Poster – Meikarta Bisnis Properti dan Keadilan Atas Kota – 17 oktober 2017

Bisnis properti dan investasi (membeli) tanah, dinilai oleh publik sebagai sesuatu yang menjanjikan keuntungan tinggi. Lippo Group, salah satu perusahaan properti terbesar di Indonesia tahun 2017 ini meluncurkan project sebuah kota baru bernama Meikarta dengan luas sekitar 500 hektar. Pada tahun 1990an mereka membeli tanah di Cikarang dengan harga rata-rata kurang lebih Rp 5.000 per meter persegi seluas sekitar 500 ha dan menghabiskan dana sekitar Rp 12,5 miliar. Saat ini harga tanahnya Rp 2 juta/m², nilainya sudah Rp 10 triliun (tirto, 21/08/17). Artinya ada potensi keuntungan Rp 9,98 triliun dari hanya membeli tanah kosong. Tapi logika akumulasi kapital Lippo Group tidak lantas begitu saja menjual tanah itu, tapi berupaya disulap menjadi Meikarta.

“Aku ingin pindah ke Meikarta” begitu iklan dari Lippo Group yang secara gencar menampilkan Meikarta sebagai kota metropolitan, dengan ruang terbuka hijau, teknologi canggih, dan disebut sebagai kota termodern di Asia. Narasi yang dibangun Meikarta adalah bahwa kota Jakarta begitu menakutkan karena setiap hari penduduknya dihantui kemacetan, polusi, dan kehidupan yang kumuh. Padahal para perusahaan properti ini memiliki andil membentuk kota Jakarta seperti itu. Sebuah kota yang menyingkirkan orang miskin ke pinggiran dan menjadi kota yang begitu menakutkan. Sekarang para pebisnis properti mulai membentuk kota baru dan mengincar kota lain sebagai target sasaran ekspansi kapital. Kota Yogyakarta menjadi salah satu sasaran ekspansi tersebut yang terlihat dari pembangunan hotel dan apartemen di sepanjang 10 tahun terakhir begitu menjamur. Keadaan itu menimbulkan dampat negatif dan mendapatkan resistensi dari masyarakat, seperti dengan terbentuknya gerakan “Jogja Ora Didol”.

Apakah Meikarta merupakan kota idaman yang begitu nyaman dan layak huni? Untuk siapa pembangunan kota baru seperti Meikarta ini? Apakah masyarakat kecil yang sebelumnya tersingkirkan dari kota-kota besar seperti Jakarta dapat mengaksesnya? Bagaimana pembangunan kota ditentukan? Bagaimana para pebisnis properti meraup pundi-pundi uang? Mengapa Yogyakarta pada dekade ini menjadi sasaran ekspansi kapital? Apakah kota yang berkeadilan dapat terwujud? Jika iya, bagaimana caranya?

Leave a Reply