Akumulasi Secara Kultural: Sengketa UU Pertanahan dan Konflik Agraria di DIY
Klaim tanah eks-swapraja terus menimbulkan konflik agraria di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tidak lama setelah lahan Gumuk Pasir di Bantul diklaim sebagai Sultanaad Grond (SG) oleh Kasultanan tahun 2016 lalu, berbagai klaim lain yang juga berujung konflik bermunculan. Konflik terbaru berkaitan dengan permasalahan ganti rugi lahan dalam pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulonprogo. Kadipaten Pakualaman yang juga bagian dari Kasultanan Yogyakarta, mengklaim lahan membentang dari pantai Congot sampai Glagah yang termasuk di dalam objek pembangunan bandara sebagai miliknya atau Pakualamanaat Grond (PAG). Untuk melanjutkan pembangunan, maka PT Angkasa Pura I perlu menebus lahan seluas 160 hektar ini, dengan mahar sekitar Rp. 701 miliar. Di saat bersamaan, Pak Daliyo, petani yang telah mengolah lahan ini selama 11 tahun, justru menelan kekecewaan karena tidak memperoleh ganti rugi. Karena telah diklaim sebagai milik kadipaten, maka petani tersebut hanya dianggap “menumpang”(Tirto, 27/8/2018).
Ancaman tidak hanya berhenti kepada masyarakat yang sebatas mengolah lahan secara informal seperti yang dilakukan petani di Temon. Mereka yang bahkan mendapatkan “kekancingan” (ijin tinggal dari Kasultanan) juga tetap terancam terusir dari tanahnya. Ancaman itu kini tengah dirasakan oleh warga Dipoyudan, Kota Yogyakarta, karena tanah yang mereka tinggali turut diklaim sebagai bagian SG. Meskipun telah menempati lahanya semenjak awal masa kemerdekaan, mereka tetap terancam terusir dalam waktu dekat jika tidak melawan. “Tanggal 21 September kami diminta untuk mengosongkan rumah yang kami tempati, kami harus meninggalkan rumah yang berdiri sebagai ganti rugi sewa selama ini” ujar ibu Nila warga Dipoyudan dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP Selasa 11 September 2018.
SG / PAG dan Konflik agraria di DIY
Akar utama permasalahan konflik agraria di DIY bersumber dari upaya pengakuaan kembali eksistensi SG dan PAG. SG/PAG merupakan lahan yang dikuasai oleh Kasultanan dan Kadipaten pada zaman dahulu atau dikenal dengan istilah tanah swapraja. Tahun 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya, sehingga pemerintahan kolonial bubar. HB IX yang menjabat sebagai Sultan kala itu, lalu memutuskan bahwa DIY secara resmi bergabung ke negara Indonesia dan tunduk terhadap hukum di Indonesia.
Kepatuhan DIY secara hukum tentunya juga melingkupi kebijakan pertanahan. Untuk menyelesaikan problematika ketimpangan penguasaan tanah yang dihasilkan kebijakan pertanahan di zaman kolonial, pemerintahan Soekarno berupaya meredistribusikan penguasaan lahan berlebih kepada rakyat dengan lahan terbatas. Tanah bekas swapraja (eks) termasuk dalam objek yang menjadi target redistribusi lahan sesuai Undang – Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – pokok Agraria (UUPA). Presiden Soekarno sangat optimis waktu itu, bahwa langkah redistribusi lahan yang dikerjakan akan dapat mampu membangun pondasi perekonomian nasional paska penjajahan. Menurutnya “Revolusi Indonesia tanpa land reform (redistribusi lahan) adalah sama saja… omong besar tanpa isi” (Rachman, 2013). UUPA kemudian menjadi hukum induk pertanahan yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di DIY. Lebih tepatnya UUPA berlaku di DIY semenjak diterbitkanya Keputusan presiden Nomor 33 tahun 1984 dan pembuatan peraturan pelaksana Perda DIY Nomor 3 tahun 1984.
“Revolusi Indonesia tanpa land reform (redistribusi lahan) adalah sama saja… omong besar tanpa isi” -Soekarno-
Setelah kebijakan turunan UUPA selesai diterbitkan, maka secara sangat jelas tanah eks-swapraja (SG/PAG) sudah gugur dan beralih menjadi tanah negara. Masyarakat di DIY yang telah “sadar”, mengakui bahwa tidak ada lagi namanya tanah SG dan PAG. Mereka yang jaman dahulu menumpang tinggal dan mengolah dalam kurun waktu yang cukup lama (20 tahun lebih), kemudian dapat mengajukan kepemilikan. Keputusan sesuai undang-undang ini yang lalu menjadi pedoman warga yang dulu (sebelum diusir) dan kini (terancam diusir) tengah menempati lahan bekas SG dan PAG.
Permasalahan bermula ketika tahun 2012 Sultan HB X mengeluarkan Sabdatama. Sabdatama dipercaya merupakan perintah sultan yang memiliki kedudukan sebagai peraturan tertinggi di DIY. Posisi Sabdatama bahkan dianggap sejajar dengan UUD. Kepercayaan tentang begitu kultus dan pentingnya Sabdatama, sultan-sultan terdahulu sangat jarang mengeluarkan Sabdatama. Sabdatama umumnya dikeluarkan untuk merespon kondisi sosial yang tengah berkecamuk di DIY. Sabdatama yang keluar tertanggal 10 Mei 2012 ini, menegaskan bahwa,
- Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman merupakan satu kesatuan
- Mataram (Kasultanan dan Kadipaten) merupakan negeri yang merdeka dan mempunyai hukum dan tata pemerintahan sendiri
- Seperti yang dikehendaki dan diperbolehkan, Mataram memimpin nusantara, mendukung tegaknya negara, tetapi tetap menggunakan hukum dan tata pemerintahan sendiri (Tempo, 10/05/2012).
Di penghujung tahun yang sama, kemudian diterbitkanlah UU no 13 tahun 2012 untuk mengatur tentang Keistimewaan DIY. Namun proses penyusunan kebijakan yang mengukuhkan “keistimewaan” DIY ini bukanya tanpa polemik. Susilo Bambang Yudhoyono, yang menjabat sebagai presiden kala itu telah mengatakan “Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi” dalam Rapat Kabinet Terbatas di Kantor Presiden (Kompas, 01/12/2010). Ungkapan itu memicu emosi warga yang mendukung “keistimewaan” DIY. Terlebih lagi dengan kondisi masyarakat DIY yang saat itu masih berbela sungkawa akibat erupsi gunung Merapi. Perkembangan selanjutnya pemerintah pusat mulai melunak sehingga Rencana UUK yang melalui pembahasan panjang akhirnya disahkan.
Kebijakan telah diperjuangkan habis-habisan oleh segenap masyarakat DIY ini, belakangan diketahui ternyata menyimpan malapetaka bagi mereka yang justru memperjuangkanya. Malapetaka tidak lain tersimpan dalam pengaturan pertanahan di DIY yang dianggap mengembalikan eksistensi SG dan PAG. Upaya penghidupan kembali SG dan PAG ternyata menjadi salah satu tujuan dari “keistimewaan”. Pengakuan ini tentu saja membuat sebagian masyarakat yang terdampak klaim, dipaksa mengakui lahan yang ditinggali dan atau diolahnya sebagai milik dari Kasultanan atau Kadipaten. Tidak peduli apakah tanah itu telah secara sah menjadi miliknya lewat mekanisme pembelian atau masih dikuasai secara informal. Sepanjang lahan yang ditinggali masyarakat dianggap termasuk sebagai SG dan PAG oleh Kasultanan dan Kadipaten, maka hak milik individu sangat rentan menjadi gugur. Sultan HB X tahun 2015 kembali menegaskan bahwa di DIY tidak ada namanya tanah negara, menurutnya “Hasil Paliyan Nagari (Perjanjian Giyanti) kok tanah negara…”.Ketika masyarakat kemudian hanya memiliki status menumpang seperti warga Dipoyudan, maka mereka harus rela sewaktu-waktu pergi dari lahan tanpa harus mendapat ganti rugi, ketika Kasultanan dan Kadipaten membutuhkan lahan tersebut.
UUPA Tetap Berlaku di DIY Tanpa Terkecuali
Mayoritas pandangan dan sekarang menjadi pandangan arus utama, menganggap bila UUK benar-benar telah menggantikan UUPA. Namun, pandangan tersebut dibantah oleh pemantik kedua dalam diskusi, Sugeng, Sekjen Persatuan Advokat Indonesia (Peradi), menurutnya UUK dari segi yuridis tidak dapat menggantikan kedudukan UUPA. Upaya masyarakat mengajukan hak milik apabila telah menggunakan, mengolah, atau membeli lahan yang tengah diklaim sebagai tanah SG/PAG merupakan tindakan legal secara hukum. Tindakan masyarakat sama saja dengan mengurus kepemilikan di tanah negara seperti di daerah lain. Justru klaim SG/PAG-lah yang termasuk dalam tindakan melanggar hukum, karena sama halnya melawan hukum induk pertanahan yang berlaku.
Hasil penelitian Peneliti Pusat Studi Keistimewaan DIY, Universitas Nahdatul Ulama Yogyakarta, Kus Antoro, sebagai pemantik dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM juga menguatkan analisis Sugeng. UUPA memilik tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan UUK. UUPA merupakan anak kandung UUD 1945 pasal 33, sehingga menjadi satu-satunya aturan dasar tentang agraria dan berlaku di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali. Meskipun menjadi dasar terbitnya hak atas tanah bagi WNI, namun UUPA tetap membatasi luas penguasaan lahan dan kepemilikan tanah, karena memandang tanah memilik fungsi sosial. Berbeda dengan UUK yang hanya lahir dari UU tentang Pemerintahan Daerah dan menjadi lanjutan dari UU pembentukan DIY. Karena posisinya, maka UUK tidak membatasi UU lainya, dan membuat UU lain tetap berlaku sebagaimana mestinya. UUK hanya digunakan sebatas sebagai dasar untuk menerbitkan hak milik tanah bagi Kasultanan/kadipaten sebagai badan hukum khusus yang bersifat privat. Pada dasarnya UUK secara normatif juga telah memuat batasan-batasan penggunaanya agar tidak menimbulkan kerugian bagi negara, terletak dalam asas-asanya. Dua asas yang paling penting yakni, menempatkan DIY sebagai bagian wilayah setingkat provinsi, dan menekankan pembatasan bahwa UUK bukan merupakan upaya pengembalian nilai dan praktik feodalisme. Dengan tetap berlakunya UUPA maka secara spesifik, status tanah SG dan PAG telah dihapus dan menjadi tanah negara.
Penggunaan Perjanjian Giyanti tahun 1755 sebagai dasar untuk melakukan klaim SG dan PAG, pada dasarnya memiliki problem substansial. Kasultanan dan Kadipaten hari ini, merupakan subjek hukum yang berbeda dengan yang ada dalam perjanjian Giyanti (Badan Hukum Swapraja) karena mereka dikukuhkan melalui UUK (Badan Hukum Warisan Budaya / BHWB). BHWB bentukan UUK dilahirkan oleh republik Indonesia, sedangkan Badan Hukum (BH) Swapraja dibentuk oleh pemerintah Kolonial. Karena dilahirkan oleh RI, maka kedaulatan BHWB secara penuh tunduk pada UUD. BH Swapraja, tunduknya kepada pemerintah kolonial, dan tidak pernah merdeka. Eksistensi dari BHWB, lahir setelah dibentuknya UUK di tahun 2012 sedangkan BH Swapraja sudah berakhir lewat Amanat 5 September 1945 jo UU 3/1950 pada masa pemerintahan HB IX. Sebagai badan privat, BHWB dapat memiliki aset tanah yang tentunya harus diperoleh lewat mekanisme jual beli. Karena SG dan PAG berasal dari tanah pinjaman “een leen” (VOC meminjamkan tanah pada kasultanan), maka BH Swapraja tidak pernah memiliki tanah. Warisan tanah yang selalu digunakan sebagai dasar, tidak benar adanya karena BH swapraja tidak memiliki tanah sebelunya (Antoro, 2018).
Pertimbangan hukum, kedudukan peraturan dan masalah substansial pada dasarnya membuat klaim SG/PAG hari ini tidak dapat dibenarkan. Karena UUPA berlaku secara penuh di DIY, maka semua lahan yang pada jaman pemerintahan kolonial dianggap sebagai SG/PAG telah berubah menjadi tanah negara. Sehingga klaim Sultan X pada tahun 2015 bahwa tidak ada tanah negara di DIY, diragukan kebenaranya.
Klaim SG / PAG, Masalah Sosio Kultural, dan Proses Akumulasi
Meskipun secara yuridis dan legal formal UUPA tetap berlaku dan tanah SG/PAG tidak ada, namun hal ini berbeda pada sisi praktek lapangan. Kejelasan legal formal status SG /PAG ternyata diabaikan oleh pihak Kasultanan dan Kadipaten. Pihak Kasultanan dan Kadipaten melakukan klaim dengan tetap menggunakan dasar peta desa tahun 1930an, Rijksblad 1918 dan pengakuan kultural masyarakat akibat ketidaktahuanya. Kuatnya hegemoni kasultanan dan kadipaten dalam kehidupan sosial masyarakat, pada akhirnya mampu membentuk pandangan terhadap eksistensi SG/PAG hingga hari ini. Karena ketundukan sebagian besar masyarakat DIY terhadap “raja”, alhasil mereka seringkali “terpaksa” membenarkan klaim SG PAG pada prakteknya.
Problem kultural ini menjadi sumber permasalahan pelik dalam upaya penyadaran pemberlakuan UUPA di DIY. Cukup banyak masyarakat yang jelas-jelas akan digusur, seperti di Dipoyudan, namun pada awalnya mash saja mempercayai “political will” dari Kasultanan dan Kadipaten. Mereka berupaya mengadu ke Kasultanan dan Keraton dengan harapan, sebagai “pemilik” lahan mereka bersedia mengijinkan masyarakat untuk tinggal lebih lama lagi (jogja.tribunnews.com, 17/09/2018). Pandangan demikian akibatnya membuat masyarakat seolah hanya dapat memiliki dua pilihan dalam menghadapi penggusuran, antara pasrah menerima konsekuensi atau memohon belas kasihan Kasultanan dan Kadipaten.
Klaim SG/PAG dengan dasar yang tidak jelas dikombinaskan dengan pengakuan masyarakat karena kondisi sosio kultural, alhasil terus memperbesar proses perampasan tanah. Inventarisasi SG/PAG yang dimulai sejak tahun 2013, setidaknya membuat 348 ribu m2 lebih atau 10,67% luas DIY telah dimiliki oleh Kasultanan dan Kadipaten.
Klaim SG/PAG dengan dasar yang tidak jelas dikombinaskan dengan pengakuan masyarakat karena kondisi sosio kultural, alhasil terus memperbesar proses perampasan tanah. Inventarisasi SG/PAG yang dimulai sejak tahun 2013, setidaknya membuat 348 ribu m2 lebih atau 10,67% luas DIY telah dimiliki oleh Kasultanan dan Kadipaten (Antoro, 2018). Bukan tidak mungkin bahwa seluruh lahan di DIY menjadi milik Kasultanan dan Kadipaten, apabila kondisi struktur kekuasaan masih tetap sama. Tentunya akan semakin banyak masyarakat yang terancam kehilangan hak milik atas tanahnya, dan harus rela menyerahkanya sebagai milik Kasultanan dan Kadipaten tanpa lewat mekanisme pembelian. Bagi masyarakat dengan pendapatan cukup tinggi, hal ini mungkin tidak akan banyak menjadi persoalan. Namun, masyarakat dengan pendapatan rendah yang kehilangan hak milik tempat tinggalnya bukan tidak mungkin akan semakin menurun kondisi sosial dan ekonominya (Helbrecht, 2018). Hal ini seperti yang telah dialami sebagian besar penghuni lahan Gumuk Pasir di Parangtritis. Bu Kawit, salah satu korban penggusuran di Gumuk Pasir tahun 2016 lalu, yang juga datang dalam diskusi menuturkan pengalaman keterpurukan perekonomianya paska penggusuran. Mereka yang tidak mendapatkan ganti rugi karena menolak, terpaksa harus menumpang di rumah tetangga untuk tetap dapat bertahan hidup. Kondisi mereka semakin diperparah dengan turunya pendapatan, karena usaha yang dimiliki juga ikut digusur. “Setelah warung soto saya digusur, saya sekarang jualan mie ayam kelililng sepanjang malam” ujar Kawit.
Ironisnya, di sisi lain ketika masyarakat berpendapatan rendah menderita, Kasultanan dan Kadipaten justru meraup banyak keuntungan lewat bertambahnya lahan mereka. Di masa pembangunan yang pesat di DIY akhir-akhir ini (akibat wisata di Gunungkidul, Calon Bandara di Kulonprogo dll), lahan menjadi sarana produksi paling potensial dalam meraup keuntungan. Berbagai laporan media secara terus menerus memberitakan tentang semakin meroketnya harga lahan di DIY. Dengan bermodalkan hanya menyewakan tanah, tentu keuntungan yang dimiliki pemilik lahan akan berlipat ganda. Lahan memiliki nilai yang terus meningkat setiap saat, bersama laju pembangunan (Smith, 1979). Dapat dibayangkan berapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pihak yang menguasai 10% lebih tanah di DIY hari ini dan di masa depan?. Tidak salah kiranya apabila memandang proses inventarisasi SG/PAG ini, sebagai sebuah bentuk dari proses akumulasi kapital.
Wadah Perlawanan Melawan Perampasan Lahan
Untuk menghentikan proses akumulasi yang menggunakan cara-cara perampasan ini tidak ada alternatif jalan lain, selain perlawanan. Sebelum muluk-muluk membahas jauh ke depan, korban dan calon korban (mereka yang meninggali SG/PAG, secara khusus masyarakat berpendapatan rendah) tentunya perlu terlebih dahulu untuk merubah paradigma sosio kultural yang selalu mengagung-agungkan Kasultanan dan Kadipaten. Sultan dan Pakualam bukanlah titisan Tuhan seperti halnya cerita turun temurun diwariskan oleh orang tua. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mereka tidak lain merupakan warga negara Indonesia yang memiliki kedudukan sama dengan Bu Nilla, Bu kawit, Pak Daliyo atau korban lainya. Kasultanan dan Kadipaten, merupakan badan hukum yang juga biasa saja. Apabila mereka melakukan perbuatan melanggar hukum, (terutama menyalahi hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia), maka tidak perlu ada keraguan untuk melawan.
Perjuangan individu yang terpecah-pecah tentu menjadi kurang efektif dalam menghadapi tekanan kultural di DIY. Musuh yang tengah dihadapi tidaklah sembarangan, karena mereka menguasai kontrol dari segi, budaya, sosial, politik, agama hingga ekonomi. Bersatu dan bertekad bersama melawan perampasan lahan, dibalik jargon menjaga “keistimewaan menjadi” satu-satunya jalan yang paling relevan hari ini. Secara konkrit, paska diskusi dilaksanakan, Sugeng menginisiasi pembentukan tim pendampingan untuk mengadvokasi korban sengketa agraria akibat SG/PAG. Tim ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi seluruh individu maupun kelompok masyarakat di DIY yang mengalami sengketa agraria akibat SG/PAG dan bertekad untuk melawan berbagai bentuk proses perampasan lahan.
Bagi kawan-kawan yang mengalami masalah sengketa agraria karena SG/PAG, silahkan untuk menghubungi MAP Corner-Klub MKP untuk ditertuskan kepada tim yang telah dibentuk!.
Daftar Pustaka:
Helbrecht, I. (2018). “Gentrification and Displacement”. In I. Helbrecht (Ed.), Gentrification and Resistance : Researching Displacement Processes and Adaption Strategies (pp. 1–8).
Rachman, N. F. (2013). Land Reform : Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta: STPN Press.
Smith, N. (1979).”Toward a theory of gentrification: A back to the city movement by capital, not people”. Journal of the American Planning Association, 45(4), 538–548
Tempo. 10 Mei 2012. “4 Sabdatama Raja Yogya untuk Warganya”. Sumber: https://nasional.tempo.co/read/403116/4-sabdatama-raja-yogya-untuk-warganya, diakses pada September 2018.
Tirto. 27 Agustus 2018. “Untung Pakualaman di Tengah Nasib Buntung Petani dari Proyek NYIA”. Sumber: https://tirto.id/untung-pakualaman-di-tengah-nasib-buntung-petani-dari-proyek-nyia-cU5q, diakses pada September 2018.
Kompas. 01 Desember 2010. “Demokrasi Versus Monarki di Yogyakarta”. Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2010/12/01/10061921/demokrasi.versus.monarki.yogyakarta, diakses pada September 2018.
Tribun News. 17 September 2018. “Warga Dipoyudan Mengadu ke Keraton Terkait Penggunaan Tanah Sultan Ground yang Mereka Tempati”. Sumber: http://jogja.tribunnews.com/2018/09/17/warga-dipoyudan-mengadu-ke-keraton-terkait-penggunaan-tanah-sultan-ground-yang-mereka-tempati, diakses pada September 2018.
Mantap dan salut!