Kebijakan Pengupahan: Wujud Keberpihakkan Negara Terhadap Pemilik Modal

Kesejahteraan kaum buruh di Indonesia pasca runtuhnya rezim pemerintahan otoriter Soeharto hingga saat ini belum banyak mengalami peningkatan. Hal ini karena corak sistem ekonomi dan politik yang diusung tidak banyak berubah. Sejak masa Orde Baru hingga hari ini, politik upah murah masih dilanggengkan oleh negara dengan pelbagai kebijakan yang ada. Keadaan ini membuat kaum buruh selalu ditempakan di posisi sub-ordinat dibanding posisi pengusaha/pemilik modal. Posisi bargaining antara kaum pekerja dan kaum pengusaha selalu tidak seimbang dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Lewat kebijakan-kebijakannya, pemerintah cenderung memanjakan kaum pemilik modal. Wujudnya dapat dilihat dari kebijakan upah buruh yang murah, pasar tenaga kerja yang fleksibel, dan stabilitas keamanan yang diciptakan di wilayah-wilayah industri.

Kondisi tersebut diatas diamini oleh Hempri Suyatna (Dosen FISIPOL UGM) dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP pada tanggal 15 November 2016 dengan tema “Ekonomi Politik Kebijakan Pengupahan”. Hempri menjelaskan bahwa kesejahteraan kaum buruh di Indonesia dari masa ke masa belum mengalami peningkatan signifikan. Hal tersebut disebabkan karena sejak masa Orde Lama isu-isu perburuhan sangat identik dengan isu politik. Keadaan menjadi lebih parah pada masa Orde Baru, pergerakan kaum buruh mengalami intervensi dari pemerintah serta posisi buruh masih lemah yakni semata-mata dipandang sebagai objek atau salah satu variabel dari proses produksi.

Kontroversi Kebijakan PP Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan

Tahun ini penetapan pengupahan di Indonesia kembali menemui polemik. Sesuai dengan surat edaran dari Menteri Ketenagakerjaan, penetapan Upah Mimimum Provinsi (UMP) harus ditetapkan per 1 November 2016 secara serentak di seluruh Indonesia. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, penetapan UMP kali ini menggunakan acuan baru yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Hal ini sontak mendapat reaksi dari masyarakat terutama dari kalangan buruh karena kebijakan ini dianggap “menistakan” aturan diatasnya yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan juga Undang-Undang Dasar 1945. Kebijakan Pengupahan ini juga dipandang sebagai salah satu dari wujud keberpihakkan Negara terhadap kaum pemilik modal.

Ada beberapa poin penting dalam PP Pengupahan tersebut yang ditentang oleh buruh. Poin pertama adalah pada tahun-tahun sebelumnya penetapan upah dilakukan dengan mekanisme tripartite, yakni berdasarkan perundingan yang terdiri atas perwakilan pengusaha, buruh (melalui dewan pengupahan), dan pemerintah. Namun penetapan pengupahan tahun ini mengabaikan mekanisme tersebut. Besaran UMP tahun 2017 ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar, yaitu: UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % Δ PDBt)}, atau Upah minimum tahun berjalan ditambah dengan hasil perkalian antara Upah minimum tahun berjalan dengan penjumlahan ingkat inflasi nasional tahun berjalan dan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahun berjalan. Atau singkatnya penentuan pengupahan di Indonesia hanya didasarkan pada tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Hasilnya adalah kenaikan upah secara nasional di Indonesia pada tahun 2017 hanya sebesar 8,25%.

Poin kedua adalah penetapan PP Pengupahan tersebut dianggap sangat merugikan kaum buruh sebab survey tentang Komponen Hidup Layak (KHL) dilakukan hanya 5 tahun sekali. Survey itupun hanya sebuah ilusi, pasalnya dengan formula yang ada apapun hasil survey KHL nya tidak akan mempengaruhi besaran upah. Sejatinya pertambahan upah dihitung sekedar dari angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah yaitu Badan Pusat Statistik (BPS). Dengan diberlakukannya PP Pengupahan ini, kewenangan dewan pengupahan dalam menentukan besaran upah mimimum setiap tahunnya juga diambil alih oleh BPS. Kewenangan Dewan Pengupahan semakin dibatasi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 45 dan Pasal 47 PP Pengupahan, kewenangan Dewan Pengupahan hanyalah melakukan peninjauan kebutuhan hidup layak, dengan tetap berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang penetapan komponen dan jenisnya. Padahal seharusnya sebelum Gubernur menetapkan besaran upah minimum Provinsi dan Kabupaten/Kota, memperhatikan saran dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 6 ayat 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kehidupan Hidup Layak. Selain itu alasan buruh menolak PP No. 78 Tahun 2015 adalah karena bertentangan dengan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana penetapan upah minimum dilakukan oleh kepala daerah berdasarkan rekomendasi dari hasil perundingan tripartite.

Kenaikan upah sebesar 8,25% menjadi sangat ironis mengingat berdasarkan UMR di negara-negara anggota ASEAN, Indonesia menempati posisi kedua terendah dibanding negara-negara lainnya (ILO, 2014). Posisi Indonesia berdasarkan tingkat UMR-nya berada lebih rendah dibanding Vietnam yaitu sebesar US$ 187, Malaysia sebesar US$ 390, Thailand dan Filipina masing-masing US$ 392 dan US$ 360. Sedangkan untuk upah minimum buruh di Singapura mencapai US$ 3.527 per bulannya. Upah minimum di Indonesia hanya sedikit lebih tinggi dibanding Kamboja yang tengah berkonflik. Disisi lain, jaminan sosial kepada buruh di Indonesia masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan negara-negara sekitar. “Dari sisi jaminan kesehatan, jaminan kematian, jaminan hari tua dan pensiun masih kalah jauh dengan negara-negara lain”, demikian diungkapkan oleh Kirnadi (Aliansi Buruh Yogyakarta). Bahkan setelah tujuh puluh satu tahun Indonesia merdeka, baru tahun lalu (2015) ada jaminan pensiun yang diatur bagi kaum buruh. Hal ini sangat ironis bila dibandingkan dengan Timor Leste yang baru terbentuk empat belas tahun yang lalu telah ada dan menerapkan jaminan terhadap kaum buruh mereka.

Kebijakan Negara yang Berpihak pada Pemilik Modal

Penetapan upah berdasarkan mekanisme PP 78/2015 tersebut kemudian mendapat reaksi penolakan dari kaum buruh. Sebab PP tersebut dianggap makin memojokkan posisi dari kaum buruh dalam mencapai kesejahteraan. Hal ini terbukti dari banyaknya aksi penolakkan atas penetapan UMR oleh gerakan kaum buruh baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Di tingkat nasional misalnya pada tanggal 31 Oktober 2016 yang lalu, Konfederasi KASBI melakukan aksi nasional menolak PP Nomor 78 Tahun 2015 di depan istana negara dengan diikuti ribuan massa. Sedangkan di tingkat daerah (lokal) di Bekasi misalnya, dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama telah terjadi 2 aksi massa yang menolak PP 78 Tahun 2015 tersebut. Selain itu, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pun juga terjadi aksi penolakan atas kebijakan pengupahan tersebut dengan melakukan “topo mepe” yang dilakukan oleh Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY) di depan keraton. Serta masih banyak lagi aksi-aksi lainnya yang dilakukan oleh kaum buruh baik di tingkat lokal mapun nasional. Aksi dilakukan dengan karakter dan cara masing-masing dalam menolak bergulirnya penetapan pengupahan UMP yang mengacu pada PP 78 Tahun 2015 tersebut.

Logika developmentalism masih tumbuh subur sampai sekarang. Demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi pemerintah memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi investor. Jaminan upah murah terwujud dalam PP pengupahan yang membuat upah tidak bisa naik secara signifikan. Selain itu, pemerintah juga berusaha menghilangkan sekat-sekat hambatan untuk investasi serta memberi pelbagai kemudahan bagi investor untuk menanamkan modal di Indonesia. Beberapa contoh kemudahan yang diberikan adalah dari sisi perizinan, infrastruktur yang memadai, pajak yang rendah. Hal ini sangat ironis bila dibandingkan dengan pil pahit yang harus ditenggak oleh kaum buruh yakni kenaikan upah minimum buruh yang sangat rendah, terlebih pada tahun ini hanya sebesar 8,25% saja. Seperti halnya kondisi yang dialami oleh kaum buruh di Yogyakarta pada hari ini. Dari data pertengahan tahun 2015 yang lalu, setidaknya ada sekitar 3.573 perusahaan berskala kecil hingga berskala besar di Yogyakarta. Dari data yang diperoleh, upah minimum buruh di Yogyakarta adalah termasuk yang terendah di Indonesia bila dibandingkan dengan kota-kota lain, bahkan dengan diberlakukannya upah minimum 8,2%, upah buruh di Yogyakarta menjadi hanya sebesar Rp. 1,5 jutaan. Bila ditinjau dari sudut pertumbuhan ekonomi dan industrinya, dalam dua hingga tiga tahun ke depan akan terus mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan masih tersedianya cukup lahan untuk berinvestasi di Yogyakarta, serta didorong oleh konsep relokasi perusahaan-perusahaan dari kota-kota lain. Seperti Jakarta misalnya, dimana upah buruhnya tinggi maka pengusaha melakukan perpindahan tempat produksi ke daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, sebab keran untuk berinvestasi dan memperoleh keuntungan yang besar sangat terbuka di Kota ini. Terlebih perbedaan upah antar daerah industri dengan daerah lain seperti Yogyakarta relatif besar.

Nasib kaum buruh di Indonesia masih jauh dari kata sejahtera. Di tengah pusaran upah minimum yang sangat rendah masih banyak kaum buruh yang sampai saat ini menerima upah di bawah UMR dan UMP di tempat mereka bekerja. Data ILO 2015 menyebutkan bahwa 51% buruh di Indonesia mendapatkan upah dibawah UMP. Upah minimum yang sebenarnya merupakan ukuran minimum yang diberikan kepada buruh, dewasa ini menjadi ukuran upah maksimum yang diterima kaum buruh. Selain itu masih banyak terjadi diskriminasi dalam pemberian upah. Pada bagian ini maka fungsi pengawasan dari pemerintah sangat kehadirannya sangat dibutuhkan. Perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan yang berlaku hendaknya tidak dibiarkan begitu saja namun diberi tindakan tegas atau sanksi.

Ada dua model yang ditawarkan ketika isu-isu mengenai upah minimum terus berhembus agar tenaga kerja tidak menjadi isu menahun, maka perlu ada:

  1. Mekanisme bagi hasil (profit sharing) yaitu sistem kerja berdasarkan pada kesepakatan buruh dan pengusaha/pemilik modal.
  2. Harus ada Employee Stock Option Program (ESOP) yaitu kepemilikan saham perusahaan oleh buruh. Sehingga buruh ikut turut menentukan berbagai kebijakan-kebijakan yang muncul di perusahaan. Misalnya di Swedia, berhasil memberdayakan dan meningkatkan kehidupan buruhnya dengan melibatkan buruh dalam kepemilikan saham perusahaan sehingga memungkinkan bentuk-bentuk kebijakan yang dianggap tidak menguntungkan buruh bisa diminimalkan.

Hal tersebut bisa terjadi jika posisi serikat buruh kuat. Namun bila berkaca dari kehidupan kaum buruh di Indonesia, serikat buruh yang ada malah dikebiri dan dipecah-pecah oleh pengusaha atau kaum pemilik modal. Berbagai bentuk-bentuk diskriminasi mengakibatkan serikat-serikat buruh secara tidak langsung diperlemah pergerakannya.

Pelbagai strategi berusaha dihadirkan untuk membantu kaum buruh dalam meraih kesejahteraannya, misalnya dengan mendirikan koperasi-koperasi bagi kaum buruh. Namun pada kenyataanya, hal tersebut belum mampu menjawab problematika kesejahteraan kaum buruh. Malah banyak koperasi yang pada akhirnya tergerus oleh kapitalisme yang sifat dasarnya bersaing dan monopoli. Koperasi belum mampu menjadi sarana untuk menciptakan demokrasi ekonomi. Hal ini dapat dilihat lewat keberadaan koperasi hanya dipandang sebagai sarana bagi kaum buruh untuk bisa memperoleh dana cepat, dan masih sebatas wadah untuk simpan pinjam dan belum sampai ke tahap yang lebih berbobot dari sekedar simpan pinjam, misalnya produksi.

Berefleksi dari berbagai polemik di atas, menurut Hempri untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia dan kaum buruh pada khususnya harus dihadirkan:

  1. Strong State, dimana negara harus memiliki posisi yang kuat dan terbebas dari kontrol kelompok kepentingan. Sehingga dalam pembuatan kebijakan tidak ada diintervensi oleh kelompok kepentingan/pemilik modal.
  2. Strong Labour, dimana kaum buruh harus mampu diberdayakan agar memiliki daya tawar yang lebih tinggi. Kaum buruh harus dibekali dengan skill dan education yang memadai sehingga posisi tawarnya dapat lebih tinggi. Selain itu jiwa enterpreneur kaum buruh juga harus dibina untuk mengurangi dependency kaum buruh terhadap pengusaha/pemilik modal.

Namun menurut hemat penulis dari kondisi dan sejarah yang ada institusi Negara tidak pernah netral. Terlebih dalam sistem ekonomi yang timpang seperti sekarang ini. Negara merupakan arena pertarungan kepentingan antar kelas pemilik modal dan kelas buruh. Jadi kelompok manapun yang kekuatannya lebih besar maka bisa mempengaruhi kebijakan Negara. Jika ingin kebijakan Negara berpihak pada rakyat kelas pekerja maka Negara harus berada di bawah kontrol rakyat pekerja. Karena jika solusinya hanya stronge state maka akan terjebak pada pemikiran bahwa pemerintahan otoriter pasti lebih baik. Ini sama saja dengan mengamini pemerintahan diktator ala Soeharto maupun Negara fasis ala Hitler.

Kedua, pembacaan strong labour yang diungkapkan oleh Hempri bahwa buruh agar memiliki daya tawar harus ber skill, high education dan memiliki jiwa entrepreneur sangat problematis. Pembacaan seperti itu abai terhadap ketimpangan kekuasaan dalam mengakses pendidikan. Bisa kita lihat pendidikan di Indonesia semakin hari semakin mahal, Maka hanya segelintir orang saja yang bisa mengakses dunia pendidikan. Ilusi semangat entrepreneur juga berbahaya, ini bisa terus digunakan untuk meligitimasi bahwa sistem ekonomi politik yang terjadi tidak ada yang salah. Sehingga buruh dalam berjuang harus mengikuti aturan main dari pemilik modal, yaitu berusaha menjadi pengusaha juga. Dan apakah mungkin semua orang menjadi entrepreneur? Siapa yang akan menjadi buruh? Apakah buruh yang mempunyai jiwa entrepreneur mampu bersaing dengan korporasi yang bermodal besar? Atau entrepreneur hanya digunakan untuk mengilusi rakyat bahwa semua bisa sejahtera jika berusaha mengikuti mekanisme pasar tanpa memikirkan ketimpangan dan mengusahakan redistribusi kekayaan? Hemat penulis untuk mencapai kesejahteraan dan bisa mengontrol kebijakan Negara agar berpihak pada rakyat maka yang harus dilakukan adalah well organize the working class. Mengorganisir dengan baik kelas pekerja untuk berjuang merestrukturisasi tatanan masyarakat agar lebih egaliter dari segi ekonomi maupun politik.

Respon Gerakan Buruh

Dalam menyikapi keadaan yang tengah bergulir di kalangan kaum buruh, Agustinus Santoso (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia) berpendapat bahwa selama negara masih menganut sistem ekonomi yang tetap menghamba kepada pemilik modal dan bukan pada kepentingan rakyat, maka kesejahteraan bersama seluruh rakyat terutama kaum buruh tidak akan dapat tercapai. Kaum buruh harus diperlakukan sebagai manusia (memanusiakan manusia), dan merubah posisinya selama ini yang hanya dipandang sebagai “objek” menjadi “subjek” atau “aktor” dalam dunia kerja. Buruh harus dipandang sebagai “mitra yang sejajar” dengan perusahaan. Relasi buruh dan majikan yang masih sangat diskriminatif sebagai warisan dari kolonial Belanda yang memberi jurang pemisah antara keduanya pun harus dihapuskan.

Di sisi serikat buruh sendiri, hingga saat ini serikat buruh dipandang masih sangat pragmatis dalam perjuangannya. Bahkan serikat buruh di tingkat nasional banyak dipandang hanya sebagai “pencitraan” dalam setiap “momentum tahunan”. Selain itu serikat buruh juga dipandang masih banyak dikuasai oleh sisa-sisa produk orde baru. Oleh karena itu hendaknya fungsi dan peran utama dari serikat buruh dikembalikan kepada sebagaimana mestinya yaitu sebagai wadah atau alat buruh untuk memperjuangkan kepentingannya melawan pemilik modal.

Demikian pula dengan persatuan antar kaum buruh dalam membangun suatu aliansi besar dari kaum buruh, masih ditemui banyak halangan. Diantaranya masih banyak kaum buruh yang belum sadar untuk ikut berserikat dan berjuang. Contoh konkretnya di Yogyakarta sendiri, dari tiga ribuan perusahaan yang berdiri, belum ada 10-20% yang berserikat. Padahal kaum buruh dari sisi kuantitas sangat berlimpah di Yogyakarta baik di sektor tekstil, garmen, pariwisata, dan lain-lain, namun masih sangat minim kesadaran untuk berserikat. Untuk itu dalam menumbuhkan kesadaran kaum buruh untuk berserikat harus dimulai dari bawah. Basisnya pun harus kuat sehingga tidak mudah dikendalikan oleh elit-elit yang memiliki kekuasaan. Maka dari itu, Agustinus berpendapat bahwa dalam membangun ikatan buruh maka dibutuhkan lahirnya atau bangkitnya serikat buruh yang kuat dan militan. Tidak hanya itu, serikat buruh juga hendaknya menanamkan etika moral bagi setiap anggotanya. Sehingga bukan saja mantap dalam hal pergerakannya, namun juga kaum buruh memiliki moral dan attitude yang kuat. Selain itu diharapkan pula peran kaum intelektual organik dari perguruan-perguruan tinggi untuk turut ikut mewarnai pergerakan serikat buruh. Kaum muda hendaknya ikut turun tangan dan bergabung dalam pergerakan, sehingga ilmu yang didapatkan dapat bermanfaat untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat yang tertindas. Dan yang terpenting, apapun mimpi yang ingin dicapai tentang kesejahteraan bagi masyarakat terutama kaum yang tertindas hanya akan sekedar menjadi impian bila tidak ada gerakan yaitu tindakan nyata untuk mewujudkannya!.

Leave a Reply