Yang Berat Bukan Rindu, Tapi Neoliberalisasi Pendidikan

Sebuah ‘pesan kawat pembelajaran’ polemik pendidikan dari Negeri Paman Sam

Cukup sudah spam dari syndrome effect film Dilan yang patriarkis itu menjejali timeline media sosial saya. Kita harus segera move-on menuju ke film yang lebih bermanfaat bagi kemaslahatan kelas pekerja. Seperti bunga di musim semi, saatnya kesadaraan kritis mekar bersama sinar film yang akan saya ulas: Ivory Tower.

Meskipun mengalir darah Film Maker di tubuh saya (alumni multimedia di STM & Pattani Tech Thailand), namun saya tak akan menyuguhkan ulasan yang berkutat dari sudut pandang multimedia. Akan membosankan jika saya sekadar mendongeng tentang alur, pengambilan gambar, dan kemampuan akting artis di film Ivory Tower. Saya akan menyelami film ini dari substansinya, dari curahan hatinya, dari kegusarannya, dari implikasi kebijakan Student Loans (sistem hutang pada Pelajar) dan membumikannya dari kasus di Amerika ke Ameriki atau Indonesia.

Pada 15 Maret 2018 lalu, Student Loans menjadi perbincangan khalayak ramai semenjak diusulkan Pak De Jokowi. Di tengah rezim neoliberal paska 1998 yang menjerat segala tindakan kepala negara, Pak De yang digembar-gemborkan pro rakyat oleh sebagian kalangan, ternyata bertekuk lutut dihadapan gelombang neoliberalisasi pendidikan. Saya sendiri bertanya-tanya maksud usulan Pak De, sebenarnya dia itu tau atau tidak, apabila kebijakan Student loans di negeri Paman Sam sana itu justru menuai kritik keras. Student Loans yang dinilai jadi solusi, justru menjadi berbagai masalah, mulai dari: penyalahgunaan anggaran, mematikan nalar intelektualitas kampus, dan menuju komersialisasi pendidikan yang membuat rakyat kecil sulit mengaksesnya. Alhasil Student Loans menjadi mekanisme hutang yang menguntungkan perusahaan peminjam (Collinge,2009).

Film Ivory Tower ini juga menjadi bahan bakar bagi skripsi saya yang kebetulan mengusung tema: Neoliberalisasi Pendidikan. Apalagi di tengah situasi kartu kuning yang diberikan oleh DMKP UGM kepada saya karena tidak segera lulus-lulus.

Semenjak menyandang gelar mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) di tahun 2013 -hingga sekarang, belum pernah saya temukan penghuni Bulaksumur yang nonton bareng atau mendiskusikan film ini.  Entah kenapa film ini menjadi begitu tidak penting di sini – kalah dengan film Dilan mungkin?-. Padahal, film ini menjadi begitu relevan di tengah gelombang besar yang memaksa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia –berarti UGM juga-, agar bersifat komersil melalui rupa PTN Berbadan Hukum (PTN-BH). Tidak bisa dihindari, biaya kuliah yang setinggi langit menjadi hasil dari transformasi itu. Bagai kepiting di tepian karang, anak petani marhaen seperti saya ini, tentu kelabakan dihantam badai mahalnya biaya kuliah di sini.

Ivory Tower, Student Loans, dan Hedonisme Kampus

Oke, dalam 1 jam 48 menit, saya tangkap jika Adrew Rossi (sutradara film) ingin mengulik tentang biaya kuliah dan mekanisme Student Loans yang telah melampaui batas –jumlahnya lebih besar dari utang kartu keredit di Amerika Serikat (AS). Film Ivory Tower memblejeti (mengupas tiada ampun) kampus-kampus AS yang selama ini menjadi kiblat pendidikan tinggi dan menunjukan ternyata banyak cacat di dalamnya. Subjek yang diangkat Rossi antara lain, mahasiswa korban Student Loans, Birokrat Kampus, Pejabat Federal, Dosen, Peneliti, Penulis Buku Kritis, dan tidak lupa Aktivis Kampus. Tiga pertanyaan besar yang menjadi ruh film: Apakah Perguruan Tinggi layak berbiaya mahal? Berapa beban yang ditanggung masyarakat apabila pendidikan tinggi tidak dirombak? serta apa implikasinya?

Seperti yang saya janjikan, Student Loans menjadi tersangka utama yang dieksekusi oleh Ivory Tower. Sederhananya Student Loans itu merupakan hutang yang disediakan bank, untuk digunakan mahasiswa membiayai kuliahnya. Nah, hutang itu nanti dibayar ketika mahasiswa sudah lulus dan mendapat pekerjaan.

Jadi kalo pake Student Loans, kewajiban pertama para mahasisa ketika diterima kerja bukan traktiran, ditabung untuk melamar kekasih hati, diberikan kepada orang tua atau untuk zakat, tetapi untuk bayar hutang!

Ada dua jenis paket Student Loans di negeri Paman Sam, yakni paket federal loans dan private Student Loans. Federal loans merupakan pinjaman yang dijamin pemerintah, ada yang subsidi dan non sobsidi. Sedangkat Private Student Loans, tidak dijamin pemerintah, mahasiswa langsung berhadapan dengan bank atau perusahaan keuangan. Perlu dicatat, paket yang kedua itu lebih menakutkan, karena biayanya lebih tinggi dan dendanya juga banyak (Schrag dan Pruett, 2010; Glater, 2011; Simkovic, 2013).

Hutang dari mekanisme Student Loans di AS melejit tiap tahunnya. Mulai dari 2010, 2015, dan 2016 berturut-turut mencapai $ 830 milliar, $ 1,3 trilliun, dan $ 1,4 trilliun. Jumlah terakhir itu, setara dengan 7,5% Produk Domestik Bruto (PDB) AS ditahun 2017. Kalau dirupiahkan menjadi Rp 19.242.987.995.448.210.00 (kurs rupiah 13.744,99). Gimana bingung gak menyebutkan berapa jumlah deretan angka tersebut? Berdasarkan hasil riset etnografi saya sejak 2013 hingga sekarang, jumlah itu sudah cukup apabila digunakan untuk nyalon Presiden selama enam turunan, atau makan nasi kucing di angkringan selama satu abad.

Biaya pendidikan dan perubahan sifat pendidikan (public goods menjadi private goods), menjadi scene utama Film. Lewat buku College What It Was, is and Should Be, Andre Delbanco (2012), menunjukan jika kedua hal itu telah menggeser Humman right-humanity dan ruang demokrasi menjadi barang dagangan. Sejak 1980an, subsidi pemerintah AS berkurang hingga 40%, di sisi lain, beban biaya mahasiswa meroket hingga 230%. Ditambah lagi dana Pell Grant (beasiswa penuh mahasiswa berpenghasilan rendah) turun tajam dari 116% di tahun 1977 menjadi hanya 42% di tahun 2012. Secara kumulatif, biaya pendidikan di AS mengangkasa hingga 1120% dari tahun 1978 hingga 2010. Lucunya, Bennet (1987) menemukan jika peningkatan Student Loan membuat perguruan tinggi juga giat menaikan biaya kuliah. Atau jika saya peragakan jadinya gini, “jika mahasiswa selalu bisa ngutang lebih banyak ke Bank, ngapain Perguruan Tinggi turunin biaya? Cari untung dong”.

Andrew Rossi dkk, sepertinya mengerti peragaan saya, sehingga dalam film itu lantas menginvestigasi pejabat kampus di AS. Lebih maju daripada saya, Rossi dkk digelisakan dengan pertanyaan: Untuk apa kelebihan keuntungan itu? Jawabannya ternyata dalam rangka mengkonstruksi kampus menjadi World Class University.

Alih-alih melakukan pembangunan intelektualitas, dalam Film itu, Pendidikan Tinggi justru hadir dengan sosok hedonnya lewat kegiatan berbagai belanja barang yang sebenarnya tak penting dalam jutaan dollar (didalamnya ada iuran mahasiswa lho). Misalnya, membangun gedung mewah, fasilitas hiburan, dan the Vue Luxury Student Housing. Seperti di Arizona State yang ada kolam renang besarnya, Auburn University yang lengkap dengan pusat rekreasinya, atau University of North Dakota dan masih banyak sekali.  Selain ingin mewujudkan World Class University, niat lain tidak lebih untuk menggaet para calon mahasiswa.

Tak usah ditutupi lagi, fenomena kampus hedon semacam itu juga banyak terjadi di Indonesia. Lihat saja, persaingan antar Unversitas dalam satu daerah atau fakultas dalam satu universitas, yang justru berlomba membikin gedung terkeren, tertinggi, termegah. Lho uangnya dari mana?, ealah, tinggal utang atau deal-dealan dengan perusahaan perusak lingkungan semua akan beres. Tentu kita, tak asing kan dengan kedai kopi mahal, Starbucks di ‘jatung literasi’ a.k.a perpus Universitas Indonesia? Jangan salah juga, di pekarangan UGM sendiri, berdiri (mantan) Mall a.k.a Plaza UGM, yang sayangnya mangkrak karna menyalahi aturan tata ruang.

Ivory Tower atau Menara Gading bermaknya kemegahan yang semu dan mengawang, terhalang pembatas untuk mendekat dan jauh dari atmosfer relasi kemanusian. Soal demokrasi kampus, kehadiran pengajar, pembelajaran, pembaharuan koleksi perpustakaan? Bisa diperdebatkan.

Gerakan Mahasiswa di Ivory Tower

Menderita siksaan ekonomi tragis macam itu, apakah mahasiswa AS diam? ternyata tidak saudara-saudara. Demontsrasi menolak Student Loans membesar sejak tahun 2012. Mulai dari aksi Student for A Free Cooper Union Rally (pada tahun 2012), Strike Debt Protes yang berlangsung 17 hari tersebut, membakar tagihan debit dan March on The State House California. Film Ivory Tower, menempatkan scene ini, dengan istimewa karena memberinya lebih dari 30 menit dari durasi film. Sumbu ledakan gerakan mahasiswa Cooper Union, dimulai oleh pembangunan gedung mewah yang menghabiskan pinjaman $ 175 juta di tahun 2006. Belum puas, birokrat kampus lantas menyalahgunakan anggaran untuk investasi di Hedge Funds, namun sialnya ambruk terkena krisis keuangan tahun 2008.

Tahun 2011 menjadi puncak penyulut, kebijakan Bharuca merombak secara radikal Cooper Union, yang semula gratis selama 150 tahun, kini menjadi berbayar. Meledakalah aksi mahasiswa yang telah geram, dengan menduduki gedung rektorat selama 6 hari dan memutus aliran listrik. Tergelitik batin saya karena belum pernah meniru langkah mereka. Tetapi imajinasi saya tak bisa terbendung, untuk berencana meniru langkah lain mereka ketika wisuda. Bersama 5000 lebih mahasiwa melakukan Walk Out saat rektor berpidato di acara wisuda dan membentangkan tulisan Free Education For All. 

Selalu Ada Alternatif

Menolak Student Loans tanpa alternatif, tentu akan mendatangkan nyinyir netizen dari empat penjuru mata angin. Tenang, film Ivory Tower telah menyediakan durasi khusus untuk membahas alternatifnya. Misalnya, di Deep Spring College yang menyediakan kuliah gratis dengan relasi dosen dan mahasiswa lebih cair dan egaliter. Atau dengan adopsi gerakan UnCollege, di San Franscisco, yang dengan jargon Hacking Your Education menghadirkan pendidikan gratis terbuka, komunal dengan kurikulum independent. Bagi yang minim mobilitas, juga ada alternatif kuliah gratis online lewat Free Online Learning MOOC (Massive Open Online Course), digagas oleh sekumpulan professor Stanford University pada tahun 2011. Meskipun perlu diakui bahwa, alternatif yang disediakan masih bersifat sektoral.

Pak De Jokowi dan Netizen masih perlu alternatif lain? oke, saya sarankan menengok ke Eropa, tepatnya Jerman. Sejak tahun 2014, biaya perkuliahan di Jerman telah digratiskan. Usulan kuliah gratis di Jerman sebenarnya telah dimulai oleh Partai Sosial Demokrat sejak 1976. Namun, partai konservatif di tahun 2005 merubahnya, kuliah kemudian dibebani biaya 500 euro/ semester. Keberhasilan gerakan rakyat memang tidak membohongi, kebijakan tersebut kemudian dicabut pemerintah setelah di tekan 70.000 rakyat dan mahasiswa Jerman. Lower Saxony menjadi negara bagian terakhir, yang membebaskan biaya kuliah di tahun 2014. Lewat forum kebijakan yang berkala dan berkelanjutan, 80% kebutuhan anggaran semua institusi Pendidikan tinggi telah dicukupi oleh negara (Kehm,2014). Darimana seluruh uang itu berasal? tidak lain dan tidak bukan merupakan hasil dari pajak progresif.

Lalu bagaimana dengan negara di kapitalisme pinggiran seperti Indonesia ini? jangan lupa negara maju memiliki kemudahan dalam menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya tidak lain karena sejarah panjang penjajahan atas negara bekas koloni hingga saat ini. Untuk mencarikan role model yang sesuai dengan tanah air, negara Chile menjadi opsi paling potensial. Sebagai sesama pesakitan jeratan neoliberal, Chile mewarisi kebijakan liberalisasi pendidikan dari rezim Augusto Pinochet (Soma, 2012). Meskipun banyak kemiripan, soal gerakan-khususnya gerakan mahasiswa & rakyat, kita perlu mengakui keunggulan Chile dan perlu belajar darinya. Misalnya, pada Mei 2006, dimana pelajar SMA dan Serikat Guru bersatu untuk menginisasi Revolusi Pinguin yang mengusung empat tuntutan utama: pendidikan gratis, prioritas pendidikan publik, penolakan penyedia pendidikan nirlaba, dan penghapusan praktek diskriminatif sekolah (Domedel & Penay Lillo, 2008). Seperti tidak mau kalah, lima tahun kemudian lebih dari 8000 mahasiswa perguruan tinggi di Chile, menggelar aksi gerakan Musim Dingin (Chilean Winter-Winter of Discontent).

Jauh dari mengkultuskan diri sebagai agent of change yang terpisah dari rakyat, gerakan tersebut lebih sepakat mendaku dirinya dengan “gerakan rakyat”. Alhasil term ini melahirkan persatuan antara mahasiswa, serikat buruh, serikat tani, serikat guru, orang tua pelajar, dan pelajar SMA (Cabalin, 2012; Salinas & Fraser, 2012). Setengah juta orang melakukan aksi, pemogokan kuliah/kerja, menduduki sekitar 600 sekolah, mimbar publik, mars mingguan yang bisa dihadiri 100.000 orang selama selama 7 bulan lebih terhitung sejak 28 April 2011 (Cristián Bellei & Cristian Cabalin, 2013). Lewat jejak pendapat, 80% masyarakat chile lantas menyepakati tuntuan di atas, kebutuhan biaya pendidikan yang mencapai 8,3 juta dollar/tahun akan ditanggung oleh pajak progresif kepada perusahaan para konglomerat yang telah meraup keuntungan sejak lama.

Perkembangan selanjutnya, Front Populer (pelajar) ini bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik dan mengambil peran serta posisi pemerintahan di akhir tahun 2011. Sebagai aktor politik di arena pendidikan, mahasiswa mencoba untuk menjadi bagian dari konteks pengaruh, produksi literasi sekaligus praktik riil (Bowe, Ball, & Gold, 1992). Mereka kemudian berhasil menempatkan perwakilan front sekaligus tokoh pelajarnya di parlemen, seperti Camila Vallejo eks Koordinator CONFECH (Partai Komunis Chile) dan Gabiel Boric (Partai Otonom Kiri) pada pemilu tahun 2013. Bergabung bersama aliansi sayap kiri, mereka lantas mengusung Michelle Bachelet Jeria sebagai presiden di Pemilu 2013. Terpilih pada 11 Maret 2014, Bachelet melalui Menteri Dalam Negeri Chile, Rodrigo Penailillo menyatakan akan mengakomodasi tuntutan gerakan dan memberlakukan pendidikan gratis pada Maret 2016.

Menutup Scene Film Ivory Tower, cukup membuat hati dan pikiran berkecamuk tiada henti. Pilihan tontonan dan tuntunan yang tepat untuk menghilangkan kejenuhan dari bayang menye-menye Dilan. Namun, setidaknya ada empat poin yang belum terjamah oleh Rossi dalam menggarap Ivory Tower. Pertama, kelahiran makelar kredit dari Student Loans.  The Attorney General of New York State pada tahun 2007 menangani kasus dimana banyak universitas mengarahkan peminjam mahasiswa ke ‘pemberi pinjaman pilihan’ yang mengenakan suku bunga lebih tinggi. Sebagai imbalanya oknum bagian bantuan keuangan universitas mendapatkan uang ‘pelicin’ dan ‘imbalan’ dari pemberi pinjaman (USA Today, 10/04/2007; Lederman,2007). Kedua, maladministrasi berkas lembaga peminjaman seperti kasus Sallie Mae dan Nelnet yang dikenai gugatan $ 55 juta (Field, 2010). Ketiga, bagi hasil pemerintah federal dengan perbankan– bagaimana dan untuk apa kredit Student Loan ini dikapitalisasi oleh perbankan. Keempat, bahasan mengenari sejarah krisis ekonomi AS dan bagaimana para pemilik modal bertransformasi lantas mencuci tangan.

Dari semua kekuranganya, yang paling disayangkan tentu ialah absenya analisis kelas dalam film Ivory Tower. Film ini hanya berkutat pada persoalan mahasiswa, sistem birokrasi dan penyesuaian suku bunga. Scene Gerakan mahasiswa, yang memakan durasi 30 menit pun, tidak menampilkan tanda-tanda aliansi dengan gerakan rakyat: seperti serikat buruh. Jauh berbeda dengan contoh yang saya ajukan, ketika gerakan mahasiswa melebur menjadi gerakan berbasis kelas di Chile.

Kita memang tidak bisa berekspektasi banyak dari film Ivory Tower. Namun, sebagai sebuah pelecut, film ini cukup untuk membangkitkan diskursus mengenai pendidikan di tanah air. Bagaimana keberpihakan negara, intervensi pasar atau arah gerakan mahasiswa. Jikalau benar Pak De Jokowi mau menerapkan Student Loans, sebagai alumni yang cukup sering ngeceng di kampus, tentu dia perlu menengok pidato Soekarno ketika mendirikan UGM:

“…Gadjah Mada adalah sumber mu, Gadjah Mada adalah mata air mu, mengalirlah ke laut pengabdian kepada Rakyat, bukan kepada kemuktian diri. Bung Karno,1959”.

Jika pemerintah tatap bersikukuh sampai berteriak “Student Loans Harga Mati“!, maka saya usulkan agar dia juga sekalian merombak pasal 31 UUD 1945 dan Pasal 63 UU Pendidikan Tinggi, yang bertulisakan “Peguruan tinggi baik negeri maupun swasta berprisip nirlaba (tidak mencari keuntungan) “.

To be continued, Mereka bisa mematikan setiap tunas bunga ditaman, tetapi tidak bisa menghentikan datangnya musim semi. Free education for all.

 

Daftar Pustaka:

Armstrong, Elizabeth A. dan Laura T. Hamilton. 2013. Paying for the Party : How College Maintains Inequality. Cambridge MA : Harvard University Press.

Bellei, Chilean Cristián dan Cristian Cabalin. 2013. Current Issues in Comparative Education : Student Movements Sustained Struggle to Transform a Market-oriented Educational System. Columbia University 15(2): 108-123.

Bennett, William J. Our Greedy Colleges.Nytimes.com. The New York Times Company, February 18, 1987. Web. April 28, 2016

Bowe, R., Ball, S., & Gold, A. 1992. Reforming Education and Changing Schools. Case Studies in Policy Sociology. London: Routledge

Cabalin, C. (2012). Neoliberal education and student movements in Chile: Inequalities and malaise, Policy Futures in Education, 10(2), 219-228.

Collinge, Alan Michael. 2009. The Student Loan Scam: The Most Oppressive Debt in U.S. History-and How We Can Fight Back. Boston : Beacon Press

Cuomo: School Loan Corruption WidespreadU.S.A. Today. April 10, 2007. https://usatoday30.usatoday.com/money/industries/banking/2007-04-10-cuomo-student-loan-probe_N.htm . Diakses pada 20 Maret 2018

Delbanco, Andrew. 2012. College: What It Was, Is, and Should Be. Princeton: Princeton University Press

Domedel, A., & Peña y Lillo, M. 2008. El Mayo De Los Pingüinos. Santiago: Ediciones Radio Universidad De Chile.

Federal Reserve Bank of New York (Februari 2017)Quarterly Report on Household Debt and Credit

Field, Kelly (Agustus 15, 2010). Nelnet to Pay $55 Million to Resolve Whistle Blower Lawsuit. The Chronicle of Higher Education. https://www.chronicle.com/article/Nelnet-to-Pay-55-Million-to/123912

Glater, Jonathan. 2011. The Other Big Test: Why Congress Should Allow College Students to Borrow More Through Federal Aid Programs, 14 N.Y.U. J. LEGIS. & PUB. POL’Y 11

Kehm, Barbara. (Oktober 13, 2014). How Germany Managed to Abolish University Tuition Fees. https://theconversation.com/how-germany-managed-to-abolish-university-tuition-fees-32529. Diakses pada 20 Maret 2018

Lucca David O, Taylor Nadauld & Karen Shen. 2015. Credit Supply And The Rise In College Tuition: Evidence From The Expansion In Federal Student Aid Programs. FRBNY. July 2015. https://www.newyorkfed.org/research/staff_reports/sr733.html . Diakes pada 7 Maret 2018

Lederman, Doug (Mei 15, 2007)The First Casualty. Inside Higher Education. http://www.insidehighered.com/news/2007/05/15/texas . Diakses pada 7 Maret 2018

Rossi, Andrew. 2014. Ivory Tower Film. US : Samuel Goldwyn Films

Salinas, D., & Fraser, P. (2012). Educational opportunity and contentious politics: The 2011 Chilean student movement. Berkeley Review of Education, 3(1)

Schrag, Philip G. & Charles W. Pruett. 2010. Coordinating Loan Repayment Assistance Programs with New Federal Legislation, 60 J. LEGAL EDUC. 583, 590-597

Shandy, Anggar Pradana (21 Maret, 2017) http://anarkis.org/no-se-vende-educacion-belajar-dari-gerakan-mahasiswa-chile/. Diakses pada 30 Maret 2017

Simkovic, Michael. 2013. Risk-Based Student Loans (September 5, 2011). Washington and Lee Law Review, Vol. 70, No. 1, p. 527.

Sitrin, Marina. 2006. Horizontalism: Voices of Popular Power in Argentina. AK Press

Soma, Nicolas M. ‘The Chilean student movement of 2011-2012: challenging the marketization of education’. Interface: a journal for and about social movements. Vol. 4.  No. 2. November 2012. Hal. 300.

Thompson, Carolyn (Maret 27, 2014). $1 Trillion Student Loan Debt Widens US Wealth Gap. Associated Press.

Student Loans Consumer Information. www.consumer.ftc.gov. Diakses pada 7 Maret 2018.

__. Student Loans Owned and Securitized, Outstanding. Research.stlouisfed.org. New York Federal Reserve, April 7, 2016.

Leave a Reply