Berebut Golput: Menilik Gerakan Protes Terhadap Pemilu di Indonesia

Diskursus tentang Golongan Putih (Golput) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di tahun 2019 telah menarik perhatian luas dibanding Pemilu-Pemilu sebelumnya. Para tokoh partai, birokrat, hingga akademisi memberikan tanggapan yang secara umum menyudutkan mereka yang memilih untuk tidak memilih (baca: Golput). Frans Magnis-susena sebagai filsuf dan rohaniawan menyatakan masyarakat yang memilih sikap Golput merupakan orang bodoh, tidak sehat secara mental, atau benalu dalam bermasyarakat.[1] Mengutip pendapat Made Supriatma[2], bahwa tulisan Magnis mewakili kecenderungan yang menempatkan Golput sebagai ancaman dari sikap apatis yang dilakukan, padahal Golput tidak seperti itu. Golput justru adalah tindakan yang aktif dan kritis dalam melakukan analisa sosial-politik suatu negara. Bahkan Golput pun dilindungi, sama halnya dengan hak untuk memilih. Ia dijamin oleh Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), UUD 1945, dan juga Undang­Undang Hak Asasi Manusia (HAM).

Golput merupakan gambaran protes dari masyarakat terhadap para kandidat dan pengusung mereka yang dinilai tak mampu menyelesaikan permasalahan riil di Indonesia. Bukannya berbenah terhadap kritik itu, Golput malahan dianggap kerugian bagi mereka yang merasa kehilangan suara dan menguntungkan bagi mereka yang merasa diuntungkan jika lawan kehilangan suara. Pada konteks itu Golput diperebutkan oleh para kandidat, terutama di Pilpres 2019. Jumlah suara Golput dinilai berpotensi menjadi bola salju yang terus membesar jika tidak ditangkal. Itu yang membuat para elite politik bersuara untuk menyerukan bahwa Golput adalah tindakan yang negatif.

Sejarah Golput di Indonesia

Istilah Golput pertama kali mencuat di Indonesia pada tahun 1971, ketika kontestasi politik pertama terjadi di era Orde Baru (Orba) saat Imam Walujo Sumali, menulis artikel “Partai Kesebelas untuk Generasi Muda” di harian KAMI edisi 12 Mei 1971[3]. Imam berusaha menawarkan gagasan untuk mencoblos partai kesebelas, yakni partai putih dengan mecoblos bagian putih pada sela-sela kesepuluh tanda gambar parpol dan Golkar. Tulisan Imam tersebut merupakan bentuk luapan kekecewaannya terhadap Pemilu 1971 yang menurutnya memuakkan. Arief Budiman serta beberapa aktivis 1966 juga turut memperbesar gagasan tersebut menjadi Golput yang dikenal sebagai gerakan protes terhadap kontestasi politik yang sedang berlangsung kala itu.

Asfar pada Jurnal Dialog Edisi 4 Desember Tahun II/2008 menyebutkan bahwa konsep Golput dapat dibedakan dengan perilaku non-voting.[4] Golput digunakan untuk merujuk pada fenomena berikut: 1) Orang yang tidak menghadiri tempat pemungutan suara sebagai aksi protes, 2) Orang yang menghadiri tempat pemilihan suara tetapi tidak menggunakan hak pilihnya secara benar, dan 3) Orang yang menggunakan hak pilihnya namun dengan jalan menusuk bagian putih dari kartu suara. Sementara non-voting ditujukan kepada perilaku tidak memilih karena tidak adanya motivasi untuk memilih. Maka dari itu, Golput menunjukan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah.

Popular Protest  & Tantangan Gerakan Golput

Berangkat dari sejarahnya, maka dapat ditelaah bahwa Golput adalah gerakan protes terhadap kekuasaan. Marwah Golput lahir dari rahim kekecewaan masyarakat yang bertransformasi menjadi gerakan protes.

Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Wawan Mas’udi, dosen Departemen Politik Pemerintahan, dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP pada tanggal 19 Maret 2019[5], bahwa gerakan seperti Golput di Indonesia dan di berbagai negara diawali sebagai popular protest.  Ini dapat dipahami sebagai gerakan protes masyarakat atas sebuah sistem politik yang sedang berkuasa karena tidak sanggup mengikuti perubahan cepat dalam masyarakat. Seperti misalnya adalah dinamika politik di Latin Amerika. Kejatuhan rezim-rezim otoriter dan kehancuran partai-partai politik mapan di Amerika Latin disebabkan oleh partai yang menguasai seluruh struktur politik yang ada, yang kemudian mendorong kekuatan-kekuatan sosial yang tidak terakomodasi dan terserap oleh kekuatan politik yang berkuasa lalu kemudian melakukan konsolidasi.

Contoh seperti kemenangan rezim Luiz Inacio Lula da Silva di Brasil, yang memenangkan kontestasi politik pada tahun 2002 berkat Partai Buruh (Partido dos Trabalhadores) yang berdiri sejak 1980, ketika kediktatoran militer sedang menguasai pemerintahan Brasil. Lula da Silva sendiri juga merupakan seorang buruh sejak umur 19 tahun. Sebagai pendiri Partai Buruh, Lula bergerak sebagai sayap kiri dalam dunia politik di Brasil. Perjuangannya tak mudah, Lula harus kalah tiga kali terlebih dahulu hingga akhirnya dapat memenangi Pemilu 2002[6].

Contoh lainnya adalah Presiden Bolivia saat ini, yakni Evo Morales yang menjabat sejak 2006 dan membawa perubahan besar di Bolivia. Ia dikenal sejak era rezim Jenderal Luis Garcia Meza di tahun 1980 yang berkuasa melalui kudeta dan bertindak kejam kepada petani koka. Morales bersama Serikat Petani Koka (Cocaleros) melawan kediktatoran tersebut. Pada tahun 1995 ia mendirikan partai politik yakni “Gerakan Menuju Sosialisme” (Movimiento al Socialismo atau biasa disingkat MAS). Dengan berbasis gerakan penduduk asli, MAS menyerukan nasionalisasi industri, legalisasi daun koka, dan distribusi sumber daya alam negara yang lebih adil. Berbeda dengan partai lain yang mempunyai modal berlimpah, MAS lebih banyak mengandalkan relawan dan konsolidasi gerakan sosial di akar rumput. Mereka meraih popularitas dengan aksi-aksi protes kepada rezim maupun penguasa politik yang tak menjawab aspirasi warga Bolivia di daerah pedesaan atau kaum miskin kota[7].

Kedua hal tersebut merupakan contoh gerakan yang diawali popular protest sehingga akhirnya dapat menggulingkan hegemoni partai politik yang berkuasa. Ekspresi dan ketidakpuasan publik tersebut itu pun akhirnya menjadi koreksi konstruktif terhadap kehidupan bernegara. Menilik dari pengalaman tersebut, menjadi sangat tidak tepat julukan yang disematkan bagi mereka yang memilih untuk golput; sebagai orang bodoh, just stupid, berwatak benalu, kurang sedap, bermental tidak stabil, psycho­freak, pengecut atau bahkan pengacau. Tentunya, agar sikap golput ini menjadi solusi rill, maka harus diiringi dengan usaha-usaha serius dan konkrit selanjutnya. Terutama dalam membangun politik alternatif. Tanpa hal tersebut Golput hanya menjadi nomenklatur belaka untuk mereka yang tidak berpartisipasi dalam Pemilu.

Golput & Sistem Politik di Indonesia

Sikap Golput pada Pemilu 2019 harus menjadi pertimbangan untuk masyarakat karena pada dasarnya sistem politik di Indonesia saat ini belum dapat mengakomodir kepentingan rakyat kecil. Ini terlihat berbagai polemik yang ada. Sadikin menyebutkan bahwa banyak paradoks dalam UU Pemilu saat ini, khususnya dalam bentuk Pemilu serentak saat ini.[8] Pemilu di Indonesia menganut prinsip demokrasi yang sangat liberal, yang ditunjukan dengan setiap individu memiliki hak satu suara. Namun, permasalahannya berdasarkan pernyataan dosen Fisipol UGM, Abdul Gaffar Karim, paradigma ini berbenturan dengan masyarakat Indonesia masih menggunakan pola pikir kolektif dalam mengambil keputusan politiknya, seperti mengikuti arahan pemimpin kelompoknya.[9]

Masyarakat Indonesia juga sering terjebak pada ketokohan figur-figur politik yang dianggap akan lebih baik, tanpa melihat lingkaran pendukungnya. Padahal, di belakang para kandidat Pemilu 2019 selalu diusung oleh para “oligark” yang mempunyai bisnis raksasa dan memiliki kepentingan masing-masing untuk melanggengkan akumulasi kapitalnya. Seperti pada kubu Jokowi-Ma’ruf, diusung oleh Surya Paloh, Harry Tanoesoedibjo, Luhut Binsar Pandjaitan, Oesman Sapta Odang, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie. Sedangkan Prabowo-Sandi, selain pasangan tersebut merupakan Oligark tambang, juga didukung oleh Andi Syamsudin Arsyad, Ferry Mursyidan Baldan, Maher Al Gadrie, Hashim Djojohadikusumo, Ferry Mursyidan Baldan, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto).[10]

Tokoh-tokoh tersebut menunjukan bahwa yang berpartisipasi pada Pemilu Indonesia adalah mereka yang mempunyai modal besar. Ini disebabkan oleh Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 11, yang mengatur tentang syarat-syarat pendaftaran dan verifikasi partai politik (parpol) peserta Pemilu 2019. Dalam aturan tersebut menyebutkan bahwa setiap parpol peserta Pemilu 2019 wajib memenuhi setidaknya 10 syarat yang sudah diatur. Tiga diantaranya, memiliki kepengurusan di seluruh Provinsi, memiliki kepengurusan paling sedikit 75% dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, dan memiliki kepengurusan paling sedikit di 50% jumlah kecamatan.[11] Dalam diskusi MAP Corner Selasa (19-03)[12], Sarinah, Juru Bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (FSEDAR), mengungkapkan hanya partai bermodal besar yang bisa memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu dan menduduki kursi parlemen dengan sistem seperti itu apalagi di tengah kondisi fragmentasi politik alternatif di Indonesia saat ini. Sehingga tidak berlebihan sekiranya kita menyebut Pemilu kali ini (lagi) adalah pestanya para oligark.

Penutup

Melihat kondisi yang telah disebutkan sebelumnya, menunjukan bahwa permasalahan Pemilu di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi basis dan suprastruktur. Kelompok yang berkuasa selama ini secara sadar atau pun tidak sadar berusaha menyulitkan rakyat kecil untuk menjadi terorganisir dan menantang mereka. Ini menyebabkan rakyat kecil sulit untuk memperjuangkan kepentingannya di Pemilu Indonesia. Hal ini beriringan dengan pendapat Nyoman, yang menyatakan “politik hanya menjadi urusan elite belaka dan tidak memiliki hubungan dengan masalah-masalah nyata yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari”[13]. Imbasnya adalah membuat masalah nyata yang terjadi di masyarakat, menjadi sangat sulit dientaskan.

Jika golput adalah ekspresi ketidakpuasan, rasa kecewa dan ketidakterwakilan suara rakyat, maka pada akhirnya yang memilih golput mau tidak mau diperhadapkan pada sikap lanjut dari tindakan yang dipilihnya. Tentu saja, sekadar golput tidak akan menyelesaikan persoalan. Golput haruslah dibarengi dengan langkah konkrit, dengan semangat mencari jalan untuk menyelesaikan permasalahan rakyat. Sehingga Golput dapat menjadi pemantik lahirnya tindakan-tindakan lanjutan, sebagai pelecut perlawanan untuk bergerak melepaskan cengkeraman hegemoni yang berlangsung hingga saat ini. Dengan begitu masyarakat dapat sadar bahwa Golput bukan hanya perilaku tidak memilih seperti yang digambarkan media massa pada umumnya. Mengutip Saksono, Golput adalah sebagai manifestasi atau perwujudan sikap kritis yang menghendaki adanya perubahan sistem politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara[14] dan itulah marwah Golput sesungguhnya.

Karenanya, lawan bagi gerakan protes yang melahirkan sikap Golput, bukanlah sebatas si A atau si B. Sesungguhnya lawan yang ingin ditaklukkan adalah sistem yang berlangsung hingga hari ini; ‘kapitalisme’. Sehingga, “merayakan” Golput sebagai ekspresi perlawanan rakyat yang sadar, jika tidak diiringi oleh kerja konkrit, adalah kefanaan belaka. Tentu saja, sebelum beranjak pada pembangunan partai alternatif yang dimotori rakyat pekerja, yang diharapkan kelak dapat menjadi vis a vis partai borjuis, maka perebutan hegemoni tentunya harus didahului oleh pengorganisasian dan pendidikan politik pada basis-basis gerakan rakyat. Hal ini menjadi lebih krusial dibanding hingar-bingar tagline, perang komentar di media sosial tentang tidak memilih si A atau si B di agenda lima tahunan ini, tapi berdiam diri sembari berharap lahirnya mesias yang ma(mp)u menentaskan jalan perlawanan yang konkrit.

[1] Suseno, Frans Magnis. 2019. Golput. dalam Kompas, 12/03/2019

[2] Supriatma, Made. 2019. Layakkah Menyebut Golput Bodoh, Parasit, dan Bermental Tak Stabil?. (Online). https://tirto.id/layakkah-menyebut-Golput-bodoh-parasit-dan-bermental-tak-stabil-djx9 . Diakses pada Maret 2019.

[3] Tempo edisi 19 Juni 1971 dalam Hutari, Fandy. 2018. Bagaimana Golput Muncul Pertama Kali dalam Sejarah Indonesia?. (Online). < https://tirto.id/bagaimana-golput-muncul-pertama-kali-dalam-sejarah-indonesia-cS9E> Diakses pada Maret 2019.

[4] Asfar (2004) dalam Munawar Ahmad. 2008. “Membaca Gerakan Golput dalam Pemilu 2009”. Jurnal Dialog Edisi 4/Desember/Tahun II.

[5]Diskusi Publik MAP Corner-Klub MKP UGM dengan Wawan Mas’udi, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan. Di Magister Administrasi Publik – Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 19 Maret 2019

[6]Moore, Michael. 2010. Luiz Inácio Lula da Silva. (Online). http://content.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,1984685_1984864_1984866,00.html . Diakses pada Maret 2019.

[7] Hasan, Akhmad Muawal. 2018. Evo Morales: Pemimpin Sosialis, Presiden Indian Pertama Bolivia. (Online). https://tirto.id/evo-morales-pemimpin-sosialis-presiden-indian-pertama-bolivia-cDsx . Diakses pada Maret 2019

[8] Sadikin, Usep Hasan. 2017. Paradoks Pemilu Serentak Indonesia. (Online). http://rumahPemilu.org/paradoks-Pemilu-serentak-indonesia/ . Diakses pada Maret 2019.

[9] Abdul Gaffar Karim dalam wawancara CIMSTALKS #2: Fungsi Agama dan Politik oleh CIMS.ID. (Online). https://www.youtube.com/watch?v=furTwJpk1kQ&list=PLQ89nlQ8gVs2cPGBhFgRAuzZDfUHGXmSm&index=5. Diakses pada April 2019.

[10] Jaringan Advokasi Tambang. 2019. Penguasaan Lahan di Sektor Tambang. (Online). http://www.jatam.org/2019/03/18/penguasaan-lahan-di-sektor-tambang/ . Diakses pada Maret 2019.

[11] KPU RI. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2017. (Online). https://sulut.kpu.go.id/get_file.php?file=29221-pkpu-no.11-tahun-2017-upload.pdf . Diakses pada Maret 2019

[12] Diskusi Publik MAP Corner-Klub MKP UGM dengan Sarinah, Juru Bicara FSEDAR. Di Magister Administrasi Publik – Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 19 Maret 2019

[13] Nyoman Subanda 2008, “Golput, Apatisme masyarakat, dan Delegitimasi Elit dalam Pemilu 2009”, Jurnal Dialog Edisi 4/Desember/Tahun II

[14] Saksono, Ign. Gatut. 2013. Golput dan Masa Depan Bangsa. Yogyakarta: Elmatera.

Leave a Reply