Membangkitkan Politik Orde Baru: Counter Attack Reformasi TNI

Reformasi internal ditubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI) gagal. Menurut Haris Azhar (aktivis KontraS) dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP (31/5/2016) setidaknya ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, Konservatisme Elit TNI dalam menanggalkan Dwi Fungsi ABRI. Harus diakui, Tentara Indonesia tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer (Harold Crouch, 1999:21). Selama masa revolusi 1945-1949 Tentara terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, dimana percaturan politik dan peran militer saling menjalin tak terpisahkan. Salim Said, (1998:163-164) menyebutnya sebagai tindakan spontan dan hanya bersifat komplimenter terhadap peran dominan politisi sipil. Jika dilihat secara historis, situasi politik Indonesia memang dalam turbulence. Sesuai deskripsi Philip C. Jessup (2006:60-63) dimulai saat pengalihan kontrol militer atas Indonesia dari Jenderal MacArthur Panglima South West Pacific Area Command (SWPAC) kepada pihak Inggris, dengan maksud untuk menunda pendirian kembali administrasi sipil Belanda. Sehingga pihak Inggris bertanggung-jawab atas pelucutan senjata tentara Jepang. Dalam menghadapai Sukarno dan Hatta, Inggris mendapati diri mereka sendiri terlibat dengan sekutu Belanda-nya yang menganggap Indonesia sebagai negara boneka Jepang yang diciptakan oleh kolaborator termasuk Sukarno-Hatta, sehingga menolak bernegosiasi dengan keduanya. Beriringan dengan situasi demikian, Sukarno dengan kelihaian politik memerintahkan Sutan Sjahrir, yang selalu menolak berhubungan dengan pihak Jepang, membentuk kebinet dengan komposisi didominasi oleh tokoh-tokoh kontra Jepang. Meskipun begitu, negosiasi antara pihak Belanda dan Sjahrir macet sampai Inggris ikut memperbaikinya. Akhirnya, pada tanggal 15 November 1946 disepakati Perjanjian Linggar Jati yang mengandung sejumlah kompromi antar kedua belah pihak. Pemerintah Indonesia setuju dengan model pemerintahan federal dengan ketentuan bahwa Republik akan membentuk sebuah negara yang akan menjadi bagian negara federal. Implikasinya, menjadi hadiah pengakuan secara de facto dari Inggris, Amerika Serikat, Australia, Cina, India, dan beberapa negara Arab.

Terlepas dari dinamika politik paskah perjanjian Linggar Jati, langkah diplomasi untuk meneguhkan kedaulatan negara melewati sejumlah kelemahan sistem parlementer. Crouch (1999) menyatakan, meskipun pihak tentara tidak secara langsung bertanggung jawab terhadap kemacetan sistem parlementer di tahun 1957, mereka memanfaatkan situasi untuk mengumumkan darurat perang, yang akhirnya membuka jalan bagi para perwira tentara mendapatkan peran yang lebih besar dalam fungsi politik, administrasi, dan ekonomi. Para petinggi militer kala itu mengklaim kontribusinya dalam mempertahankan integritas bangsa Indonesia (Malcolm Caldwell & Ernest Utrecht, 2011:237). Sesungguhnya menurut Caldwell dan Utrecht, militer justru menjadi kekuatan kontra-revolusi yang menghalangi perubahan struktural disetiap sektor: Ekonomi, Politik, dan Pertanian. Dibalik usaha tersebut, ada kepentingan petinggi militer untuk mengelola kegitan ekonomi atas sebagian besar perusahaan-perusahaan Belanda yang berhasil dinasionalisasi (Richard Robison, 2012:197). Perebutan kontrol Ekonomi-Politik melahirkan kontestasi Sipil-Militer. Terhadap control of affirmation, militer menggagas konsep “Jalan Tengah”. Menurut Crouch, langkah strategis Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abd Haris Nasution, hanya sebagai dasar pembenaran. Seolah-olah tentara tidak mengambil alih pemerintahan, namun tidak pula acuh tak dengan politik. Dari sinilah permulaan doktrin yang menyatakan bahwa angkatan bersenjata memiliki peran rangkap sebagai “Kekuatan Militer” dan “Kekuatan Sosial Politik” atau yang kita kenal dengan Dwi Fungsi ABRI. Sebuah doktrin juga memungkinkan tentara masuk dalam lembaga perwakilan dan administrasi. Doktrin ini langgeng dimasa orde baru hingga ahir keruntuhannya pada Mei 1998.

 

Menurut Haris Azhar, kelangsungan hidup militer dalam dunia politik tidak terlepas dari peran Komando Teritorial (Koter). Tugas pokok koter sama seperti TNI pada umumnya yaitu menjalankan Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Memang dalam situasi aman, koter lebih berfungsi pada tataran OMSP yaitu untuk melawan pemberontakan bersenjata, gerakan separatis, tugas mengatasi kejahatan lintas negara, tugas bantuan kemanusiaan dan tugas perdamaian. Tugas-tugas ini kemudian sering disalahtafsirkan yang berbuntut pada pelanggaran hak-hak sipil. Sebut saja konflik kepemilikan tanah antara warga dengan TNI AD di kawasan Urut Sewu, Kebumen Jawa Tengah, “Sedikitnya empat orang warga dikabarkan luka-luka akibat tindak kekerasan membabi-buta dari anggota TNI Angkatan Darat” (elsam.or.id, 23/8/2015). Ada sejumlah data yang merilis kasus kekerasan TNI, sebagaimana KontraS, Imparsial dan Setara Institute, bahwa sepanjang 2004-2013 telah terjadi 87 kasus kekerasan yang dilakukan anggota TNI, 85% melibatkan pelaku dibawa Koter (Kompas, 23/4/2016). Kita belum menghitung kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan TNI kepada warga Papua, yang hingga saat ini mengundang reaksi pemerintah daerah (baca Gubernur) menuntut keadilan (Tempo.co, 29/3/2016). Atau sejenak kita lupakan peristiwa 1965. Tidak terbayangkan berapa banyak jumlah korban akibat kekerasan TNI terhadap rakyatnya sendiri yang mestinya dilindungi, terlepas dari konteks politik yang melingkupi. Tindakan TNI atas sejumlah peristiwa tersebut dianggap langkah antisipatif terhadap ancaman instabilitas kemanan yang kemudian juntrungannya pada instabilitas ekonomi.

Secara konseptual Markas Besar TNI merumuskan kemungkinan ancaman terjadi secara “Potensial” dan “Faktual”. Acaman potensial bersifat klasik, merupakan ancaman yang sangat mungkin terjadi namun masih bersifat embrional dan latent yang bersumber dari masalah perbatasan, kemanusiaan, hukum dan keadilan, serta hak asasi manusia dan aktivitas spionase. Sedangkan ancaman faktual adalah ancaman nyata yang dihadapi atau sudah dan sedang terjadi. Ancaman muncul sebagai akibat adanya sisa permasalahan lama yang dimunculkan atau permasalahan baru yang ditimbulkan terutama karena lebih mengedepankan kepentingan kelompok/golongan. Benar jika penafsiran kemungkinan ancaman ini menjadi trigger skeptisme kebangkitan PKI. Menurut Ryamizard Riacudu, pihaknya memiliki hasil intelijen TNI yang menunjukan kebangkitan PKI dan memiliki fakta-fakta lengkap akan indikasi tersebut. Selanjutnya menurut Kivlan Zen “Mereka sudah membentuk struktur partai, mulai tingkat pusat sampai desa, pimpinannya Wahyu Setiaji,” (Nasional Republika, 2/6/2016). Kecurigaan sejumlah petinggi militer berimplikasi pada iklim kebebasan akademik. hal ini yang menurut Haris Azhar, telah terjadi anomali dalam pemaknaan ancaman negara. Sistem pertahanan dibawah Koter yang dengan struktur gemuk dan “mengular” sampai tingakat desa (pertahanan didarat) seakan mengabaikan kemungkinan ancaman lebih besar dari luar negeri yang datang dari laut maupun udara. Tidak seperti di negara-negar maju, seperti Amerika misalnya, yang lebih bersifat terintegrasi, yang disebut sebagai Integrated Armed Forces yang dimulai sejak tahun 1948 oleh Presiden Harry S Truman. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas wilayahnya sekitar 2/3 adalah laut, tapi justru lebih mengembangkan pertahanan didarat. Dari sisi manfaat, pertahanan darat sebagaiman oleh pendahulu melakukannya dengan cara gerilya efektif membawa hasil yang memuaskan. Kontras, jika kontekstualisasi kontemporer antara Koter dengan gerilya, khususnya dikawasan perkotaan. Pandangan Azhar, sebaiknya Pemerintah memperkuat lini pertahanan didaerah perbatasan dengan mengkonsentarsikan pembangunan infrastruktur penunjangnya. Dengan demikian, Koter diperkotaan bisa diminimalisasi.

Sungguhpun demikian, sejauh ini militer belum melakukan hal itu. Memang ada wacana bahwa TNI memiliki rencana memperkuat pulau-pulau terluar layaknya kapal induk (Viva.co.id, 20/4/2016). Bertolak belakang dengan wacana tersebut, justru mengerucutkan fokus kebijakan militer pada operasi militer selain perang dan terlibat kepentingan sosial politik yang bukan lagi ranahnya dengan merespon “berlebihan” isu-isu kebangkitan PKI.


Menghambat Reformasi TNI: Covering of Conservatism

Reformasi TNI berada di persimpangan jalan. Sebab, surutnya keikutsertaan militer dalam peranan politik tidak mempengaruhi daya tawar terhadap kebijakan pemerintahan sipil (Yudi Chrisnandi, 2005). Dalam sejarah TNI, Penguatan kapasitas politik non kelembagaan dimainkan melalui akumulasi kapital para elit. Diketahui sebagaimana pemaparan Richard Robison (2012:198-200) bahwa setelah tahun 1965 Komando militer mulai meresmikan kegiatan bisnis, dengan mendirikan perusahaan-perusahaan milik militer. Haris Azhar menyebut tiga macam bisnis militer yaitu; 1) bisnis individu yang ilegal, 2) Bisnis Terorganisir Legal, 3) Bisnis Terorganisir Ilegal. Ketiga bentuk bisnis militer sepanjang pemerintahan orde baru berlangsung mulus. Azhar menyebut bahwa Soeharto adalah salah satu Jenderal penyelundup gula, yang faktanya dapat dipertanggunjawabkan. Robison juga menyebut beberapa nama yang secara langsung memiliki kekuasaan mempengaruhi linsensi ekspor/impor dan konsesi negara. Mereka diantaranya adalah Jenderal Soedjono Hoemardani, Jenderal Sofjar, Jenderal Soerjo, Jenderal Alamsjah, Jenderal Tirto Sudiro, dan Jenderal Suhardiman. Menurut Robison bisnis milik militer mempunyai arti penting dengan hak-hak mereka sebagai komponen kekuatan korporasi kemakmuran.
Reformasi TNI menjadi dunia kelam bagi bisnis TNI. Sebagaimana pasal 76 UU TNI bahwa Pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI baik secara langsung maupun tidak langsung. KontraS termasuk kelompok aktivis yang mendorong penerbitan Perpres tentang pelaksanaan pasal tersebut. Hasilnya ditahun 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perpres nomor 43 Tahun 2009 tentang Pengambilalihan Aktivitas Bisnis TNI. Meskipun diawal penetapan terdapat sejumlah kekecewaan oleh Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa Perpres tersebut tidak mengatur tenggat waktu terkait berapa lama proses dilaksanakan, Menurut ICW Semua proses itu nantinya akan sangat terkait dengan proses dan upaya hukum. Proses itu bisa berlangsung selama bertahun-tahun (ICW, 2009). Sungguhpun demikian, Azhar mengungkap ada sedikit “pengendalian” khususnya dibidang bisnis yang terlembaga dan legal. Permasalahannya, apakah koorporasi ilegal dibawa tangan-tangan Petinggi TNI aktif maupun pensiunan bisa terdeteksi? Meskipun terdeteksi, apakah ada payung hukum yang mampu mengakomodasi proses lebih lanjut?

Ketentuan yang mengikat disatu sisi dan perlindungan “deviasi” disisi lain, menjadi barrier kekebalan hukum anggota TNI. Menurut Haris Azhar, Lembaga Peradilan Militer adalah induk permasalahan hukum bagi tentara. Pasalnya pendekatan yang digunakan oleh peradilan militer adalah pendekatan subjektif. Artinya jika setiap anggota TNI yang melanggar hukum positif menjadi wewenang peradilan militer. Itu sebabnya, setiap permasalahn hukum anggota TNI tidak pernah disentuh oleh lembaga anti rasuah. Harus tetap diakui bahwa aparat penegak hukum memiliki kredibilitas yang lemah dimata masyarakat. Azhar mencontohkan Kepolisian yang mestinya menjadi pionir penegakan hukum justru menyandang reputasi negatif. Kondisi semacam ini yang menjadi kesempatan TNI untuk merebut simpatik sipil. Azhar menegaskan bahwa keterlibatan militer dalam setiap agenda sipil tidak terlepas performa pemerintah yang akhir-akhir ini semakin terpuruk. Pemerintah butuh bekingan untuk menjamin stabilitas pemerintahan sebagaimana agenda politik yang pernah dijalankan oleh pemerintaha Soeharto dimasa awal orde baru. Impilikasinya, menurut Azhar ada semacam “barter” antara pemerintah dengan TNI. Dapat kita lihat, mecam-macam program pemerintah kini melibatkan TNI. Sebut saja, Program BKKBN, Program Penyelenggaraan Dana Desa, dan lain-lain.

Sebagai upaya memperkuat dukungan dan membangun power hegemonik, Sebagaimana dituturkan Azhar bahwa militer saat ini mengupayakan agenda militerisme melalui pelatihan dan pemberdayaan komponen cadangan (Komcad). Isu wajib militer bergulir, dan ditampik oleh Kemhan bahwa “Meski dilatih secara militer, Komcad bukanlah wajib militer, tetapi lebih merupakan latihan dasar kemiliteran kepada masyarakat yang terpilih, dengan status tetap warga sipil, untuk selanjutnya diorganisir dalam rangka menjaga kesiap-siagaan bila sewaktu-waktu dibutuhkan bagi kepentingan pertahanan negara indonesia” (Ditjen Potensi Pertahanan, Kemhan 2016). Meski sering dibantah Pemerintah, menjadi fakta tak terbantahkan jika ternyata ada sebagian kader Komcad yang banyak terlibat aksi kontra demokrasi dan mendukung agenda militer.


Peran Propagandis dalam Meneruskan Stigma Komunis

Isu kebangkitan komunisme ramai dibicarakan media. Tujuannya adalah membangun kesadaran masyarakat akan bahaya laten komunisme. Ryamizard membenarkan lewat data-data intelijen yang menurutnya PKI telah menunjukan diri melalui pakean-pakean bergambar palu arit, pawai-pawai bubarkan teritorial, bahkan ada yang menginjak-nginjak patung revolusi (Nasional Republika, 2/6/2016). Data intelijen dimaksud membawa kewaspadaan TNI untuk melakukan upaya preventif terhadap tindakan pidana pelanggaran UU nomor 27 tahun 1999. Sungguhpun demikian, Menurut Haris Azhar, penyangkaan terhadap mereka yang diduga melakukan tindakan pidana tidak cukup kriteria sebagai orang yang melakukan tindakan melanggar hukum. Hanya saja penafsiran tentang pelanggaran hukum yang menjadi problematik. Apakah kita yang mempelajari teori-teori Marxis dan meyampaikannya sesama teman didunia akademik digolongkan sebagai pelanggaran hukum?. untuk menjadikan sebuah kerangka hukum yang lessproblematic kiranya butuh turunan hukum yang jelas.
Narasi kebangkitan komunisme mengancam demokrasi. Sebab barang siapa yang dengan lantang menyuarakan, mengorganisasi, dan membela kepentingan kelompok masyarakat miskin, buruh, petani dan kaum miskin kota, sebagai cerminan ajaran Marxsis, akan dianggap sebagai tindakan melawan hukum. Haris Azhar kembali menegaskan bahwa, isu kebangkitan komunisme sengaja dibumikan untuk mengembalikan suasana politik orde baru. Untuk itu, Azhar mengajak untuk meng-counter narasi tersebut agar militerisme orde baru yang mulai terlihat bangkit, tidak terjadi. Sungguhpun demikian, solidaritas kelompok masyarakat tertindas tetap menjadi penting untuk menyuarakan hak-hak dalam menuntut keadilan ditengah ketimpangan nasional yang semakin akut. Dengan demikian, menjadi catatan singkat bahwa retorika pro patriatisme elit militer yang mendengungkan isu komunisme hanyalah upaya mempertahankan posisi elitis ekonomi-politik.

Leave a Reply