Buruh Tani di Selubung Mitos Agraria

Surti, perempuan 42 tahun, terlihat tak henti-hentinya menghalau peluh dari dahinya. Siang itu terik matahari memang menghujam tanpa ampun, menandai musim panen padi kemarau di desa Njomplang. Meski berbalut pakaian lengan panjang, caping yang masih berfungsi meski sudah rombengan, dan syal penutup leher, tetap saja Surti mengeluh kepanasan sambil terus mengayunkan sabitnya ke hamparan padi yang menguning. Di hiasi deretan pegunungan sebagai latar belakang, gemericik air sungai kecil yang mengaliri sawah dan di kelilingi rerimbunan pohon kelapa yang hijau, kawasan persawahan padi di Jawa memang bakal memikat orang kota yang bosan dengan kepadatan. Tapi keindahan macam ini rasanya tak terlalu guna bagi Surti. Kerutan di sekujur tubuh dan wajahnya yang kelam menampakkan dirinya dua puluh tahun lebih tua dari umur sebenarnya. Fisiknya berkata ia telah kepayahan dihajar kerja keras tak berkesudahan.

Bersama suaminya, Juki, Surti bekerja dalam satu tim memanen padi milik juragan yang punya tanah luas beberapa hektar. Meski terik panas, tapi musim panen adalah saat yang ditunggu tidak hanya oleh Surti dan Juki, tapi juga buruh-buruh tani lainnya. Maklum saja, upah dari memanen padi menjanjikan penghasilan terbesar dibanding pekerjaan tani lainnya, mereka dapat bagian sepertujuh (moropitu) dari total hasil panen. Jika tak lagi musim panen, Surti dan suaminya bekerja jadi buruh untuk menanam, menyiangi, menyemprot dan memupuk padi. Karena tak punya tanah sendiri, mereka harus menerima jadi penyakap tanah milik orang lain seluas sekitar 3600 m2 (0,3 ha). Hasil panen dari penyakapan dibagi dua dengan pemilik tanah (maro) dimana Surti dan suaminya harus menanggung sendiri seluruh biaya produksi (pupuk, pestisida, dll). Penghasilan sebagai petani penyakap sama sekali tak mencukupi kebutuhan mereka berdua dan satu anaknya yang tengah duduk di bangku SMK. Tidak hanya jadi buruh tani, untuk menutup kebutuhan harian, suami Surti juga bekerja sebagai buruh bangunan ketika tidak sedang musim padi (Agustus–Oktober) sementara Surti kerja serabutan di manapun ada tawaran pekerjaan.

Baca Artikel Terkait:
Populasi Terbuang, Informal Proletariat dalam Kuasa Negara Neoliberal
Aksi ‘Grebek Pabrik’: Dari Kesadaran Spontan Menuju Kesadaran Revolusioner?

Nasib petani seperti Surti dan suaminya (petani dalam arti menanam dan menghasilkan output pertanian) berkebalikan dengan nasib petani lain seperti Cokro. Tanahnya sekitar lima hektar yang membuat tetanggnya seperti Surti, menjulukinya sebagai “Tuan Takur”. Traktornya sebanyak dua buah dengan dua sopir sebagai tenaga tetap. Di musim panen, lima puluhan buruh tani mesti dikerahkan untuk memangkas batang padi miliknya. Kebanyakan buruhnya didatangkan dari luar desa, yakni perdesaan di pegunungan yang amat jarang sawah dengan luasnya kemiskinan yang membuat mereka siap bekerja apapun meski dengan upah murah.  Buruh-buruh tani di desa Njomplang seperti Surti sudah tak mau kerja untuk Cokro yang dikenal luas sebagai “Juragan Pelit”. Tapi kepelitan-nya ini barangkali jadi rahasia Cokro untuk kian kaya raya. Tanahnya terus bertambah dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan dengan kelakar bangga, pria 56 tahun ini berujar “sampai tidak boleh lagi beli tanah di sini”. Menantunya dikenal sebagai pengusaha sukses di kota sementara putrinya yang paling muda masih kuliah di Kampus ternama Jakarta.

Mitos Agraria

Sekelumit cerita Surti dan Cokro dalam latar pertanian padi di perdesaan Jawa sepertinya amat jarang kita jumpai dalam narasi soal petani belakangan ini. Akademisi, pegiat NGO maupun aktivis politik yang kebanyakan dari kota, lebih sering menggambarkan perdesaan sebagai kawasan hijau nan asri, dengan segala keindahan alam dan keunggulan “kebijaksanaan lokal”-nya. Di desa yang seperti ini, dibayangkan petani-petani memiliki penguasaan sumberdaya-sumberdaya penting penghidupan (tanah, teknologi, modal, tenaga) yang relatif setara dan hidup dengan semangat “gotong royong” dan “guyup rukun” untuk kebaikan bersama. Tetapi sebagaimana nukilan cerita Surti-Cokro dari riset saya di Jawa Tengah dan berlimpah studi agraria kritis di Jawa (Stoler, 1977; Husken, 1988; White & Wiradi, 1989; Pincus, 1996; Breman & Wiradi, 2002) sudah tunjukkan, bayangan petani sebagai komunitas homogen seperti itu hanyalah mitos yang tak punya dasar.

Tetap meluasnya mitos agraria ini sebagian karena simpati intelektual yang kadang naïf terhadap nasib petani secara keseluruhan. Dengan menyamaratakan petani dalam satu sapuan analisis, seorang intelektual mampu membuat tagline yang menggetarkan: “Petani” vs ” Penguasa” (Rachman, 1999). Alasan yang lain sering berkaitan dengan soal “kemendesakan”. Ini biasanya disampaikan oleh aktivis agraria yang tengah mendampingi dan mengadvokasi petani dalam menghadapi ancaman penggusuran baik oleh negara maupun korporasi.  Aktivis ini mungkin paham bahwa petani terbagi dalam kategori sosio-ekonomi yang berbeda-beda dan karenanya kehadiran negara/korporasi juga memiliki dampak berbeda bagi tiap segmen petani yang berbeda. Tapi karena ada masalah darurat berupa penggusuran, kampanye yang dipakai kemudian juga menempatkan “Petani” vs “Negara-Korporasi”. Bagi serikat tani tertentu, kampanye “Petani” di satu sisi melawan “Penguasa/Negara” dan “Korporasi” biasanya mencerminkan karakter dari serikat tani itu yang berisikan mayoritas petani pemilik tanah. Lalu bagaimana nasib petani tak bertanah sekaligus buruh tani seperti Surti?

Di samping alasan praktis-politis di antara intelektual-aktivis dalam turut mempertahankan mitos petani homogen, mitos ini juga punya basis teoretiknya sendiri. A.V Chayanov, tokoh utama populisme agraria Rusia sudah sejak awal abad dua puluh menekankan watak utama petani yang berorientasi sekedar untuk subsistensi. Dengan mengabstraksikan pengalaman petani di Rusia, Chayanov melihat bahwa petani tidak mendasarkan proses produksi mereka dengan kalkulasi untung-rugi sebagaimana dalam ekonomi kapitalis. Kalkulasi yang mereka pakai ialah ‘rasio pekerja-konsumen’ (labor-consumer ratio) (Chayanov, [1966] 1986: 48). Di sini, rumah tangga petani akan menghitung produksi pertanian mereka berdasarkan jumlah pekerja (orang dewasa usia kerja) yang tersedia di dalam rumah tangga dan kebutuhan konsumen (pekerja plus tanggungannya: anak-anak dan orang tua yang sudah tidak bekerja) dalam unit rumah tangganya.

Baca Juga:
May Day & Komodifikasi Isu Perburuhan di Antara Para Elite
Perebutan Makna May Day dan Upaya Depolitisasi Kesadaran Kaum Buruh

Dari asumsi ini, rumah tangga petani dalam kondisi normal tidak akan memiliki insentif untuk memproduksi lebih besar dari kebutuhan keluarganya (akumulasi), karena untuk memproduksi lebih besar, akan berarti tiap pekerja di rumah itu mesti menanggung beban kerja lebih berat lagi. Sebaliknya, dalam kondisi krisis (alam maupun sosial) petani akan mengorbankan diri sendiri dengan ‘self-exploitation’ (mengurangi asupan konsumsi maupun menambah beban kerja per pekerja dalam rumah tangga) untuk menghindari pelepasan tanah yang mereka miliki. Dari sinilah, petani digambarkan sebagai komunitas homogen yang ulet menjaga etika subsistensi mereka sepanjang waktu. Karena sifatnya yang relatif homogen ini pula, petani dibayangkan menjunjung tinggi nilai solidaritas maupun budaya egalitarianisme seperti disebut Theodor Shanin (1973), salah satu pengikut Chayanov.

Diferensiasi Kelas Petani

Keterbatasan pandangan Chayanov yang segera terlihat ialah ketidakmampuannya untuk mengikutsertakan dengan serius aspek relasi sosial petani dengan sistem ekonomi, politik dan sosial yang lebih luas dari pertanian dalam lintasan historis tertentu. Dengan fokus pada siklus internal demografi rumah tangga petani, Chayanov menganggap kondisi sosial di luar rumah tangga itu sebagai sebatas ‘eksternal’, faktor luar yang seolah-olah hanya sesekali memberi peluang maupun hambatan bagi reproduksi rumah tangga petani. Ia memang memberi penjelasan soal respon ‘petani’ terhadap faktor ‘eksternal’ ini, tapi gambarannya hanya melulu pada strategi ‘adaptasi’ dari ‘petani’ yang wataknya dibayangkan tidak berubah sepanjang waktu (tetap subsistensi) (Bernstein, 2009: 65). Jadi dalam kondisi normal atau surplus, petani akan ‘adaptasi’ dengan mekanisme tertentu tanpa mengubah ‘watak subsistensinya’. Begitu pula dalam kondisi krisis, strategi ‘adaptasi’ dengan ‘self exploitation’ akan dilakukan tanpa mentransformasi ‘watak subsistensi’ itu sendiri. Katakanlah, dalam asumsi ini maka petani baik di jaman feodal maupun kapitalisme (dan jaman setelah kapitalisme) wataknya tetap sama: subsistensi. Sulit membayangkan konsepsi semacam ini tidak akan jatuh pada pengamatan ahistoris.

Pengamatan tentang petani dalam posisinya di tengah arus perubahan sosio-ekonomi yang lebih luas mensyaratkan perhatian yang serius terhadap perubahan proses relasi produksi pertanian dan non-pertanian dalam masa tertentu.Tidak ada jalan lain kita perlu mengarahkan mata kita pada dinamika relasi produksi kontemporer: kapitalisme. Sebagaimana sudah dibahas dalam literatur mengenai kemunculan kapitalisme yang tidak perlu diulang panjang lebar (Brenner, 1976, 1982; Wood, 2002), proses komodifikasi penghidupan yang menandai kemunculan kapitalisme agraria di Inggris mengubah watak petani pra-kapitalis secara fundamental. Komodifikasi membuat produksi dan reproduksi sosial petani hanya mampu dilakukan melalui produksi komoditas. Dalam produksi untuk pasar ini, sebagian petani dapat lebih produktif dan dengan demikian memungkinkan mereka memperoleh lebih banyak keuntungan dan memperluas akumulasi mereka sebagai petani kapitalis sedangkan petani lain gagal melakukannya dan oleh karena itu dipaksa untuk bergabung dengan buruh upahan. Di kawasan pinggiran kapitalis yang mengalami komodifikasi lebih belakangan, proses komodifikasi tidak selalu meniru hasil transformasi di Inggris yang menyisakan kapitalis dan buruh upahan dalam posisi “pertentangan kelas yang tipikal”. Di sini, sebagian petani gurem masih punya tanah meski mereka bergantung pada kerja upahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Walaupun begitu, komodifikasi sudah pasti mengubah watak petani (peasantry) di era pra-kapitalis yang mengantarkannya pada karakter baru di masa kapitalisme. Mereka tidak lagi bisa disebut peasant yang digambarkan orientasinya selalu sekedar untuk subsisten. Akibat komodifikasi, mereka menjadi apa yang disebut sebagai produsen kecil komoditas (petty commodity producers) yang dalam ungkapan deskriptifnya sering cukup disebut farmers (Habibi, 2018). Sebagai produsen kecil komoditas yang dikondisikan logika pasar, sebagian petani (farmer) dapat menjadi akumulator (kapitalis) yang terlibat dalam ekspansi reproduksi (expanded reproduction), sebagian yang lain jadi ‘petty bourgeoisie’ untuk sekedar mereproduksi secara sederhana kehidupan mereka (simple reproduction) yang dalam istilah kaum populis disebut subsistensi. Banyak yang lain meski masih punya secuil tanah, kadang berhasil dan kadang gagal memenuhi kebutuhan reproduksi sederhana, sehingga mengalami ‘tekanan subsistensi’ (subsistence squeeze) dan menjadi petani ‘semi-proletariat’ (Gibbon & Neocosmos, 1985; Kay, 1989) atau ‘petani marjinal’ (Bernstein, 2010). Sementara sebagian produsen lain yang yang kalah bersaing dipaksa kehilangan sarana produksinya sama sekali dan bergabung jadi buruh upahan untuk berjuang tiap hari sekedar bertahan hidup (survival).

Baca Juga:
Beban Ganda dan Komodifikasi Perempuan dalam Kapitalisme
Tenaga Kerja Honorer di Pusaran Surplus Populasi Relatif

Nasib Surti menggambarkan petani-pekerja yang mesti berjuang harian untuk bertahan hidup dengan mencari setiap pekerjaan upahan yang tersedia. Surti masih lebih sedikit beruntung punya hak garap tanah, karena banyak buruh tani lain sama sekali tidak memperoleh hak penyakapan tanah. Sebaliknya, kemampuan Cokro untuk mempekerjakan buruh-buruh tani sepanjang tahun, terus menambah tanah dan traktor memperlihatkan aktivitasnya mengakumulasi sebagai petani kapitalis.

Pengaturan Buruh Tani

Buruh tani seperti Surti di Indonesia memang sering tidak tampak oleh banyak orang perkotaan, meskipun mereka-lah penggerak utama roda produksi pertanian. Jumlahnya juga masih jutaan dan menjadi salah satu penyumbang terbesar kemelaratan di perdesaan. Sialnya, mereka seperti hilang dari pandangan negara. Berbeda dengan buruh pabrik manufaktur yang umumnya diatur oleh negara (formal), buruh tani seperti Surti bekerja tanpa campur tangan negara (informal). Jika buruh pabrik dilindungi aturan normatif berupa upah minimum, Surti menuntut upah minimum pun tidak bisa karena tidak ada payung aturannya. Ini makin mengenaskan mengingat upah buruh tani seperti Surti rata-rata lebih rendah dari upah buruh pabrik (The Economist Intelligence Unit, 2015).Kewajiban menyediakan jaminan sosial juga terbatas untuk buruh formal. Membayangkan Surti memperoleh hak cuti melahirkan atau pensiun di usia senjanya, nampak masih terlalu jauh. Terlebih, sarana berserikat untuk meningkatkan posisi tawar berhadapan dengan majikan dalam relasi industrial sebagaimana dijamin undang-undang, masih terbatas untuk buruh formal.

Himpitan terhadap buruh tani memaksa mereka bolak-balik mencari pekerjaan dengan upah lebih tinggi antara desa-kota. Sebagian akhirnya menetap di perkotaan jadi buruh bangunan atau pekerjaan informal lain. Bagi mereka yang tetap tinggal di desa, mereka kian menggantungkan reproduksinya dari kiriman uang sanak keluarga di perkotaan atau luar negeri. Mereka semua menjadi bagian dari ‘surplus populasi relatif’ yang tak terserap oleh lapangan pekerjaan layak di Indonesia, terombang-ambing dalam pekerjaan rentan sekaligus menjadi alat pendisiplinan pekerja di sektor inti produktif kapital (formal) agar tidak menuntut upah lebih tinggi maupun kondisi kerja lebih baik (Habibi & Juliawan, 2018).

Negara memang tidak sama sekali absen dari perdesaan. Salah satu intervensi negara yang paling populer ialah program ‘Dana Desa’. Tapi langkah itu bersandar kembali pada mitos agraria di depan: masyarakat desa yang relatif setara dan hidup gotong royong untuk kemakmuran bersama. Akibatnya jelas: alih-alih mengubah tatanan timpang di perdesaan, Dana Desa sekedar memberi uang untuk seluruh segmen sosio-ekonomi di desa tanpa bobot bantuan lebih bagi mereka yang paling lemah seperti Surti. Tidak jarang bahkan Dana Desa itu di korupsi oleh elite desa yang biasanya juga adalah petani kapitalis, atau dana digunakan untuk menambah kenyamanan para elite, seperti misalnya untuk membangun kantor desa yang megah.

Program Dana Desa juga bahkan dirayakan oleh banyak pegiat NGO dengan melihatnya sebagai bentuk perhatian pemerintah yang telah lama mengabaikan pembangunan di desa. Meski Dana Desa memang menyediakan lapangan kerja non-pertanian saat masa non-tanam yang memberi pendapatan tambahan bagi buruh-buruh di desa, tapi langkah semacam itu hanya bersifat sementara dan sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terbatasnya kesempatan kerja di perdesaan. Retorika pemerintah mengenai ‘reforma agraria’ juga hanya berujung pada sertifikasi tanah yang bukannya menghantam ketimpangan penguasaan tanah di perdesaan, tapi jaminan hak milik pribadi seperti itu sekedar memfasilitasi petani kapitalis untuk mengakumulasi lebih lanjut. Cukup suram memang, nasib buruh tani seperti Surti dan suaminya tak akan membaik selama mitos agraria yang menjadi dasar berbagai intervensi sosial di perdesaan itu tidak dikubur sekarang juga.

Referensi

Bernstein, H. (2009). “V.I. Lenin and A.V. Chayanov: looking back, looking Forward”, The Journal of Peasant Studies, 36L1), 55-81

___________, (2010). Class dynamics of Agrarian change. Sterling, VA: Kumarian Press.

Breman, J and Wiradi, G (2002), Good Times and Bad Times in Rural Java: Case Study of Socio-economic Dynamics in Two Villages towards the End of the Twentieth Century, Leiden: KITLV Press

Brenner, R. (1976). “Agrarian Class Structure and Economic Development in Pre-Industrial Europe”. Past & Present, (70): 30-75

_________, (1982). “The Agrarian Roots of European Capitalism”. Past & Present, (97). 16-113

Chayanov, A.V. ([1966] 1986). A.V. Chayanov on the Theory of Peasant Economy. Eds. D. Thorner, B. Kerblay and R.E.F. Smith, second edition. Madison, WI: Universityof Wisconsin Press

Gibbon, P. And M. Neocosmos, (1985), ‘Some Problems in the Political Economy of “African Socialism”’, in H. Bernstein and B.K. Campbell (ed.), Contradictionsof Accumulation in Africa. Studies in Economy and State, Beverley Hills: Sage.

Habibi, M (2018), “‘Petani’ dalam Lintasan Kapitalisme”, Indoprogress, https://indoprogress.com/2018/04/petani-dalam-lintasan-kapitalisme/

Habibi, M & Juliawan, B.H (2018), “Creating Surplus Labor: Neo-Liberal Transformation and the Development of Relative Surplus Population in Indonesia”, Journal of Contemporary Asia, 48 (4): 649-670

Husken, F (1988), Masyarakat Desa dalam Perubahan Jaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980, Jakarta: Grasindo.

Pincus, J (1996), Class Power and Agrarian Change: Land and labour in Rural West Java, London: MacMillan Press.

Rachman, N.F (1999), Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, Yogyakarta: KPA dan Insist

Shanin, T. (1973). “The Nature and Logic of the Peasant Economy: A Generalisation.” Journal of Peasant Studies 1(1): 63–80.

Stoller, A.L (1977), “Rice Harvesting in Kali Loro: A Study of Class and Labor Relations in Rural Java”, American Ethnologist, 4 (4): 678-698.

White, B & Wiradi, G (1989), “Agrarian and Nonagrarian Bases of Inequality in Nine Javanese Villages”, In Agrarian Transformations: Local Process and the State in Southeast Asia, (Eds) G Hart A. Turton and B. White, Barkeley: University of California Press

Wood, E. M., (2002). The origin of capitalism: A longer view. London ; New York: Verso.

_____________________
Tulisan ini
sebelumnya dimuat di Majalah Basis edisi No. 11-12, Tahun ke-67, 2018
Dimuat ulang untuk tujuan memperluas gagasan.

Leave a Reply