanah seperti yang telah digambarkan dalam studi-studi kritis agraria (White & Wiradi, 1989; Pincus, 1996) membatasi pilihan para buruh tani untuk memilih pekerjaan yang lebih baik. Ujungnya mereka terpaksa menerima pekerjaan sebagai buruh bangunan mengingat pekerjaan sebagai buruh tani semata tidak cukup untuk menyambung hidup. Pertimbangan ini membuat mereka memutuskan bekerja dari pukul 07.00 pagi hingga penghujung hari sebagai laden, untuk memperoleh Rp. 80–120 ribu/hari. Tidak hanya laki-laki, perempuan yang memiliki beban ganda sebagai ibu rumah tangga juga ikut pergi bersama suaminya menjadi pekerja konstruksi informal. Meskipun mendapat tugas sama, namun upah perempuan masih tetap lebih rendah (Vice.com, 11/9/2017).

Mungkin hanya sedikit yang mengetahui, jika pekerja informal dalam sektor konstruksi kehilangan berbagai haknya sebagai pekerja. Absenya hak, memposisikan mereka sebagai pekerja paling malang jika terlibat kecelakaaan di tempat kerja. Tentu tidak satupun dari mereka menginginkan bekerja di sektor paling beresiko ini dalam relasi informal. Secara sewenang-wenang penyuplai membuat mereka dalam relasi ini. Berkat pertaruhan nyawa mereka, developer dapat meraup keuntungan paling maksimal selama proses gentrifikasi. Berbagai properti mewah nan megah hari ini, barangkali tidak akan terbangun tanpa menumbalkan pekerja konstruksi informal terlebih dahulu.

Referensi

Curran, W. (2004). “Gentrification and the nature of work : exploring the links in Williamsburg, Brooklyn”. Environment and Planning A. 36, 1243–1258.

Hampton, P. (2003). “Entry points for local tourism in developing countries: Evidence from yogyakarta, Indonesia”. Geografiska Annaler, Series B: Human Geography, 85(2), 85–101.

International Labour Organization. (2018). Meningkatkan Keselamatan dan Kesehatan Pekerja Muda

Lukmansari, S & Soemardi, B. (2016). “Studi upah dan beban biaya pekerja konstruksi di Indonesia (Studi kasus : pekerja konstruks gedung di pulau Jawa)”. Jurnal Media Komunikasi Teknik Sipil. 22, 87-98

Mitullah, W & Wachira, I. (2003). “Informal labour in the construction industry in Kenya : a case study of Nairobi”. ILO Working Paper.

Pincus, J (1996), Class Power and Agrarian Change : Land and Labour in rural West Java, London : MacMillan Press.

Smith, N. (1979).”Toward a theory of gentrification: A back to the city movement by capital, not people”. Journal of the American Planning Association, 45(4), 538–548.

White, B & Wiradi G. (1989). “Agrarian and Nonagrarian Bases of Inequality in Nine Javanese Villages”, in Agrarian Transformation : Local Process and the State in Southeats Asia, (Eds) G Hart A Turtoon and B.White, Barkeley : University of California Press.

Women in Informal Employment: Globalising and Organising. (2002). `Workers in the Informal Economy: Platform of Issues’. Geneva: ILO: International Labour Conference, June 2002.

Badan Pusat Statistik. 2016. Ringkasan statistik konstruksi.

Tirto.id. (26/1/2018). Rentetan kecelakaan kerja saat mengebut infrastruktur di era Jokowi. Diakses dari https://tirto.id/rentetan-kecelakaan-kerja-saat-mengebut-infrastruktur-di-era-jokowi-cDRn (7 Oktober 2018)

CNNIndonesia.com (6/1/2017). Permintaan lesu tapi jumlah apartemen menjulang 16,8 Persen. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170105184041-92-184402/permintaan-lesu-tapi-jumlah-apartemen-menjulang-168-persen (9 Oktober 2018)

Vice.com. (11/9/2017). Buruh bangunan penopang surga pariwisata Bali. Diakses dari https://www.vice.com/id_id/article/xwweda/buruh-bangunan-perempuan-penopang-surga-pariwisata-bali (2 Oktober 2018)

_____________________
Tulisan ini
sebelumnya dimuat di Majalah Basis edisi No. 11-12, Tahun ke-67, 2018
Dimuat ulang untuk tujuan memperluas gagasan.

Leave a Reply