Peterloo: Kuasa, Kapital, dan Kekerasan

‘Rise like Lions after slumber
In unvanquishable number –
Shake your chains to earth like dew
Which in sleep had fallen on you –
We are many – they are few.’ (
Percy Shelley, Masque of anarchy)

Bait di atas merupakan penggalan dari puisi yang ditulis oleh Percy Shelley (1892) dengan judul ‘Masque of Anarchy’. Bait puisi itu sempat digunakan sebagai slogan partai buruh sayap kiri di Inggris. Puisi tersebut dibuat karena terinspirasi dari peristiwa Peterloo Massacre. Sepenggal bait dari puisi tersebut menggambarkan kebangkitan kekuatan massa yang telah lama tertidur, terpuruk, terhisap, dan tertindas. Pada suatu titik jenuh tertentu, kesadaran massa bangkit untuk menggalang kekuatan dalam menegakkan keadilan dan kesejahteraan bersama.

Sekilas tentang film Peterloo merupakan sebuah film sejarah fenomena gerakan buruh di Inggris. Sejarah ini diangkat menjadi sebuah film epic dalam layar lebar pada tahun 2018 yang lalu dengan disutradarai oleh Mike Leigh. Film ini memiliki nilai dan makna yang bersejarah bagi para pekerja. Nilai-nilai yang terkandung dalam film ini dapat menjadi sebuah pembelajaran bagi kelas pekerja, mengingat kesadaran kelas pekerja belum sepenuhnya terbentuk di beberapa belahan negara.

Dalam catatan sejarah umum, peristiwa Peterloo dikenal sebagai peristiwa pembantaian yang terjadi di Lapangan St. Peter, Manchester, Inggris pada 16 Agustus 1819. Ketika itu, kavaleri berkuda menyerang kerumunan 60.000-80.000 massa yang berkumpul untuk meminta reformasi wakil parlemen. Massa yang berkumpul di lapangan St. Peter tersebut didominasi oleh masyarakat kelas pekerja yang bertujuan untuk mendengarkan orasi Henry Hunt dari kelompok radikal demokratik untuk pembaharuan parlemen Inggris yang kala itu sangat konservatif.

Film Peterloo menunjukkan peran utama kelas pekerja yang dominan terutama buruh pabrik tekstil di Inggris. Banyaknya masyarakat kelas pekerja membuat pemerintah dan otoritas Manchester takut akan pengaruh Revolusi Prancis dan ‘penghasutan’, terutama di barat laut Inggris, bahkan setelah kekalahan Napoleon. Dia juga menggambarkan ketidakadilan yang menimpa orang miskin melalui pengadilan yang dikendalikan oleh penguasa kala itu, yakni para borjuasi inggris. Tulisan ini hendak menunjukkan serta menjelaskan makna dan nilai yang penting dalam sejarah peristiwa Peterloo.

Kuasa dan Kepengaturan Elite

Peristiwa Peterloo lekat dengan peran kekuasaan pemerintahan model lama yang cukup kuat dan memiliki otoritas untuk mengatur kondisi masyarakat. Namun, sayangnya kekuasaan dan kepengaturan tersebut tidak sepenuhnya berpihak kepada kepentingan publik. Masih banyak kepentingan-kepentingan individu atau segelintir orang yang terselubung. Banyak dari para pejabat parlemen di Inggris merupakan kolega keluarga kerajaan yang memiliki tanah cukup luas (landlord) dan para borjuasi atau pedagang. Mereka memanfaatkan kekuasaanya dalam pemerintahan untuk menyalurkan kepentingan mereka, tidak lain tidak bukan yakni kepentingan bisnis mereka.

Peristiwa Peterloo terjadi karena pemerintahan kerajaan Inggris dalam depresi yang paling reaksioner. Ketakutan pemerintah kerajaan akan ide-ide demokratis dari Revolusi Perancis yang menyebar membuat pemerintah kerajaan Inggris sangat waspada terhadap gerakan pembebasan massa dan rakyat. Ada ketakutan abadi akan gerakan rakyat, yang mencerminkan ketakutan akan revolusi.

Pemerintah kerajaan tentunya memiliki tekad untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan mendasarnya. Friederich Engels (2005) dalam bukunya The Condition of The Working Class in England menyebutkan bahwa para borjuasi yang dekat dengan pemerintahan atau bahkan beberapa menjadi bagian dari parlemen membuat beberapa kebijakan atau undang-undang yang merugikan kelas pekerja di Inggris kala itu. Hal demikian tercermin dalam Undang-Undang Jagung atau yang dikenal sebagai Corn Law yang cukup memberi keuntungan bagi Pengusaha Pertanian (Capitalist Farmer) dan pemilik tanah.  Peraturan tersebut sangat menekan upah pekerja dan justru menjadi bencana yakni dengan naik turunnya harga barang. Hal demikian yang membuat kelaparan semakin parah di Inggris.

Industri, Eksploitasi, dan Depresi Ekonomi

Kondisi kemiskinan dan ketimpangan yang cukup tajam kala itu di Manchester ditengarai karena Sistem ekonomi dan logika produksi dalam industri di Inggris yang bercorak sangat kapitalistik[1] dan eksploitatif[2]. Hal tersebut yang selanjutnya menyumbang gejala ketimpangan dan kemiskinan di Inggris. Gejala tersebut cukup membuat keadaan ekonomi di Inggris cukup kacau. Pemerintah kerajaan dan parlemen kala itu lebih berpihak pada masyarakat bisnis membuat kondisi masyarakat kelas pekerja semakin sulit.

Kondisi ekonomi Inggris pada kala itu cukup kritis. Terlihat dari stagnannya keadaan ekonomi masyarakat kelas pekerja, sementara para pengusaha terus mengakumulasi keuntungan industrinya. Selain itu, terjadi demobilisasi ±300.000 tentara pasca perang yang kembali ke rumah tanpa pekerjaan, masuknya ±100.000 pekerja Irlandia yang terdiri dari anak-anak dan perempuan. Mereka ini yang kemudian menjadi tentara cadangan tenaga pekerja seperti yang disebut Karl Marx (1990) dalam karyanya Das Kapital.

Kekacauan sistem sosial ekonomi yang terjadi telah mengarah keapda titik depresi ekonomi. Kekacauan tersebut terjadi karena beragam faktor. Pertama, faktor yang terbesar adalah kekacauan sistem ekonomi yang kala itu sebagian besar digunakan di sektor industri di inggris. Beberapa sumber sejarah umum menyebut bahwa kekacauan tersebut merupakan krisis sistem kapitalisme pertama dan kehancuran finansial. Michael Robert (2016) menjelaskan dalam bukunya yang berjudul The Long Depression, bahwa kondisi depresi tersebut dikarenakan akumulasi kapital yang terjadi dalam siklus profitabilitas yang dijalankan di Industri oleh para borjuasi. Sedangkan kelas pekerja yang bekerja dalam industri tersebut tidak sadar bahwa dirinya tereksploitasi, karena tercurinya nilai lebih mereka. Situasi demikian yang membuat ketimpangan semakin tajam antara para borjuasi dengan kelas pekerja. Kedua, adalah faktor parlemen atau dari pihak pemerintahan yang cenderung memiliki keberpihakan pada kepentingan borjuasi dan elite politik.

Pada titik puncak krisis sosial, ekonomi, dan politik meletupkan sebuah gelombang protes massa yang cukup besar. Pada 16 Agustus 1819, di area terbuka dan luas yang sekarang menjadi Lapangan St. Petrus, Manchester, menjadi tempat bagi kemarahan dengan aksi damai lebih dari 60.000 demonstran pro-demokrasi dan anti-kemiskinan. Mereka datang untuk mendesak keberpihakan parlemen untuk membuat kebijakan dan keputusan untuk pengentasan dari kelaparan, kemiskinan, serta penciptaan lapangan pekerjaan. Adapun sebagian orang dalam pertemuan itu, hendak menyuarakan hak pilih universal yang merupakan tujuan utama, karena penyuaraan hak pilih dalam penentuan parlemen itu dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan, yaitu kehidupan yang lebih baik.

Stabilitas, Kekerasan dan Pemberangusan Hak Sipil

Cara kekerasan dan koersif dilakukan oleh parlemen untuk menciptakan stabilitas dan meredam kegaduhan dalam peristiwa Peterloo. Hal tersebut yang selanjutnya mendasari munculnya istilah ‘Peterloo’, dimaksudkan untuk mengejek para prajurit yang menyerang warga sipil yang tidak bersenjata.

Peristiwa Peterloo merupakan tindak kekerasan yang berujung pada pembantaian sipil  yang menjadi penanda  dan peristiwa penting dalam sejarah perburuhan di Inggris. Demonstrasi damai dari kelompok kelas pekerja dan para kelompok pembebasan diserang secara brutal dan dibubarkan oleh parlemen dibantu dengan milisi pribadi preman berkuda yang didukung dan didanai oleh tuan tanah dan pihak berwenang setempat serta adanya dengan dukungan diam-diam dari pemerintah. Demonstrasi sebagai sarana masyarakat sipil untuk mengekspresikan aspirasinya disambut dengan tindakan brutal. Kebrutalan tersebut yang merupakan bentuk pemberangusan hak sipil dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi.

Peristiwa Peterloo yang menjadi fenomena pembantaian sekaligus pemberangusan hak-hak sipil yang membuat John Edward Taylor kemudian mendirikan surat kabar The Mancheser Guardian di tahun 1821 atau yang sekarang dikenal The Guardian sebagai reaksi terhadap apa yang dilihatnya. Ketidakadilan itu dilakukan oleh para elite politik maupun pemiik modal yang saling bersekutu untuk menghisap masyarakat sipil.

Titik Balik Kesadaran Massa dan Kelas Pekerja

Kondisi sosial, ekonomi dan politik yang tidak stabil memicu gerakan dan sikap tidak puas dari masyarakat kepada parlemen. Ketidakstabilan tersebut terwujud dari fenomena kemiskinan, kelaparan dan ketimpangan yang secara nyata terjadi sebelum demonstrasi pecah di St. Peter, Manchester. Kelompok yang paling dirugikan dari ketidakstabilan kondisi tersebut adalah masyarakat yang kebanyakan adalah para kelas pekerja dengan upah cukup minim yang upahnya hanya dapat digunakan untuk bertahan pemenuhan kebutuhan 1 – 2 bulan berikutnya. Berbeda dengan kelompok masyarakat bangsawan dan juga borjuis yang masih dapat menyimpan pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih panjang.

Masyarakat sangat menyadari bahwa kekacauan kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Inggris dikarenakan pengendalian sistem sosial yang tidak adil. Kondisi demikian yang merangsang kesadaran massa bersatu mendorong untuk dilakukannya reformasi parlemen untuk menciptakan tatanan dan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang lebih baik. Salah seseorang yang menyuarakan kegelisahan tersebut dalam kumpulan massa yakni Henry Hunt. Ia merupakan salah satu orator, agitator, dan pembicara radikal Inggris yang dikenang sebagai pelopor radikalisme kelas pekerja dan pengaruh penting pada gerakan Chartist–an yakni gerakan kaum pekerja yang menuntut reformasi politik di Britania Raya antara 1838 dan 1848. Hunt dalam orasinya di lapangan St. Peter untuk menganjurkan reformasi parlementer dan pencabutan Undang-Undang Jagung.

Massa yang berkumpul di lapangan St. Peter untuk berdemonstrasi damai dan mendengarkan orasi Hunt yang menuntut reformasi parlementer, pencabutan Corn Law, hak pilih, hak kesetaraan atau persamaan. Adapun slogan spanduk yang dibawa yakni “Equal Laws, Equal Rights, Annual Parliaments, Universal Suffrage, and the Ballot.” Tidak lama, di hari yang sama demonstrasi damai tersebut pecah menjadi pembantaian massal Peterloo. Henry Hunt ditangkap karena dianggap sebagai pengkhianat tingkat tinggi pemerintahan, dan ia dihukum karena tuduhan konspirasi hasutan rendahan dengan dijatuhi hukuman 30 bulan di Ilchester Gaol.

Para sejarawan mengakui bahwa peristiwa Peterloo sangat berpengaruh pada orang-orang sipil biasa yang memenangkan hak pilih sehingga menyebabkan munculnya Gerakan Chartist dari yang menumbuhkan Serikat Buruh, dan juga menghasilkan pendirian surat kabar Manchester Guardian. Peterloo merupakan peristiwa epic yang menjadi pembelajaran gerakan massa dan demokrasi yang dilakukan untuk mencari keadilan dan hak sipil. Sekarang lapangan St. Peter menjadi Pusat Konferensi Manchester, dan ruang tersebut penuh dengan spanduk – Reform, Universal Suffrage, Same Representation and, By Touching The Heart, Love. Banyak tiang spanduk ditutup dengan topi merah yang merupakan simbol kebebasan yang kuat pada saat itu. Setelah peristiwa itu, penyair romantis radikal yang hebat, Percy Shelley (1892) secara gamblang menyerang pemerintah dan kelas penguasa dalam sajaknya yang terkenal yakni Masque of Anarchy, ayat terakhir yang bergema dalam slogan kampanye saat ini dari Partai Buruh sayap kiri Inggris:

“Rise like Lions after slumber In unvanquishable number – Shake your chains to earth like dew Which in sleep had fallen on you – we are many – they are few.”

“Bangkit seperti singa setelah tertidur, bangkit dalam jumlah yang tak terkalahkan – angkat rantaimu ke bumi seperti dan hancurkan seperti embun yang dalam tidur telah menimpamu – Kami banyak sedangkan mereka sedikit.”

Bait diatas tersirat menyampaikan pesan, untuk membangun kekuatan rakyat yang kuat dan tak terkalahkan yang selama ini telah tertidur. Kekuatan tersebut digunakan untuk menghancurkan rantai yang selama ini membelenggu kehidupan seperti ketidakadilan, pembungkaman, dan lainnya. Bait tersebut memberikan suatu kepercayaan bahwa massa rakyat yang didominasi kelas pekerja bahwa mereka adalah kekuatan sosial yang dominan. Kekuasaan yang kala itu didominasi oleh elite dalam hal ini adalah borjuasi dan elite bangsawan dapat direbut oleh massa rakyat kelas pekerja guna menciptakan kondisi sosial yang adil dan pemerataan kesejahteraan.

Peristiwa Peterloo dapat digunakan sebagai sebuah pembelajaran mengenai demokrasi dan peran dari kelas pekerja. Mengingat kelas pekerja di Indonesia belum sepenuhnya memiliki kesedaran revolusioner untuk mengubah kondisi yang lebih baik. Ketidaksadaran dan kurang bersatunya kelas pekerja membuat kekuatan elite pemilik modal semakin kuat dan leluasa melakukan eksploitasi kepada pekerjanya. Kelas pekerja dapat menjadi salah satu kekuatan yang cukup signifikan untuk menciptakan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang baik dan mendorong pemerataan kesejahteraan masyarakat. Kondisi demikian seperti yang dilakukan oleh beberapa negara di Eropa. Di beberapa wilayah Eropa, kelas pekerja memiliki kekuatan untuk mereduksi kebijakan-kebijakan yang merugikan publik dan tentunya kelas pekerja. Hal ini cukup signifikan karena sebagian besar masyarakat adalah kelas pekerja, oleh karena itu kesejahteraan kelas pekerja merupakan salah satu representatif dari kesejahteraan masyarakat umum.

Referensi

Engels, F. (2005). The condition of the working class in England. Routledge.

Marx, Karl. (1990). Capital: a critique of political economy Vol. I. Penguin Books.

Parslow, Kevin. (2018, Oktober 12). Peterloo Film Exposes Bloody Nature of Capitalism. Diakses dari https://www.socialistparty.org.uk/articles/28097/12-10-2018/peterloo-film-exposes-bloody-nature-of-capitalism.

Peterloo Bicentenary. (2019, Agustus 16) diakses dari  http://www.peterloomassacre.org/history.html.

Roberts, M. (2016). The long depression: Marxism and the global crisis of capitalism. Haymarket Books.

Roberts, M. (2019, Agustus 16). The Political Economy of Peterloo. Diakses dari https://thenextrecession.wordpress.com/2019/08/16/the-political-economy-of-peterloo/.

Shelley, P. B., Hunt, L., & Wise, T. J. (1892). The masque of anarchy. Publ. f. the Shelley Soc. by Reeves & Turner.

Smith, A. (1970). An Inquiry into the Nature and Cause of The Wealth of Nation. Penguin Books

[1] Kapitalistik menunjukkan sistem dengan corak kapitalisme atau memiliki keuntungan yang cukup besar kepada pemilik modal dalam sebuah industri atau organisasi sektor bisnis.

[2] Eksploitatif dimaksudkan sebagai kegiatan eksploitasi para pekerja/buruh di sektor bisnis yang diperdayakan, diatur-paksa, dan dicuri nilai lebih yang dihasilkan secara terus-menerus.

Leave a Reply