Kapitalisasi Agama Tumbuh Subur di Atas Pemaknaan Religiusitas yang Salah Arah
Kapitalisasi agama kurang tepat jika dilihat dalam perspektif keagamaan karena lebih mengutamakan ibadah individual daripada ibadah sosial, begitulah salah satu poin yang perlu digarisbawahi dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP, 29 Agustus 2017. Diskusi rutin yang bertempat di lobby Magister Administrasi Publik (MAP) itu membahas mengenai fenomena Bisnis dan Kapitalisasi Agama yang marak terjadi belakangan ini. Dua pemantik dihadirkan untuk mengulas bisnis agama terutama kasus First Travel (FT) yang merugikan puluhan ribu orang terutama masyarakat golongan menengah ke bawah. Pemantik pertama adalah Arie Setyaningrum Pamungkas selaku dosen FISIPOL UGM sedangkan pemantik kedua yaitu Roy Murtadho yang menjadi Redaktur “ISLAM Bergerak”.
Skema Ponzi Dalam Strategi Bisnis First Travel
Diskusi sore itu dimulai dengan ulasan Arie Setyaningrum Pamungkas yang akrab dipanggil Tya mengenai cara kerja FT dalam menjalankan bisnisnya. Menurut dosen yang disertasinya mengenai media dakwah pasca Soeharto itu, FT menggunakan skema ponzi dalam menjalankan bisnisnya. OJK menjelaskan bahwa Skema Ponzi merupakan investasi palsu yang membayar keuntungan investor dari investasi investor baru (Detik.com, 24/7). Model investasi ini tidak lebih sebagai metode penipuan. Keruntuhan skema ponzi ini sudah pasti akan terjadi karena uang yang terkumpul hanya berputar di tempat, tidak digunakan dalam proses akumulasi kapital.
Dalam kasus FT untuk memberangkatkan 1 orang membutuhkan biaya dari 2 orang sehingga uang yang dibayarkan konsumen baru digunakan untuk membiayai konsumen lama. Itu yang menjadikan harga biaya Haji dan Umrah yang ditawarkan FT begitu murah. Ketika mereka tidak lagi mampu menggaet konsumen-konsumen baru untuk menopang konsumen lama, sementara tagihan semakin membengkak, maka terompet kehancuran skema ponzi ini sudah di depan mata.
“kasus First Travel ini sangat mungkin terjadi dalam sistem ekonomi kapitalisme yang memperbolehkan agensi-agensi sosial bekerja untuk memanfaatkan modal yang bersifat non-material termasuk nilai-nilai agama dan spiritualitas” -Tya Pamungkas-
Kemampuan FT menggaet banyak konsumen terkait dengan adanya agen yang menggunakan relasi sosialnya. Contohnya Hartati yang mampu mengumpulkan 547 calon jamaah umroh (Detik, 28/8). Dengan memanfaatkan relasi kepercayaan, para agen tersebut mengumpulkan dana dari konsumen. Bahkan para agen pun tidak dilengkapi dengan kantor resmi sehingga sulit untuk dipertanggungjawabkan jika terjadi masalah dikemudian hari. Penggunaan relasi sosial inilah yang menurut Tya menimbulkan masalah baru. Pasalnya ketika kepercayaan yang diberikan konsumen terkadang tidak serta-merta diikuti dengan pengelolaan bisnis yang beretika. Hasilnya tentu saja konsumen lebih dirugikan dalam relasi bisnis ini. Tya Pamungkas mengatakan bahwa “kasus First Travel ini sangat mungkin terjadi dalam sistem ekonomi kapitalisme yang memperbolehkan agensi-agensi sosial bekerja untuk memanfaatkan modal yang bersifat non-material termasuk nilai-nilai agama dan spiritualitas”.
Kesalehan Individual: Pemaknaan Agama yang Salah Arah
Alasan utama bisnis ini berjalan lancar hingga muncul kasus FT berasal dari masyarakat itu sendiri. Konstruksi sosial yang muncul di masyarakat tentang agama, lebih pada penggunaan atribut, simbol, atau ritual individual tertentu agar dipandang sebagai orang yang shaleh atau religius. Misalnya di beberapa daerah hanya seorang yang sudah menunaikan ibadah haji yang boleh menjadi imam di Masjid. Atau ketika mereka sudah berangkat haji kemudian nilai prestis mereka meningkat dan gelar “haji” disematkan di depan nama mereka. Contoh lain terkait dengan pandangan hanya wanita yang menggunakan jilbab yang dinilai sebagai muslim, di luar itu dianggap beragama lain. Kondisi seperti ini yang mendorong masyarakat berlomba-lomba untuk segera pergi ke tanah suci tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-ekonominya sendiri maupun masyarakat di sekitarnya.
Roy Murtadho (Redaktur Islam Bergerak) yang akrab dipanggil Roy mengamini apa yang dilontarkan pemantik pertama terkait dengan konstruksi sosial yang ada di masyarakat. Pengajar salah satu pesantren di Jombang ini menilai bahwa saat ini konstruksi kesalehan di masyarakat telah salah arah. Pandangan seseorang yang saleh diukur dari ibadah individualnya tanpa memperhatikan aspek lain. Roy mengatakan bahwa “yang diprioritaskan dalam Islam adalah ibadah muta’addiyah atau ibadah sosial dibanding ibadah qashirah atau ibadah individual”. Dia memberikan contoh cerita bijak dari Afrika ketika masyarakat dari sebuah desa menabung bertahun-tahun untuk berangkat haji ke tanah suci. Setelah tabungan mereka dirasa cukup, mereka pun melakukan perjalanan ke tanah suci. Namun ditengah perjalanan mereka melewati sebuah desa yang sedang dilanda kelaparan. Akhirnya mereka berdiskusi apakah akan melanjutkan perjalanan haji atau menolong masyarakat yang sedang dilanda kelaparan tersebut. Jika opsi terakhir dipilih maka mereka tidak dapat meneruskan perjalanan ke tanah suci dikarenakan bekal mereka diperjalanan akan habis. Alhasil mereka memilih opsi kedua dan menggugurkan impian mereka naik haji. Akan tetapi sesampainya di kampung halaman, mereka disambut oleh utusan tuhan dan dinilai naik haji yang mereka lakukan telah syah.
Cerita di atas kurang lebih ingin mengatakan bahwa ibadah haji itu penting dilakukan, namun dilandasi dengan keikhlasan, sikap solidaritas sosial, dan mempertimbangkan kondisi ekonomi-sosial keluarga dan masyarakat yang lain. Bukan hanya untuk kepentingan pribadi agar menaikan derajad sosial di masyarakat.
“yang diprioritaskan dalam Islam adalah ibadah muta’addiyah atau ibadah sosial dibanding ibadah qashirah atau ibadah individual” -Roy Murtadho-
Masih terkait konstruksi sosial kesalehan individual yang ada di masyarakat, pelaku bisnis pun memanfaatkan kondisi itu. Kapitalisasi agama berjalan memanfaatkan pemaknaan agama yang tidak dilakukan secara substantif. Konstruksi keagamaan yang salah arah itu menurut Tya hampir memenuhi medan wacana sekarang ini. Sementara organisasi keagamaan yang besar seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tidak mampu memberikan wacana tandingan.
Dalam sesi diskusi, seorang peserta diskusi menyampaikan realitas sosial yang ada di daerahnya di Sulawesi. Orang rela menjual tanah mereka untuk pergi umrah dan naik haji. Ketika sampai di kampung halaman, orang tersebut dihadapkan dengan sudah tidak adanya lagi sawah sebagai sumber penghasilan mereka. Tidak sedikit masyarakat yang selepas haji mengalami kesulitan ekonomi hingga tidak mampu membiayai pendidikan anaknya.
Untuk mengubah konstruksi sosial semacam ini diperlukan kerjasama dari berbagai pihak. Salah satunya organisasi keagamaan seperti NU dan Muhamadiyah. Sudah selayaknya kedua organisasi besar itu ikut andil dalam meluruskan konstruksi sosial yang ada di masyarakat. Setidaknya melalui mesin-mesin organisasi itu tidak ikut-ikutan dalam menyebarluaskan konstruksi kesalehan yang didapatkan melalui ibadah individual lebih utama dari ibadah sosial.
Munculnya kebutuhan ritual individu ini merupakan kesempatan yang tidak dilewatkan oleh para pelaku bisnis. Dengan berbagai cara mereka menawarkan produk maupun jasa untuk menunjang ibadah individual ini. Promo umroh yang ditawarkan FT menjadi salah satu contohnya. Harga murah yang ditawarkan menarik minat konsumen terutama kalangan menengah kebawah. Mereka pun tergiur tawaran itu. Para pebisnis yang tidak memiliki etika karena hanya mengejar keuntungan tersebut sejak dari awal memang tidak mau terbuka tentang realistis tidaknya harga murah yang mereka tawarkan. Sementara konsumen juga tidak mau mengecek masuk akal tidaknya harga murah yang diawarkan. Alhasil yang terjadi adalah penipuan.
Kasus FT menjadi pelajaran bagi semua pihak terkait bahaya yang muncul jika bisnis dan kapitalisasi agama terus dilakukan. Tidak hanya kapitalisasi agama berlawanan arah dengan ajaran agama, masyarakat pun menanggung kerugian riil. Tentu yang diuntungan hanya segelintir pemilik modal.