“Feed Indonesia, Feed The World”: Kebijakan Pangan Realistis atau Utopis?

Ramai diberitakan, 7 Februari lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan pameran pangan bertajuk Feed Indonesia, Feed The World di Jakarta. Sudah barang tentu aktivitas tersebut memiliki tendensi khusus. Ada krisis pangan serius yang sedang menghantam negara-negara maju. Ini disebabkan di satu sisi pasokan pangan dari negara-negara berkembang kian merosot, sedangkan di sisi lain, tidak hanya lahan di negara maju yang semakin sempit, tetapi iklim rupa-rupanya semakin tidak menentu. Sebuah fakta yang sulit untuk di tepis, kebutuhan akan adanya pemasok pangan berskala besar bagi negara-negara maju sangat tinggi, dan akan terus meningkat hingga beberapa tahun ke depan. Situasi demikian harus bisa dimanfaatkan Indonesia. Sebagai negara berkembang yang memiliki lahan subur sangat luas dan iklim yang cenderung stabil, Indonesia potensial untuk menjadi negara pemasok kebutuhan pangan dunia. Oleh karena itu, cara terbaik memanfaatkan situasi tersebut adalah dengan mempercepat pemenuhan kebutuhan pangan domestik dan menjadi pemasok pangan dunia. Untuk tujuan ini, pendekatan kebijakan pangan yang ada kemudian dikoreksi. Menyerahkan urusan pangan hanya pada pemerintah saja tidaklah cukup, ada beragam kelemahan yang membuat pemerintah tidak mungkin untuk memproduksi pangan dalam skala besar. Urusan pangan haruslah diserahkan kepada sinergi antara pemerintah dan swasta. Sebuah cita-cita yang tepat menurut pemerintah, namun membingungkan bagi nalar Francis Wahono, pemantik diskusi MAP Corner – Klub MKP edisi 14 Februari 2012.

Nalar Pangan

Francis Wahono, Direktur Yayasan Cindelaras, memiliki dua argumen yang membuat arah kebijakan pangan pemerintah tak masuk di nalar. Mampu memproduksi pangan dalam skala besar merupakan prestasi penting yang harus segera diwujudkan. Tetapi distribusi produksi pangan bukan ke pasar pangan dunia, melainkan pasar domestik. Cara yang digunakan dalam mencapai kemampuan tersebut perlu pula untuk dikoreksi. Kemampuan berproduksi pangan berskala besar harus dicapai dengan menyerahkan urusan pangan kepada rakyat, bukan kepada pemerintah-swasta. Kalau kedua hal ini tidak dilaksanakan, maka rakyat akan melarat kelaparan.

Bagi Francis Wahono, cita-cita menjadi pemasok pangan dunia sebetulnya tak nalar. Bagaimana mungkin meniru Singapura dan Australia yang hendak menguasai pasar pangan dunia, jikalau Indonesia memiliki pasar domestik yang sangat besar. Wajar jika kedua negara tersebut ekspansi ke pasar pangan dunia, penduduk (konsumen) keduanya kecil. Namun, tidaklah wajar jika Indonesia ikut-ikutan ekspansi ke pasar pangan dunia, karena disamping pemenuhan kebutuhan pangan domestik merupakan persoalan ketahanan bangsa, Indonesia juga memiliki penduduk (konsumen) yang sangat besar; 250 juta jiwa.

Bila dipertegas, Francis Wahono sesungguhnya memiliki persamaan dan perbedaan dengan pemerintah dalam hal orientasi produksi pangan berskala besar. Keduanya setuju, pemenuhan pangan domestik adalah hal penting. Tapi, jika francis Wahono melihat pemenuhan kebutuhan pangan domestik merupakan tujuan akhir dari produksi pangan berskala besar, maka bagi pemerintah itu hanya sekedar batu loncatan menuju predikat negara pemasok pangan dunia. Adapun tujuan akhir dari produksi pangan berskala besar versi pemerintah adalah menjadi pemasok pangan dunia.

Cara pencapaian kemampuan produksi pangan berskala besar melalui sinergi pemerintah-swasta juga sulit untuk disetujui Francis Wahono. Menurutnya, cara yang diikrarkan pemerintah itu sebetulnya mengindikasikan, para pengambil kebijakan tidak pernah belajar dari pengalaman sejarah. Penyerahan urusan pangan kepada pemerintah dan swasta sudah pernah ‘diujicobakan’ pada zaman kolonial belanda, dan hasilnya adalah rakyat jatuh miskin, menjerit kelaparan.

Tahun 1830-1870, pemerintah Kolonial Belanda menjalankan kebijakan pangan yang bersandar pada relasi pemerintah dan swasta. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai cara pengelolaan pangan, apakah sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar ataukah pemerintah. Akhirnya, diputuskan bahwa urusan pangan diserahkan kepada sinergi pemerintah dan swasta. Pemerintah sebagai ‘pemilik’ lahan bertugas mengkoordinir aktivitas pertanian-perkebunan, sedangkan swasta sebagai pemilik modal berhak untuk mengirim hasil pangan ke pasar dunia. Deandels lalu membuat peraturan tentang penggunaan hasil pangan, yakni 10% untuk makan petani dan sisanya diekspor.

Ketika memasuki masa politik etis, keadaan sebetulnya tak banyak berubah. Sejarah yang menulis kebaikan Ratu Wilhem lantaran menerapkan politik balas budi sesungguhnya keliru. Ratu Wilhem pada waktu itu sedang menerapkan teori Upah Besi. Teori yang lahir dari kerja-pikir Malthus dan David Ricardo ini mengatur bahwa upah yang diberikan oleh majikan tidak boleh lebih tinggi dan tidak pula lebih rendah dari pada tingkat kehausan, agar pekerja tidak bersuka hati dan membuat anak, serta tidak pula mati sehingga kehilangan tenaga kerja. Politik balas budi yang diterapkan sebenarnya bermaksud untuk menjaga produktivitas pangan dengan orientasi sama, yaitu ekspor.

Satu hal yang pasti, pendominasian pangan oleh pemerintah-swasta pada kedua zaman itu membuat rakyat kelaparan. Rakyat bekerja keras untuk memproduksi pangan berskala besar. Tujuan berhasil dicapai, namun sebagian besar hasilnya diekspor untuk memenuhi kebutuhan pasar pangan dunia. Di sini, ditemui sebuah kenyataan penting. Menyerahkan urusan pangan kepada pemerintah-swasta memang membuat suatu negara mampu memproduksi pangan berskala besar. Namun, keduanya berorientasi profit. Profit sangat besar yang dijanjikan pasar pangan dunia membuat mata hati pemerintah-swasta kabur dalam melihat hak dasar rakyat. Pemenuhan kebutuhan pasar pangan domestik terlupakan.

“Menyerahkan urusan pangan kepada pemerintah-swasta memang membuat suatu negara mampu memproduksi pangan berskala besar. Namun, keduanya berorientasi profit. Profit sangat besar yang dijanjikan pasar pangan dunia membuat mata hati pemerintah-swasta kabur dalam melihat hak dasar rakyat. Pemenuhan kebutuhan pasar pangan domestik terlupakan”.

Francis Wahoyo menyimpulkan, apa-apa yang terjadi di zaman Kolonial Belanda terulang lagi pada saat sekarang. Urusan pangan yang diserahkan kepada pemerintah-swasta selama ini gagal dalam mencukupi kebutuhan pangan domestik. Meski mengaku-ngaku pangan domestik penting, setidaknya sebagai batu loncatan, pada kenyataannya pemerintah-swasta selalu berorientasi pangan dunia.

Dominasi pemerintah dalam urusan pangan diantaranya tergambar dari gerak-gerik PTP (Perseroan Terbatas Perkebunan). PTP, lembaga warisan UU 1870 kolonial ini, menguasai sebagian besar tanah subur dan berorientasi ekspor. Tidak kurang dari 65% lahan-lahan subur yang tersebar di seluruh pulau dikuasai oleh PTP. Adapun hasilnya, sebagian besar diekspor ke pasar dunia.

Penyerahan urusan pangan kepada swasta tergambar dari peraturan sewa lahan oleh asing dan skema agrobisnis. Pihak asing yang ingin berinvestasi di Indonesia diberi hak yang sangat besar, diantaranya lama sewa lahan yang mencapai 90 tahun. Selain itu, skema pertanian agrobisnis membuat tanah subur dikuasai oleh pemerintah-swasta yang hasilnya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar pangan dunia, bukan domestik. Salah satu contohnya adalah MIFE (Merauke Integrated Food and Eenergy Estate). Kebijakan ini memberikan kelonggaran kepada pihak swasta untuk menyewa lahan hingga 10.000 hektar selama 35 tahun yang bisa diperpanjang masng-masng 35 tahun dan 25 tahun. Lahan-lahan subur di Merauke mulai dikuasai swasta.

Strategi Kedepan: Reformasi Agraria dan Pertanian Agrikultur

Ada dua langkah yang ditawarkan Francis Wahono dalam menggiring kebijakan pangan untuk kembali berorientasi pasar domestik. Pertama, menyerahkan urusan pangan kepada rakyat dengan melaksanakan reformasi agraria. Faktor produksi terpenting produksi pangan harus tersebar merata, yakni 2 hektar/keluarga untuk lahan subur dan 4 hektar/keluarga untuk lahan yang tidak subur. Asumsi matematis yang mendasari angka-angka ini adalah kecukupan pangan bagi keluarga yang beranggota 7 orang.

Terkait isu ‘klasik’ ini, banyak pengamat berpendapat, reformasi agraria tak mungkin dilaksanakan karena terbatasnya luas tanah yang tersisah. Namun menurut Francis Wahono, sebetulnya itu bukan alasan logis yang mampu menghambat reformasi agraria. Tanah yang ada sebetulnya masih mencukupi untuk didistribusikan kepada petani. Hanya saja, ini disertai syarat, tanah yang dimiliki oleh PTP juga ikut didistribusikan. Selain itu, untuk mengantisipasi keadaan masa datang dimana jumlah penduduk kian bertambah, skema transmigrasi bisa kembali dilakukan. Penduduk di daerah yang padat penghuni dipindah ke daerah yang belum padat dengan tanah seluas 4 hektar untuk bertani sebagai kompensasi. Dengan begitu, reformasi agraria dapat secara konsisten dijalankan.

Francis Wahono memberi catatan penguat bahwa tanah yang dikuasi oleh PTP mendesak untuk didistribusikan kepada rakyat. Penyerahan tanah kepada rakyat akan berdampak pada meningkatnya produktivitas pangan. Hasil pertanian dan perkebunan yang selama ini dimiliki negara, seperti karet dan sawit, sebetulnya bukan hasil dari aktivitas PTP, tetapi dari rakyat. Perkebunan-perkebunan sempit rakyat menghasilkan produk pertanian dan perkebunan yang dibeli dan dikumpulkan oleh PTP untuk diekspor. Seandainya tanah yang dikuasai oleh PTP dikelola oleh rakyat, tentunya produktifitas hasil pertanian dan perkebunan akan semakin meningkat, mengingat luas lahan yang dimiliki telah meningkat. Dengan fakta dan logika begitu, sulit dinalar perilaku negara yang tidak bersedia mendistribusikan tanah yang dikuasasi PTP, dan bahkan menyerahkannya kepada swasta.

Kedua, produksi pangan berskala besar tidak dicapai melalui agribisnis, melainkan agrikultur yang berorientasi pada keunggulan tanaman lokal tanpa tergantung pada industri alat-alat pertanian global. Indonesia sebagai negara kaya akan SDA dan SDM memiliki basis pertanian tradisional yang potensial untuk dikembangkan ke arah pertanian agrikultur. Bukan hanya lahan luas, tanaman beragam, tetapi teknik dan kebiasaan bertanam yang khas juga dipunyai Indonesia. Terpercik kekesalan Francis Wahono, mengapa para scientist belum juga berusaha meneliti dan mematenkan local wisdom yang ada. Padahal, keduanya merupakan langkah awal menuju pertanian agrikultur.

“Menyerahkan tanah kepada rakyat akan membuat rakyat memproduksi pangan secara mandiri. Kebiasaan bertani tradisional yang selama ini dimiliki segera digunakan. Kegiatan pangan bercorak agrikultur dengan sendirinya muncul. Masifnya pertanian agrikultur akan menciptakan produksi pangan berskala besar”.

Kemudian, kedua langkah di atas diletakkan Francis Wahono pada logika berhubungan. Reformasi agraria merupakan basis terwujudnya pertanian agrikultur. Menyerahkan tanah kepada rakyat akan membuat rakyat memproduksi pangan secara mandiri. Kebiasaan bertani tradisional yang selama ini dimiliki segera digunakan. Kegiatan pangan bercorak agrikultur dengan sendirinya muncul. Masifnya pertanian agrikultur akan menciptakan produksi pangan berskala besar. Pangan yang diproduksi bukan untuk diekspor, melainkan memenuhi kebutuhan pasar pangan domestik.

Dengan diungkapnya strategi di atas, bolehlah disimpulkan posisi keseluruhan nalar Francis Wahono terkait persoalan kebijakan pangan. Pertama, alasan yang membuat pasar pangan domestik penting bukan lantaran hal ini merupakan batu loncatan menuju pemasok pangan dunia, melainkan merupakan tujuan akhir dari aktivitas produksi pangan berskala besar itu sendiri. Keliru jika pemerintah menjadikan prediket pemasok pasar pangan dunia sebagai tujuan akhir sedangkan pemenuhan pasar pangan domestik sebagai batu loncatan. Kedua, cara pemenuhan pangan domestik melalui produksi pangan berskala besar bukan dengan menyerahkannya pada pemerintah-swasta, melainkan pada rakyat itu sendiri. Penyerahan urusan pangan kepada pemerintah-swasta hanya akan membuat pemenuhan pasar pangan domestik ‘terlupa’-kan.

Sembari menutup diskusi sore itu, Francis Wahyono mempersilahkan semua peserta diskusi untuk ‘memegang-cicipi’ sejumlah bungkusan keripik tradisional buatan ibu-ibu Gunung Kidul. Seakan menegaskan bahwa pangan berorientasi pasar domestik yang pengelolaannya diserahkan kepada rakyat bukan hal yang mustahil, Francis Wahono berujar “… itu ada makanan ringan.. dari ibu-ibu gunung kidul, kami cuma memfasilitasinya.. kita bisa mandiri, tidak perlu rumit-rumit tentang pangan..”. Ungkapan “Feed Indonesia, Feed the World” kiranya akan lebih enak jika dinalar dengan mengubahnya menjadi “Feed Indonesia, Agrarian Reform”.

Oleh: Yuli Isnadi

Leave a Reply