Pelanggaran HAM, Demokrasi & Benang Kusut Penyelesaiannya

Fenomena pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) hingga saat ini masih menjadi permasalahan yang belum jelas penyelesaiannya. Rentetan peristwa pelanggaran HAM yang dimulai dari pembentukan rezim Orde Baru yakni peristiwa 1965, pembunuhan Marsinah, tragedi Malari, pembunuhan Munir, pembunuhan Wartawan Udin, tragedi Tanjung Priok, tragedi Talangsari, Trisakti, Semanggi, penghilangan paksa aktivis Reformasi, kekerasan kepada aktivis dan masyarakat sipil dan masih banyak lainnya yang masih belum juga terselesaikan.

Pasca reformasi watak-watak Orde Baru masih bisa kita rasakan dan tidak sepenuhnya mereka hilang, justru berganti baju reformis bertindak predatoris untuk berkuasa. Hingga kini, rentetan kasus pelanggaran HAM belum juga menemui titik terang. Benang kusut penyelesaian yang dijanjikan penguasa tiap periode pemilihan presiden, hanya menjadi buaian untuk menarik simpati massa dan dukungan untuk kembali berkuasa. Sengkarut permasalahan tersebut seakan menjadi potret buram penegakkan hukum dan HAM di negara yang katanya demokratis seperti Indonesia ini. Namun, jika melihat rentetan kasus kemanusiaan yang belum juga tuntas, maka patut dipertanyakan demokrasi apa yang dipakai? Sistem demokrasi yang melindungi elite penguasa atau rakyatnya? atau sistem demokrasi yang melindungi oligark atau masyarakat kecil?

HAM dan Kondisi Demokrasi Saat Ini

Pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu dan belum terselesaikan hingga sekarang, menjadi luka bagi sebagian masyarakat. Hal ini yang akan menjadi persoalan dalam bagi sebuah bangsa seperti luka yang terus dibiarkan dan menjadi busuk tahun kian tahun. Para pegiat sosial HAM, YLBHI, Amnesty, Kontras, Aksi Kamisan dan juga yang lain, bersama korban yang tetap merawat memori kolektif untuk terus mengingat bahwa ada sebuah tindak ketidakadilan dan negara seakan abai untuk menyeesaikannya. Padahal, sesuai dengan mandat Pancasila sila kedua telah dijelaskan poin ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’. Jikalau negara tetap abai terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM dan isu kemanusiaan, serta tidak dengan tegas memutuskan perkara dengan adil maka peradaban yang dibangun dalam negara tersebut hanyala palsu atau ilusi belaka.

Setiap kamis, dengan payung hitam dan panji-panji menuntut keadilan terus digelar di depan Istana Presiden guna mendapatkan perhatian birokrasi pemerintahan. Aksi Kamisan tersebut menjadi salah satu bentuk suatu langkah untuk mengingtkan negara, dalam hal ini pemerintah untuk merespon dan menyelesaiakn sekelumit permasalahan HAM di Indonesia, baik yang lampau maupun baru-baru ini (Matahari, 2018). Negara pun juga tak kunjung merespon aspirasi atau suara-suara para pegiat HAM dan kemanusiaan. Bahkan, orang-orang desa di Rembang yang menuntut keadilan hingga ke Istana Presiden untuk menyuarakan ruang hidupnya yang dirampas oleh Pabrik Semen pun juga tak kunjung digubris.

Kebebasan merupakan salah satu indikator dari nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi. Kebebasan masyarakat sipil untuk bersuara, berekspresi, berserikat dan lainya. Kebebasan itu pula juga salah satu nilai dari HAM. Indonesia, dalam pengukuran status kebebasan (Freedom Status) di dunia, pada tahun 2018 teratifikasi termasuk golongan negara yang cukup terbuka, dengan agregasi skor 64 dari besaran 100. Capaian agregasi tersebut diperoleh dari rating kebebasan 3/7, kebebasan politik 2/7 dan kebebasan sipil 4/7.

Namun, di lain sisi Ken Aura Matahari, Perwakilan Amnesty International Indonesia dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP (11/12/2018) menunjukan bahwa permasalahan tingginya tingkat korupsi, pembredelan kebebasan berekspresi, diskriminasi yang masih kuat, kekerasan terhadap aktivis atau masyarakat sipil dan impunitas menjadi permasalahan yang masih dihadapi oleh Indonesia. Hal tersebut yang kemudian menjadi sebuah simpulan sementara tentang kondisi Indonesa bahwa belum sepenuhnya belum baik-baik saja dalam berkehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Dalam momen politik atau pesta demokrasi, nilai dan jargon HAM digunakan sebagai simbol dan panji untuk meraup suara. Agar tetap didukung dengan menyuarakan kemanusiaan, namun ketika jadi belum sepenuhnya dapat terjamin permasalahan HAM digunakan sebagai isu dan pembahasan prioritas dan teramat penting. Karena permasalahan atau pelangaran HAM terdahulu jika tidak diselesaikan maka akan menjadi luka yang teramat dalam bagi masyarakat.

Kusutnya Penyelesaian HAM

Penyelesaian kasus HAM yang tak kunjung usai menjadi beban negara untuk menyeleseikannya. Beragam permasalahan salah satunya yakni politik dan hukum menjadi satu dasar mandeknya penyelesaian HAM di Indonesia. Bukti yang sulit ditemukan menjadi penyebab penyelesaian kasus pelanggaran HAM tidak bisa diungkap secara menyeluruh. Bukti semakin sulit ditemukan karena orang-orang yang diduga menjadi pelaku atau jembatan pelaku (mediator) juga tidak diketahui keberadaannya. (Danusubroto dalam Vebriyanto, 2015).

Selain itu, Al Araf, Direktur Imparsial menjelaskan bahwa ada 5 faktor yang menurutnya menjadi sumber permasalahan mandeknya penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Pertama, ia menilai, tidak adanya kemauan politik untuk menjadikan agenda HAM sebagai agenda penting dalam masa pemerintahannya. Kedua, yakni adanya pragmatisme politik menempatkan HAM dalam dinamika transaksional. Sehingga, penyelesaian Kasus HAM terbentur dengan negosiasi dalam level elite politik. Ketiga, lemahnya kewenangan Komnas HAM menjadi salah satu penghambat penyelesaian kasus HAM masa lalu, karena Komnas HAM hanya sebatas melakukan penyelidikan bukan penegakkan hukum, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 89. Keempat, perhatian publik terhadap isu dan agenda HAM berkurang. Sehingga permasalahan HAM dianggap hal yang biasa dan tidak menjadi penting. Kelima, belum tuntasnya reformasi hukum seperti agenda reformasi peradilan militer yang menjadi penghambat upaya penyelesaian kasus HAM. (Araf dalam Putra, 2016)

Penyelesaian yang mandek diikuti dengan meluasnya permasalahan HAM ditengah reorganisasi kepentingan akumulasi capital dan penguasaan tanah. (St. Tri Guntur Narwaya, dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM 11/12/2018)

Di lain sisi, permasalahan kelembagaan masyarakat pun menjadi permasalahan penyelsaian kasus pelanggaran HAM. St. Tri Guntur Nurwaya, pakar komunikasi menganggap bahwa Lembaga/Institusis yang bergerak di bidang HAM dewasa ini menjadi fetisme, formal, legalis, prosedural teknis. Bahkan, kehilangan ruh dan spirit Lembaga Advokasi HAM yang dicontohkan pada proses gerakan-gerakan politik kala itu di tahun ’70 – ‘90 an. Cangkang moral lembaga dan simbol tetap dipertahankan, tapi esensi atau ruh energi yang besar yakni moral politik HAM itu hilang. Ketergantungan finansial kelembagaan seperti ormas sipil dan NGO menentukan diskursus HAM, bahkan menentukan kriteria dan kepentingan para pendonor finansial itu sendiiri (Petras dan Veltmeyer, 2014).

NGO juga tidak menjadi gerakan politik yang advokatif, seperti di tahun ‘70, ’99, dan 2000-an, justru sekarang menjadi think tank, konsultan dan knowledge sector. Seperti turut andilnya mereka dalam perancangan aturan Undang-Undang atau Perda, dan dapat dibilang perjuangan lewat dalam. Namun hal tersebut tidak sepenuhnya masif untuk menyelesaiakan permasalahan, karena rawan di amputasi dan sabotase gerakan dari dalam, hal tersebut yang membuat perjuangan HAM menjadi dilemahkan (Narwaya, 2018). Ini yang kemudian di sebut oleh James Petras dalam bukunya Imperialisme abad 21 yakni dengan Depolitisasi NGO:

“Konsultan menjadi  jaring pengaman para intelektual yang turun mobilitasnya, bahkan tidak tanggung-tanggung lembaga konsultan intelektual yang berada di ornop menjadi lidah pemanis untuk memuluskan kebijakan-kebiijakan neoliberal” (James Petras dan Henry Veltmeyer, 2018)

Menyoal tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Dengan beragam faktor dan alasan yang membuat kusutnya penyelesaian HAM menjadi refleksi dan evaluasi untuk membuat sebuah gerakan yang lebih progresif guna dapat menyelesaiakan kasus pelanggaran HAM. Sejauh ini, hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus pelanggaran HAM masa lalu, terbentur di Kejaksaan Agung.

Penutup

Demokrasi yang merupakan salah satu bentuk dari kekuasaan rakyat, harus kembali ditegakkan setegak-tegaknya. Beragam hal permasalahan relasi kuasa dan kepentingan kelompok yang kerap menodai esensi dari makna demokrasi harus dilawan. Degan mengakkan kembali demokrasi dan senantiasa memperjuangkan nilai demokrasi, bersama hal itu pula kedaulatan rakyat akan terbangung.  Hak-hak Asasi manusia sebagai hak dasar adalah produk perjuangan rakyat secara sadar.

Berbagai hal yang telah dipaparkan di atas menunjukan bahwa demokrasi dan penegakan HAM tidak akan pernah selesai jika hanya dengan menadahkan tangan berhadap political will dari elite. Benang kusut penyelesaian pelanggaran HAM juga tidak akan lurus jika hanya mengandalkan NGO-NGO yang seringkali didikte oleh kepentingan donor. Oleh karena itu, gerakan rakyat pekerja adalah garda utama untuk membentuk demokrasi sejati yang bertopang pada penghargaan nilai-nilai kemanusiaan. Dikarenakan para pekerjalah yang selama ini sering menjadi objek kekerasan dan pelanggaran HAM. Sehingga menjadi tantangan kita bersama untuk membangun gerakan kelas pekerja yang kuat.

 

Daftar Pustaka:

Diskusi Publik MAP Corner-Klub MKP UGM dengan Ken Aura Matahari, Perwakilan Amnesty International Indonesia. Di Magister Administrasi Publik – Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 11 Desember 2018.

Diskusi Publik MAP Corner-Klub MKP UGM dengan St. Tri Guntur Nurwaya, Pakar Komunikasi Yogyakarta. Di Magister Administrasi Publik – Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 11 Desember 2018.

Freedom House. 2018. Indonesian Statistic Freedom Status.

Petras, James dan Henry Veltmeyer. 2014. Menelanjangi Globalisasi: Sepak Terjang Imperialisme Abad 21, Terj. Globalization Unmasked: Imperialism the 21’st Century. Bantul: Kreasi Wacana.

Putra, Luthfy Mairizal. 2016. Faktor Penghambat Penegakan HAM di Indonesia. (Online). https://nasional.kompas.com/read/2016/12/09/22261581/direktur.imparsial.ada.5.faktor.penghambat.penegakan.ham.di.indonesia. Diakses pada Februari 2019.

Vebriyanto, Widian. 2016. Sebab Pelanggaran HAM Sulit Terungkap. (Online). https://politik.rmol.co/read/2015/08/21/214213/Ini-Sebab-Pelanggaran-HAM-Sulit-Terungkap-. Diakses pada Februari 2019.

Leave a Reply