Ilusi Kebebasan Berserikat Buruh dalam Pasar Kerja Fleksibel Neoliberal

Peringatan May Day dalam dua tahun terakhir memang spesial. Hari Buruh sedunia dijadikan hari libur nasional setelah terakhir kali dilakukan pada masa Soekarno. Tentu, ini bukan hadiah dari penguasa. Buruh telah dan terus gencar melancarkan aksi jalanan untuk menuntut hak-hak mereka, termasuk pengakuan dari negara akan sumbangsih penting mereka bagi perekonomian. Aksi jalanan yang demikian masif dimungkinkan sejak liberalisasi serikat pasca Soeharto ambruk. Melalui UU No.21/2000 tentang Serikat Buruh/Pekerja, sekurang-kurangnya 10 orang buruh dapat membentuk serikat buruh di suatu perusahaan. Meskipun sedikit menyimpang dari konvensi inti ILO No.87 namun UU ini dianggap mendorong berjalannya demokratisasi di tempat kerja melalui serikat pekerja/serikat buruh, buruh diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerjanya.

Pengaturan ini bertolak belakang dari jaman kekuasaan Soeharto. Pada masa Orde Baru, buruh dikondisikan dalam suatu hubungan “korporatisme eksklusioner negara” dimana kebebasan berserikat direpresi secara brutal oleh Soeharto (Hadiz, 1996: 1). Represi terhadap buruh dapat dilihat dari berbagai peraturan menteri yang menaklukkan sejumlah undang-undang (Katjasungkana, 1996: 31). UU No. 21 Tahun 1954 yang menjamin kebebasan berserikat buruh ditaklukkan oleh KepMen 1/1975 dan Permen 1108/1986. UU No.22 Tahun 1957 yang menjamin hak mogok ditaklukkan oleh Kepmen 342/1986 yang membolehkan pengusaha memberi sanksi kepada buruh mogok dan tanpa membayar upah. Bahkan Kepmen yang dikeluarkan pada masa Mennaker Sudomo itu dengan jelas mengatakan bahwa “aparat keamanan” (Korem, Kodim dan Kores) boleh ikut campur dalam penyelesaian perselisihan perburuhan, terutama bila mengarah pada aksi mogok, dan petugas Depnaker perlu berkoordinasi dengan Pemda, Polres dan Kodim ketika menanggulangi tindakan fisik dalam pemogokan (Rudiono, 1992: 80).

Kebebasan berserikat buruh pasca Orde Baru bukannya tanpa cacat. Pemberangusan serikat baik lewat manajemen yang memecat buruh mereka yang berusaha mendirikan serikat atau intimidasi preman terhadap pengurus serikat terjadi secara luas di berbagai daerah. Contoh paling gamblang dari hal ini bisa dilihat pada PT Samsung Indonesia (SEIN) yang memang secara terbuka anti terhadap serikat buruh. Konflik kapital – buruh diawali ketika pada tanggal 21 Oktober 2012, 300 buruh Samsung Indonesia (SEIN) bergabung dengan Serikat Pekerja Elektronik dan Elektrik – Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPEE-FSPMI). Samsung merasa kebakaran jenggot dan marah besar. Marah dengan terbentuknya serikat, manajemen SEIN memecat dua orang buruh yang merupakan pengurus Pimpinan Unit Kerja (PUK) SPEE-FSPMI serta merumahkan 130 buruh yang menjadi anggota serikat. Belum puas dengan langkah itu, seminggu kemudian Samsung mulai menyewa tenaga keamanan ekstra (preman) yang mengatasnamakan organisasi masyarakat ‘Masyarat Bekasi Bergerak’ (MBB), untuk menjaga perusahaannya. Menurut siaran pers FSPMI, tercatat 200an preman berjaga tiap hari di sekitar SEIN, seperti mengantisipasi reaksi balik buruh. Tidak sekedar defensif, para preman justru melakukan aksi ofensif pada 29 Oktober. Sejak pukul 08.00 pagi, 400-an preman bersenjata bambu runcing. kayu dan pentungan membubarkan aksi demonstasi buruh yang menuntut penghapusan outsourcing di tiga perusahaan: PT United Tractor Pandu Engineering (UNTR) Patria, PT Byung Hwa, dan PT DGW Chemical. Terkejut oleh penyerangan mendadak, buruh tidak mampu memberikan perlawanan. Tanpa alasan yang jelas, pada pukul 09.00 pagi masa mulai merusak tenda-tenda berikut peralatan memasak dan merobek atribut berupa bendera SP FSPMI di depan PT. Patria. Untuk mengamankan diri, buruh yang dibubarkan preman, segera berlarian menuju Saung Buruh. Seakan tidak puas dengan aksi brutalnya, ratusan masa preman mendatangai Saung Buruh pada pukul 14.30 WIB. Buruh yang sedang berada disitu dipukuli dengan kayu, pentungan dan bambu. Puluhan sepeda motor yang terparkir dirusak. Helm, telepon seluler dan jaket FSPMI dirampas. Masa yang kian ganas akhirnya menghancurkan Saung Buruh, rumah solidaritas buruh yang baru saja selesai direnovasi, sehari sebelumnya. Semua bangunan Saung Buruh luluh lantah. Hanya tertinggal kerangka rumah yang terbuat dari balok-balok kayu.

Kelenturan Pasar Kerja Fleksibel

Seperti yang telah disinggung, pemberangusan serikat lewat cara preman hanyalah salah satu cara menggembosi kebebasan berserikat. Kita perlu menengok konteks ekonomi neoliberal yang mewujud dalam gagasan pasar kerja fleksibel dan secara spesifik mengerucut pada dua ikonnya: sistem kontrak dan outsourcing, untuk melihat dampaknya pada kebebasan berserikat.

Buruh pasca Soeharto pada dasarnya diatur melalui rezim neoliberal. Karakter rezim ini dapat dilihat dalam gagasan tentang Labor Market Flexibility (LMF). Gagasan dari LMF adalah pekerja bebas untuk mengalokasikan tenaganya sesuai kesempatan imbalan yang mungkin didapatnya, sementara perusahaan bebas untuk membeli tenaga pekerja sesuai kemungkinan kuntungan yang dapat ia raih. Di dalam pasar tenaga kerja, interaksi yang bebas di antara pengguna tenaga kerja (employer) dengan tenaga kerja (employee) dipandang sebagai kondisi yang perlu (necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi. Pengguna tenaga kerja bebas mencari tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan rasional pengguna, sedangkan tenaga kerja bebas memilih pengguna tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan rasional tenaga kerja (Purdy, 1988: 5-6). Dalam kerangka seperti ini, perundingan kolektif oleh serikat buruh, pelaksanaan secara ketat aturan rekrutmen dan pemecatan pekerja, pesangon, upah minimum dan seterusnya dianggap sebagai suatu distorsi harga karena dianggap membatasi kebebasan antara pemberi kerja dan pekerja (Islam, 2000: 3-4). Jika negara terlalu banyak campur tangan dalam pasar kerja, maka pasar kerja disebut terlalu ‘kaku’ berlawanan dengan pasar kerja ‘fleksibel’ yang minim peran negara dan menyerahkan mekanisme pasar sebagai penggerak utama kondisi kerja.

Pasar kerja fleksibel paling tidak memiliki empat dimensi (Juliawan, 2010a: 28-29; Atkinson, 1984). Pertama, fleksibilitas eksternal (External Numerical Flexibility) yang berarti penyesuaian penerimaan buruh dari pasar kerja eksternal. Fleksibilitas dicapai dengan mempekerjakan buruh dengan kontrak tetap maupun kontrak sementara atau melalui peraturan pengupahan dan pemberhentian yang longgar. Kedua, fleksibilitas internal (Internal Numerical Flexibility) atau biasa disebut fleksibilitas dalam waktu kerja (working time flexibility). Bentuk fleksibilitas dilakukan dengan menyesuaikan jam atau jadwal pekerjaan bagi buruh yang bekerja di perusahaan. Termasuk dalam fleksibilitas ini adalah part-time, flexibilitas jam kerja (termasuk kerja bagian malam atau akhir pekan), perhitungan waktu kerja berdasarkan jam lama kerja, waktu meninggalkan pekerjaan dan berbagai penyesuaian waktu yang lain. Ketiga, fleksibilitas fungsional (Functional Flexibility) dimana terdapat kelenturan dalam mempekerjakan buruh di berbagai bidang pekerjaan yang berbeda di dalam perusahaan. Pekerjaan dilakukan oleh operator atau manajemen dan buruh yang terlatih. Fleksibilitas jenis ini juga dapat diraih melalui cara outsourcing. Keempat, fleksibilitas upah (Financial or Wage Flexibility). Dalam hal ini, upah tidak ditentukan secara kolektif antara pengusaha dan buruh. Namun upah dari pekerjaan merupakan refleksi atau hasil pertemuan sisi permintaan (demand) dan sisi penawaran (supply) tenaga kerja.

Dalam praktik perburuhan di Indonesia, fleksibilisasi diwujudkan dalam UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan. Hubungan perburuhan dibuat lebih fleksibel lewat dua cara. Pertama, diberlakukannya sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Dengan PKWT, perusahaan dapat mempekerjakan buruh kontrak untuk pekerjaan-pekerjaan jenis tertentu dalam waktu tertentu. Dampaknya adalah banyak perusahaan yang memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja tetap untuk kemudian direkrut kembali dengan perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak). Dalam mekanisme ini, buruh kontrak tidak memperoleh hak-hak sebagaimana buruh tetap sehingga meringankan beban pengusaha. Dengan buruh kontrak, pengusaha tidak perlu mengeluarkan biaya sebesar buruh tetap. Kedua, diberlakukannya sistem outsourcing. Dalam hal ini perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.[1]Implikasi dari penerapan outsourcing adalah banyak perusahaan memutuskan hubungan kerja dengan buruhnya untuk selanjutnya direkrut kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing pekerja). Pengusaha dengan tujuan efisiensi merasa aman jika buruh yang bekerja pada mereka adalah buruhnya perusahaan jasa pekerja. Dengan mekanisme ini, yang bertanggung jawab terhadap buruh outsource tadi adalah perusahaan jasa pekerja.

Melucuti Kebebasan Berserikat

Pengadopsian fleksibilitas hubungan kerja melalui praktik outsourcing dan sistem kontrak telah mengantarkan kaum buruh pada lautan pasar tenaga kerja bebas yang berbasis pada hukum besi penawaran dan permintaan. Hanya buruh tetap yang masih memperoleh hak normatif,- itupun belum tentu dipenuhi. Sebaliknya, buruh berstatus kontrak tidak berhak memperoleh perlindungan normatif. Bagaimana dampak pengaturan neoliberal bagi buruh? Selain kesejahteraan yang secara langsung terancam[2], buruh juga mengalami pelemahan gerakan. Pemberlakukan sistem kontrak dan outsourcing, telah secara halus menekan buruh yang memiliki status itu untuk berpikir ulang sebelum bergabung dalam serikat pekerja maupun terlibat dalam aksi-aksi perjuangan solidaritas buruh lainnya (Tjandraningsih, Herawati dan Suhadmadi, 2010b: 46). Pekerja yang dipekerjakan dengan sistem fleksibel, tidak memiliki rasa kesatuan yang cukup untuk memperjuangkan hak-haknya secara berkesinambungan, mengingat jangka waktu kerjanya yang singkat. Ketidakpastian akan pekerjaan di masa depan menjadi senjata ampuh melumpuhkan militansi buruh.

Dalam aspek lain, praktik outsourcing dan sistem kontrak juga telah menurunkan arti penting kebebasan berserikat buruh yang diberikan pasca Soeharto runtuh (Juliawan, 2010a). Munculnya perusahaan-perusahaan penyalur buruh (yayasan outsourcing) sebagai akibat UU No.13/2003, telah mengambil keuntungan signifikan dari menjual tenaga buruh. Sebagai perantara, yayasan telah mengambil tenaga dari pemiliknya sendiri (buruh) karena keuntungan terbesar bukan diperoleh buruh bersangkutan, melainkan para pemilik yayasan outsourcing dan makelar buruh lainnya (Juliawan, 2010a: 26). Dengan studi kasus di Tangerang, Juliawan (2010a) memperlihatkan betapa sebagian besar buruh direkrut melalui agen-agen informal seperti “orang kuat lokal”, jagoan, preman atau jawara dalam kasus spesifik Tangerang. Mereka ini jika tidak pemilik yayasan, maka paling tidak mereka bekerjasama dengan yayasan outsourcing.

Praktik yang dijalankan yayasan telah menguntungkan pihak perusahaan. Biaya produksi perusahaan dapat turun karena biaya perekrutan buruh dapat dilakukan pihak yayasan. Perusahaan juga tidak perlu khawatir dengan buruh yang “rewel” dengan kondisi kerja, karena mereka dapat dikembalikan ke yayasan. Biaya sosial perusahaan juga dapat ditekan. Pihak yayasan melalui orang lokal kuat yang memiliki relasi patron-klien kuat, dapat mengontrol buruh yang dia rekrut untuk tidak menuntut kondisi lingkungan kerja yang memadai. Hal yang lebih parah bagi buruh, persaingan antar yayasan telah membuat buruh benar-benar seperti komoditas barang lain. Persaingan antar yayasan dengan menawarkan paket tertentu agar buruh mau disalurkan, menjadi kian umum. Penawaran uang muka lebih rendah, pelatihan, hingga bonus menjadi cara yayasan bersaing dengan yayasan lain (Juliawan, 2010a: 39-40). Tapi ujungnya tetap sama: buruh menjadi komoditas yang dijual murah. Kebebasan berserikat nampak kurang berarti bagi buruh ketika praktik outsourcing dan sistem kontrak telah mengikat mereka dalam sebuah relasi patron-klien dengan perekrutnya. Buruh tidak benar-benar bebas untuk berserikat.

Praktik Adu Kekuatan Buruh vs Kapital

Kita sudah melihat kebebasan berserikat yang dijamin hukum tidaklah begitu berarti di dalam praktik. Kebebasan berserikat akhirnya tergantung pada praktik adu kekuatan riil antara buruh melawan kapital. Kapital bisa menggunakan jasa aparat keamanan ekstra (preman) untuk mengintimidasi pengurus serikat dan aktivis buruh yang mendampinginya. Tapi pengalaman dari berbagai daerah lain juga menunjukkan bahwa cara preman ini bisa ditangkal ketika buruh berhasil menghimpun kekuatan memadai untuk melawan para jagoan bayaran itu. Tantangan lain yang lebih berat barangkali ialah sistem kontrak dan outsourcing yang mengembosi kebebasan berserikat. Kapital bisa membuat serikat buruh boneka di pabriknya sementara tidak memperpanjang kontrak pengurus serikat independen yang merepotkan mereka. Sementara yayasan outsourcing membuat perjanjian di awal dengan buruh agar mereka tidak terlibat dalam serikat buruh. Dalam lautan pasar kerja fleksibel ala neoliberal, buruh yang tinggal menyisakan tenaganya disuruh oleh negara untuk beradu kekuatan dalam tawar-menawar dengan kapital yang menguasai sarana produksi. Sekitar 12 juta orang dari total 15 juta buruh industri dibiarkan bertarung secara individu melawan kapital tanpa kolektivitas dalam bentuk serikat. Dalam kondisi ini, siapapun yang turut berkontribusi pada pendidikan dan pengorganisasian kekuatan buruh akan menentukan hasil pertarungan antara kapital dengan buruh, antara akumulasi kapital versus kemanusiaan, antara penghisapan melawan keadilan. Berada di sisi manakah kita?

————-
1 Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003
2 Hasil penelitian Tjandraningsih, Herawati dan Suhadmadi, (2010a: v) menyatakan: “Mayoritas pekerja outsourcing menerima upah dibawah nilai upah minimum dan adanya pemotongan upah oleh agen outsourcing; tidak ada pesangon dan jaminan pensiun, tidak ada jaminan kesehatan yang memadai, mudah di PHK tanpa melalui proses peradilan perburuhan, dan usia produktif yang hilang karena pekerja outsourcing pada umumnya disyaratkan berusia dibawah 25 tahun”.

Daftar Pustaka

Atkinson, J. (1984). Flexibility,Uncertainty and Manpower Management. IMS Report No.89, Institute of Manpower Studies, Brighton.

Hadiz, V.R. (1996). Buruh Dalam Penataan Politik Awal Orde Baru. Majalah Prisma No.7, Juli

________. (1998). Reformasi Total? Labour After Soeharto. Indonesia, No.66, pp 109 – 125

________. (2002). The Indonesian Labour Movement: Resurgent or Constrained?. Southeast Asian Affairs , pp 130-142

Islam, I. (2000). Employment, Labor Market and Economic Recovery In Indonesia: Issues and Options. Working Paper 00/04 Jakarta: UNSFIR

Juliawan, B.H. (2010a). Extracting Labor from Its Owner: Private Employment Agencies and Labor Market Flexibility in Indonesia. Critical Asian Studies. Vol. 42 No. 1, pp 25-52

___________. (2010b). Playing Politics: Labour Movements in Post-Authoritarian Indonesia. Disertasi Phd tidak diterbitkan, Oxford University.

___________.(2011). Street-level Politics: Labour Protests in Post-authoritarian Indonesia. Journal of Contemporary Asia. Vol. 41 No. 3, pp 349-370

Katjasungkana, N. (1996). Undang-Undang Perburuhan Masa Orde Baru. Majalah BASIS No. 7-8, Oktober.

Purdy, D. (1988). Sosial Power and The Labour Market : A Radical Approach to Labour Economics. Macmillan Education Ltd : London

Rudiono, D. (1992). Kebijakan Perburuhan Pasca Boom Minyak. Majalah Prisma No.1, Januari

Tjandraningsih, I, Herawati, R & Suhadmadi. (2010a). Diskriminatif dan Eksploitatif: Praktek Kerja Kontrak Dan Outsourcing Buruh Di Sektor Industri Metal Di Indonesia. Bandung: Akatiga-Fspmi-Fes

Tjandraningsih, I dan Herawati, R. (2008). Dinamika Jaringan Perburuhan Indonesia : Angin Segar Gerakan Buruh. Jurnal Indoprogress, Mei http://indoprogress.com/dinamika-jaringan-perburuhan-di-indonesia/

Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Website Islam Bergerak.
Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.

Leave a Reply