Tenaga Kerja Honorer di Pusaran Surplus Populasi Relatif
Selama beberapa dekade terakhir, terutama pasca Reformasi 1998 pemerintah menghadapi fenomena kenaikan jumlah PNS yang berasal dari formasi tenaga honorer sebanyak 1,3 juta orang. Formasi tenaga honorer adalah kebijakan khusus untuk mengakomodir tuntutan pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS melalui dua tahap yaitu kategori 1 (K1) dan kategori 2 (K2). Tenaga honorer muncul sebagai respon di tengah terbatasnya jumlah PNS di beberapa sektor pelayanan publik. Alih-alih memperbaiki pelayanan publik, kebijakan ini justru semakin memperburuk rapor birokrasi publik karena tidak disertai payung hukum yang jelas, proses rekrutmen yang terbuka, kualifikasi pendidikan yang memadai, jaminan upah dan perlindungan kerja yang jelas serta status pekerjaan yang dilindungi undang-undang.
Belakangan inkonsistensi antara kebijakan dan tindakan tambal sulam pemerintah melalui pengangkatan tenaga honorer sejak 2005 hingga 2018 yang diatur melalui PP 56 Tahun 2012 justru semakin bergerak jauh dari resolusi (Dwiyanto, 2015). Termasuk belum lama ini dengan kebijakan pengangkatan pegawai honorer atau non-pns melalui jalur pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang diatur melalui PP 46 tahun 2018. Di sisi lain tenaga honorer yang belum diakomodir melalui kebijakan tersebut menambah surplus populasi relatif, yang oleh Marx istilah ini digunakan untuk menggambarkan para pekerja yang tidak bisa terserap oleh industri kapitalis (Habibi, 2016). Meskipun pekerja yang dimaksud lebih merujuk pada pekerja informal di sektor swasta, namun tidak menutup ruang untuk digunakan bagi pekerja “informal” di birokrasi publik yang disebut tenaga honorer atau non-PNS. Surplus populasi relatif ini juga sering disebut sebagai tentara cadangan pekerja yaitu para pekerja yang tidak terserap dalam produksi inti kapitalisme (bersifat formal) sehingga mereka mengantri untuk mendapatkan pekerjaan itu.
Lantas bagaimana kondisi kerja saat ini serta apa strategi ataupun alternatif kebijakan yang tepat bagi tenaga honorer di tengah fenomena surplus populasi relatif? Saya berpandangan meskipun tenaga honorer cenderung bertolak belakang dengan semangat reformasi birokrasi, mereka tetap harus diberikan jaminan dan kepastian kerja sebagai bentuk kompensasi atas surplus value[1] yang telah direnggut dari mereka di tengah surplus populasi relatif.
Dilema dan Dasar Hukum Tenaga Honorer
Para ahli manajemen kebijakan publik yang dipenuhi semangat reformasi birokrasi berpendapat bahwa apapun solusi bagi permasalahan tenaga honorer, harus tetap mendukung tercapainya kondisi ideal yang diinginkan yaitu birokrasi yang ramping, profesional, responsif, bersih dan melayani (Dwiyanto, 2015). Hal tersebut diyakini bisa terjadi melalui penerapan sistem rekrutmen yang lebih transparan, adil dan tidak diskriminatif dan sederet proses manajemen institusional atau dukungan kebijakan yang direncanakan dengan baik. Dalam pandangan ini, keberadaan tenaga honorer K1 yang telah menjadi PNS maupun K2 yang sementara dalam proses pengangkatan dinilai menjadi batu sandungan.
Dalam perspektif ini, kualifikasi pendidikan dan kompetensi yang tidak memadai dari tenaga kerja honorer, akan berdampak buruk bagi birokrasi. Diperlukan kurang lebih 30 tahun untuk mengembalikan profil aparatur negara seperti yang dicita-citakan. Implikasinya, yang pertama dibutuhkan biaya sangat mahal untuk peningkatan kompetensi. Kedua, semakin menyuburkan patronase dalam birokrasi pemerintahan karena sebagian besar tenaga honorer bekerja pada bidang layanan dasar kesehatan, pendidikan dan tenaga teknis lainnya umumnya direkrut berdasarkan subjektivitas dan kekerabatan dengan politisi dan birokrat di daerah maupun instansi pusat. Kondisi tersebut diperparah dengan tidak dihentikannya praktek perekrutan tenaga honorer, sekalipun telah dikeluarkan larangan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 Pasal 8 bahwa “Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”. Belum ada data yang pasti jumlah tenaga honorer diluar K2 yang masih terus direkrut oleh instansi pemerintah (pusat/daerah) pasca larangan tersebut. Namun yang jelas jumlah tenaga honerer yang masuk dalam kebijakan pengangkatan menjadi PNS melalui jalur tes CPNS formasi khusus K2 dan atau terakhir melalui jalur PPPK berjumlah ±440 ribu orang (website kemenpan RI, 2019).
Kondisi struktural dan Implikasi
Bekebalikan dengan pandangan di atas dan terlepas dari alternatif kebijakan yang telah dan sedang dilakukan pemerintah, ketiadaan kepastian hukum telah membawa para tenaga honorer pada kondisi rentan akibat informalisasi relasi kerja. Hal yang sama juga dialami oleh puluhan juta penduduk Indonesia yang bekerja di sektor informal lainnya. Mereka adalah bagian dari surplus populasi relatif yang tidak terserap dalam industri formal kapitalisme yang dalam konsepsi Marx terdiri dari kaum pekerja yang tersedia dalam jumlah berlebihan untuk keperluan akumulasi modal pada tingkat perkembangan perekonomian tertentu (Habibi, 2016). Para pekerja informal ini ada yang terlibat dalam organisasi serikat buruh untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Salah satunya dilakukan oleh Federasi Organisasi Bidan Desa (FORBIDES)-Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) yang sejak 2014-2018 telah berhasil memperjuangkan pengangkatan 37 ribu bidan desa dengan status Pegawai Tidak Tetap (PTT) menjadi CPNS dari 47 ribu bidan desa PTT di Indonesia.
Pola rekrutmen melalui jalur PTT ini memiliki sejarah yang panjang, dan bahkan sudah terjadi jauh sebelum UU ASN ditetapkan. Menurut Pemantik diskusi MAP Corner-Klub MKP, Eka Pangulimara yang juga adalah Pembina FORBIDES-KASBI, semenjak Orde Baru birokrasi dijadikan sebagai alat politik pelayanan publik diartikan menjadi pelayanan pada negara dan kekuasan. Aparatur pada masa Orde Baru kental dengan praktek makan-memakan sesama. Kondisi tersebut terbawa hingga saat ini, oleh para kelompok mafia kepegawaian dengan praktek sogok dalam pengangkatan atau rekrutmen aparatur negara termasuk dalam rekrutmen tenaga honorer. Bahkan hingga proses pengangkatan honorer menjadi PNS, tenaga honorer akan terus dijadikan mesin ATM oleh para mafia yang sudah bekerja dalam sistem yang sangat rapi dan berjenjang.
Perjuangan tersebut merupakan bentuk perlawanan kaum pekerja informal sektor publik di tengah surplus populasi relatif yang mesti terus digelorakan. Ibarat sebagai “pasukan cadangan” diluar pasukan inti (PNS), tenaga honorer umumnya hidup dalam kondisi menyedihkan dan mengalami kerentanan yang lebih ekstrem dibandingkan PNS. Karena berada dalam status informal, bagi tenaga honorer yang bekerja di level pelayanan administrasi perkantoran umumnya tidak diberikan tugas-tugas inti birokrasi. Sedangkan tenaga honorer yang berada pada unit pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan, diberikan arena lebih untuk mengaktualisasikan diri atas nama dedikasi pada negeri. Bahkan ada dari mereka justru memiliki kegigihan dan motivasi yang tinggi dibanding pasukan inti dalam melakukan pelayanan publik atau sering diistilahkan oleh ahli manajemen SDM sebagai public service motivation (PSM).
Pemanfaatan surplus value oleh elite birokrat dan politik atas tenaga honorer dan perekrutannya yang didasarkan subjektivitas dan patronase sebagaimana telah dijelaskan diatas, merupakan dua hal yang memiliki implikasi yang berbeda. Surplus value yang dimanfaatkan oleh elite birokrasi dan politik, dibalut dalam semangat altruisme sehingga tenaga honorer awalnya tidak merasa dalam posisi yang dirugikan. Namun kemudian, dalam relasi kerjanya tenaga honorer yang berada di unit pelayanan publik kesehatan dan pendidikan maupun adminitrasi perkantoran diperlakukan sebagai pasukan inti dengan sistem pengupahan “pasukan cadangan”. Sedangkan nilai lebih yang dimanfaatkan oleh elite politik lebih pada akumulasi dukungan politik dan semakin luasnya pengaruh hubungan patron-klien. Berbeda dengan relasi kerja antara tenaga informal di sektor privat (buruh) dengan pemilik kapital (pemilik pabrik) yang cenderung memanfaatkan surplus value untuk mengakumulasi lagi modalnya. Dalam kondisi inilah, tenaga honorer dirugikan dan dimanfaatkan dalam kondisi surplus populasi relatif.
Strategi dan alternatif kebijakan
Solusi yang sedang ditempuh pemerintah untuk mengatasi persoalan tenaga honorer K2, melalui pengangkatan mereka menjadi PPPK tetap akan menyisahkan persoalan. Status PPPK tidak memberikan jaminan kepastian kerja dan jaminan hari tua sebagaimana dipersyaratkan di ketentuan ketenagakerjaan. Menurut Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Budi Arianto sebagai pemantik dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP edisi 30 Oktober 2018, seharusnya pemerintah tetap memilih opsi pertama yaitu menggunakan skema kebijakan yang pernah diatur di PP 56 Tahun 2012 terutama syarat batas usia paling tinggi 46 tahun untuk diangkat menjadi CPNS. Opsi kedua adalah memberikan kepastian status pekerjaan, jaminan keselamatan dan kesehatan kerja, jaminan hari tua dan pengupahan yang layak sesuai ketentuan undang-undang ketenagakerjaan.
Apabila kedua opsi ini diterapkan, maka kelompok K2 gerbong terakhir (± 440 ribu orang) tidak menjadi korban pemberlakuan UU ASN bila dibandingkan dengan honorer K1 atau K2 yang telah lolos atau diangkat menjadi PNS dengan ketentuan UU kepegawaian yang lama. kelompok tenaga honorer yang tidak dikategorikan K2 secara bertahap harus diikutsertakan melalui sistem rekrutmen sesuai ketentuan UU ASN, namun tetap diberikan afirmasi baik melalui jalur PNS maupun jalur PPPK. Solusi jangka panjangnya adalah sistem rekrutmen yang terpusat perlu dievaluasi untuk didesentralisasikan. Melakukan analisis kebutuhan pegawai berbasis pelayanan publik, membatasi penerimaan pegawai yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik, dan melakukan kebijakan redistribusi PNS yang ada secara proporsional ke tingkat dasar yang berhubungan dengan pelayanan publik.
Kondisi struktural yang melatar belakangi persoalan tenaga honorer secara umum telah menjadi benang kusut yang sangat sulit diurai, tak elok saling melempar dosa dan kesalahan karena yang selalu akan menjadi korban adalah tenaga kerja honorer yang merupakan bagian dari surplus populasi relatif. Kebijakan yang terakhir sedang ditempuh melalui jalur PPPK bukan merupakan pilihan yang tepat untuk menyelesaikan persoalan ketidakpastian kerja, kembali ke alternatif pertama sebagaimana dijelaskan Budi Arianto diatas adalah pilihan yang jauh lebih baik. Akhirnya apapun kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah, harus merupakan kebijakan yang komprehensif, konsisten dan tetap berpihak pada kepentingan tenaga honorer.
Daftar Pustaka:
Dwiyanto, A. (2015). Reformasi Birokrasi Kontekstual : Kembali ke Jalur yang Benar. Yogyakarta: UGM Press.
Habibi, M. (2016). Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran. Tanggerang Selatan: Marjin Kiri.
Humas Menpanrb. 23 Februari 2016. “Pengangkatan Pegawai Honorer Langgar Aturan Sejak Awal”. Sumber: https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/pengangkatan-pegawai-honorer-langgar-aturan-sejak-awal, diakses pada Oktober 2018.
Tirto. 09 September 2017. “Alasan Pemerintah Tak Angkat Honorer Jadi PNS”. Sumber: https://tirto.id/alasan-pemerintah-tak-angkat-honorer-jadi-pns-cwgm, diakses pada Oktober 2018.
[1] Istilah “surplus value” atau teori nilai lebih yang digagas oleh Marx adalah nilai yang dihasilkan dari kerja buruh yang dicuri oleh mereka yang memberi kerja untuk menjadi keuntungan bagi mereka. Contoh sederhananya buruh bekerja 8 jam yang seharusnya jika dikonversi nilai kerjanya adalah 100 ribu akan tetapi dia hanya mendapatkan upah 50 ribu dari kerja itu. Sehingga ada 50% nilai lebih yang dihasilkan oleh buruh dicuri oleh pemberi kerja.