Kekerasan Seksual & Teologi Pembebasan Perempuan
Negeri ini seolah selalu memandang salah korban kekerasan seksual. Data Komnas Perempuan mencatat pada Tahun 2016 sebanyak 5.785 kasus kekerasan seksual dialami oleh perempuan. Perspektif victim blaming yang selama ini selalu menyudutkan korban kekerasan seksual membuat mereka urung untuk bersuara. Tidak banyak atau bahkan jarang dari korban kekerasan seksual memiliki keteguhan dan kekuatan untuk membela hak-haknya. Bukanya malah mendapat dukungan, sanksi sosial justru menghantui korban kekerasan seksual yang mencoba melawan. Mulai dari dicap sebagai “perempuan tidak suci, bukan perempuan baik-baik, hingga dianggap aib masyarakat”. Tentu kondisi itu membuat tidak sedikit korban kekerasan seksual yang mengalami depresi.
Belum lama, publik digegerkan dengan mencuatnya liputan khusus mengenai tindakan kekerasan seksual yang dialami salah satu mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Komite etik yang dibentuk untuk menanangi kasus ini sayangnya memberikan kesimpulan yang cukup mengecewakan. Kekerasan seksual yang dialami Agni (bukan nama sebenarnya) dianggap hanya sebagai tindakan asusila, yang berarti mengganggap perbuatan dilakukan tanpa ancaman, paksaan, dan atas suka sama suka. Padahal tindakan tersebut diakui oleh HS (pelaku) ketika Agni tertidur, atau upaya sepihak tanpa adanya persetujuan (BBC, 05/01/2019). Kasus lain yang tak kalah miris juga menimpa seorang guru Honorer di Mataram, Baiq Nuril. Sebagai korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh atasanya, Nuril justru dijatuhi vonis bersalah karena mengunggah bukti kekerasan seksual yang dialaminya ke media sosial (CNN, 14/11/2018). Kasus Agni dan Baiq Nuril yang kemudian terekspose menimbulkan advokasi dari publik dan menyuarakan agar keduanya mendapatkan keadilan hukum. Akan tetapi, kasus Agni dan Baiq Nuril belum mencerminkan beringasnya kekerasan seksual di Indonesia.
Budaya Patriarki & Agama
Komnas perempuan menemukan bahwa salah satu penyebab tingginya angka kekerasan seksual tidak lain adalah budaya patriarki (Jauhariyah, 2016). Struktur sosial yang bersifat patriarkis selama ini telah diwajarkan oleh sebagian besar masyarakat yang kemudian membuatnya seolah menjadi sebentuk “kodrat alam” yang turun dari langit. Pandangan bahwa perempuan adalah the second sex yang keberadaanya tidak terlalu diperhitungkan (Abdullah, 2006), barangkali juga menjadi sebuah kewajaran tengah masyarakat.
Banawiratma (Guru Besar Fakultas Teologi UKDW) dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP menjelaskan bahwa “patriarki” dalam bahasa Yunani “pater” artinya bapak dan “arche” yang berarti kekuasaan. Patriarki kemudian dapat didefinisikan sebagai kekuasaan bapak (kaum laki-laki) yang mendominasi, mensubordinasi, dan mendiskriminasi kaum perempuan. Laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam masyarakat, dan tentunya perempuan hanya memperoleh sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak ada. Pembagian peran ini tidak hanya terjadi dalam ranah umum masyarakat saja, tetapi bahkan juga masuk hingga institusi pernikahan. Atas dasar tatanan sosial yang seperti demikian tubuh perempuan akhirnya hanya dianggap sebagai objek hak penuh bagi laki-laki (Abrar & Tamtiari, 2001). Korban perlakuan kasar, tempat menyalurkan emosi, tempat melampiaskan nafsu, akhirnya menjadi frase yang dipandang tepat melukiskan kondisi perempuan di negeri ini.
Eksistensi dogma ahistoris agama dalam bentuk potongan ayat yang tidak utuh dijadikan sebagai instrumen pendorong dihalalkannya budaya patriarki yang menundukan perempuan. Potongan ayat dalam kitab-kitab agama tertentu seringkali menjadi dasar untuk menjelaskan fungsi-fungsi perempuan. Perempuan seharusnya hanya tinggal di rumah, tidak perlu bekerja, ataupun sekolah yang tinggi. Mereka hanya bertugas untuk melayani suami, dan mengurus pekerjaan domestik. Seringkali dapat kita temukan dalam berbagai kampanye di media sosial, yang menyuarakan agar para perempuan karir untuk kembali ke “kodratnya”.
Padahal agama memandang bahwa perempuan memiliki banyak persamaan dengan laki-laki, termasuk dalam kemanusiaan dan hak-hak sipilnya. Baik perempuan dan lelaki berhak memperoleh penghargaan yang wajar, pujian dan tentu saja enggan diperlakukan seperti barang ataupun binatang. Masing-masing memiliki keinginan untuk menentukan dan meraih apa yang dianggapnya baik (termasuk bekerja). Perbedaan fisik memang telah ada dan seperti itu adanya, akan tetapi perbedaan yang lahir oleh budaya atau pengalaman sejarah tentu dapat diubah (Shihab, 2007).
Sebagai contoh, Al-Qur’an menolak pandangan yang mendikotomikan antara lelaki dan perempuan dalam ranah sosial, karena masing-masing berasal dari satu jenis yang sama. Tinggi rendahnya derajat seseorang hanyalah didasarkan kepada nilai pengabdian dan ketaqwaan kepada Tuhan YME. Menempatkan derajat perempuan dibawah kuasa laki-laki saja tidak diperkenankan Tuhan, apalagi melakukan kekerasan seksual terhadapnya (Shihab, 1996). Nurul Bahrul Ulum, aktifis Cherbon Feminist pemantik dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP berjudul Agama dan Teologi Pembebasan pada tanggal 4 Desember 2018, menyampaikan bahwa sesungguhnya nilai-nilai keislaman itu sejatinya membebaskan (relasi perempuan dan laki-laki) tidak ada subordinasi. Agama pada dasarnya justru menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kesetaraan. Agama menjadi garda depan bagi usaha-usaha transformatif-progresif membela kaum tertindas. Semangat pembebasan dapat ditemukan secara kuat pada seruan Islam sebagai agama rahmatan lil ’âlamîn (rahmat bagi semesta alam).
Teologi Pembebasan
Sayanganya pandangan mengenai teologi pembebasan tidak jamak hadir di ruang-ruang publik negeri ini. Teologi pembebasan menjadi suatu gerakan yang populer di Amerika Latin mulai era tahun 1960-an. Gerakan ini awalnya bertujuan menunjukkan membusuknya agama sebagai institusi sosial yang diperalat oleh kekuasaan ekonomi dan politik. Gerakan ini mencoba untuk mengembalikan agama (pada konteks itu ialah Katolik) ke posisinya yang semula sebagai alat revolusi masyarakat dengan berdasarkan cinta kasih sesuai dengan ajaran Tuhan. Agama di bawah kekuasaan ekonomi dan politik justru menjadi alat pengesah kekuasaan yang korup, bukan menjadi jati dirinya sebagai benteng masyarakat miskin. Oleh karenanya watak asli dari agama seharusnya bersifat revolusioner (Michael, 2003).
Teologi pembebasan menawarkan pembacaan baru terhadap kitab suci. Titik tekanya ialah kesamaan perjuangan kisah dalam Alkitab dengan perjuangan rakyat miskin Amerika Latin, sebagai upaya meraih kebebasan dan persamaan. Teologi pembebasan dapat dianggap sebagai upaya mengkontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan terhadap masalah kongkret disekitarnya. Diwarnai dengan ide Marxisme teologi pembebasan bertujuan untuk melakukan revolusi sosial dan perubahan tatanan masyarakat secara radikal (Nitipraworo, 2013).
Teologi dipercayai mampu menjadi perangkat ideologi bagi masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk eksploitasi dan penindasan. Gustavo Gutierrez, membagi tiga tahap fungsi/tugas teologi: (1) Theology as Wisdom: teologi bertugas untuk memahami kehidupan spiritual yang terpisah dari kenyataan/realitas dunia. Teologi ini dipraktekkan oleh para monastic yang hidup memisahkan diri dari masyarakat. (2) Theology as Rational Knowledge: teologi sebagai sebuah disiplin intelektual yang lahir dari perjumpaan antara iman dan akal (reason). Teologi sudah menjadi sains. Pelopornya adalah St. Thomas Aquinas, Bapak teologi Gereja Katolik. (3) Theology as Critical Reflection on Praxis: teologi yang tidak membuang dua tugas sebelumnya, tapi tidak berhenti disitu.
Selain merefleksikan dunia, teologi ini juga bertugas untuk mentransformasinya dalam tindakan-tindakan yang konkret (praxis). Untuk mencapai tugas ketiga itu, dalam metodenya harus ditambahkan perhatian pada lokus teologi. Artinya, berteologi tidak lagi melulu melihat pada teks suci dan dogma semata. Tapi, seorang teolog harus “melihat” realitas konkret yang dihadapi masyarakat dimana dia tinggal. Dia bertugas untuk membebaskan manusia dari struktur sosial yang menindas orang di sekelilingnya (Gutierrez, 1981).
Budaya patriarki yang diperkuat dengan dalil agama dalam tatanan sosial negeri ini menjadi momok besar dalam kasus kekerasan seksual. Pada tempat demikian, agama telah jauh berpindah dari watak aslinya yang justru membebaskan. Agama yang seperti demikian telah dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan hari ini. Secara fundamental, agama yang membebaskan mempercayai bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Segala macam tatanan sosial yang membuat perempuan menjadi tersubordinasi, justru malah bertolakan dengan nilai watak asli dari agama.
Daftar Pustaka
Abdullah, I. 2006. Sangkan Paran Gender.Yogyakarta: PPK UGM
Abrar, AN & Tamtiari, W. 2001. Konstruksi antara Hak dan Kekuasaan. Yogyakarta: PPK UGM
BBC.COM (5 Januari 2019). Kasus dugaan kekerasan seksual di UGM berakhir damai. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-47116889
CNN. COM (15 November 2019). Kronologi Kasus Baiq Nuril Bermula dari Percakapan Telepon. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181114133306-12-346485/kronologi-kasus-baiq-nuril-bermula-dari-percakapan-telepon
Gutierrez, G. 1983. A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation ,New York, Orbis Book
Jauhariyah, W. 2016. “Akar Kekerasan Terhadap Perempuan”. Jurnal Perempuan (online). Diakses dari https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/-akar-kekerasan-seksual-terhadap-perempuan
Michael, L. 2003. Teologi Pembebasan: Kritik Marxisme, Yogyakarta, INSIST Press bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, cetakan ke-3
Nitiprawiro, F. 2013. Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode,Praksis dan isinya. cetakan ke-4. Yogyakarta. PT LkiS Printing Cemerlang
Shihab, M. 1996. Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan.
Shihab, M. 2007. Pengantin AL-Quran : Kalung Permata Buat Anak-anaku. Jakarta. Lentera Hati