Cerita dari Desa: Bonus Demografi Dalam Cengkeraman Kapitalis
Minggu lalu, kegiatan program Dosen Magang 2017 dari Kemenristekdikti yang sedang saya ikuti rehat sejenak. Itu karena pada Jumat 1 September 2017 merupakan Hari Raya Idul Adha. Saya gunakan kesempatan tersebut untuk mudik ke kampung halaman guna melepas rindu dengan kedua orang tua, silahturahmi ke tetangga, dan teman-teman sepermainan.
Berkah hari raya Idul Adha, saya gunakan untuk berkumpul sembari masak-masak daging kurban. Sekitar 20-an pemuda-pemudi berkumpul, mengalir begitu sangat hangat dan cair saat pembagian tugas memasak dilakukan. Jumlah ini sebenarnya hanya sebagian kecil dari jumlah pemuda-pemudi yang ada di desa saya. Sebab sebenarnya ada sekitar 125 pemuda-pemudi. Meskipun tidak semua bisa berkumpul, namun tak sedikitpun mengurangi tawa dan canda bersama.
Setelah tiga jam kita memasak di pawon (dapur), akhirnya sampai juga pada waktu yang dinanti-nanti. Sajian hidangan hasil jerih payah telah siap dinikmati bersama. Tawa dan canda tetap menyala-nyala. Maklum momen berkumpul seperti ini adalah barang mewah di tengah kesibukan kita masing-masing.
Tiba-tiba HP saya berdering. Tanda pemberitahuan jadwal kegiatan Dosen Magang yang sebelumnya telah saya setting meraung-raung mengingatkanku. Tampak di layar bahwa “Senin, 4 September 2017, akan mengunjungi ke observatorium bosscha bersama teman-teman Dosen Magang ITB”. Pemberitahuan tersebut saya baca sambil lalu.
Tak terasa masakan yang telah dihidangkan mulai habis. Sambil membiarkan jantung kami mengolah makanan yang telah masuk, kami membahas agenda pembangunan di Desa. Kebetulan saya diminta untuk share pengetahuan tentang Dana Desa, BUM Desa, dan Peluang Usaha yang mungkin bisa diciptakan mengingat pemuda-pemudi ditempat saya banyak yang masih menganggur. Saya pun mencermati kondisi tetangga desa pun kurang lebih sama, bahkan tidak lebih baik dari tempat saya tinggal.
Berdasarkan hitung-hitungan kasar saya, dari 125 pemuda-pemudi, 30% masih sekolah, 16% serabutan, 40% menganggur dan hanya 14% sudah bekerja. Dari tahun ke tahun jumlah pemuda-pemudi bertambah, namun tidak dibarengi dengan meningkatnya lapangan pekerjaan. Alhasil angka pengangguran terus meningkat, sebagian besar adalah lulusan SMA/SMK dan dari keluarga kurang mampu. Beberapa dari mereka yang masih menganggur telah bergelar Sarjana (S1). Apakah problem seperti ini juga terjadi di kampung atau desa anda?
Berdasarkan hitung-hitungan kasar saya, dari 125 pemuda-pemudi di desa saya, 30% masih sekolah, 16% serabutan, 40% menganggur dan hanya 14% sudah bekerja. Dari tahun ke tahun jumlah pemuda-pemudi bertambah, namun tidak dibarengi dengan meningkatnya lapangan pekerjaan.
***
Kita simpan dulu permasahan di atas, Minggu 3 September 2017 Pukul 10.00 WIB, saya bergegas menuju Terminal untuk berangkat ke Bandung agar bisa ikut kegiatan esok harinya. Ternyata Bus dari Sukoharjo-Bandung telah penuh/habis. Terpaksa harus ijin tidak bisa mengikuti kegiatan mengunjungi observatorium bosscha, besoknya baru saya bisa berangkat ke Bandung. Setelah sampai di Bandung pada Rabu, 6 September 2017, karena sudah saking penasaran, saya langsung bertanya pada tentang kegiatan yang telah dilakukan di Observatorium Bosscha kepada teman saya.
Di tengah percakapan, HP saya kembali menerima pesan WA dari Dosma Unpad bahwa pada Kamis, 7 September 2017 akan ada Sarasehan Mahasiswa Nasional “Menghadapi Bonus Demografi” di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Bandung. Sontak, isu “Bonus Demografi” ini otomatis mengingatkan kembali tentang masalah penganguran pemuda-pemudi di Desa saya tadi. Mereka adalah bagian dari tenaga kerja produktif dalam bonus demografi (15 – 64 tahun).
Indonesia, Kemiskinan Desa, dan Bonus Demografinya
Bonus demografi adalah keadaan di mana usia produktif akan lebih banyak dibandingkan dengan usia tidak produktif. Proporsi penduduk Indonesia pada tahun 2020 – 2030 diperkirakan 70%nya merupakan penduduk usia produktif. Sedangkan 30% merupakan usia tidak produktif yaitu usia anak-anak 14 tahun ke bawah dan orang tua (65 tahun ke atas). Pada bonus demografi ini, Indonesia akan memiliki sumber daya manusia yang usianya didominasi oleh usia produktif, yang dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa (Luxiana, 2017).
Dengan demikian, pada tahun 2020-2030, Indonesia memiliki sekitar 180 juta orang berusia produktif, sedang usia tidak produktif sekitar 60 juta jiwa, atau 10 orang usia produktif hanya menanggung 3-4 orang usia tidak produktif, sehingga terjadi peningkatan tabungan masyarakat dan tabungan nasional (Gani & Depari, 2016). Pertanyaanya menariknya adalah mampukah Indonesia memanfaatkan moment ini dalam pembangunan perekonomian nasional dan menyejahterkan penduduknya?, atau lebih spesifik, apakah pemuda-pemudi desa yang hanya lulusan jenjang SMA/SMK mampu survive menghadapi sebuah ancaman di masa mendatang? Seperti apa ancaman itu?, dan Apa bentuk implikasinya namun masih saja tak kita sadari bahwa kita sedang berada di bawah cengkramannya?
Tantangan Indonesia ke depan adalah banyak penduduk di desa yang masih miskin dan disparitas dengan perkotaan yang tinggi. Menurut Suhariyanto (2017) bahwa disparitas jumlah penduduk miskin di perdesaan dan perkotaan patut dicermati. Berdasarkan data September 2016, jumlah penduduk miskin di perdesaan 17,28 juta orang (13,96 persen), sedangkan di perkotaan 10,49 juta orang (7,73 persen). Posisi ini tidak banyak berubah dibandingkan September 2015. Ketika itu, jumlah penduduk miskin di perdesaan 17,89 juta orang (14,09 persen), sedangkan di perkotaan 10,62 juta orang (8,22 persen). Sementara data Maret 2016, memperlihatkan fakta identik. Bahwa jumlah penduduk miskin perdesaan 17,67 juta orang (14,11 persen), sedangkan di perkotaan 10,34 juta orang (7,79 persen). Tercatat dari 74.093 desa di Indonesia, sebanyak 20.167 tergolong desa tertinggal, 51.022 tergolong desa berkembang, dan 2.904 tergolong desa mandiri (IPD, 2014).
Jumlah penduduk desa lebih dominan dibanding kota, dan struktur tenaga kerja yang ada di Indonesia saat ini didominasi oleh lulusan sekolah dasar. Saat ini, ada sekitar 43 juta tenaga kerja di Indonesia yang lulusan SD dari total seluruh tenaga kerja yang ada. Tenaga kerja produktif Indonesia saat ini berjumlah 120 juta. Mereka mayoritas adalah lulusan SD ke bawah, dengan total 43 juta; 18 juta lulus SMP; 16 juta lulus SMA; dan sarjana ada 6 juta (Kompas, 2017). Hingga Februari 2017 lalu, penyerapan tenaga kerja masih didominasi penduduk bekerja berpendidikan rendah, yaitu SMP ke bawah sebanyak 75,21 juta orang atau 60,93%. Kemudian, penyerapan lulusan SMA sederajat mencapai 34,06 juta orang (BPS, 2017). Faktanya, banyak lulusan SMK menganggur karena rendahnya kemampuan baik soft skill maupun hard skill-nya (Chandra, 2017).
Lebih spesifik, salah satu pencermatan saya kemudian tertuju kepada provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak dan miskin di Indonesia, yaitu Jawa Barat. Jawa Barat memiliki penduduk mencapai 43,02 juta jiwa berdasarkan hasil survey BPS pada tahun 2010. Kini, berdasarkan catatan BPS dari 34 provinsi yang diamati, menunjukan bahwa Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah terbanyak penduduk miskinnya, mencapai 2,7 juta (Kompas, 2016). Lebih dari 50% pengangguran terbuka di Jawa Barat, khususnya yang berpendidikan sekolah menengah pertama (SMP), memilih untuk bekerja secara mandiri. Saat ini jumlah pengangguran terbuka di Jabar mencapai 1,8 juta. Pengangguran terbuka adalah angkatan kerja yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan. Pengangguran ini terjadi karena angkatan kerja ini belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal atau dikarenakan faktor malas bekerja (Rachmawati, 2017). Realitasnya, kualitas angkatan kerja di Provinsi Jawa Barat masih rendah. Sebagian besar berpendidikan SD ke bawah (44,73 persen), sedangkan yang tamat perguruan tinggi (diploma ke atas) hanya 10,41 persen (BPS Provinsi Jabar, 2015).
Berdasarkan data SIAK Provinsi Jawa Barat, provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah 35.377,76 km2 dengan jumlah penduduk 46.497.175 Juta Jiwa. Penduduk ini tersebar di 26 Kabupaten/Kota, 625 Kecamatan dan 5.899 Desa/Kelurahan. Sementara itu, Kemendes mencatat 122 kabupaten di Indonesia dinyatakan dalam kondisi tertinggal. Dua diantaranya di Jawa Barat, yaitu Kabupaten Garut dan Kabupaten Sukabumi (Andryandi, 2016). Kemudian, kategori desa yang miskin tinggi diantaranya 32 dari total 69 desa/keluarahan di Kota Tasikmalaya. Sedangkan desa miskin tinggi terbanyak berada di Kabupaten Bandung Barat, yaitu 42 dari 165 kelurahan/ desa yang ada (Maulana, 2015). Hal yang bisa dipahami bahwa pemuda-pemudi di Jabar setiap tahun rata-rata mencapai 350.000 hingga 400.000 jiwa. Penyumbang terbesar salah satunya dari lulusan SMA/SMK yang mencapai 500 hingga 600.000 per tahun (Budiyanto, 2016).
Jawa Barat diprediksi mengalami peningkatan jumlah penduduk sebesar 52 juta jiwa pada 2025, dengan kecenderungan urbanisasi meningkat menjadi 83%. Pada tahun itu pula, Jawa Barat diprediksi mengalami bonus demografi (Unpad, 2017). Masalah serius, berdasarkan data APK Jawa Barat versi United Nations Development Programme (UNDP), sumber daya manusia Jawa Barat masih sulit bersaing. Ini terlihat dari APK perguruan tinggi di Jabar hanya 17 persen, jauh lebih rendah dibanding APK beberapa wilayah di Indonesia. Rendahnya tingkat partisipasi pendidikan menyebabkan sebagian besar SDM Jawa Barat berlari ke sektor informal. Kemudian, masih lemahnya daya saing mereka menyebabkan tingkat pengangguran cukup tinggi di Jawa Barat (Yerry, 2017).
Bonus Demografi dan Cengkraman Kapitalis
Hasil kajian Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebut bahwa pekerja usia muda Indonesia 4,6 kali lebih sulit mendapatkan kerja dibandingkan pekerja dewasa. Angka ini jauh lebih tinggi dari rata-rata dunia, pekerja usia muda 2,8 kali lebih sulit mendapat kerja. ILO juga mencatat, pengangguran terbuka berumur 15-29 tahun di Indonesia sebesar 19,9 persen, tertinggi di antara negara-negara di Asia Pasifik (Kompas,2012). Perlu dipahami bahwa potensi manfaat ekonomi dari bonus demografi yang ditandai besarnya jumlah penduduk usia produktif dan rendahnya angka ketergantungan penduduk terancam sia-sia jika penduduk usia produktif lebih banyak menganggur dan tidak mempunyai penghasilan layak. Keadaan itu akan mengakibatkan Indonesia gagal memanfaatkan moment ini. Dalam konteks ini, siapa yang akan diuntungkan dengan situasi dan kondisi semacam ini?
Ketersediaan tenaga kerja yang tinggi di pasar tenaga kerja mengakibatkan terdepolitisasinya para buruh. Dalam analisa marxisme tersediannya tentara-tentara cadangan pekerja yang banyak mengakibatkan terabaikannya hak-hak buruh.
Memimjam alat analisis dari Karl Marx (1867/1967) menjelaskan bahwa dalam sistem kapitalisme adalah struktur sosial yang yang muncul bersifat eksploitatif. Bagi Marx eksploitasi dan dominasi lebih dari sekedar distibusi kesejahteraan dan kekuasaan yang tidak seimbang. Eksploitasi merupakan bagian terpenting dari ekonomi kapitalis. Di mana kondisi menunjukkan para pekerja menjadi “buruh-buruh yang bebas” membuat kontrak-kontrak bebas dengan para kapitalis. Situasi dan kondisi ini memang sengaja diciptakan kapitalisme-yang disebut oleh Marx sebagai “tentara cadangan pekerja”. Pada konteks tertentu kapitalisme membutuhkan surplus populasi untuk dapat menekan upah dan menstabilkan politik perburuhan.
Ketersediaan tenaga kerja yang tinggi di pasar tenaga kerja mengakibatkan terdepolitisasinya para buruh. Dalam analisa marxisme tersediannya tentara-tentara cadangan pekerja yang banyak mengakibatkan terabaikannya hak-hak buruh. Misalnya, pegawai kontrak outsourcing, pegawai honor yang rela digaji kecil padahal pendidikan Sarjana, atau PHK seenaknya-diputuskan sepihak oleh pemilik modal yang kerap terjadi.
Di sini kita bisa pahami bahwa pengangguran yang terjadi atas bonus demografi yang ada di Indonesia akan sangat menguntungkan para kapitalis baik domestik dan internasional atau transnasional. Pemilik modal akan lebih sangat leluasa menggunakan tenaga dari para pekerja ini. Apabila para pekerja di sektor formal mengganggu relasi produksi, maka akan ada tentara cadangan pekerja yang siap sedia mengantikannya. Situasi dan kondisi semacam ini memang sengaja mereka ciptakan agar dapat mengontrol dan mengakumulasi kapital mereka (para kapitalis). Jadi tak perlu heran, apabila banyak yang menuntut, demo menyuarakan hak-hak mereka akan bisa segera diproses untuk dikeluarkan dan diganti dari mereka yang banyak menganggur “tentara cadangan pekerja”. Sebagai data pendukung argumentasi tersebut, perusahaan penyedia lowongan kerja di Asia, Jobstreet.com menunjukkan data jumlah pencari kerja di Indonesia tercatat sedikitnya ada 16 juta pencari kerja aktif di Indonesia saat ini (Jawa Pos, 2016).
Jadi tak mengherankan apabila Bank Dunia mencatat tingkat ketimpangan kesejahteraan hidup orang Indonesia semakin tinggi dalam 15 tahun terakhir. Faktanya, lembaga Oxfam menyebutkan harta total 4 (empat) orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar 25 miliar dolar AS, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Dalam laporannya, Oxfam menyatakan kekayaan empat milyader terkaya di nusantara, tinggi dari total kekayaan 40 persen penduduk miskin–atau sekitar 100 juta orang. Indonesia masuk dalam enam besar negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi di dunia. Pada tahun 2016, satu persen orang terkaya memiliki hampir setengah (49 persen) dari total kekayaan populasi yang ada (Syahrul, 2015). Tegas, bahwa bonus demografi merupakan keuntungan bagi para kapitalis dan akan tetap dibawah cengkramannya-karena keuntungan yang lebih akan tetap dikondisikan bagaimana pun cara sistem yang diberlakukannya.
***
Sampai di sini, saya teringat kembali kepada mereka pemuda-pemudi ditempat saya. Mereka masih tetap menganggur ditengah ekonomi keluarga yang kurang mampu. Sementara, Negera saja selalu tidak hadir dan memihak para buruh-buruh yang ada saat ini. Sambil berdoa, semoga saya bisa berkontribusi untuk terus membantu, dan membantu agar di masa mendatang dapat menghadapi tantangan dan maju bersama. Kemudian, saya tertidur menanti besok untuk terus melanjutkan perjuangan. ****