MAP Corner Klub MKP 14 November 2017 – Agama Lokal Negara dan Politik Kewarganegaraan
Penganut agama lokal di Indonesia selama ini dilekati stigma negatif seperti sesat atau tidak bertuhan. Selain itu, penganut agama lokal juga terpinggirkan secara andministrasi kependudukan, sebab selama ini negara tidak mengaukui agama lokal dan menganggapnya kepercayaan saja. Padahal Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003, pernah mencatat terdapat 245 agama lokal di Indonesia. Hal ini berimplikasi pada penganut agama lokal yang seringkali mengalami kesulitan dalam mendapatkan surat-surat kependudukan, pekerjaan, dan jaminan sosial.
Penganut agama lokal lantas mengajukan permohonan pada Mahkamah Konstitusi (MK), dan menuntut pengakuan negara atas agama yang selama ini mereka anut. Pada 7 November 2017, MK memutuskan untuk mengabulkan judicial review terhadap UU Administrasi Kependudukan. Hasilnya, para penganut agama lokal dapat mencantumkan agamanya pada kolom KTP. Putusan MK ini menuai pro dan kontra. Berbagai kalangan menentang keputusan MK, namun tidak sedikit pula yang mendukungnya.
Bagaimana sejarah pengakuan terhadap enam agama dan pendiskriminasian terhadap penganut agama lokal? Apa yang sebenarnya dimaksud sebagai agama? Apakah tidak diakuinya agama lokal tersebut merupakan bagian dari politisasi agama? Apa implikasi dari tidak adanya pengakuan itu? Bagaimana dampak dari keputusan MK terhadap kehidupan penganut kepercayaan lokal ke depan? Apakah rekognisi terhadap kepercayaan lokal saja sudah cukup untuk menjamin kehidupan
penganut agama lokal?