Menghadang Kembalinya Dwifungsi ABRI Melalui Reformasi TNI

Sejak rezim Soekarno, Soeharto hingga era Reformasi, persoalan militer hampir selalu menjadi topik pembicaraan publik. Salah satunya adalah persoalan tentang surplus perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI), pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan represifitas militer. Persoalan surplus perwira TNI ini saja hingga akhir tahun 2018 masih menjadi satu dari sekian persoalan di negeri ini. Setidaknya tercatat ada 150 perwira berbintang dan 500 kolonel tanpa jabatan. Perwira itu tersebar di matra darat, laut, dan udara (BBC, 2019). Sebagai jalan keluar, alih-alih melakukan pensiun dini, pemerintah justru menambah jangka waktu pensiun para perwira TNI tersebut. Bahkan sebagian dari mereka direkrut ke dalam institusi pemerintah pada Lembaga/Kementerian (K/L) sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini menimbulkan dilema bagi institusi sipil, regenerasi ASN di institusi sipil sepatutnya menjadi domain sipil. Kehadiran militer di institusi sipil ini menjadi pertanyaan besar akan komitmen pemerintah terkait arah reformasi TNI, maupun reformasi birokrasi.

Hal itu dinilai akan memicu kembalinya Dwifungsi ABRI sebagaimana yang terjadi pada era Rezim Soeharto. Pemerintah mengklaim bahwa upaya tersebut bukan membangkitkan Dwifungsi tapi murni atas permintaan K/L. Pelibatan anggota militer dalam kelembagaan tersebut mereka tempatkan sebagai proses demokratisasi. Efek domino dari wacana ini berdampak pada dikeluarkannya Perpres 37/2019 dan wacana revisi UU TNI yang ujung-ujungnya menuai beragam kontroversi karena diyakini membuka keran peran militer di institusi sipil. Oleh sebagian pihak menilai lahirnya Perpres tersebut justru mengakomodir adanya praktik bagi-bagi jabatan bagi Perwira Tinggi non job, sehingga menimbulkan “konflik, friksi, dan masalah baru”. Adanya keterlibatan militer di institusi sipil tentu saja berpotensi mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berasal dari doktrin Dwifungsi ABRI. Sebagaimana diketahui bahwa doktrin Dwifungsi ABRI telah terhapus di awal masa Reformasi 98. Upaya pengembalian doktrin Dwifungsi ABRI jelas mencederai semangat Reformasi 1998 yang ingin mengembalikan serdadu ke barak dengan tujuan mengembalikan profesionalitas TNI sebagai aparat pertahanan negara.

Polemik Dwifungsi militer merupakan respon dan reaksi di kalangan masyarakat. Beragam aksi penolakan dilakukan sebagai bentuk protes dan kekecewaan. Antipati masyarakat terhadap militer bukan tanpa sebab. Kerisauan akan timbulnya konflik, friksi ataupun masalah baru ini bukan sekonyong-konyong hadir begitu saja. Hal yang paling potensial dengan adanya keterlibatan TNI di institusi sipil adalah munculnya militerisme yang merepresentasikan gaya militer dalam beragam persoalan sosial. Sejarah mencatat peran ganda militer ini sebagai bentuk agenda monopoli terhadap bidang sosial politik. Implikasi militerisme paling sahih adalah timbulnya sikap otoriter dalam bentuk kekerasan terhadap masyarakat sipil. Berulangkali konflik antara rakyat sipil vis a vis negara berawal dari ketidakpuasan masyarakat yang kemudian dihadapi dengan cara kekerasan melalui mengerahkan militer, seperti kasus Talangsari, Malari dan Tanjung Priok.

Bahkan keterlibatan politik militer masih saja berlanjut di era Reformasi. Hal ini dipaparkan Bhakti dkk., (2009) dalam tulisan mereka berjudul Military Politics , Ethnicity and Conflict in Indonesia. Sebut saja beberapa daerah rawan konflik di Indonesia yaitu; Papua, Aceh dan Maluku. Kekerasan terhadap warga sipil kerap kali dilakukan dengan memanfaatkan hubungan etnis-agama setempat. Berbagai tindak kekerasan kerap kali dilakukan oleh militer dan kepolisian. Pelibatan TNI membuat penanganan konflik sosial berkarakter represif,  tidak lain merupakan bagian dari prinsip keterlibatan politik militer yang lemah pengawasan sipil.

Tidak hanya ranah sosial politik, militer juga menguasai bidang ekonomi. Watak bisnis di tubuh Tentara Indonesia telah bercokol sejak awal kemerdekaan, sekitar tahun 1950-an (Crouch, 1999). Bahkan konsep Dwifungsi Militer di era Orde Baru ini ‘mematikan’ jiwa enterpreneurship masyarakat. Menurut Julianto Ibrahim (2012) hal ini karena Militer dengan jabatan dan senjatanya memiliki kedudukan atau daya tawar yang kuat dihadapan pengusaha atau para militer lain yang saat itu menjadi kapitalis birokrat. Seperti yang disampaikan oleh Surya Anta seorang aktivis PPR & FRI-West Papua dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP (12/3/2019) yang lalu, bahwasanya dalam konteks masa kini melawan militerisme adalah sama halnya melawan kapitalisme. Sekali napas dengan melawan kapitalisme serta perjuangan menghapuskan kelas. Keberadaan militer yang berdasar pada superioritas dan supremasinya diakui hanya ketika kelas-kelas sosial dalam masyarakat berkepentingan untuk menjaga privilese, modal, aset, alat-alat produksinya dari ancaman kelas yang telah mereka rugikan.

Secara sporadis, bentuk-bentuk monopoli militer kini telah merajai setiap sudut aktivitas publik dan sipil. Asumsi melayani publik hanya sebagai stimulus rencana dan aksi yang hanya mengejar profit dan interest individu semata. Intervensi demikian tidak lain oleh Grindle (dalam Deliarnov, 2006) sebagai model “Rent Seeking Bureaucrates”. Dalam konteks ini Deliarnov memaparkan perspektif ekonomi neoklasik yang mengasumsikan pelaku birokrat adalah manusia biasa yang memiliki emosi, tata nilai serta mempunyai seperangkat tujuan pribadi yang tidak selamanya goals yang ditargetkan didrive atas kebutuhan masyarakat, tapi disana sini diarahkan semata-mata untuk self interest mereka. Militer sebagai pengejawantahan birokrat mendominasi pasar guna mencari keuntungan jangka pendek. Dengan memanfaatkan segala akses, sumberdaya maupun jasa untuk mempertahankan status quo.

Jika menelisik pada sejarah Dwifungsi militer dalam sistem pemerintahan di era Soeharto, baik secara konstitusional dan filosofis Dwifungsi ABRI tidak dikenal adanya dikotomi fungsional antara ABRI dan sipil. Hal ini dikarenakan ABRI merupakan bagian integral sistem politik nasional. Oleh A. Muhaimin (1997) dalam tulisannya “Dwifungsi ABRI dan Demokrasi”, mengetengahkan bahwa hakikat peranan Dwifungsi ABRI merupakan upaya memperkecil dan bahkan secara gradual menghilangkan kendala-kendala yang ada dalam hubungan dengan peranan dan posisi kalangan sipil. Namun, dalam kerangka Dwifungsi ABRI ini sangat jelas terlihat ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban antara ABRI dan sipil pada bidang-bidang sosial, politik dan ekonomi. Pada pusaran inilah, ABRI memiliki “bobot kekuasaan” khusus sedangkan di kalangan sipil belum mempunyai mekanisme atau akses yang dirasakan memadai kepada fungsi bela negara, sedangkan ABRI memiliki akses dengan weight of power yang besar .

Pemerintah pada akhirnya berbenah, seiring dengan runtuhnya rezim orde baru ditandai dengan lengsernya Soeharto maka di awal era Reformasi (1999-2000) agenda demokratisasi Indonesia mulai diinisiasi. Yaitu dengan melakukan penyingkiran angkatan bersenjata dari ranah sosial politik dan mengembalikan mereka ke fungsi pertahanan negara. Namun upaya ini  hanyalah agenda fatamorgana belaka. Titik krusial runtuhnya demokratisasi ditandai dengan adanya “redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi peran ABRI dalam kebangsaan” sebagai paradigma sosial dan politik baru militer. Demokrasi di Indonesia justru sebagian dibangun oleh para aktor yang terkait dengan sistem otoriter sebelumnya. Sehingga kerap kali terjadi penyalahgunaan hak warga negara oleh aktor-aktor kuat yang terlibat terhubung dengan negara dan tingkat lokal. Para oligark penguasa Orde Baru dengan segera mereorganisasi struktur politik dan ekonomi dan membajak proses demokratisasi (Hadiz, 2005). Hal ini semakin mengaburkan semangat demokrasi itu sendiri. Warburton & Aspinall (2018) menilai hal ini sebagai kemunduran demokrasi karena dilakukan dengan pembungkaman kebebasan berekspresi. Adanya doktrin keterlibatan dalam penyediaan keamanan dan politik sipil disertai dengan opsi pelbagai peran dengan para pemangku kepentingan lainnya dalam proses pengambilan keputusan tentang masalah kenegaraan dan tata pemerintahan semakin menonjolkan Dwifungsi militer itu sendiri. Bahkan keruntuhan demokrasi tersebut sebagian besar didorong dari bawah  dengan adanya mobilisasi politik dengan memanfaatkan kalangan akar rumput.

Bahkan keterlibatan militer dalam keamanan politik ini dilakukan di “orde paling baru” Jokowi menjelang pemilihan umum pada tahun 2019. Jokowi mengarahkan lembaga-lembaga keamanan dan penegakan hukum terhadap oposisi demokratis. Sehingga batasan antara kepentingan negara dan kepentingan pemerintah menjadi semakin kabur. Seperti yang diungkap oleh Power (2018) dalam artikelnya “Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline” bahwa pemerintah telah mengubah strategi-strategi represif ini melawan kekuatan-kekuatan oposisi yang bekerja dalam batas-batas status quo yang demokratis. Kebijakan-kebijakan ini mewakili upaya yang disengaja dan semakin sistematis untuk menghambat dan memperlemah oposisi sah yang penting bagi sistem demokrasi dengan menggunakan polisi dan militer sebagai instrumen kampanye.

Adanya peran serta militer tersebut dasarnya adalah formulasi atau konstruksi legitimasi bagi militer untuk berperan dalam bidang-bidang non-militer. Menurut Najib Azka, dosen Fisipol UGM pada kesempatan diskusi MAP Corner-Klub MKP (12/3/2019), fungsi militer di negara-negara demokratis pada umumnya adalah alat atau kekuatan untuk pertahanan negara. Hanya saja di Indonesia militer di saat yang sama mendapat legitimasi peran non militer. Maka atas kontruksi legitimasi tersebut kemudian dibangun dominasi yang mengarah ke proses hegemoni. Bahwasanya peran militer adalah suatu kelaziman, kewajaran bahkan sesuatu yang mutlak terjadi. Lebih lanjut Azka menambahkan bahwa muara dominasi militer terletak pada struktur Komando Teritorial. Pada masa perjuangan kemerdekaan struktur Komando Teritorial memang efektif untuk melawan musuh, khususnya di era penjajahan Belanda. Guna mendukung perang gerilya, Komando Teritorial yang secara khusus berisi TNI Angkatan Darat (AD) saat itu diperlukan dan dibentuk menyebar di seluruh penjuru Tanah Air. Kendati demikian, di era demokrasi saat ini, Komando Teritorial TNI yang strukturnya mulai dari  Komando Resor Militer (Korem), Komando Distrik Militer (Kodim), maupun Komando Rayon Militer (Koramil) hingga Babinsa di pelosok desa tidak lagi memiliki fungsi yang jelas

Pada titik ini, perlu disadari bahwa reformasi TNI seyogyanya berjalan dua arah atau timbal balik, yakni tidak hanya menuntut profesionalisme TNI, tetapi institusi sipil pun harus memastikan bahwa kebijakan mereka searah dengan reformasi TNI. Selama ini, struktur Komando Teritorial yang menjadi kembaran struktur pemerintahan sipil masih dianggap ruhnya militer. Maka sepanjang ruhnya tidak dihapuskan maka militer terus berpolitik karena memiliki struktur yang menyeluruh dari pusat hingga ke daerah. Disaat yang bersamaan semangat demokrasi yang dibangun hanya berada pada titik hampa tanpa terminasi yang signifikan. Agenda reformasi sedianya bertolak pada konsep peran dan fungsi militer yang berbasis pada pertahanan negara, sementara masa depan reformasi TNI dipercayakan pada kemauan politik negara yang bias militerime. Reformasi TNI tanpa reformasi kekuasaan adalah ilusi supremasi sipil.

Daftar Pustaka

A.Muhaimin, J. (1997). “Dwifungsi ABRI dan Demokratisasi: Menuju Penyeimbangan”. Jurnal I-Lib UGM. Retrieved from https://repository.ugm.ac.id/26214/{Bibliography}{Bibliography}

BBC. (2019). “Ratusan Jenderal dan Kolonel TNI Menganggur: Antara Dwifungsi dan “Anggaran Gaji yang Hangus Sia-Sia.” Retrieved October 21, 2019, from BBC News Indonesia website: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47146488

Bhakti, I. N., Yanuarti, S., & Nurhasim, M. (2009). “Military Politics , Ethnicity and Conflict in Indonesia”. Centre Of Research on Inequality, Human Security and Ethnicity (CRISE), 62 (Conflict). Retrieved from http://www.crise.ox.ac.uk/ %0A

Crouch, H. (1999). Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Deliarnov. (2006). Ekonomi Politik (R. Medya & W. C. Kristiaji, Eds.). Jakarta: Erlangga.

Hadiz, V. R. (2005). Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta: LP3ES Indonesia.

Ibrahim, J. (2012). Militer Dan Kapitalisme Ersatz: Bisnis ABRI Pada Masa Orde Baru. Humaniora, 14(3), 286–294. https://doi.org/10.22146/jh.v14i3.765

Power, T. P. (2018). Jokowi’s authoritarian turn and Indonesia’s democratic decline. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(3), 307–338. https://doi.org/10.1080/00074918.2018.1549918

Warburton, E., & Aspinall, E. (2018). Explaining Indonesia’s Democratic Regression: Structure, Agency and Popular Opinion. Contemporary Southeast Asia, 41(2), 255–285. https://doi.org/10.1355/cs41-2k

Leave a Reply