Ibukota Dipindah? Lebih baik Benahi Jakarta atau Pindah Ibukota: Sebuah Argumen Dasar
Seminggu yang lalu kita bertemu dengan musibah banjir di Jakarta dan daerah lainnya. Yang menarik adalah selalu wacana yang muncul adalah pindah Ibukota. Apakah pindah Ibukota ini hanya sekedar wacana yang setiap banjir akan terulang seperti itu? Kemudian akan muncul pertanyaan, sesungguhnya apa esensi krusial dari wacana pemindahan Ibukota? Untuk mendiskusikan wacana tersebut Komunitas Sekip dalam Diskusi Mingguan MAP Corner-Klub MKP pada Selasa sore, 29 Januari 2013 mengangkat tema “Ibu Kota Dipindah”, dengan menghadirkan pemantik diskusi Prof. Bakti Setiawan, ahli planologi dan Teknik Perencanaan Kota, Guru Besar UGM.
Dalam wacana pemindahan Ibu Kota, argumentasi awal yang akan muncul adalah sebagai berikut : Jika iya Ibukota akan dipindah, tentu akan ada efek bagi daerah yang didatangi dan daerah yang ditinggalkan. Maka seberapa jauh kesiapan kita terhadap dampak pada wacana pemindahan Ibukota?
Wacana pemindahan Ibukota ini bukan merupakan isu yang baru saja muncul. Namun yang menjadikannya gregetan adalah bahwa wacana pemindahan isu Ibukota ini adalah suatu isu yang penting dan besar, namun pemerintah tidak secara serius menyikapinya. Bahkan sampai saat ini belum ada pusat kajian yang cukup komprehensif dan punya concern pada isu tersebut. Terlebih lagi instansi yang menghasilkan kajian yang dapat menjadi masukan dalam policy making. Dan jika dikaji lagi, siapa yang bertanggungjawab terhadap wacana pemidahan ibukota? Ini adalah contoh isu “yang dalam pandangan pembicara bukan autopilot” namun fragmented. Siapa yang sesungguhnya berada dalam struktur pemerintahan? Isu seperti wacana pemindahan Ibukota ini seharusnya direspon oleh lembaga perencana, dalam level ini adalah Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional). Bappenas seharusnya merupakan lembaga yang mampu merespon isu-isu pembangunan yang muncul pada level nasional, termasuk tentang isu pemindahan ibukota. Institusi Bappenas saat ini tengah mengalami degradasi perannya, terutama setelah kekuatan “main budgeting”nya diambil alih oleh Menteri Keuangan. Jika pada masa sebelumnya para “local government” memastikan anggaran yang diterima daerahnya ke Bappenas, sekarang mereka memastikannya di DPR dan Kementrian Keuangan. Fungsi budgeting Bappenas ini telah dikurangi. Tidak masalah jika Bappenas tidak punya kekuatan dalam penentuan alokasi anggaran, akan tetapi tetap peran strategis Bappenas sebagai institusi perencana pembangunan harus tetap berjalan sebagaimana fungsi lembaga tersebut.
Sejak muncul wacana pemindahan Ibu Kota , tidak ada satupun pemikiran progresif yang dilontarkan oleh Bappenas, ataupun Kementrian Pekerjaan Umum sebagai respon terhadap wacana yang muncul ini. Kementrian Pekerjaan Umum sebenarnya merupakan sekedar lembaga public executing saja, lembaga yang mengeksekusi terhadap perencanaan kebijakan yang telah dirumuskan. Sementara perencanaannya seharusnya berada di tangan Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional) yang juga berkewajiban menyiapkan RPJP dan RPJM. Sehingga perencanaan tersebut dapat terintegrasi. Hal tersebut juga tentunya akan menentukan apakah persoalan pemindahan Ibukota ini akan tertuang dalam RPJP dan RPJM. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah siapakah lembaga “strategic national think thank” di Indonesia yang bertanggungjawab untuk merespon wacana seperti ini. Isu-isu yang meletup dan telah berjalan dalam kurun waktu yang panjang, namun tidak disikapi secara serius ataupun segera diputuskan oleh para pengambil kebijakan. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat “fragmentasi” dalam perencanaan pembangunan Indonesia, termasuk diantaranya mandulnya institusi perencana yang tidak pernah menyuarakan ide-idenya, termasuk dalam isu pemindahan Ibukota. Padahal jika berbicara tentang kewenangan, disana (Bappenas) terdapat Deputi Regional yang salah satu kewenangannya dalam menangani isu tersebut.
Kedua, isu tersebut dapat dianalisis melalui dua pendekatan, yaitu dari aspek teknis physical dan dari aspek non teknis (aspek social, ekonomi dan budaya). Analisis pertama wacana pemindahan Ibukota dapat dilihat dari aspek tekhnis. Dari aspek tekhnis wacana pemindahan Ibu kota memiliki logika sebagai berikut :
Dalam mengembangkan atau menata kota, secara teknis dapat menggunakan sebuah konsep dalam studi lingkungan yang disebut dengan carrying capacity (daya dukung atau daya tampung). Ilustrasinya adalah sebagai berikut. Suatu area atau wilayah pasti memiliki daya tampung atau daya dukung yang mampu menampung beban tertentu. Beban yang dimaksudkan disini adalah jumlah manusia beserta segala aktivitasnya. Oleh karenanya terdapat konsep carrying capacity. Secara garis besar konsep carrying capacity ingin mengatakan bahwa jika kita akan menata kota atau mengembangkan kota, beban yang kita berikan kepada kota itu (beban itu dapat berupa jumlah penduduk beserta activity nya), maka beban yang kita berikan tidak boleh melebihi daya dukung atau daya tampung. Kalau kita memberikan beban berlebih, maka kota itu akan mengalami degradasi dan diikuti dengan berbagai eksesnya, seperti misalnya ekses pencemaran. Hal tersebut dari aspek capacity. Menata kota atau mengembangkan kota itu, seperti memastikan antara kapasitas (daya tampung dan daya dukung) dengan beban kota tersebut. Apabila satu lahan kota dengan kapasitas daya dukungnya besar, akan tetapi hanya diisi dengan beban yang kecil, maka penggunaannya akan mubadzir dan tidak efisien.
Termasuk dalam konteks Pulau Jawa yang memiliki lahan terbatas, namun bebannya sangat besar. Jikalau ada lahan besar, namun tidak dimanfaatkan, akan sia-sia dan kemanfaatannya kecil. Akan tetapi jika pemanfaatannya terlalu besar, maka akan terjadi degradasi lingkungan dengan segala eksesnya. Jadi menata kota, merencanakan ruang untuk menata kota itu adalah tentang bagaimana menyeimbangkan antara beban dan daya dukung kota. Persoalannya adalah daya dukung ini relatif. Daya dukung juga akan tergantung pada kecanggihan teknologi. Dalam skala kecil ilustrasi daya dukung manusia ini adalah sebagai berikut : Dalam kondisi tanah yang alami (tanpa rekayasa teknologi) jika struktur tanah, struktur soil dan airnya bagus, maka kita dapat membangun gedung pencakar langit karena struktur tanah dan daya dukungnya bagus. Akan tetapi jika kita berada di lahan gambut, maka kita tidak mampu membangun bangunan pencakar langit, karena struktur tanahnya labil dan sebagainya. Akan tetapi karena manusia memiliku ilmu dan teknologi, maka ia bisa merekayasa dan memberikan input teknologi supaya lahan alami yang “misalnya gambut” , kemudian direkayasa dengan menciptakan rekayasa system pondasi dalam lahan gambutnya supaya bisa tetap dibangun pencakar langit. Jadi masalah yang dihadapi ketika kita menghitung daya dukung itu adalah daya dukung ini akan sangat tergantung seberapa jauh kita bisa memasukkan teknologi. Dan fungsi teknologi ini juga bergantung pada financial. Semakin canggih teknologinya, semakin mahal biayanya.
Perbincangan tentang kedua aspek ini akan berpengaruh pada isu apakah Jakarta perlu dipindah atau tidak. Apabila ada orang yang mengatakan “Pindah Jakarta”, yang salah satu alasannya missal karena banjir, maka hal tersebut sesungguhnya adalah salah satu contoh atau ilustrasi bahwa beban kota melebihi kapasitasnya. Beban disini bisa jadi jumlah penduduknya yang terlalu banyak da jumlah bangunannya terlalu banyak. Fakta bahwa kemudian Jakarta ini menjadi tidak layak, sebenarnya adalah hal yang wajar. Di masa lalu, sebagian besar wilayah Jakarta adalah rawa-rawa yang sebenarnya tidak tepat untuk dijadikan pemukiman. Seperi Rawa Mangun, Rawa Angke, Rawa Gede. Hal tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa beberapa wilayah Jakarta sebenarnya secara alami tidak tepat dijadikan wilayah pemukiman atau pusat kota. Beruntung bahwa dahulu yang pertama kali membangun Batavia adalah orang Belanda yang juga merupakan ahli di bidang hidrologi. Maka sejak awal arsitek Belanda tersebut dalam membangun Batavia mengacu pula pada negeri Belanda yang juga tiga perempat lahannya sebelumnya berada di bawah permukaan air laut. Pengetahuan dan teknologi tersebut membuat mereka mampu merekayasa Batavia yang awalnya rawa-rawa itu menjadi satu kota yang besar. Ini adalah salah satu contoh bahwa kapasitas teknologi dapat diintervensikan pada situasi alam yang sebenarnya, pada awalnya, tidak pas untuk dijadikan wilayah pemukiman. Hal ini beimplikasi pada tata ruang yang dibangun kemudian. Jika orang-orang mengatakan bahwa Jakarta itu telah melebihi beban, contohnya saat ini adalah banjir, maksudnya adalah kapasitas drainase yang ada tidak mampu menampung jumlah air/beban air dengan segala limbah kegiatan manusia yang ada.
Ketika Jakarta macet dan kemudian diproyeksikan bahwa “beberapa tahun lagi, jika semua mobil yang ada di Jakarta dikeluarkan dari garasinya, mereka sudah tidak bisa bergerak karena tatanan mobil tersebut telah memenuhi jalan” juga merupakan sebuah contoh bahwa daya tampung jalan raya itu sudah tidak mampu menampung ataupun menggerakkan jumlah mobil. Karena jika dihitung secara kasar, luas jalan hampir sama dengan luas mobil jika dijajarkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa beban yang ada telah jauh melebihi daya tampung. Jika situasinya adalah beban nya melebihi daya tampungnya, ada dua kemungkinan. Jika daya dukungnya tidak dapat diperbaiki dengan teknologi, maka beban tersebut yang harus dipindah. Itulah yang menjadi basis argument ide pemindahan Ibukota Jakarta. Asumsinya adalah intervensi teknologi untuk meningkatkan kapasitas Jakarta dianggapt sudah tidak memungkinkan lagi. Sehingga Ibukotanya harus dipindah sebagai upaya mengurangi beban. Analoginya adalah kalau lebaran, Jakarta nyaman karena sepi, warganya mudik. Analogi tersebut sama dengan hitungan berapa jumlah orang yang tinggal di Jakarta karena berkaitan dengan pemerintahan pusat? Apakah jumlahnya signifikan jika jumlah orang yang berkaitan dengan urusan pemerintah pusat ini dipindah? Ini merupakan salah satu contoh dan ilustrasi bahwa memang bisa, beban Ibukota dalam bentuk orang ataupun kegiatan ini dipindahkan. Dan ini merupakan basis argument dari ide dibalik wacana pemindahan Ibukota. Namun ada pula yang mengatakan, pemindahan Ibukota itu juga mahal. Apakah Jakarta tidak bisa ditingkatkan daya dukungnya supaya beban yang besar itu tidak perlu dipindah. Toh peristiwa seperti banjir itu pernah terjadi sebelumnya. Jika alasannya sekedar banjir saja, kanal banjir timur difungsikan, dibuat sudetan, dibuat terowongan dengan intervensi teknologi itu maka banjir dapat diatasi dan ibukota tak perlu dipindahkan.
Tentang persoalan kemacetan dan daya tamping jalan misalnya, jika jumlah kendaraan yang ada sangat besar dibandingkan luas jalan, maka bisa direkayasa kegiatannya seperti pembatasan kepemilikan kendaraan atau system pembatasan operasi berbasiskan pada plat kendaraan (ganjil genap). Apalagi jika kualitas dan kuantitas jalannya ditingkatkan dan revitalisasi penggunaan moda transportasi public. Pandangan yang menolak “Pemindahan Jakarta” ini berasumsi bahwa intervensi teknologi disertai dengan pembiayaan ini masih bisa dilakukan untuk meningkatkan daya dukung. Namun sampai sekarang tidak ada yang menghitung jika opsi pertama adalah “memindahkan Ibukota” dan opsi kedua adalah “memperbaiki Jakarta” dari kedua opsi tersebut baik yang mana dan berapa masing-masing biaya nya.
Dan argument apakah perlu dipindah atau tidak ini juga akan tergantung dari pendapat dari para ahli yang mana. Jika kita bertanya pada engineer dari Belanda, tentu jawabannya adalah terdapat banyak teknologi yang dapat diterapkan untuk mengatasi banjir Jakarta. Jika diberikan kekuasaan dan uang, para teknisi ini mampu mengatasi persoalan teknis seperti banjir di Jakarta. Dari pandangan tersebut maka Ibukota tak perlu dipindah. Polemik dari sisi fisik terkait dengan pemindahan Ibukota adalah seperti itu.
Kedua, dari sisi geopolitik. Kajian dari sisi geopolitik ini nampaknya menjadi jauh lebih penting dan krusial disbanding dari sisi teknik. Selama ini Jakarta merupakan symbol dari pemusatan kekuasaan yang luar biasa. Terkait dengan otonomi pun sering dikatakan bahwa kepalanya sudah dilepas, tapi ekornya masih dipegang. Berapa jumlah perputaran uang yang ada di Jakarta pasca otonomi daerah perlu ditelusur lagi. Karena kita tahu bahwa kegiatan ekonomi ini pun merupakan kolaborasi antara penguasa dan pemodal. Perselingkuhan ini sangat dimungkinkan karena Jakarta ini menjadi titik berkumpulnya kekuatan politik dan capital. Semua usaha besar kantor pusatnya di Jakarta, dan pengambilan kebijakan pusat juga berpusat di Jakarta. Perselingkuhan, kong kalikong antara penguasa dan pengusaha ini difasilitasi di Ibukota Negara Jakarta. Maka kemudian terlihat jelas bahwa persoalan pemindahan Ibukota Jakarta bukan sekedar masalah teknis, bahkan lebih dominan masalah geopolitik.
Mungkin wacana pemindahan Ibukota ini baik untuk memecah atau mendobrak perselingkuhan dan kolaborasi antara penguasa dan pengusaha yang sekarang difasilitasi dalam kamar yang disebut “Ibukota Jakarta” ini. Untuk memisahkan rumah antara politisi dan penguasa, dengan pengusaha yang sekarang ini serumah. Untuk menceraikan perselingkuhan penguasa dan pengusaha ini salah satunya adalah dengan memisahkan Ibukota yang murni menjadi pusat pemerintahan dan pengambilan keputusan, dengan Jakarta yang menjadi pusat kegiatan bisnis dan usaha.
Secara teknis tidak penting, dan kedua duanya mungkin terjadi. Justru yang menjadi pembahasan menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah selama ini Jakarta menjadi kamar perselingkuhan yang begitu nyaman antara penguasa dan pengusaha. Jika benar dugaan bahwa Jakarta ini menjadi kamar perselingkuhan antara politisi (penguasa) dengan pengusaha, apakah benar jika memindahkan Ibukota adalah upaya menceraikan perselingkuhan antara politisi (penguasa) dengan pengusaha? Diskusi dari aspek geopolitik ini akan lebih menjadi main issue dibanding dengan technical issue sebagai basis argument wacana pemindahan Ibukota. Setelah diskusi argumentative beserta main hitung hitungan biaya dan manfaatnya diketahui, baru dapat kita simpulkan : Lebih baik benahi Jakarta atau Pindah Ibukota?
Oleh: Rima Ranintya Yusuf