Warisan Fidel Castro dan Perjuangan Kuba Melawan Pengeroposan Nilai-nilai Sosialisme
Kematian Fidel Castro menjadi pemberitaan hangat diberbagai lini media massa. Banyak yang bertanya bagaimana masa depan revolusi sosialisme Kuba sepeninggal “El Comandante” Castro?. Kuba sendiri punya cerita revolusioner dalam mempertahankan revolusi sosialis. Walaupun dihadapkan dengan berbagai serangan-serangan kontra-revolusi yang dijalankan oleh Negara adidaya tetangga mereka yaitu Amerika Serikat. Kondisi tersebut membuat Kuba menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji dan diperdebatkan secara teoritis dan praksis.
Pada umumnya media-media barat menggambarkan Kuba adalah Fidel Castro dan Fidel Castro adalah Kuba. Sehingga penyerahan kepemimpinan kepada Raul Castro diperkirakan oleh berbagai kalangan akan membawa Kuba lebih moderat. Sudah banyak anomali, mulai dengan dilegalkannya kepemilikan pribadi untuk barang tertentu, hingga membuka diri sebagai tujuan wisata mancanegara. Atau dalam tradisi Marxis dapat dilihat sebagai awal kemunculan corak produksi kapitalis. Mulanya pemilikan pribadi untuk barang tertentu, berkembang menjadi monopoli kedalam satu kelas borjuasi. Dalam posisi ini, media barat memandang: Kepemimpinan Raul Castro sebagai tanda dimulainya pengeroposan nilai-nilai sosialisme di Kuba.
Hingga hari ini República de Cuba tetap menerapkan sistem ekonomi Sosialis meski menemui sejumlah tantangan. Penilaian media barat tentang tanda kejatuhan sosialisme pasca Fidel, dipandang Ayu Diasti Rahmawati (dalam diskusi di MAP Corner) justru sebaliknya. Dosen yang menaruh minat studi AMEURO (The Americas and Europe) di Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM menilai, Raul Castro adalah seorang Marxis ortodoks, dan lebih ideologis. Bersama-sama Fidel Castro dan Che Guevara ketiga tokoh Kuba ini sama-sama memiliki komitmen terhadap organisasi dan bukan institusionalisasi. Sama-sama menolak tradisi Marxisme yang tidak kontekstual. Persesuaian teori dengan kondisi kontemporer sudah menjadi keniscayaan. Hal ini tidak lepas dari peletakan pondasi bangunan sosialis diawal revolusi (1959-1960an). Disisi lain, gerakan (kontra revolusi) sisa-sisa rezim Fulgencio Batista Zaldívar masih terus berlanjut. Sejarah panjang Kuba yang pernah dianeksasi Amerika, meninggalkan realitas sosial yang begitu timpang dan bertopang pada kepentingan elit. Sehingga revolusi Kuba berupaya membalik dinamika tersebut, Setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita coba perbandingan, tentang perbedaan antara revolusi Kuba dengan revolusi Indonesia, dan negara-negara blok sosialis lainnya (seperti Uni Soviet).
Penjelajahan literatur Ayu belum menemukan perbedaan revolusi sosialisme Kuba dan Indonesia. Namun ada pengajuan hipotesa bahwa sosok pejuang revolusi seperti Fidel percaya: revolusi yang genuin hadir melalui kesadaran kelas dan realitas sosial. Kemudian berkomitmen memilih starategi Vanguard Party (Partai Pelopor). Sehingga dibalik kepeloporan Fidel, penyatuan kelas bawah (revolusioner) tidak fokus pada buruh atau tani. Realitas Amerika Latin menunjukan kenyataan bahwa, marjinalisasi kelas beririsan dengan marginalisasi ras. Tidak heran jika banyak literatur tentang Amerika Latin yang menggambarkan kemiskinan “dekat” dengan orang kulit berwarna. Sedang di midle class didominasi oleh kelompok Mestizo (campuran orang lokal dan Spanyol). Dan yang benar-benar kaya dan menguasai 60-80 persen tanah dinegara tertentu adalah orang asli Eropa yang datang ke Spanyol. Begitu rigid pembagian stratifikasi sosial di Amerika Latin pasca kemerdekaan dari Spanyol, rata-rata di Tahun 1880-an hingga 1959.
Sehingga, gerakan progresif yang dicita-citakan Fidel, Raul dan Guevara untuk menyatukan kelas bawah tidak an sich kelas pekerja. Tapi harus memikirkan orang kulit hitam dan mantan budak. Strategi Vanguard Leadership untuk menjamin kesadaran menjadi sangat penting. Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah menerapkan Vanguard Leadership. Begitu juga dengan Soekarno. Dimasa konsolidasi pembangunan bangsa, narasi Sejarawan Malcom Caldwel & Ernest Ultrecht (2011) dalam teks “Sejarah Alternatif Indonesia” dikalimatkan: Penyatuan ideologi membangun bangsa Indonesia tidak sedang mempraktekkan politik kelas. Tapi nasionalisme, dan marhaenisme. Namun perlu dipahami bahwa politik kelas berlaku skala prioritas yang mendahulukan perlawanan terhadap kapitalis asing, hanya demi Indonesia merdeka. Dalam pandangan Indonesianis Max Lane, dalam “Malapetaka Indonesia” bahwa Soekarno (dan orang kiri) menangguhkan perlawanan terhadap kapitalis dalam negeri demi “[…] memperjuangkan basis persatuan yang jelas, biarpun merupakan sebuah pembelahan (bangsa). […] pro dan anti kapitalis, pro dan anti eksploitasi selalu hadir”. Puncak eskalasi pertentangan kelas tercatat dalam sejarah 1965. Para pemuja modal akhirnya memberangus kaum Marhaen. Lane membahasakan dengan kalimat: “Soekarno yang (di) kalah (kan) total” bersamaan dengan kaum Marxis PKI adalah pil pahit dari sebuah perjuangan yang terlanjur menginstitusionalisasi jalannya revolusi.
Oleh sebab itu, Jika berbicara dalam konteks Kuba, Fidel sendiri sangat hati-hati dalam mengkonsolidasikan kekuatan. Kuba lebih fokus pada organisasi, bukan Institusionalisasi dalam artian pembagian kekuasaan, pemilihan umum, birokratisasi, dan sejenisnya. Revolusi dijalankan melalui partisipasi publik yang sangat luas. Perencaan ekonomi kolektif diperdebatkan terlebih dahulu sebelum diimplementasikan setiap tahunnya. Melibatkan seluruh elemen terorganisir, dari pusat (Havana) hingga ke pelosok-pelosok. Kemudian feedback kolektif dieksekusi Kongres menjadi kebijakan. Menurut Ayu itu adalah ciri khusus Kuba. Namun menurut Aktivis KPO-PRP (dalam sesi diskusi & tanya-jawab), menyatakan bahwa institusionalisasi dalam pengertian pelembagaan sosial, dengan contoh seperti Komite Pembela Revolusi, secara organisatoris tidak berbeda dengan yang dijalankan Soviet. Jika keduanya benar melakukan institusionalisasi, lantas apa yang menjadi perbedaannya. Seorang pengajar University of Leicester Inggris Hellen Yaffe (2009) Menulis buku Ekonomi Revolusi Che Guevara: Berada diluar kubanologi, Yaffe memaparkan kebijakan ekonomi Che Guevara dimasa-masa revolusi (1959-1961). Sebagai kepala Bank Nasional dan Menteri Perindustrian Kuba, Che Guevara tidak lantas menjadi birokrat seperti masa Stalin di Uni Soviet.
Kuba melakukan perubahan fundamental atas sosio ekonomi politik. Khusus dibidang ekonomi, menurut Menteri Perindustrian Kuba: Soviet keliru karena menggunakan perangkat kapitalis—kompetisi, motif laba, insentif material, kredit, dan suku bunga, yang dalam parafrase Yaffe menyebut “penjewantahan hukum nilai” untuk menggenjot industrialisasi. Konsep Auto Financing Sistem (AFS) Uni Soviet ditawar dengan Sistema de Financiamiento Presupuetario (SFP) atau Sistem Pembiayaan Beranggaran. Konsepsi SFP menolak otonomi keuangan beriringan dengan insentif material. Sehingga Che lebih menekan insentif non material sebagai apresiasi kemajuan produksi kepada Industri maupun pekerja yang mencapai target. Sistem Alternatif (SFP) yang dijamin Fidel, melihat AFS Soviet sebagai sistem hibrida (Sosialisme setengah-setengah) yang tidak memiliki efisiensi pasar. Justru dengan berkembangya tradisi kompetisi demi laba—menggagalkan kesadaran kolektif sebagai prakondisi sosialisme dan komunisme. Kritik terhadap Uni Soviet tidak sebatas Institusionalisasi. Atau hanya persoalan debat ASF versus SFP. Leon Trotsky (2010) dalam “Revolusi yang Dihianati: Sebab-sebab Kebangkrutan Uni Soviet” memberi kritik tajam terhadap salah satu patahan sejarah Sosialisme. Trotsky menyalahkan Birokrasi Stalin yang terlalu serius dalam “mengejar ketertingalan dari negeri-negeri kapitalis”. Hanya karena ambisi ini, Stalin “memperkuat” birokrasi dan mengekstraksi pekerja (khususnya petani) dan surplusnya digunakan untuk membangun Industri. Dalam konsep kediktatoran proletariat, birokrasi negara bukannya menjadi jembatan penghubung antara masyarakat borjuis dan sosialis yang bersifat sementara. Tulis Trotsky: Justru menguat tak terkendali mendominasi organisasi pekerja atau soviet.
Kuba mempersiapkan prasarat menuju sosialisme dengan baik. Serikat-serikat tumbuh “filling the gap” dalam istilahnya Ayu. Dalam proses ini, tentu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Berlaku adil tanpa memandang stratifikasi sosial, namun tetap bertindak tegas terhadap yang kontra revolusi. Sehingga terkadang Sosialisme dengan satu partai dianggap otoriter. Sudah menjadi konsekuensi sebelum kesadaran hidup manusia tanpa penghisapan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun dapat dirasakan hasilnya: masyarakat yang sadar dapat mengambil bagian untuk menentukan perencanaan, produksi, hingga distribusi ekonomi secara kolektif untuk kemaslahatan bersama. Dalam pandangan umum kaum Marxisme dianggap sebagai tahapan terendah menuju komunisme. Atas keberhasilan ini, Che Guevara kemudian dipercaya menjalankan politik luar negeri. Menerapkan kebijakan Internasionalisme, berbagi pengalaman dan mengunjungi negara-negara blok sosialis termasuk Indonesia, juga dan aktif mendukung gerakan revolusioner diseluruh Amerika Latin.
Sejak dijalankan Che Guevara, politik luar negeri Kuba berusaha otonom namun tetap dipengaruhi dari luar. Embargo ekonomi Amerika misalnya, Samuel Farber dalam Jacobin Magazine, menulis: Blokade Amerika memaksakan orientasi sebagian besar ekonomi pada Blok Timur. Pasca bubarnya Uni Soviet Kuba jadi makin tertekan. Selam lima dekade isolasi ekonomi internasional, diperparah dengan kebijakan Helms-Burton Act. Salah satu konten kebijakan adalah larangan warga Kuba bepergian ke Luar Negeri. Sekalipun blokade Amerika tidak membatasi perdagangan dengan negara Industri kapitalis khsusnya dengan Kanada dan Spanyol. Begitu juga dengan negara lain di Asia seperti Cina. Namun tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan negara. Negara seperti Venezuela (sekutu utama Kuba) dimasa Hugo Caves, pun tidak memberi arti apa-apa. Menurut Farber, kendala utama hubungan ekonomi Kuba dengan negara-negara kapitalis non-Amerika adalah kurangnya Kuba memasok barang untuk diekspor. Selain itu, Kuba juga kekurangan hard currency untuk membayar import. Farber menekankan, melemahnya Kuba lebih banyak disebabkan oleh blokade Amerika Serikat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa embargo Amerika menyebabkan Kuba teraniaya secara ekonomi dan kemanusiaan.
Menyikapi persoalan diatas, Raul membuat kebijakan yang kontradiktif dengan teks-teks klasik Marxis. Seperti melegitimasi transaksi jual beli barang elektronik (oleh individu), dan pembelian obat-obatan dari luar. Pemerintah mengatur penuh kegiatan masyarakat tersebut yang tadinya terjadi di black market. Artinya bahwa, Implementasi kebijakan itu bukan formula baru dalam memecah masalah publik di Kuba. Tetapi hanya mengkodifikasi praktek yang sudah berlangsung. Embargo ekonomi, tidak hanya memaksa negara, namun memaksa warga mencari jalan lain, meski negara sudah berlaku seadil-adilnya. Hal lain yang dianggap baru dalam kepemimpinan Raul adalah meratifikasi dua konvesi HAM-PBB. Menurut Ayu Ini menandakan Kuba sedang beradaptasi dengan realitas sosial yang lebih luas. Namun apa karena tidak menghormati HAM?. Kiranya memaksakan kuba menaati HAM sama dengan “mengajari ikan berenang”. Kita patut mengira bahwa langkah yang ditempuh Kuba adalah untuk penguatan sosialisme.
Namun andaikan hal-hal baru itu dianggap sebagai ancaman, kiranya yang lebih patut diperhitungkan yaitu: Saat kembalinya hubungan penuh Amerika-Kuba sejak tahun 2014, membuka tekanan langsung sisa-sisa rezim Batista yang lari ke Amerika; begitu juga dengan Kubanos di Florida, yang memiliki lobi grup yang kuat, untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika dalam menentukan urusan diplomatik dengan Kuba; disamping itu pula peta politik Amerika dan Amerika Latin. Sejak tahun 2015 dalam istilah Pemantik: “ramai-ramai belok kanan”. Donald Trump didukung gerakan ultra kanan memenangkan pemilu Amerika Serikat. Orang kiri seperti Nicolás Maduro dari United Socialist Party of Venezuela kalah sebagai petahana di Pilpres Venezuela; Dilma Rousseff dan Luiz Inácio Lula da Silva dari Partai Buruh Brazil sudah tercoreng namanya karena kasus korupsi; Begitu juga dengan Pilpres Argentina, dan Chille yang juga dimenangkan oleh Partai kanan; Kecuali di Bolivia, Evo Morales bersama Movement for Scialism Party yang masih bertahan. Geopolitik di Amerika dan Amerika latin hari ini akan banyak menentukan dinamika sosio ekonomi politik Kuba akan datang.
Lantas apakah ada masalah yang lebih besar sepeninggal Fidel? Ayu mengangkat Jawaban kontroversi dari Seorang Marxis asal Slovenia Slavoj Žižek. Dalam sebuah wawancara dengan media daring yang berdurasi 7’:34” Žižek berpendapat “[…]Castro should be forgotten as soon as possible”. Bagi pihak yang senang dengan penokohan, tentu sangat marah diajak melupakan Fidel. Namun Fidel sendiri menolak ditokohkan. Fidel dapat dipelajari sebagai goresan tinta sejarah yang mendeteriminasi situasi objektif hari ini. Masyarakat yang sadar akan memikirkan masa depan sosialisme yang lebih progresif. Begitu yang diajarkan sang Komandante, untuk setiap saat melakukan revolusi didalam revolusi untuk masyarakat yang adil dan sejahtera.
Hasta la victoria siempre!
Patria o muerte!