Pemilu dan Jalan Perlawanan: Pembangunan Gerakan Rakyat dari Bawah Sebagai Alternatif
Pengantar Redaksi
Pesta demokrasi, yang sebelumnya didikte ketika zaman Orde Baru, kini sedikit banyak telah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menentukan arah perkembangan negara. Tahun 2019 mendatang pun akan menjadi tahun politik yang ramai karena diadakannya pemilihan umum bagi masyarakat untuk memilih presiden. Pada Kamis, 9 Agustus yang lalu, kedua calon presiden yang akan bertanding dalam Pemilu tahun 2019 pun telah resmi menyatakan calon wakil presiden yang akan menemani mereka, Jokowi – Ma’ruf Amin & Prabowo – Sandiaga Uno.
Meskipun begitu, pesta demokrasi di Indonesia ini seakan tidak memiliki substansi dan makna yang signifikan bagi politik di Indonesia. Pasalnya, sosok dan figur seseorang sering kali menjadi penentu utama keberhasilan politisi dalam memenangkan pemilihan ketimbang agenda ataupun program yang ditawarkan. Dalam pemilihan jabatan politik, kerap diwarnai oleh calon-calon dari latar belakang partai politik (ideologi) berbeda namun mengusung agenda dan program yang sulit dibedakan satu sama lain. Padahal agenda programatik merupakan roh utama dalam setiap upaya penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan kondisi seperti itu, kontestasi politik dalam demokrasi Indonesia lebih mirip pertandingan antara individu dan figur ketimbang pertandingan antara agenda atau program yang ideologis, koheren, jelas, dan bertolak-belakang. Sementara partai politik alternatif masih belum terkonsolidasi & menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Lantas, mengapa kontestasi politik di Indonesia masih berpusat pada tokoh ketimbang pertarungan antara agenda? Sejak kapan politik pertokohan ini terjadi di Indonesia? Kondisi apa yang mendukung proses itu? Apa implikasinya bagi masyarakat? Dan bagaimana menemukan cara dan strategi untuk menciptakan perbaikan bagi demokrasi Indonesia untuk mencapai keadilan?
Dalam tulisan ini, Sunarno (Sekjen Konfederasi KASBI & Ketua Panitia Konferensi Gerakan Rakyat) menulis sebagai pemantik diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM yang diselenggarakan pada 14 Agustus 2018 dengan tema “Pilpres 2019: Politik Ketokohan vs Agenda Programatik”. Sunarno menjelaskan tentang kemunculan politik ketokohan dan permasalaan dalam demokrasi di Indonesia. Setelah itu, dia menunjukan tentang jalan untuk mencapai pembangunan gerakan rakyat sebagai sebuah alternatif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini.
*** *** ***
Indonesia sampai saat ini dihadapkan dengan permasalahan yang cukup kompleks, salah satunya tentang kondisi riil ekonomi rakyat yang tetap rendah. Adanya pemilihan umum (pemilu) yang diselenggarakan lima tahun sekali, belum tentu dapat mengubah kehidupan rakyat menjadi lebih baik.
Sejak awal, ajang konstelasi politik di tanah air, tak bisa terhindar dari sosok, ataupun figur dari sebuah kelompok dan kekuatan politik. Sebab, pergulatan dan dinamikanya tak bisa lepas dari unsur ketokohan yang hadir dalam setiap pergolakan. Di masa pra kemerdekaan, Indonesia mendapatkan sosok “a blessing ini disguise”. Banyak diartikan, “something that seems bad or unlucky at first, but results on something good happening later“.
Soekarno contohnya, meski dia hidup dalam kejaran dan pengasingan, Bung Karno dianggap tokoh besar yang akhirnya memproklamasikan NKRI pada tahun 1945, dengan dorongan kaum muda. Sosok lainnya adalah para tokoh di jaman pergerakan. Mereka yang tampil dalam pemberontakan pertama kalinya di Hindia Belanda, di tahun 1926. Banyak tokoh pentingnya dibuang ke Boven Digul. Sesudahnya, kalau tidak mati, mereka yang hidup, biasanya menjadi orang-orang yang disegani, lantaran alumni Digulis.
Apa hubungannya sejarah demikian dengan latar politik Indonesia akhir-akhir ini? Dan apalagi, paska reformasi 1998, lingkaran politik kekuasaan, tak jauh dari kekuatan politik, “itu-itu saja”, kata sebagian besar anak muda kritis. Jika ada sedikitnya anak muda kritis di jaman 1998, yang mulai berbenah pemikiran dari sekedar menjadi aktivis, mereka sudah berada dalam daftar caleg, paling kentara mulai 2014 silam. Artinya Indonesia khas dengan unsur ketokohan, apakah pemeran Buto Cakil, Sengkuni, bahkan mimpi “Satrio Piningit” yang belum kunjung tiba.
Maka relevansinya dengan situasi politik saat ini, unsur ketokohan wajar dan biasa saja menjadi penghias panggung kampanye pemilu presiden (pilpres) sebentar lagi. Namun, bagi kebenaran politik elit, ketokohan tak dapat dipungkiri, dapat menjadi unsur matematika politik, dalam meraup suara.
Pertarungan politik pilpres 2019 tak perlu dicemaskan lagi, tak perlu disebut-sebut mengkhawatirkan lagi. Permasalahan yang lebih fundamental adalah rakyat masih terhegemoni dengan tampilan dan kemasan sosok dan ketokohan. Sehingga bercak darah yang menetes dari tangan Prabowo Subianto sejak invasi ke Timor Leste dan penculikan aktivis 1998 seolah tak terlihat terutama bagi para pendukungnya. Begitupula dengan kebijakan neoliberal yang diusung Jokowi selama masa kepemimpinannya yang sedikit banyak telah mengorbankan masyarakat kelas bawah. Alhasil, dalam Pilpres 2019 kita akan menyaksikan sebuah perlombaan balap karung semata, meriah untuk ditonton, tapi tak ada prestasi apapun yang dapat dijaminkan, berbasis program untuk diperdebatkan.
Implikasinya bagi rakyat jelas, kondisi semacam ini sulit untuk merubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. Mereka hanya digunakan sebagai kuda tunggangan untuk mencapai tampuk kekuasaan Animo rakyat, seperti saat pemilu kepala desa dan lurah di daerah-daerah. Tak banyak yang diharapkan. Maka pemilu ini, semacam hiburan semata buat tontonan rakyat. Persoalannya, jalan perlawanan rakyat masih berada di erupsi, di tengah kawah yang masih macet, di sana-sini.
Jalan Perlawanan Rakyat sebagai Alternatif
Situasi perlawanan rakyat sedang surut. Kita harus jujur akui itu. Namun, kita tak boleh menyerah. Kehadiran organisasi-organisasi rakyat, berbasis perlawanan rakyat di seluruh daerah, pasti akan sampai pada masa persemaiannya. Syaratnya, jika benar-benar konsisten, sampai musim panen!
Platform kedaulatan rakyat, dan keadilan, adalah mata rantai menuju kesejahteraan yang kita inginkan, sebab kita pun adalah bagian dari rakyat. Maka kita harus berada senantiasa dalam perjuangan rakyat, di tengah-tengah masa, membangun kesadaran, dan organisasi yang terorganisir, terdidik, dan terpimpin. Maka kita pun harus bekerja keras dalam kerja-kerja organisasi dan setia pada jalan perlawanan rakyat itu sendiri.
Organisasi-organisasi rakyat haruslah berani membangun kekuatan politiknya secara mandiri dan masif, yaitu sebagai kekuatan alternatif dalam pandangan masyarakat umum. Istilah membangun kekuatan politik alternatif sebenarnya bisa di katakan hanya penyebutan lain dalam identifikasi pilihan politik pada situasi politik transaksional dewasa ini, dimana kekuatan politik yang ada hanyalah perpanjangan tangan dari kepentingan kaum kapitalis, sebuah kekuasaan politik yang dipimpin dan diatur oleh kekuatan modal. Tidak mengherankan jika sekalipun mereka satu kubu, namun sesungguhnya mereka saling cakar dan saling gigit satu sama lainya.
Sedangkan membangun kekuatan politik alternatif yang dimaksud adalah keinginan dan cita-cita untuk membangun dan membesarkan sebuah kekuatan politik yang benar-benar lahir dari rahim gerakan rakyat itu sendiri. Entah nanti bentuk dan namanya apa, tentu perlu di diskusikan lebih lanjut. Tapi secara garis besar isi dari kekuatan politik yang di bangun adalah terdiri dari organisasi-organisasi rakyat/kelompok masyarakat yang saat ini masih aktif memperjuangkan nasibnya dan memiliki komitmen untuk memperjuangkan “Kemerdekaan, Kesetaraan, Kesejahteraan” untuk seluruh rakyat Indonesia. “Kemerdekaan” diartikan bahwa rakyat harus mendapatkan kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat; rakyat terbebas dari penindasan, penghisapan, pembodohan. “Kesetaraan” diartikan rakyat harus hidup dalam tataran masyarakat yang adil, tanpa diskriminasi, ras, gender, golongan, minoritas, ekonomi, sosial dan budaya. “Kesejahteraan” diartikan rakyat yang hidup dalam sebuah negara harus terpenuhi semua kebutuhan dasarnya seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, pangan dan lainnya– yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
Kekuatan politik alternatif ini dibuat bukan hanya untuk sekedar merespon pemilu saja, atau mencari suara saja, tapi sebuah kekuatan politik yang menyediakan ruang pendidikan politik dan membuka ruang partisipasi rakyat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Membangun kekuatan politik sebagai corong dari tuntutan gerakan rakyat dan memunculkan figur-figur gerakan rakyat. Membangun kekuatan politik yang mempersatukan berbagai unsur gerakan haruslah mempunyai struktur “arus bawah” dengan membuat “posko-posko rakyat”. Posko rakyat ini bisa menjadi wadah di arus bawah untuk diskusi, propaganda, pendidikan politik dan mobilisasi dan dan menjadi embrio untuk membangun struktur politik kolektif bagi gerakan rakyat.
Kekuatan politik alternatif ini berisikan organisasi-organisasi pergerakan seperti kaum tani, pemuda-pelajar-mahasiswa, nelayan, kaum miskin kota, dan juga kaum buruh sebagai motor penggerak utamanya. Mengenai kaum buruh sebagai kekuatan utama tentu tidak hanya berbicara mengenai mereka yang bekerja di suatu pabrik atau yang kerap disebut pekerja kerah biru. Buruh adalah orang yang menjual tenaga mereka untuk mendapatkan upah sebagai penghasilan utama mereka. Di antaranya ada buruh pabrik, buruh tani, buruh perkebunan, buruh bongkar muat di pelabuhan, buruh ABK, buruh di bandara, buruh bangunan, pegawai negeri, Sipir, pegawai kantor, sopir, pilot, tukang becak, tukang ojek, insinyur, teknisi, buruh kereta api, buruh pertambangan, ilmuwan, tenaga pengajar, pekerja media, pekerja Bank, pelayan toko dan restoran, PRT, dan pekerja hotel, dsb. Dari kesemuanya itu menurut data Kemnaker tahun 2017, jumlah masyarakat produktif yang di kategorikan sebagai kaum buruh telah mencapai sekitar 124 juta orang, terdiri dari buruh sektor formal 49 juta, dan buruh sektor informal sekitar 75 juta orang.
Untuk menyatukan kekuatan mereka menjadi sebuah kekuatan politik alternatif yang masif tentu tidaklah mudah, semua organisasi-organisasi rakyat/kelompok masyarakat tersebut harus saling bekerjasama dan saling mendukung dalam perjuanganya. Membiasakan saling bersolidaritas, dan mau membuka ruang belajar bersama. Mereka harus siap terpimpin dan terorganisir, semua mau bersatu-padu dan mau bergotong royong dalam membangun kekuatan politik alternatif tersebut, dengan begitu maka cita-cita untuk mewujudkan kekuasaan negara di tangan rakyat niscaya akan berada ditangan mereka.
Maka, sudahkah kita memahami, dan mulai berpikiran jernih, untuk memilih dan bersetia di jalan perlawanan rakyat?
Tentu jawabannya, ada pada kita semuanya.
____________________________________
Ditulis oleh Sunarno, Sekjen Konfederasi KASBI dan Ketua Panitia Konferensi Gerakan Rakyat.
Tulisan ini digunakan sebagai bahan diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM pada 14 Agustus 2018 dengan tema “Pilpres 2019: Politik Ketokohan vs Agenda Programatik”.