MAP Corner Klub MKP 28 November 2017 – Kampus Relasi Kekuasaan dan Kekerasan Seksual
Kampus sebagai ruang akademik dan tempat kebebasan berpikir dijunjung tinggi pada kenyataannya menyimpan permasalahan yang pelik. Kasus kekerasan seksual justru rentan terjadi di tempat bertemunya para intelektual itu. Kasus yang ditangani oleh Lembaga Rifka Annisa, pada tahun 2000 hingga tahun 2015 tercatat setidaknya 214 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh profesi pendidik. Saat membuka aduan kekerasan seksual selama satu bulan pada tahun 2017, Rifka Annisa menunjukan bahwa ada 11 aduan, 7 diantaranya dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswa. Belum hilang di ingatan kita mencuatnya kasus pelecehan seksual oleh seorang dosen kepada mahasiswinya di UGM pertengahan tahun 2016 lalu. Setelah dibebebastugaskan sebagai dosen beberapa saat, kini dia mulai aktif kembali sebagai dosen, seperti sedia kala.
Kekerasan dan pelecehan seksual kerap terjadi karena ketimpangan relasi kuasa. Budaya patriarki yang masih tertanam di masyarakat menjadikan perempuan, lebih rentan posisinya untuk mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk; bahkan di institusi pendidikan. Relasi kuasa, menunjukkan adanya keadaan dimana yang satu lebih superior dan yang lain inferior. Kuasa dosen yang begitu sentral dalam menentukan nilai dan kinerja akademik menghasilkan relasi kuasa yang timpang antara dosen dengan mahasiswa. Dosen yang melakukan kekerasan seksual seringkali mengancam para korban, sementara para korban segan melapor karena takut berdampak pada kelangsungan studi mereka.
Mengapa kampus sebagai tempat kebebasan akademik dijunjung justru rentan terjadi kekerasan seksual? Bagaimana relasi kekuasaan civitas akademik yang berimplikasi pada penyimpangan dan kekerasan seksual tersebut? Mengapa korban pelecehan seksual cenderung tidak berani bersuara? Bagaimana menciptakan dunia kampus agar aman dari bahaya kekerasan seksual?