PHK Sepihak & Perlawanan Buruh Terhadap PT Freeport Indonesia

Kabar PT. Freeport Indonesia memecat delapan ribu buruh secara sepihak terus ramai diperbincangkan. Buruh berupaya memulihkan status kerja dan hak-hak yang melekat. Namun, sejauh ini negara masih acuh tak acuh dengan dengan nasib delapan ribu pendulang emas di tambang mineral terbesar di Indonesia, meski dampak PHK terus menjalar hingga merenggut nyawa buruh.

Tri Puspital, salah seorang buruh korban kesewenang-wenangan PT. Freeport berkisah tentang perjuangann ribuan rekan kerjanya yang hampir berjalan 1,5 tahun sejak PHK besar-besaran. Ia juga didatangkan untuk menjadi salah satu pemantik diskusi di MAP Corner-Klub MKP Klub pada 21 Agustus 2018 dengan tema “PT Freeport, Masalah Ketenagakerjaan & Aksi Protes Buruh” bersama dengan Ari Hermawan (Guru Besar Hukum Perburuhan UGM). Korban PHK PT. Freeport Indonesia (selanjutnya PTFI) memanfaatkan hampir seluruh kanal untuk menyuarakan tuntutan pemulihan hak-hak ketenagakerjaan. Namun ironis, Nagera dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Mimika, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bahkan Kementerian Tenagara Kerja Indonesia belum menunjukkan keseriusan. “Setiap buruh mengadu, dijawab sederhana: akan ditindaklanjuti” ungkap Tri Puspital dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP itu.

Buruh Berlawan vis á vis Freeport

Perlawanan buruh bermula saat sistem furlough diberlakukan PTFI. Furlough adalah sebuah mekanisme “merumahkan pekerja” dengan dalih tertentu, biasanya digunakan pengusaha dengan alasan “efisiensi”. Menurut Puspital “Furlough memiliki kecenderungan menyasar fungsionaris serikat untuk memberangus kekuatan buruh”.  Dalam kasus PTFI, pihak managemen PTFI lewat Riza Pratama, membantah PTFI melakukan pemberangusan serikat: “Tentu kami merumahkan yang tidak berhubungan langsung dengan operasi, misalnya yang tidak critical untuk produksi kami. Kami mempunyai kriteria-kriteria tertentu untuk merumahkan” kata Pratama via telepon di Jakarta, 12 Februari 2018, sebagaimana laporan Tirto[1].

Gambar: Suasana diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM pada Selasa, 28 Agustus 2018 dengan tema “PT Freeport, Masalah Ketenagakerjaan & Aksi Buruh”

Di balik klaim management, buruh PTFI salah satunya Puspital menilai, kriteria penentuan pekerja inti maupun bukan inti produksi itu keliru. Dikarenakan PTFI menerapkan standar core dan non core berpatokan pada pertambangan batu bara. “Buruh yang jelas-jelas menambang, tidak dianggap pekerja inti produksi” ungkap Puspital yang turut diamini oleh belasan korban PHK sepihak yang hadir dalam diskusi.

Penetapan kriteria core dan non core tidak hanya memasifkan PHK, juga membatasi kesempatan buruh mendiskusikan persoalan menyangkut relasi industrial. Sejak kecelakaan kerja buruh -tertimbun dalam terowogan di sekitar Gresberg yang menewaskan 28 pekerja pada 2013, PTFI menyebut “kerugian” akibat pemberhentian operasi, yang ditaksir sekitar 220.000 ton per hari selama proses investigasi oleh tim independen.[2] Menyusul kemungkinan “kerugian” lain yang disebabkan oleh alotnya perundingan antara FTFI dan Pemerintah Indonesia yang merubah kontrak karya ke Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan hanya memberi konsesi jangka pendek yang kurang menjamin kepastian hukum dan fiskal.[3] Persoalan internal terkait “efisiensi” diposisikan sebagai persoalan strategis, sehingga digunakan sebagai dalih PTFI menolak buruh berunding membicarakan sebab musabab PHK sepihak.

Buruh memilih jalan radikal lewat pemogokan bertepatan pada hari buruh Internasional 1 Mei 2017. Sebagaimana yang diungkapkan Puspital, buruh melayangkan “surat sakti” jauh sebelum mogok—memperingatkan PTFI agar tidak melanjutkan kebijakan Furlough. Buruh juga menolak satu mekanisme baru yang diterapkan PTFI yang tertuang dalam Surat Perjanjian Bersama (SPB). Salah satu klausul SPB yang ditolak terkait sanksi buruh “indisipliner”.

Di samping itu, buruh juga melawan klausul dalam SPB yang mengatur masa berlaku perikatan dalam SPB: selama menjadi pekerja di PTFI. “Ketika PTFI melihat ada kemungkinan tindakan indisipliner, terutama terhitung pasca penerbitan SPB, maka PTFI dapat langsung memecat tanpa melalui perundingan, baik bipartit/tripartit maupun Peradilan Hubungan Industrial (PHI)—sehingga harus ditolak” kata Puspital.  Oleh sebab itu, perlawanan berlanjut dengan “modal nekat” mendatangi Kementerian Ketenaga Kerjaan, hingga Istana Negara, pasca PTFI “menggila” dengan memutus seluruh hak-hak perburuhan.

Akibat lain dari pemecatan sepihak dari PTFI, jaminan kesehatan ketenagakerjaan buruh diblokir sepihak oleh PTFI. Pekerja yang di-PHK pasca pemogokan pun turut menanggung akibat. Buruh tidak dapat menggunakan BPJS, sehingga ada yang harus meninggal dunia karena ditolak berobat di rumah sakit. Meski ada sebagian buruh yang beruntung menggunakan Kartu Papua Sehat. Itu pun terbatas pada pekerja Orang Asli Papua (OAP). Akibat dari langkah PTFI, mayoritas pekerja non OAP harus hidup tanpa jaminan kesehatan, bahkan bagi mereka yang sudah puluhan tahun menambang di PTFI, termasuk Tri Puspital. Sejauh ini telah tercatat 31 orang meninggal dunia akibat PHK sepihak yang turut mengalir ke pemblokiran jaminan kesehatan.

PHK Sepihak Cacat Hukum

Menanggapi pernyataan buruh PTFI, Ari Hermawan, guru besar hukum perburuhan UGM (Universitas Gadjah Mada) berpendapat bahwa mogok yang dilakukan oleh buruh PTFI adalah sah menurut hukum. “[…] apa yang dilakukan oleh buruh merupakan aksi atau perlawanan (bersifat alamiah-pen) yang muncul karena kesenjangan—adanya penindasan” ungkap Ari Hermawan. Sebaliknya, reaksi perusahaan yang langsung memutus hubungan kerja adalah satu bentuk interpretasi hukum yang keliru—ketika PTFI merumahkan buruh dan menganggap bukan persoalan hubungan industrial sehingga tidak perlu ada perundingan.

Merumahkan buruh sebetulnya merupakan hubungan kerja dan persoalan hubungan industrial. Dalam hal ini, Ari Hermawaan mendefinisikan hubungan kerja adalah hubungan yang timbul karena perjanjian kerja yang mengandung unsur pekerjaan, upah dan perintah. Hubungan industrial bahkan lebih luas yaitu hubungan antara pelaku dalam proses produksi meliputi pekerja, pengusaha dan pemerintah—sehingga (ketika PTFI merumahkan buruh dengan mengesampingkan relasi kerja maupun relasi industiral) adalah argumen yang keliru.

Dalam pandangan hukum ketenagakerjaan, menurut Hermawan, merumahkan pekerja merupakan salah satu modifikasi skorsing—yang butuh proses. Skorsing sendiri sebagai awalan dari proses pemutusan hubungan kerja. Sehingga, perusahaan harus memberi informasi terkait maksud atau keinginan perusahaan melakukan skorsing. Maka persoalan skorsing harus dirundingkan. Ketika alasan-alasan yang diajukan perusahaan tidak mencukupi, perusahaan tidak boleh memutuskan hubungan kerja. Rezim hukum ketenagakerjaan saat ini memandang skorsing sebagai persoalan yang tidak linier. Sebab, skorsing menyimpang dari aturan terkait hak dan kewajiban. Pekerja yang menjalani skorsing tetap menerima hak meskipun tidak menjalankan kewajiban bekerja. Hal tersebut dipandang sebagai konsekwensi logis atas keinginan perusahaan menskorsing buruh. Skorsing tidak dilanjutkan ketahapan lebih jauh, manakala perusahaan tidak cukup beralasan melakukan PHK.

Menurut Hermawan, PHK oleh PTFI bersifat normal, namun memerlukan proses penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Selama perselisihan atau perundingan berlangsung, pekerja berhak atas seluruh hak yang melekat, termasuk jaminan kesehatan atau jaminan sosial. PTFI yang melakukan PHK sepihak tanpa perundingan tidak memiliki kekuatan hukum.

Mekanisme kontrol PTFI lewat SPB juga tak berimbang. Sebagaimana PTFI “menyisipkan” ancaman pengunduran diri secara sukarela, yang tak jelas dasarnya dalam perikatan. Suatu perkara yang memicu protes buruh-buruh PTFI[4] pada klausula perikatan yang mencantumkan ancaman dalam perjanjian. Dalam perjanjian kerja minimal memiliki syarat dan asas-asas perjanjian. Sementara Perundang-undangan perburuhan maupun ketenagakerjaan yang mengatur pengunduran diri memberi waktu tiga puluh hari kerja, dan diajukan secara tertulis. Di samping itu, berlaku aturan tidak boleh ada intimidasi. Dalam kacamata Hermawan, “[…] jika terdapat pelanggaran, misalnya dalam proses pengunduran diri ada paksaan, maka kembali ke kondisi null and void, atau batal demi hukum. Dengan kata lain, dianggap tidak ada perjanjian”.

Fitrah Pemerintah Membela Kelompok Lemah

Politik hukum ketenagakerjaan di Indonesia sangat fleksibel. Negara sebagai satu-satunya otoritas yang membuat regulasi perburuhan dan ketenagakerjaan, negara juga yang mengimplementasikan regulasi, hingga menjalankan fungsi kontrol, justru absen dalam persoalan PTFI. Seperti kasus pemblokiran BPJS, negara belum menunjukkan keberpihakannya. Negara sebagai aspek aktif negara, sejatinya, dalam relasi industrial, negara dibutuhkan sebagai jembatan bagi kelompok yang lemah. Terkait “hak jaminan sosial, bukan hanya atas perjanjian kerja. Tapi hak yang muncul karena Perundang-undangan, bahkan hak konstitusional. Ketika (BPJS) memblokir karena persoalan buruh belum iuran, maka urusannya dengan pengusaha (tapi hak menerima layanan kesehatan harus tetap diberikan- pen)” Ari Hermawan menandaskan.

Begitu juga dengan persoalan pemberangusan serikat. Sistem hukum perburuhan Indoneisia tidak mengenal pemberangusan serikat (Union busting). Sepanjang pengalaman Ari Hermawan, yang sering dimintai pandangan sebagai ahli dalam sidang di PHI hakim PHI sering menolak atau mengalahkan gugatan union busting terutama keputusan dari hakim-hakim PHI yang masih mengadili perkara dengan pertimbangan yang sangat skriptualis, menggunakan Undang-undang sebagai satu-satunya rujukan pengambilan keputusan. Tak jarang, gugatan buruh yang di atas kertas bisa dimenangkan, kadang kala keputusan hakim tidak bisa diprediksi. Demikian sebaliknya, Ari Hermawan saat menjadi saksi ahli untuk pengusaha yang kasusnya secara akademis menarik (menjadi objek penelitian) yang mengajukan adalah pihak perusahaan, justru biasanya menang. Contoh-contoh rill di meja hijau, menjadi cerminan negara dan sistem hukum belum berpihak pada yang lemah. Sejatinya, “fitrah pemerintah dalam hubungan industrial diantara penguasa dan buruh adalah untuk membela kelompok yang lemah. Jika tidak membela kelompok yang lemah, maka akan muncul eksploitasi secara legal. Dan ternyata pemerintah jarang membela kelompok yang lemah, karena ada kepentingan. Pemerintah berpihak pada kelompok yang diananggap kontributif, dan celakanya itu cenderung adalah pihak pengusaha” tegas Ari Hermawan.

Kondisi buruh PTFI yang tengah memperjuangkan nasib memasuki tahap anti klimaks. Namun solidaritas kelas pekerja terus berdatangan dari berbagai elemen massa rakyat yang termarjinalkan. Terakhir dukungan datang dari rakyat korban Penggusuran Taman Sari, Bandung. Kesewenang-wenangan PTFI yang telah berlangsung lama seakan-akan dibiarkan negara. Barangkali negara ingin “memanjakan” perusahaan yang dianggap kontributif, sembari menjalankan ideologi pembangunan—yang menuntut kestabilan politik sembari meminta tumbal anak bangsa. Sejak pertama kali bercokol di Tanah Papua, PTFI selalu mendapat pelayanan prima dari negara. Negara gemar menggambar-gemborkan setengah “nasionalisasi” lewat divestasi saham, disaat yang sama, buruh yang kontribusinya tak terhitung justru terus dieksklusi hak-hak dan suara mereka dalam pengambilan keputusan.

_____________________________________

[1] “Nestapa Buruh Freeport di antara Negosiasi Jokowi-Trump”, tersedia di: https://tirto.id/nestapa-buruh-freeport-di-antara-negosiasi-jokowi-trump-cFkh, diakses pada tanggal (31/8/2018)

[2] “Team to Investigate Fatal Indonesian Mining Collapse”, tersedia di: https://www.nytimes.com/2013/05/23/world/asia/team-to-investigate-indonesian-mining-collapse-that-killed-28.html?action=click&module=RelatedCoverage&pgtype=Article&region=Footer, diakses pada tanggal (31/8/2018)

[3] “Pernyataan dari Richard C. Adkerson President dan CEO Freeport-McMoRan Inc.”, tersedia di: https://ptfi.co.id/media/files/press/58aac531be1f0_siaran_pers_pernyataan_dari_richard_c._adkerson_ind.pdf  diakses pada tanggal (31/8/2018)

[4] “Belajar Dari Pemogokan Buruh Pt Freeport Indonesia”, tersedia di: http://majalahsedane.org/belajar-dari-pemogokan-buruh-pt-freeport-indonesia/ diakses pada tangal (2/9/2018)

Leave a Reply