Perebutan Makna May Day dan Upaya Depolitisasi Kesadaran Kaum Buruh

Peringatan hari buruh (May day) tahun ini, diwarnai dengan berbagai wacana yang berupaya mendistorsi semangat May Day. Selama sebulan menjelang tanggal 01 Mei 2018, di dunia maya dan dunia nyata, telah ramai bermunculan berbagai ajakan (meme, poster, ataupun tagline) untuk memperingati hari buruh melalui kegiatan yang “lebih bermanfaat” dibanding melakukan aksi massa turun ke jalan (demonstrasi). Seperti misalnya, lomba memancing, memasak, bermain futsal, festival band, ceramah agama, panggung hiburan, dan masih banyak lagi.

Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, Hanif Dhakiri, menghimbau agar May Day dilaksanakan dan dikemas secara menarik, hingga lahirlah slogan “May Day is Fun Day” (Tempo, 27 April 2018). Imbauan “May Day is Fun Day” berisi wacana yang mencoba menggiring pandangan rakyat (terutama kaum buruh) untuk memaknai May Day tidak lebih untuk bergembira atau bersantai layaknya hari libur lain. Bagi buruh yang memiliki leisure time (waktu bersantai/rekreasi) terbatas, wacana seperti demikian tentu menjadi sarana pemikat yang cukup. Terlebih, dari berbagai lomba atau festival di atas mencantumkan hadiah yang cukup menggiurkan, mulai dari HP hingga sepeda motor. Alhasil tagar #MayDayIsFunDay, membanjiri berbagai kanal media sosial maupun berita di dunia maya. Akan tetapi, benarkah makna May Day sendiri se –Fun (menggembirakan)- itu? Untuk lebih jelasnya, perlu kembali diperiksa sejarah kemunculan May Day.

May Day, Mengenang Perjuangan Berdarah

Peringatan Mayday berawal dari sejarah perjuangan buruh dalam menuntut pemotongan durasi kerja. Pada saat perkembangan pesat industrii di Eropa dan Amerika Serikat di awal abad ke 19, buruh dipekerjakan secara tidak manusiawi. Mereka dipekerjakan dari mulai matahari terbit, hingga matahari terbenam atau lebih tepatnya sekitar 19 hingga 20 jam / hari[1]. Jam kerja yang tidak manusiawi tersebut, pada akhirnya memunculkan kesadaran buruh untuk melawan. Buruh mengekspresikan kesadaran politiknya dengan cara mogok kerja, dilanjutkan turun kejalan dengan menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam/hari.

Pada 1 Mei 1886, lebih dari 350.000 buruh di Chicago, Amerika Serikat, mengadakan demo besar-besaran. Aksi berlangsung selama empat hari ini, menuntut perbaikan kehidupan bagi para buruh. Sebagai respon, para pengusaha (kapitalis) menggunakan negara untuk merepresi gerakan perlawanan buruh. Sifat represif, tersebut membuat tidak sedikit kaum buruh terbunuh dan terluka. Untuk menggembosi perlawanan, para pemimpin gerakan “diamankan” dan dikirim ke tiang gantungan.

Tragedi pilu yang mencoreng naluri kemanusiaan tersebut, selanjutnya dikenal dengan sebutan Haymarket Affair. Peristiwa tersebut telah membawa kemenangan besar bagi kaum buruh. Salah satunya menjadikan jam kerja menjadi 8 jam kerja perhari. Sesuai keputusan kongers Paris tahun 1889 dari international kedua, 1 Mei 1890 akhirnya ditetapkan untuk mengenang jasa martir haymarket yang tewas, terluka, dan dihukum mati. Sebagai rasa solidaritas, kaum buruh di seluruh Eropa dan Amerika juga melakukan demonstrasi dan pemogokan masa di tanggal yang sama. Sejak saat itu, kaum buruh di Seluruh Dunia mulai merayakan hari pertama di bulan Mei sebagai Hari Buruh Internasional. May Day menjadi momentum solidaritas kelas pekerja dalam mengenang masa lalu, sekaligus membangun masa depan yang lepas dari jerat sifat eksploitatif dari sistem kapitalisme.

Di Indonesia (saat itu masih Hindia-Belanda), peringatan May Day mulai dilakukan pada tahun 1918. Itu merupakan peringatan May Day pertama di Asia. Paska kemerdekaan, peringatan May Day mendapat legitimasi melalui Undang-Undang Kerja No 12. Tahun 1948. Akan tetapi, paska peristiwa kelam 1965 yang mengantarkan Soeharto ke tampuk kekuasaan, membuat pandangan terhadap May Day berubah siginifikan. May Day dilarang oleh Soeharto untuk diperingati (Zuhdan, 2014; 277). Di bawah rezim Soeharto, negara menjadi begitu represif terhadap gerakan serikat buruh. Gerakan buruh disadari betul oleh rezim Orde Baru sebagai kekuatan yang dapat merebut kekuasaanya. Alhasil gerakan buruh diberangus, hingga tersisa satu organisasi buruh yang dizinkan, yakni Sarikat Pekerja Seluruh Indoensia (SPSI) (Nugroho dan Tjandraningsih, 2012). SPSI diizinkan, karena dikendalikan penuh oleh rezim Soeharto. SPSI tidak merepresentasikan sebagai organisasi yang mewakili kepentingan kelas buruh, karena seringkali justru menjadi alat legitimasi bagi pengusaha-penguasa. Paska kejatuhan Soeharto akibat Reformasi, peluang untuk memperingati May Day kembali terbuka. Pada tahun 2013, pemerintah menetapkan 01 Mei sebagai hari libur nasional.

Melemahkan Gerakan Buruh Lewat Wacana

Negara dalam konsep marxis, merupakan wadah pertarungan antar kelas. Seperti dalam kasus reproduksi wacana May Day is Fun Day, Negara Indonesia, cenderung memihak pada kelas kapitalis. Buruh dijinakan agar tidak melakukan aksi dan menuntut berbagai macam kebutuhan dalam moment peringatan May Day. Keberpihakan negara tentu tidak dapat terlepas dari pertarungan antara kelas, yang sialnya untuk di Indonesia dimenangkan oleh kelas kapitalis. Kemenangan tersebut, tidak terlepas dari perpindahan kekuasaan ke Soeharto yang disertai perubahan besar dalam peta ekonomi politik Indonesia. Kekuatan kelas buruh, mulai dari serikat buruh hingga buruh tani yang progresif, telah di bumi hanguskan dalam peristiwa 1965. Alhasil, kelas kapitalis menjadi pemenang tunggal yang menyeret negara cenderung berpihak padanya.

Buruh memainkan peran penting dalam dalam sebuah sistem ekonomi-politik. Reuschemeyer (dalam Asgart, 2012), menunjukan tiga alasan kekuatan besar yang dimiliki buruh. Pertama, buruh memiliki kemampuan lebih untuk memobilisasi massanya melakukan gerakan politik. Mobilisasi buruh kerap kali digerakkan atas dasar kesadaran kolektif bahkan kesadaran kelas setelah mengalami eksploitasi dalam hubungan produksi. Kedua, gerakan buruh berbeda dengan gerakan mahasiswa, misalnya dapat menimbulkan dampak ekonomi yang meluas baik bagi perusahaan maupun ekonomi makro negara dalam berhentinya produksi ketika terjadi aksi mogok kerja. Terakhir, gerakan buruh dapat memicu munculnya persoalan sosial-politik baru, terutama di daerah-daerah konsentrasi industri, bahkan dapat memaksakan pergantian rezim atau perubahan struktur politik.

Para pengusaha sebagai lawan dari kaum buruh tentu menjadi pihak yang paling dirugikan dari kekuatan buruh. Mereka lantas menggunakan negara untuk menghegemoni dan mendepolitisasi kesadaran kaum buruh. Sesuai Gramsci, menghegemoni berarti membuat yang di pimpin (kaum buruh) memberikan legitimasi terhadap tindakan penguasa (negara – pemerintah), walaupun tindakan tersebut mensubordinasi mereka dan yang dikuasai tersebut berusaha menginternalisasi nilai-nilai yang berusaha diberikan kelas penguasa. Sehingga pandangan yang diberikan oleh penguasa menjadi sebuah kewajaran (common sense) bagi mereka yang dikuasai. Kewajaran tersebut pun diproduksi, dan ditelan mentah-mentah, menjadi hal-hal yang tidak perlu dipertanyakan[2].

Wacana yang dikampanyekan oleh para pengusaha dan penguasa, merupakan upaya untuk menyingkirkan makna kritis May Day sebagai hari perjuangan kaum buruh. Tujuan wacana itu adalah untuk mendepolitisasi kesadaran kelas buruh. Dengan memaknai May Day secara seremonial belaka, maka kesadaran kelas menjadi menjauh. Itu agar seperti peringatan hari Kartini (dalam perspektif arus-utama), yang dimaknai hanya sebatas memakai kebaya dan lenggak-lenggok beradu kecantikan. Dengan nalar seremonial, cita-cita perjuangan Kartini untuk menentang kolonialisme dan feodalisme menjadi tersisihkan. Perayaan Kartini kemudian secara umum memiliki jejalin dengan apa yang diinginkan oleh penguasa, agar rakyat hanya memetik abunya dibanding api perjuangannya.

Peringatan May Day melalui wacana dari penguasa, berupaya mengilusi kesadaran kelas buruh. May Day dicitrakan sebagai hari untuk bersenang-senang, hari untuk berkumpul dengan keluarga, dan waktu untuk beritirahat dari rutinitas yang melelahkan selama ini di tempat kerja. Tujuanya, agar kenyamanan kelas kapitalis tidak terusik dan buruh mengilusi kesadarannya hanya untuk bergembira ria sehingga menjadi abai bahwa di pabrik, mereka mendapatkan perlakukan yang diskriminatif dan tidak manusiawi.

Semua Itu Tidak Diperoleh Hanya Lewat Lomba

Mengingat sejarah May Day, menjadi memilukan sekali bila momentum ini diperingati dengan seperti cara bersenang-senang seperti wacana Fun Day.  Kembali pada hakikatnya, May Day merupakan momentum untuk memperjuangkan kepentingan kelas buruh untuk meraih keadilan, kesetaraan, dan kesadaran bagi umat manusia. Melawan negara dan kelas kapitalis, gerakan buruh perlu mengobarkan kembali perlawanannya. Mulai dari menyebarkan wacana kontra-hegemoni, hingga tidak lelahnya bergabung bersama gerakan rakyat untuk turun ke jalan setiap 1 Mei dengan tuntutan yang progresif. Dengan aksi massa dan tuntutan progresif, para buruh akan menjadi sadar bahwa: hak cuti, delapan jam kerja, hak berserikat, hak mendapatkan pesangon, hak untuk kesehatan, hak untuk memperoleh hari libur, hingga kesetaraan upah bagi laki-laki dan perempuan, merupakan  hasil dari perjuangan panjang kaum buruh. Segala macam kemudahan itu, tidak didapatkan dari perlombaan memasak atau futsal, melainkan dari kesadaran revolusioner untuk menekan dan memaksa penguasa untuk memenuhi tuntutan mereka.

Workers of the world, Unite!. You have nothing to lose but your chains! Selamat memperingati dan mengisi May Day sebaik-baik dan sehormat-hormatnya! A luta continua!

 

Referensi:

Arief, Budiman. (1997). Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Asgart, Sofian M. (2012). Membangun Pakta Sosial Berbasis Gerakan Buruh dalam Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan Perburuhan Mengenang Fauzi Abdullah. Depok: Kepik.

Gramsci, Antonio. (2013). Prison Notebook: Catatan-catatan Dari Penjara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lenin, Vladimir Ilyich. (2016). Negara dan Revolusi: Teori Marxis dan Tugas-tugas Proletariat dalam Revolusi. Cetakan Pertama, terjemahan dari Collected Works. Yogyakarta: Antitesis.

Nugroho, H. dan Indrasari Tjandraningsih. (2012). Rezim Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja dan Tanggung Jawab Negara dalam Memetakan Gerakan Buruh: Antologi Tulisan Perburuhan Mengenang Fauzi Abdullah. Depok: Kepik.

Trachenberg, Alexander. (1932). The History of May Day. International Phamplets. Newyork: 799 Broadway.  (Diakses dari http://www.marxist.org/subject/mayday/articles/tracht.html, pada 28 April 2018).

Zuhdan, Muhammad. (2014). Perjuangan Gerakan Buruh Tidak Sekadar Upah: Melacak Perkembangan Isu Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Reformasi. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 17 No. 3 Edisi Maret 2014.

https://majalahsedane.org/polisi-mals-kerja-tapi-rajin-nyinyir/. Diakses pada 27 April 2018.

https://nasional.kompas.co./read/2018/04/27/16281131/imbauan-may-day-is-fun-day-dianggap-belokkan-sejarah-buruh. Diakses pada 28 April 2018.

https://tirto.id/meme-buruh-berlibur-saat-mayday-untuk-gembosi-gerakan-buruh-cJeW. Diakses pada 27 April 2018.

 

[1] Baca lebih lanjut dalam Alexander Trachenberg, “The History of May Day”, International Phamplets. 799 Broadway, Newyork

[2] Baca lebih lanjut dalam Antonio Gramsci. Prison Notebook: Catatan-catatan Dari Penjara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Leave a Reply