Kontroversi Amdal & Pemaksaan Pembangunan Bandara NYIA di Kulonprogo

Konflik pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) sampai saat ini masih terus bergulir. Berdasarkan Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, menetapkan pembangunan bandara baru di Temon Kulonprogo tersebut sebagai proyek strategis nasional. Pada bulan oktober 2016 proses penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA Andal) mulai dilakukan. Artinya Amdal pembangunan bandara NYIA ini baru akan dibuat setelah penerbitan IPL (Izin Penetapan Lahan) Nomor 68/KEP/2015 dan telah terjadi proses pembebasan lahan.

Hal itu menjadi kontroversi, karena berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2012 dan PP Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menetapkan bahwa Amdal harus ada sebelum IPL dan pembebasan lahan. Bagaimana sebenarnya proses Amdal dalam setiap kebijakan pembangunan? Mengapa proses pembuatan Amdal untuk pembangunan bandara NYIA ini baru dilakukan setelah IPL dan Pembebasan lahan dilakukan? Apakah Amdal dapat menjadi mekanisme yang adil untuk menentukan jadi tidaknya proses pembangunan? Bagaimana masyarakat melihat kontroversi Amdal pembangunan bandara NYIA ini? Dan bagaimana masa depan konflik pembangunan bandara tersebut di Kulonprogo?

Diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM pada 22 November 2016 berupaya mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan di atas dengan mengangkat tema “Kontroversi AMDAL dan Konflik Pembangunan Bandara NYIA”. Dalam diskusi tersebut hadir sebagai pemantik yaitu Yogi Zul Fadhli (LBH Jogja), Martono (WTT), & Harry Supriyono (Dosen Hukum Lingkungan UGM).

Martono perwakilan dari warga terdampak proyek pembangunan  NYIA mengungkapkan bahwa mayoritas masyarakat setempat menolak pembangunan tersebut. Akan tetapi pihak penguasa terus berupaya untuk mempengaruhi sikap masyarakat dengan berbagai cara dan itu turut semakin menyulut konflik horizontal di tengah masyarakat. Lebih jauh Martono mengungkapkan bahwa “pada saat penerbitan IPL bandara, terjadi hal yang sangat memalukan, warga yang setuju hanya 10 %, terdiri dari PNS, TNI, POLRI. 60% menolak dan sisanya belum memberikan pendapat. Tetapi saat itu pemerintah menerapkan sistem cari suara melalui perangkat desa dan tim sukses pembangunan bandara. Tim sukses tersebut terdiri dari regu-regu yang masing-masing berjumlah 30 orang, mereka diajak untuk makan bersama lalu setelah sosialisasi tersebut mereka diberi janji dan uang transport”.

Pihak pemerintah berupaya mencari dan membentuk konsesus di masyarakat. Cara-cara kotor pun ditempuh. “Dalam perjanjian tersebut masyarakat di minta untuk menulis kata “Sepakat” atas penolakan pembangunan bandara tersebut dan mencantumkan alasanyanya. Namun pihak pemerintah hanya memakai kata sepakat tanpa mencatumkan alasannya“ ujar Martono.

Hal senada juga diungkapkan oleh Yogi Zul Fadhli, bahwa pembangunan bandara di Kulonprogo mencoba dijalankan dengan cara yang represif dan pemaksaan. Cara tersebut salah satunya digunakan ketika mencari konsesus persetujuan masyarakat yang mayoritas bekerja disektor pertanian. Jika merujuk data dari BPS Yogyakarta menunjukan bahwa Kabupaten Kulonprogo adalah salah satu daerah penghasil pangan terbesar di Yogyakarta. Atas dasar itu, Martono dan para petani di Wahana Tri-Tunggal (WTT), menolak pembangunan bandara NYIA yang akan menggusur lahan-lahan pertanian produktif mereka.

Berbagai Pelanggaran Hukum Dalam Mega Proyek NYIA

Pembangunan bandara seluas 637 hektare yang berdiri diatas tanah milik 419 KK tersebut, akan menyingkirkan sekitar 11.000 orang. Perlawanan dari masyarakat untuk menolak mega proyek pembangunan NYIA tidak hanya dilakukan melalui gerakan aksi massa, akan tetapi juga melalui gerakan dijalur litigasi. Masyarakat penolak pembangunan bandara yang tergabung dalam WTT pada 23 Juli 2015 berhasil memenangkan gugatan atas Surat Keputusan Gubernur DIY no 68/KEP/2015 yang berisi tentang penetapan bandara baru di Kulonprogo untuk menggantikan bandara Adi Sucipto karena ketidaksesuaian IPL dengan RTRW (Rencana Tata Ruang WIlayah) DIY. Namun hasil keputusan MA yang mengabulkan kasasi Gubernur DIY pada 23 September 2015 membuat upaya pembangunan bandara tersebut akan terus berjalan.

Proses hukum yang dinilai tidak memihak korban dan berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah membuat warga semakin geram. Namun ini tidak menyurutkan langkah mereka untuk melawan. Dibantu LBH Yogyakarta, pengajuan upaya Peninjauan Kembali dilakukan. Seperti yang di sampaikan Yogi bahwa

“ pemerintah melakukan proyek ini dengan sesuka hati. Kami melihat pemerintah menerapkan hukum represif. Hukum dijalankan dan diterapkan sesuai kehendak penguasa. Kemudian kami lihat dari kejadian ini kongrit. Seperti penerbitan IPL, IPL diterbitkan oleh kepala darerah yang dalam hal ini adalah Gubernur DIY. Permasalahnnya kemudian adalah penerbitan IPL yang mengabaikan beberapa faktor penting, yang pertama adalah IPL diterbitkan tidak sesuai dengan peruntukan ruangnya”.

Pembangunan NYIA ini banyak melangkahi peraturan lain di atasnya. RTRW di tingkat Provinsi DI Yogyakarta dan di tingkat pusat, tidak ada satupun yang mencantumkan amanat untuk membangun bandara baru. Dalam RTRW itu yang ada hanya pengembangan dan memaksimalkan kawasan bandara lama.

“Kami melihat pertimbangan hakim di MA yang memenangkan kasisi sangat tidak mendasar, Hakim memandang pembangunan bandara sangat diperlukan demi kebutuhan di masa depan dan pembangunan bandara sudah diatur di dalam Rencana Pembangunan Daerah Jangka Menengah Perda DIY tahun 2013. Kedua adalah AMDAL bandara itu seharusnya berada pada tahap perencanaan, sedangkan yang terjadi sekarang IPL sudah terbit. Jadi rencana studi AMDAL saat ini sangat jelas menyalahi aturan” ungkap Yogi.


Hukum Tajam Ke Bawah & Pemaksaan NYIA
Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick (2001) hukum represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif dan kepada tata tertib sosial yang represif. Kekuasaan yang memerintah adalah represif, jika penguasa kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat yang diperintahkan artinya cenderung untuk tidak mempedulikan kepentingan-kepentingan tersebut atau menolak legitimasinya. Meskipun represif sering kali berbentuk penindasan dan pemaksaan yang terang-terangan, pemaksaan sendiri bukan merupakan ciri yang menentukan bagi sifat represif, melainkan diacuhkannya atau diterlantarkannya kepentingan rakyat. Mengenai perbedaan antara represif dengan pemaksaan: pertama, tidak semua pemaksaan adalah represif. Kedua, represif tidak perlu memaksa.

Proses Amdal NYIA Untuk Kepentingan Siapa?

Kajian Amdal yang dilakukan saat ini adalah suatu kekeliruan” ungkap Harry Supriyono (Dosen Hukum Lingkungan UGM) dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP sore itu. Menurutnya kajian Amdal merupakan prasyarat yang menentukan dapat diterbit dan tidaknya IPL bandara. Hal itu diatur dalam UU 32 tahun 2009. Perlunya pengkajian Amdal ini di jelaskan oleh Harry bahwa “ Amdal adalah komitmen dunia yang menjadi ukuran layak tidaknya dilakukan suatu pembangunan, karena bumi ini sudah terbatas kemampuannya. Maka Pembangunan yang dianjurkan adalah yang berkelanjutan. Pembangunan yang tetap menjaga kualitas hidupnya dan lestari. Amdal adalah proyeksi fisibel yang komprehensif, yang menentukan layak atau tidaknya suatu pembangunan tersebut dilakukan”. Artinya studi kelayakan Amdal tidak hanya mengenai dampak lingkungan, selain itu juga perlu kajian mengenai dampak sosial-budaya yang akan terjadi di lokasi tersebut.
Melalui Amdal dapat dihitung, secara keseluruhan dampak yang akan terjadi. Amdal dianggap dapat mencegah kerugian di masa depan. Sehingga studi kelayakan yang dilakukan harus benar-benar sesuai dengan kenyataan dan tidak memanipulasi data dengan tujuan pembangunan tetap berjalan. Selain dampak lingkungan, dampak sosial adalah salah satu akibat yang perlu dipertimbangkan. Namun pengkajian analisis mengenai dampak sosial dari pembangunan ini tidak menjadi prosedur utama dalam ekspansi kapital. Padahal analisis dampak sosial sangat penting untuk mengantisipasi penurunan kualitas hidup pasca pembangunan.Kasus Bandara di Kulonprogo sudah mengesampingkan kajian Amdal. Diketahui lokasi pembangunan bandara saat ini adalah lahan pertanian. Dimana banyak masyarakat menggantungkan hidup dari tanah tersebut. Pemenuhan kebutuhan pangan nantinya juga akan berkurang karena pengalihan fungsi lahan. Masyarakat yang biasa bertani perlu menyesuaikan diri untuk mata pencaharian yang baru agar tetap dapat hidup.

Menyoroti berbagai pelanggaran prosedur dan pelanggaran hukum dalam menjalankan pembangunan bandara NYIA, Harry mengungkapkan bahwa “…saat ini sebaiknya proses ganti rugi ditangguhkan. Mengingat proses Amdal sedang berjalan. Konsultasi publik yang dilakukan pemerintah biasanya memilih lokasi yang aman, dalam arti di lokasi yang banyak pendukungnya. Kebanyakan proyek yang masyaraktnya menolak dibenturkan dengan sesama masyarkat itu sendiri. Jadi dibikin perpecahan. Jadi saat ini masyarakat Kulonprogo harus bisa manfaatkan konsultasi publik dalam penyusunan Amdal ini.” Menurut Harry menjadi penting bagi masyarakat kontra seperti WTT untuk terlibat dalam proses penyusunan Amdal, karena dia mempercayai bahwa Amdal dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat yang kontra terkait jadi tidaknya pembangunan bandara NYIA.

Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta diskusi mengungkapkan bahwa Amdal itu seperti pisau bermata dua. Dia mencontohkan ekspansi pembangunan pabrik semen di Pati, dimana pemerintah menggunakan Amdal sebagai tameng untuk tidak mengakomodasi tuntutan dari masyarakat yang kontra. Tuntutan masyarakat untuk menolak proses ekspansi kapital dibenturkan dengan mekanisme Amdal yang digambarkan sebagai sesuatu yang netral, adil, dan dapat merangkul semua pihak.

Padahal dalam proses Amdal yang mendanai adalah pihak korporasi yang ingin berekspansi. Sehingga menurutnya itu membuat kecenderungan bahwa para pembuat Amdal akan memihak yang membayar. Cara keberpihakannya adalah dengan memanipulasi data lapangan, hanya melibatkan masyarakat yang pro, dan dilakukan secara tidak terbuka serta tidak transparan.

Amdal yang digunakan penguasa untuk memihak kepentingan mereka dalam kasus pembangunan bandara NYIA menurut Martono memang mulai terlihat. Seperti ketika adanya konsultasi publik penyusunan Andal pada 10 November 2016. Forum terbatas di Balai Desa Temon, KulonProgo tersebut hanya melibatkan warga pro dari enam Desa yang meliputi Palihan, Glagah, Jangkaran, Sindutan, Kebon Rejo (Kecamatan Temon) dan Desa Karang Wuni (Kecamatan Wates). Pemilihan peserta pun dilakukan terbatas oleh masing-masing kepala desa. Sehingga ratusan masyarakat kontra kemudian melakukan aksi demonstrasi untuk tetap menyerukan konsistensi penolakan mereka.

Kontroversi pembangunan bandara NYIA ini menambah panjang daftar kasus Agraria yang terjadi di DIY ini. Martono menegaskan bahwa apapun hasil Amdal-nya mereka akan tetap menolak pembangunan bandara NYIA yang akan berdiri diatas tanah leluhur mereka. Sementara Yogi, menekankan pentingnya para pelajar, mahasiswa, masyarakat, dan seluruh elemen lainnya untuk bergerak dan membangun solidaritas perlawanan dari pembangunan neoliberal yang semakin mengancam keberlangsungan hidup rakyat. Seperti yang terjadi pada proses pemaksaan kebijakan pembangunan bandara NYIA di Kulonprogo.***

One Reply to “Kontroversi Amdal & Pemaksaan Pembangunan Bandara NYIA di Kulonprogo”

Leave a Reply