107 Tahun IWD & Ironi Kehidupan Buruh Perempuan di Kapitalisme Pinggiran
Pada 8 Maret 2017 yang lalu, tepat 107 tahun hari perempuan internasional (International Women’s Day) diperingati oleh perempuan-perempuan di berbagai belahan dunia. International Women’s Day merupakan kisah perjuangan perempuan beradab-abad lamanya untuk dapat mengambil bagian dalam tatanan masyarakat setelah begitu lama terbelenggu secara politik dan sosial budaya. Tentu saja momentum ini merupakan buah perjuangan yang dilakukan oleh para perempuan terutama dari kalangan kelas bawah, karena merekalah yang berada pada posisi tersubordinat dalam relasi tersebut. Durasi kerja 8 jam sehari, dan hak pilih bagi perempuan yang bisa dirasakan hari ini bukanlah sesuatu yang turun dari langit atau bukanlah semata-mata merupakan kemurahan dari kaum yang berkuasa. Kondisi-kondisi tersebut merupakan contoh sederhana dari representasi perjuangan panjang yang dilakukan oleh perempuan-perempuan di masa lalu, terutama dari perempuan kelas bawah (buruh perempuan).
107 tahun telah berlalu sejak perjuangan buruh perempuan dalam International Women’s Day pertama kali diperingati, namun hingga kini masih banyak perempuan yang mengalami berbagai tindakan diskriminasi baik di rumah, di tempat kerja, di masyarakat, dan dalam kehidupan berdemokrasi. Hal ini terutama dirasakan oleh buruh perempuan di negara kapitalisme pinggiran seperti Indonesia.
Kondisi kehidupan buruh perempuan yang masih mengalami berbagai tindakan diskriminasi, serta masih jauh dari kata sejahtera diamini oleh Sri Darwanti (Aktivis Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh dan Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia) dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP pada Selasa, 7 Maret 2017 yang lalu dengan mengusung tema “Buruh Perempuan di Kapitalisme Pinggiran”. Darwanti selaku aktivis yang turut langsung merasakan kerasnya kehidupan di ranah perburuhan terutama buruh perempuan melihat bahwa dari masa ke masa kehidupan buruh terutama buruh perempuan belum banyak mengalami perubahan. Posisi buruh perempuan masih sangat rentan dan masih dipandang tidak lebih dari objek dari proses produksi yang berlangsung dalam sistem produksi kapitalis hingga hari ini.
Asal-Muasal Industri di Indonesia
Berbicara mengenai perburuhan, maka mau tidak mau kita dituntut untuk back to the history tentang bagaimana industri muncul di Indonesia. Corak produksi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibawa oleh penjajah. Kapitalisme awal di Indonesia dimulai pada zaman kolonial Belanda. Hal ini ditandai oleh kebijakan seperti tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun 1800-an oleh kolonial Belanda, dimana lahan pertanian rakyat dirampas dan dijadikan lahan untuk menanam tanaman yang ditentukan dalam sistem yang diberlakukan pada saat itu.
Para petani dipaksa untuk menanam tanaman sesuai dengan komoditi yang dibutuhkan oleh negara kolonial Belanda seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau yang pada saat itu permintaannya di pasar dunia sedang membubung. Sistem tanam paksa ini menjadi asal-usul adanya kaum buruh tani di Indonesia. Sistem tanam paksa tersebut mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, dan hasil tanaman ini dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Pada praktiknya peraturan ini menjadi sangat sarat pelanggaran, karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Ironisnya, warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja sebagai buruh tani selama setahun penuh di lahan-lahan yang ditentukan oleh pemerintah kolonial.
Pada perkembangannya kemudian hari, penjajah beranggapan bahwa hasil dari perkebunan saja tidak cukup. Maka mulailah kolonial Belanda membuat peraturan yang memaksa rakyat untuk membuka pabrik-pabrik (untuk kolonial Belanda) seperti pabrik pengolahan tebu, untuk diolah menjadi gula – yang merupakan salah satu komoditi yang diprioritaskan pada saat itu. Dari hasil produksi yang cukup melimpah dari perkebunan-perkebunan seperti tebu yang diberlakukan atas dasar tanam paksa tersebut, pada akhirnya membuat pemerintah kolonial Belanda berinisiasi untuk membuat angkutan darat berupa kereta api dan juga melakukan pembangunan infrastruktur-infrastruktur penunjang lainnya di sektor transportasi darat. Pembuatan alat transportasi dan pembangunan infrastruktur-infrastruktur tersebut diinisiasi oleh kolonial Belanda tidak lain adalah untuk mengangkut hasil-hasil produksi tanam paksa, untuk diekspor ke negara-negara lain di Eropa dan juga untuk dibawa ke negara asalnya.
Singkatnya, adanya tanam paksa yang diberlakukan oleh kolonial Belanda tersebut menimbulkan sistem “kerja rodi”. Kerja rodi merupakan kerja paksa bagi buruh yang merupakan rakyat Indonesia, tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan yang dialami buruh selama masa kolonialisme. Buruh-buruh tersebut melalui kerja rodi dipaksa untuk membangun infrastruktur untuk kepentingan pengangkutan produk dari hasil tanam paksa, yaitu berupa: jembatan, jalan-jalan raya dan stasiun-stasiun kereta api. Hal ini pada akhirnya tidak hanya memunculkan buruh di sektor pertanian atau perkebunan saja. Pada akhirnya masa kapitalsiem awal di Indonesia juga melahirkan buruh di sektor transportasi, tidak hanya laki-laki, namun perempuan dan anak-anak pun ikut terhisap dalam sistem yang berlangsung ini.
Kondisi Kerja Buruh Perempuan di Kapitalisme Pusat Vs Kapitalisme Pinggiran
Hingga hari ini, buruh perempuan di negara-negara berkembang (kapitalisme pinggiran) memang masih jauh berbeda kondisinya dengan buruh perempuan di negara-negara kapitalisme pusat, seperti di Eropa. Di Eropa, tuntutan-tuntutan buruh sudah jauh lebih tinggi dibandingkan buruh di negara-negara kapitalisme pinggiran. Buruh di Eropa pun sudah memiliki kontribusi-kontribusi yang nyata di pemerintahan, hal ini misalnya terepresentasikan lewat hadirnya partai buruh yang benar-benar proletar yang lahir dari semangat dan perjuangan dari kelas bawah. Buruh di negara kapitalisme pusat kerap kali/ telah terbiasa untuk berani mengungkapkan aspirasi dan tuntutan mereka, misalnya tuntutan tentang pencabutan subsidi, menolak sistem kontrak dan outsourcing, dengan menggunakan media yang mereka miliki yaitu partai buruh.
Di negara-negara kapitalisme pusat, sistem kerja kontrak hanya berlaku untuk tenaga kerja ahli saat dibutuhkan sumbangsihnya misalnya untuk pembuatan jembatan dan umumnya dipekerjakan maksimal 3 tahun sampai proyek yang ia kerjakan rampung. Sangat berbanding jauh dengan keberadaan buruh-buruh kontrak di negara kapitalisme pinggiran seperti Indonesia, buruh kontrak terhisap dalam sistem produksi (kapitalisme) yang mana kehadirannya dalam sistem yang berlangsung tidak diperuntukkan sesuai spesialisasi/standar yang harusnya berlaku. Di negara kapitalisme pinggiran seperti Indonesia, keberadaan buruh kontrak tersebut dilihat sebagai sumber daya manusia dengan tenaga melimpah yang sangat dibutuhkan oleh kapitalis. Dalam proses perekrutannya pun dilakukan tanpa perlu bersusah-susah untuk mempertimbangkan spesialisasi/standar seperti skill yang dipunyai, maupun latar belakang pendidikan atau lain sebagainya.
Buruh kontrak maupun buruh outsourcing di negara kapitalisme pinggiran seperti Indonesia dipandang sebagai manifestasi dari sistem kerja fleksibel. Fleksibilitas pasar tenaga kerja pada akhirnya terbagi menjadi beberapa dimensi (Rodgers, 2007) yaitu: yang pertama adalah employment protection, yaitu berkaitan dengan status kerja dari buruh, variasi jenis pekerjaan dan proteksi standar yang mengikutinya. Intinya pada kebijakan rigid tenaga kerja statusnya harus bersifat permanen. Kedua, wage flexibility yaitu ada kebebasan dalam menentukan upah minimum buruh dengan koordinasi dari serikat buruh dan pengusaha. Di sini buruh harus bertarung dengan pemilik modal untuk menetukan upah minimum. Ketiga, internal or functional flexibility, merupakan kemampuan perusahaan untuk mengatur dan mereorganisir proses produksi internal dan tenaga kerja yang dipakai untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi dalam proses produksi. Contohnya adalah fleksibiltas waktu kerja, jenis kerja, skill yang dibutuhkan atau perubahan secara teknikal. Lebih detailnya yaitu keleluasaan perusahaan untuk mengatur proses produksi menjadi lebih efisien termasuk jumlah buruhnya. Dan yang keempat adalah supply side flexibility yaitu fleksibilitas dalam bekerja walaupun dalam jam keluarga dan sebaliknya.
Tenaga kerja fleksibel ini pada akhirnya menjadi sumber pekerja dengan upah rendah dan dipandang memberikan keuntungan (nilai lebih yang melimpah) bagi kaum kapitalis di negara ini. Kondisi ini dipandang sebagai peluang emas bagi kapitalis untuk dapat mengambil alih segala tenaga/sumber daya yang ia inginkan dari buruh kontrak maupun buruh outsourcing untuk kepentingannya sendiri (akumulasi kapital). Kondisi ini bahkan sangat berpotensi merenggut setiap sendi-sendi dari kehidupan buruh tersebut.
Di Indonesia sistem kerja kontrak (PKWT) bahkan diterapkan mulai dari buruh cleaning service hingga operator, dan berbagai profesi lainnya; berbanding terbalik dengan buruh kontrak di negara kapitalisme pusat yang direkrut berdasarkan berbagai pertimbangan seperti berdasarkan spesialisasi yang dimiliki oleh calon buruh. Keadaan ini semakin diperparah lagi dengan keadaan dimana buruh kontrak di negara kapitalisme pinggiran seperti Indonesia, bahkan dipekerjakan lebih dari 3 tahun (bisa selama 5 tahun hingga 10 tahun atau pun lebih tanpa menaikkan statusnya dari buruh outsourcing ke buruh tetap). Hal ini tentu saja melanggar aturan sebagaimana yang telah tertulis dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kondisi tersebut tentu saja menyalahi aturan seperti yang tertuang pada Pasal 59; dimana memuat bahwa PWKT atau lebih dikenal sebagai buruh kontrak hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu (yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu). Kriteria pekerjaannya yang diperbolehkan untuk sistem kerja ini meliputi, yaitu : a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Bentuk-bentuk pelanggaran dalam hubungan kerja seperti di atas hingga hari ini masih marak dialami oleh buruh di Indonesia, baik buruh laki-laki maupun buruh perempuan.
Di tengah geliat perkembangan industri di berbagai belahan dunia, hingga hari ini Indonesia masih merupakan negara industri dunia ketiga atau negara di kapitalisme pinggiran. Hal tersebut dikarenakan hingga hari ini Indonesia belum bisa menjadi negara inti produksi, Indonesia masih sebatas sebagai negara perakit. Indonesia pada kenyataannya memang bisa menghasilkan barang-barang produksi, namun produksinya masih relatif sederhana dalam pengerjaannya (produksinya) dan sehingga harganya pun relatif murah.
Industri yang ada di Indonesia adalah masih untuk menopang ekonomi kapitalis di negara-negara kapitalisme pusat. Kondisi seperti ini sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda. Indonesia di-setting hanya sebagai negara yang tidak mempunyai industri hulu (negara perakit). Pada akhirnya hal ini yang membedakan Indonesia dengan negara di Asia semisal Tiongkok. Secara kuantitas jumlah penduduk kita dengan negara tersebut kurang lebih sama, tetapi di bidang ekonomi yang salah satunya adalah dari sektor industri, Tiongkok mengalami banyak kemajuan dari pada Indonesia. Hal ini karena Tiongkok lebih mengutamakan industri hulu. Tiongkok juga sudah mampu memproduksi mesin-mesin sendiri dan mesin-mesin produksi tersebut telah tersebar di setiap wilayahnya. Sedangkan yang terjadi kepada kita hingga hari ini adalah Indonesia hanya bisa mengerjakan komponen-komponen, sedangkan pembuatan komponen-komponen tersebut (semisal di bidang otomotif) berasal dan dibuat contohnya di Tiongkok. Indonesia hanya dibiarkan mengerjakan finishing dari apa yang dipunyai oleh negara pemasok (hanya sebagai negara perakit).
Selain itu, hingga saat ini di Indonesia industrinya mayoritas dijalankan oleh borjuis nasional dan oleh modal asing. Hingga kini borjuis nasional Indonesia cenderung lebih memfokuskan industrinya di bidang ekstraktif, yaitu industri yang bahan baku diambil langsung dari alam sekitar, contohnya: pertanian, perkebunan, perhutanan, perikanan, peternakan, pertambangan, dan lain lain. Sementara industri padat karya di Indonesia mayoritas digerakan oleh modal asing. Dalam diskusi menuju petang itu, Darwanti mengungkapkan bahwa industri di Indonesia masih sangat di dominasi oleh industri seperti garmen, tekstil, korek api, jarum dan industri-industri yang menghasilkan barang produksi dengan bentuk-bentuk sederhana lainnya. Hal ini pada akhirnya membuktikan bahwa sampai hari ini negara kita belum sanggup untuk membuat pabrik-pabrik berskala besar dengan resources sendiri.
Kondisi Buruh Perempuan di Indonesia Hari Ini
Diskusi yang berlangsung sore itu di pojok lobby MAP UGM menghantarkan peserta diskusi dan pemantik untuk memahami kondisi yang masih dialami oleh buruh perempuan di kapitalisme pinggiran seperti Indonesia hingga hari ini. Kondisi kehidupan buruh terutama buruh di sektor industri masih sangat jauh dari kata layak dan sejahtera. Berikut beberapa kondisi nyata yang masih dialami oleh buruh perempuan di Indonesia hingga hari ini.
a). Kebijakan Cuti Pra dan Pasca Melahirkan yang Belum Berpihak Pada Buruh Perempuan
Jika dibandingkan, kehidupan buruh terutama buruh perempuan di Indonesia dengan buruh perempuan di negara-negara kapitalime pusat masih sangat kontras hingga hari ini. Swedia misalnya, memberikan cuti selama 480 hari, bagi perempuan yang baru melahirkan, artinya lebih dari setahun. Bahkan bisa diambil kapanpun sampai usia anak mencapai delapan tahun. Tidak sampai di situ saja, selain sang ibu pun, cuti ini juga bisa dinikmati sang ayah. Kaum pria mendapat cuti selama dua bulan untuk menemani istrinya. Contoh lain negara yang dipandang baik dalam kebijakan dan fasilitas cuti melahirkan adalah negara Denmark. Negara ini menerapkan kebijakan pemberian hak cuti melahirkan yang selama 52 minggu kepada buruh perempuannya, dan mereka pun berhak mengambil haknya tetap mendapatkan upah sebesar 100 persen. Selain upah yang diberikan penuh, mereka juga mendapatkan tunjangan keluarga dari negara, yang besarannya mencapai 4,2 persen dari total pendapatan negara. Untuk memudahkan pekerjaan buruh perempuan, bayi yang sudah lahir atau sudah berusia 6 bulan ke atas dapat dititipkan di baby daycare, tanpa dipungut biaya apapun (Kompas, 28/10/2013).
Sedangkan di Indonesia, ketentuan yang berlaku (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: Pasal 82) mengatur bahwa buruh perempuan hanya berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan, atau jika ditotal hanya cuti pra dan pasca melahirkan yang diperoleh buruh perempuan hanya sebanyak 3 bulan. Cuti pra dan pasca melahirkan yang hanya sebanyak 3 bulan tersebut (jika ditotalkan), masih banyak dilanggar oleh pemberi pemilik modal (kapitalis). Hal ini dapat dimaknai sebagai salah satu wujud dari masih tingginya kompromi dan keberpihakkan negara kepada kapitalis sebagai kaum pemilik modal. Hal ini dapat dilihat secara nyata lewat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara yang masih berpihak kepada pemiliki modal daripada kepada rakyatnya.
b). Kondisi Kerja, dan Upah yang Buruk
Jika dilihat lebih dalam, pada kenyataannya di Indonesia buruh perempuanlah yang banyak menyumbang keuntungan dalam proses industrialisasi yang berlangsung. Mengapa?. Dari diskusi yang berjalan dengan santai namun tetap fokus secara substansial tersebut, Darwanti sebagai pemantik aktivis perburuhan mengungkapkan bahwa penyebabnya adalah hingga hari ini industri di Indonesia masih sangat didominasi oleh industri padat karya. Dimana industri-industri padat karya tersebut membutuhkan jumlah buruh yang tidak sedikit untuk melakukan proses produksinya, dan mayoritasnya adalah buruh perempuan. Indonesia masih didominasi oleh industri tekstil, garmen serta sandang kulit, seperti: sepatu, ikat pinggang, tas, pakaian, dan lain-lain yang tidak hanya dipasarkan di ranah nasional saja, namun juga diekspor hingga ke pasar internasional.
Namun ironisnya, kontribusi dari buruh perempuan dari sisi kuantitas dan kualitas di Indonesia ternyata tidak dibarengi dengan kesejahteraan yang lebih baik bagi mereka. Pemberian cuti buruh perempuan berdasarkan hak-haknya pun masih sering dilanggar oleh pemilik modal. Hingga hari ini pun buruh perempuan masih banyak yang tidak memiliki keberanian dalam menuntut hak yang sebenarnya telah ada dan diatur dalam Undang-undang. Miris mengingat banyak industri di Indonesia dengan investasi yang berlimpah namun hasilnya tidak bisa dinikmati oleh buruhnya. Lapangan kerja yang ada di Indonesia pun masih belum mampu menyerap surplus pekerja yang melimpah. Sebenarnya sektor industri di indonesia bisa menyerap pekerja yang melimpah tersebut, tetapi pabrik-pabrik di Indonesia melakukan mekanisme jam kerja yang panjang kepada buruhnya. Masih banyak pabrik-pabrik di Indonesia yang menggunakan sistem target dalam menjalankan produksinya sehingga buruh dituntut untuk menyelesaikan pekerjaannya sampai target yang dibebankan atasnya tercapai. Seandainya pabrik-pabrik di Indonesia menerapkan jam kerja normal, niscaya surplus pekerja yang melimpah tersebut mampu terserap dalam sektor industri. Kondisi ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Ari Sunarijati (Jurnal Perempuan, Edisi 56), dimana buruh perempuan yang bekerja di sektor industri garmen, sepatu yang produksinya diekspor ke negara-negara maju, memiliki jam kerja rata-rata lebih dari 10 jam seharinya. Dengan merujuk kepada Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, maka ketentuan yang berlaku untuk jam kerja selama 1 minggu adalah 40 jam (dengan patokan 1 hari kerja adalah 7 jam). Jika dikalkulasikan maka sewajarnya orang bekerja selama 6 hari dalam seminggu. Sementara durasi lembur dalam waktu satu minggu tidak boleh melebihi 14 jam, dan ini berindikasi pada total jam kerja seminggu (termasuk lembur) tidak boleh lebih dari 54 jam. Apalagi jika dilihat lebih dalam, prinsip kerja lembur pada hakikatnya adalah kerja sukarela yang artinya tidak dapat dipaksakan. Namun, realitanya masih banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia yang memaksakan lembur kepada buruhnya (terutama dalam hal ini buruh perempuan). Jika perusahaan-perusahaan mempekerjakan buruhnya lebih dari 54 jam dalam seminggu (6 hari kerja), maka kerja yang dilakukan oleh buruhnya dapat dikategorikan sebagai kerja paksa.
Hingga saat ini jam kerja buruh sebagaimana telah dibahas di atas, masih ditentukan berdasarkan kepada target produksi yang diatur secara sepihak oleh pemilik modal. Kondisi ini pada akhirnya menghambat terserapnya surplus populasi relatif* di negara kapitalisme pinggiran seperti Indonesia ini.
Sulitnya menemukan lapangan kerja ikut berimplikasi pada kehidupan buruh perempuan. Buruh perempuan terpaksa memikul beban berlipat (double burdens), antara keluarga dan juga di tempat kerjanya untuk menopang keberlangsungan kehidupan keluarga. Hal ini semakin diperparah lagi apabila sang suami belum mampu terserap dalam angkatan kerja, sebagaimana telah disebutkan di atas (mekanisme jam kerja menghambat terserapnya surplus polpulasi realtif).
Buruh perempuan menjadi sangat rentan dari berbagai sisi kehidupannya. Di tempat kerja misalnya, buruh perempuan masih sangat jauh dari kondisi yang layak dan aman terlebih lagi sejahtera. Masih banyak pabrik-pabrik di sektor industri yang tempat kerjanya masih minim sirkulasi udara segar, dan juga fasilitas semisal penerangan pun yang masih buruk (hal ini menjadi contoh sederhana dari realita kondisi tempat kerja buruk). Selain itu, masih minim jumlah pabrik yang menyediakan fasilitas untuk beristirahat bagi buruh. Bahkan, perusahaan yang menyediakan tempat penitipan anak dan ruang laktasi bagi para buruh perempuan masih terbilang minim di Indonesia. Demikian juga polusi akibat bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi masih sangat rentan dialami oleh buruh perempuan, kecelakaan di tempat kerja juga masih terbilang tinggi karena kurangnya fasilitas keamanan kerja bagi buruh perempuan. Hal-hal tersebut merupakan gambaran singkat mengenai kondisi yang dialami buruh perempuan di tempat kerja, sebagaimana diutarakan oleh Darwanti sebagai pemantik diskusi sore itu.
Selain itu, masih marak terjadi lembur yang dipaksakan kepada buruh perempuan untuk menyelesaikan target yang telah dibebankan atasnya, bahkan tak jarang hingga mengorbankan cuti haid dan hamil yang seharusnya diterima oleh buruh perempuan sebagaimana telah diatur di dalam Undang-undang. Seperti yang dialami oleh buruh perempuan di PT. Laksmi Garment yang berada di Jl. Tol Iskandar, Kelurahan Sukamaju-Cilodong, dimana perusahaan garmen tersebut mempekerjakan buruhnya nyaris seharian atau sekitar 22 jam dalam sehari tanpa dihitung lembur (Jawa Post, 20/02/2017). Hal ini pun senada dengan kenyataan yang dialami oleh buruh di perusahaan ekspor garmen yang beralamat di Jl. Prapatan Nieh, Cikarang Barat – Bekasi, yang mayoritasnya buruhnya adalah buruh perempuan kerap tidak memperoleh haknya. Buruh yang hamil semestinya pulang pukul 15.00 WIB, namun pada faktanya baru diizinkan pulang pada pukul 18.00 WIB. Ironisnya, bahkan ketika kehamilan para buruh perempuan memasuki usia delapan bulan, pengusaha malah meminta mereka untuk mengundurkan diri dari pekerjaan mereka (Solidaritas.net, Jumat, 27/01/2017). Bahkan tak jarang kekerasan dari berbagai bentuk baik verbal maupun fisik masih dialami oleh buruh perempuan, dan masih banyak lagi kenyataan pahit yang harus dihadapi, “ditelan” oleh buruh perempuan di tempat kerjanya.
Hal-hal ini sangat merugikan kondisi kesehatan baik fisik maupun mental (psikologis) bagi para buruh perempuan. Kondisi ini juga semakin ironis bila mengingat beban ganda yang dipikul oleh perempuan, baik beban tugas secara biologis maupun beban dalam produksi sosial untuk menghasilkan generasi berikutnya. Keadaan ini (double burdens) yang dialami oleh perempuan, bukanlah alamiah. Kondisi ini diciptakan oleh transisi yang dialami dari masyarakat dari masa ke masa. Transisi dari masyarakat pra kelas (komunal primitif) menuju masyarakat berkelas saling berkait dalam menciptakan kondisi yang dialami oleh perempuan hingga hari ini. Perubahan status perempuan berkembang seiring dengan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja dalam pertanian, domestifikasi, hewan dan peternakan, kemunculan pembagian kerja baru, kerajinan tangan dan perdagangan; pengambilalihan pribadi terhadap surplus ekonomi yang meningkat dan permanen; dan berkembangnya kemungkinan bagi beberapa individu untuk makmur dari eksploitasi kerja individu lainnya. Pada akhirnya, perkembangan kehidupan masyarakat ke masyarakat berkelaslah dan bukan alam, yang merampas hak-hak perempuan untuk berpartisipasi dalam fungsinya lebih tinggi di dalam masyarakat. Keberadaan masyarakat berkelas pada akhirnya menkonstruksikan keadaan yang dialami oleh perempuan hingga hari ini, terlebih dalam konteks ini buruh perempuan.
Buruh perempuan pun masih menghadapi pelanggaran upah (gender pay gap) dimana hingga saat ini di semua negara masih terdapat perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan tetap diperkirakan 23% secara global dengan kata lain perempuan mendapatkan rata-rata 77% dari pendapatan yang diperoleh laki-laki (ilo.org, 05/2016). Menurut data yang diperoleh dari World Economic Forum: Global Gender Gap Index 2016, Indonesia sebagai salah satu negara di kapitalisme pinggiran berada pada peringkat ke-88; masih jauh tertinggal dari negara-negara di Asia Tenggara lainnya seperti Filipina (7), Singapura (55), Vietnam (65), Thailand (71). Posisi Indonesia hanya sedikit berada di atas China dan Brunei yang masing-masing berada di peringkat 99 dan 103 (reports.weforum.org, Global Gender Gap Index, 2016).
Upah buruh perempuan yang lebih rendah daripada upah buruh laki-laki adalah persoalan yang tidak sederhana. Upah buruh yang rendah bukan hanya karena pengaturan perburuhan yang memperlemah daya tawar buruh, terlebih dengan adanya surplus populasi relatif yang memainkan tidak hanya peran cadangan namun juga menyediakan “fungsi upah” (Habibie, 2016). Berlimpahnya surplus populasi relatif punya peran menekan permintaan kenaikan upah dari pekerja aktif. Tuntutan kenaikan upah bagi para pekerja aktif dapat “diabaikan” sepanjang masih banyak barisan cadangan pekerja yang tersedia untuk menggantikan pekerja aktif “yang tidak mudah diatur”.
c). Pensubordinasian Buruh Perempuan Lewat Kebijakan Negara dan Konstruksi Sosial
Lebih dari pada itu, upah buruh perempuan dalam sistem kapitalisme yang berlangsung hingga hari ini juga diakibatkan oleh anggapan yang timbul dan tumbuh di masyarakat atas dasar konstruksi sosial dan budaya dari masyarakat berkelas; bahwa perempuan bekerja bukan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, tetapi hanya sekedar untuk menambah pendapatan keluarga.
Anggapan ini bahkan dilegitimasi lewat pelembagaan pemerintah melalui Panca Dharma Wanita, dimana pada salah satu poinnya secara eksplisit menempatkan perempuan hanya sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarga. Anggapan yang sedemikian rupa menyebabkan ideologi yang berkembang dalam masyarakat menganggap wajar jika perempuan mendapat upah lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan dipandang bekerja bukanlah sebagai pekerja utama dalam kehidupan keluarga, anggapan yang masih berkembang bahkan hingga saat ini adalah bahwa pekerjaan utama perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga, dan pekerjaan rumah tangga lain yang dinilai tidak produktif karena tidak langsung dapat menghasilkan uang. Pandangan dalam masyarakat tersebut berimplikasi pada anggapan jika perempuan bekerja dianalogkan sebagai pekerjaan tidak produktif sehingga wajar bila menerima upah yang lebih rendah dari laki-laki.
Bahkan pada masa pemerintahan Orde Baru (1967-1998), dijabarkan secara tertulis dan formal di dalam GBHN dan dikukuhkan dengan pendirian Kementerian Negara untuk Pemberdayaan Wanita yang sekarang berubah nama dan lebih dikenal sebagai Kementerian Negara untuk Pemberdayaan Perempuan, yang salah satu kebijakan resminya adalah mendirikan berbagai organisasi perempuan yang seperti PKK dan Dharma Wanita. Kedua organisasi ini beranggotakan kaum ibu dan istri dan hanya memfokuskan diri pada peran dan kepentingan domestik perempuan atau dengan kata lain harus dijalankan dengan menyesuaikan diri pada hal-hal dianggap sebagai “kodrat perempuan”. Konsekuensinya adalah, meskipun dianggap bermanfaat bagi masyarakat, namun kehadirannya tidak lebih dari untuk memperkuat proses domestifikasi pada kaum perempuan. Negara dengan kekuasaaannya lewat kebijakan yang dikeluarkannya semakin merepresi peran dan fungsi perempuan, yang mana hidup perempuan hanya difokuskan pada ranah domestik atau rumah tangga saja.
Pada akhirnya pandangan bahwa perempuan bukan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, menyebabkan perusahaan atau institusi lainnya yang mempekerjakan perempuan menilai wajar untuk tidak memasukkan tunjangan keluarga dalam perhitungan upah perempuan. Padahal dalam kenyataannya, banyak perempuan yang berjuang dan bekerja sebagai tulang punggung bagi kehidupan pribadinya maupun keluarganya.
Realitas Kehidupan Buruh Perempuan: Refleksi Buruh Batik Perempuan
Salah satu contoh konkrit dari ironi kehidupan buruh perempuan di Indonesia hingga hari ini yang masih terlanggengkan adalah kondisi buruh perempuan di industri batik (Jawa) yang masih sangat memprihatinkan, sebagaimana diungkapkan dalam diskusi sore itu oleh pemantik Karina Rima Melati sebagai Peneliti Perburuhan yang spesifik mengenai buruh batik perempuan dan juga merupakan dosen di AKINDO.
Ironi Apresiasi Terhadap Batik dan Buruh Batik
Lewat pemaparan oleh Karina Rima Melati; merunut kembali kepada fakta dari sejarah di masa lalu, mengungkapkan bahwa dahulu orang-orang Jawa (perempuan) membatik bukanlah untuk diperdagangkan tetapi sebagai aktifitas kesenian bagi mereka, dan juga untuk sandang bagi keluarganya serta untuk ritual yang berhubungan dengan lingkungan sekitar. Seiring dengan permintaan yang semakin banyak, pengusaha Tionghoa yang sebelumnya hanya menyediakan barang dagangan berupa alat-alat atau material untuk membatik seperti: kain dan pewarna, kemudian berinisiatif untuk membeli batikan yang sudah jadi lalu diwarnai sendiri di belakang rumahnya. Hal ini kemudian menginisiasi atau awal dari home industry batik.
Metode home industry pun mulai marak di pertengahan abad ke-19 ketika perempuan Indo-Eropa membuat ‘Batik Belanda’ dengan workshop yang didirikan di salah satu bagian rumahnya dan mengerjakan seluruh proses pembatikan di tempat tersebut. Mereka juga adalah pengusaha yang pertama kali menerapkan jam kerja, upah mingguan serta membagi tanggung-jawab kerja para buruh sesuai dengan tahapan proses. Pembedaan pekerjaan ini membuat buruh teralienasi pada sekat-sekat pembedaan kerja dan menjadi asing pada proses lainnya. Pengusaha Peranakan Tionghoa dan Arab terutama di Rembang, Jawa Tengah, menerapkan aturan baru yaitu dengan memberikan upah di muka (fee in advance) sehingga buruhnya tinggal di salah satu bagian rumahnya agar target produksi batik bisa terpenuhi.
Beberapa tahun belakangan ini, bangsa Indonesia masih dan sedang merayakan batik sebagai euphoria, terlebih setelah tahun 2009 lewat pengakuan dari UNESCO bahwa batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia, berimplikasi pada industrialisasi batik yang semakin berkembang pesat. Batik juga masuk menjadi bagian dalam sub-sektor industri fashion yang merupakan salah satu dari 14 komponen program Ekonomi Kreatif yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 2009 (Pangestu dan Kelompok Kerja Indonesia, 2008: 99). Berdasarkan data Kementerian Perindustrian tahun 2011-2015 terdapat pertumbuhan unit usaha dari 41,623 unit menjadi 47,755 unit, dengan tenaga kerja dari 173,829 orang menjadi 199,444 orang. Sementara itu nilai produksi batik sebesar USD 39,4 juta dan total nilai ekspor sebesar USD 4,1 juta.
Pada tahun 2011 hingga tahun 2015 pertumbuhan industri batik kembali muncul karena batik sebelumnya pada tahun 1990-an hingga awal 2000 masih dianggap sebagai industri yang mati suri. Tahun 70-an dimana teknik mesin atau textile printing yang merajai industri ikut memberangus industri batik yang sesungguhnya. Muncul kembali justru saat sentimen kebangsaan saat bangsa Indonesia marah pada Malaysia karena mengakui batik sebagai kain tradisional mereka. Sentimen kebangsaan tersebut yang kemudian membuka kembali potensi untuk industri batik. Hal tersebut berdampak pada tahun-tahun tersebut dimana industri batik berkembang pesat dan tenaga kerja yang terserap dalam jumlah besar dan nilai ekspornya juga tinggi. Batik bukan dilihat sebagai fashion saja namun sebagai representasi atau simbolisasi kebangsaan.
Tetapi yang sampai saat ini belum dipahami bahwa sesungguhnya pengakuan ini adalah pengakuan justru bukan pada bendanya (batiknya), tetapi pada prosesnya dan pembuatnya. Hingga saat ini yang masih berkembang di masyarakat adalah taraf penghargaan terhadap batik dinilai hanya pada motif batiknya, bukan atau tidak pada bagaimana sebetulnya batik itu diciptakan dan siapa saja orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatannya.
Buruh Batik Perempuan; Ironi Pejuang Kebudayaan
Dari semarak dan hingar-bingar motif batik yang kasat mata dan menjadi tontonan sehari-hari; dari darat hingga udara, misalnya dari kereta api yang dibalut oleh motif batik sampai pesawat udara yang dinamai dengan ‘batik’, akhirnya menyingkirkan pandangan dan kepekaan banyak orang pada realita sesungguhnya atas nasib yang dialami oleh buruh batik. Kesadaran akan nasib para buruh batik masih sangat rendah. Buruh batik (perempuan) masih sangat bergantung pada sistem yang dibuat oleh juragan. Dari dulu hingga saat ini sistem kerja yang diwariskan masih tetap sama, tidak banyak yang berubah sampai saat ini. Hal ini dibuktikan dari upah buruh batik yang masih sangat minim. Pendapatan buruh batik perhari masih Rp. 30.000,00 – Rp. 40.000,00. Dan bila menggunakan sistem borongan, setiap lembarnya hanya dihargai sebesar Rp. 90.000,00, sedangkan rata-rata pengerjaan selembar kain batik (tulis) adalah 3 hari. Jadi sebenarnya upah borongan sama dengan upah harian.
Membawa pekerjaan (membatik) di rumah kelihatannya lebih fleksibel, buruh batik diasumsikan mampu lebih efektif dan efisien dalam mengatur waktu untuk bekerja dan mengurus keluarga, tetapi pada kenyataannya malah semakin membuat posisi tawar buruh batik perempuan semakin lemah dan menambah beban yang dirasakan oleh buruh batik yang mayoritas adalah perempuan (batik tulis). Listrik yang sangat dibutuhkan untuk penerangan dalam pengerjaan, kompor untuk memanaskan lilin, hingga alat untuk keperluan mencanting lainnya tidak ditanggung oleh juragan (sebutan untuk pemilik modal dalam industri batik), melainkan menjadi tanggungan pribadi dari buruh batik.
Hal ini semakin ironis mengingat bila diakumulasikan, maka upah buruh batik per bulan adalah kurang dari satu juta rupiah atau dengan kata lain upah yang diperoleh oleh buruh batik yang mayoritas adalah perempuan tersebut adalah di bawah UMR yang berlaku. Padahal esensi luhur dari batik sendiri adalah pembuatnya, pembatik menggunakan rasa dan mengolah jiwanya sebaik mungkin demi membuat batik dengan corak yang indah dan menarik serta sarat makna. Setiap lembar batik tulis merupakan representasi dari pengalaman, kesabaran dan kedalaman pikiran serta jiwa buruh batik dalam proses pembuatannya.
Namun hingga hari ini perhatian dan apresiasi kepada para pembuatnya (buruh batik) ternyata masih sangat minim. Perhatian yang lebih difokuskan kepada keindahan corak dan warna batik pada akhirnya menyilaukan pandangan berbagai kalangan hingga melupakan fakta sesungguhnya yang dialami oleh para buruh batik setiap harinya di tengah himpitan kondisi ekonomi negara ini; dimana jurang ketimpangan antara si kaya (pemilik modal) dan si miskin (penduduk kelas bawah) sangat dalam. Sebagaimana kita ketahui bahwa hingga hari ini pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan oleh segelintir kecil orang saja, hingga akhirnya berujung pada ketimpangan antara si kaya dan si miskin di Indonesia semakin dalam yakni 1 persen penduduk terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional, sedangkan 10 persen terkaya menguasai 75,7 persen kekayaan nasional (Tempo, 20-26 Maret 2017).
Berdasarkan perkembangan batik dalam sejarah, pabrik batik yang didirikan oleh para pengusaha dari kelompok pendatang sejak awal abad ke-19 telah menandai babak baru produksi batik terutama menghasilkan perburuhan batik yang seluruhnya berasal dari kelompok pribumi. Pekerjaan membuat batik yang merupakan labor-intensive disekat-sekat berdasarkan urutan teknik atau proses pembuatannya. Hal ini menjadi asal-muasal munculnya division of labour dalam home industry batik yang merupakan hubungan yang tidak setara dari kedua jenis kelamin yang berasal dari pembagian kerja secara seksual. Dimana, pembagian ini menstrukturkan kerja perempuan, menempatkan perempuan ke dalam pekerjaan-pekerjaan ‘perempuan’, dan demikian pula sebaliknya.
Division of labour berlangsung pada buruh batik berdasarkan proses pembuatan batik dan sampai saat ini masih berlangsung dengan sistem yang tidak banyak berubah. Buruh perempuan dipasrahi pekerjaan-pekerjaan yang dianggap lebih gampang atau lebih ringan, sementara buruh laki-laki diberitanggungjawab untuk mengerjakan pekerjaan yang dianggap lebih berat. Sehingga pada akhirnya karena perbedaan antara ‘pekerjaan berat oleh laki-laki’ dan ‘pekerjaan ringan oleh perempuan’ ini berimbas pada pola yang berlangsung dalam penentuan pemberian upah. Buruh laki-laki lebih disukai untuk mengerjakan batik cap, sedangkan buruh perempuan dalam industri batik lebih dipasrahi untuk mengerjakan batik tulis. Batik cap dalam proses pengerjaannya memang lebih cepat dibanding batik tulis (biasanya buruh laki-laki bisa menghasilkan 10 lembar batik per hari), namun harganya lebih murah (dikisaran Rp.150.000 hingga Rp. 200.000,00). Namun secara ekonomi, batik cap dianggap lebih menguntungkan karena proses pengerjaannya cenderung cepat dan harga di pasaran lebih murah sehingga mampu dijangkau berbagai kalangan masyarakat dan menyebabkan perputaran keuntungan yang diperoleh lebih cepat. Karena hal-hal tersebutlah, maka juragan memberi upah lebih tinggi kepada buruh laki-laki dari pada buruh perempuan. Sedangkan untuk batik tulis, proses pembuatannya lebih rumit dan memakan waktu yang panjang biasanya 3 bulan hingga 1 tahun tergantung tingkat kerumitan motif yang akan dihasilkan. Harga jualnya memang tinggi, antara 7 jutaan hingga 15 jutaan bahkan lebih. Tetapi bila diakumulasikan, untuk pekerjaan setahunan dan dibagi-bagi dengan berdasarkan pembagian tugas tadi, berimplikasi pada upah yang diterima oleh buruh batik perempuan menjadi lebih rendah dari pada yang diperoleh buruh batik laki-laki.
Stigma bahwa perempuan sebagai kelas kedua masih menjadi salah satu faktor yang menyebabkan buruh perempuan berupah rendah. Pandangan di masyarakat terutama juragan masih melihat bahwa membatik hanya merupakan kerja sampingan untuk membantu perekonomian dari suami, suamilah yang menjadi pencari nafkah primer dalam keluarga dan perempuan hanya sekedar membantu sang suami. Bagi masyarakat di daerah Jawa pinggiran, membatik bagi perempuan hanya dianggap sebagai aktifitas untuk mengisi waktu luang dalam menunggu panen.
Selain hal-hal di atas, fenomena empiris yang masih terlanggengkan hingga saat ini adalah terjadinya jurang (gap) yang sangat dalam dari sisi ekonomi maupun sosial antara juragan dan buruh batik. Bahkan fenomena yang masih marak terjadi hingga saat ini adalah masih banyak buruh batik perempuan yang masih belum menikah memilih untuk tinggal di bagian belakang rumah juragan bersebelahan dengan tempat ia bekerja setiap hari. Tempat pengerjaan batiknya pun umumnya dengan penerangan dan sirkulasi udara yang sangat minim, sehingga tidak heran pada usia 30 hingga 40 tahun, buruh batik perempuan sudah banyak yang sudah tidak membatik lagi akibat memburuknya kesehatan dan juga gangguan pada penglihatan. Kondisi ini semakin buruk saat mengetahui bahwa masih banyak buruh batik perempuan pada kenyataannya bukan hanya bekerja untuk mengurusi pembuatan batik saja, namun turut terlibat mengurusi rumah tangga juragannya dan hal ini dikerjakan tanpa bayaran (free). Hegemoni antara relasi juragan dan buruh masih sangat kental di masyarakat hingga kini.
Tidak hanya itu, pada buruh batik juga terlanggengkan kesadaran yang salah (false consciousness). Para buruh menyadari (consciously) bahwa dirinya sebagai pengabdi yang menjadi sumber pelestari kebudayaan Jawa tanpa berpikir atau tanpa menyadari (uncosciousnessly) bentuk eksploitasi yang terjadi atasnya. Buruh batik menyadari dirinya adalah sebagai abdi yang bertugas melestarikan budaya batik, dan hal ini menjadi landasan mereka untuk bertindak selalu “nrimo” atas pekerjaan yang mereka lakukan walaupun dengan upah yang rendah. Namun, paling tidak dalam pikiran mereka yang terpenting mereka paling tidak sudah melakukan pelestarian kebudayaan. Para buruh terhegemoni melalui konsep “nguri-nguri kabudayan” yang seolah adalah sebuah kewajaran bagi mereka untuk ’mengabdikan diri’ pada batik sebagai bagian persembahan untuk mereka yang memiliki strata lebih tinggi yaitu bangsawan, orang kaya, atau juragan yang mengatur pekerjaan mereka. Bentuk domestifikasi ini merupakan upaya penjinakkan terhadap buruh batik perempuan yang terus dibentuk dan dipelihara oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan diuntungkan oleh sistem perburuhan tersebut.
Embel-embel batik sebagai manifestasi kebudayaan bangsa yang adi luhung kian melegitimasi juragan untuk mengeksploitasi kerja buruh. Hal ini semakin diperparah dengan ketidaksadaran yang dimiliki oleh buruh atas apa yang ia alami seperti upah rendah yang ia peroleh dengan tanggung jawab atas pekerjaan yang tinggi, juga menjadi asing pada objek kerjanya karena selain tak dapat menikmati produk hasil buatannya, pada kenyataannya mayoritas buruh batik bahkan tidak mampu memiliki batik buatannya sendiri.
Ini merupakan bentuk perenggutan diri sendiri atau self estrangement atau lebih dikenal sebagai bentuk “alienasi” bagi kaum buruh, dimana kerja buruh batik hampir tidak diberikan apa-apa selain upah minim. Bagi Marx hal inilah yang dianggap sebagai keterasingan, dimana seorang buruh tidak dapat hidup sebagaimana layaknya manusia, yang dapat terus menerus meningkatkan kemakmurannya sendiri melainkan terantai pada tingkat kehidupan hewani. Tingkat hidup hewani, karena ia tidak dapat lepas dari keharusan untuk mempertahankan hidup dari hari ke hari (Kusumandharu, 2004).
Alienasi mempunyai empat komponen mendasar yaitu para buruh dalam sistem kapitalis dialienasi dari kegiatan produktifnya, para pekerja atau buruh di dalam sistem kapitalis dialienasi dari obyek kegiatan-kegiatan itu (produk), para pekerja atau buruh teralienasi dari rekan kerjanya, para pekerja teralienasi dari potensi manusianya sendiri atau diri sendiri (Ritzer, 2012). Kondisi yang berlangsung ini pada akhirnya membuat buruh batik perempuan teralienasi dari produk yang dihasilkannya. Dalam artian mereka tidak bisa menikmati dan menentukan jumlah produksi komoditas yang diproduksi. Buruh perempuan juga teralienasi dari diri mereka sendiri, artinya buruh perempuan hanya bekerja layaknya mesin yang harus patuh kepada pemiliknya, dalam hal ini tentunya juragan (pemilik modal). Penerimaan upah yang tidak sepadan dengan jam kerja yang dilakukan oleh buruh perempuan juga mendorong terciptanya surplus value yang di satu sisi menguntungkan pemilik modal, tetapi di sisi lain merugikan buruh perempuan karena tenaga mereka akan semakin tereksploitasi.
Di balik berbagai ironi dan alienasi yang dialami oleh buruh perempuan, juragan yang adalah pemilik modal justru menjual batik hasil produksi buruhnya dengan mengusung sofistikasi budaya. Hal ini dilakukan oleh juragan dengan motivasi agar harga batik dapat melambung tinggi dan ia mendapatkan laba sebesar-besarnya lewat surplus value. Atau dengan kata lain juragan pada posisi ini membayar buruh lebih sedikit dari nilai yang dihasilkan para buruh dan menyimpan sisanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Padahal sesungguhnya tanpa buruh, kapital yang dimiliki oleh pemilik modal tidak akan menghasilkan apapun.
Respon dan Strategi Perjuangan Buruh Perempuan
Untuk merespon dan menginisiasi srategi untuk menyelamatkan eksistensi dan kehidupan buruh perempuan seperti dicontohkan pada buruh batik perempuan, maka Karina Rima Melati menawarkan tindakan penyelamatan kepada buruh perempuan berupa Program Rintisan yang dilakukan dilakukan oleh lembaga pemerintah maupun swasta dan akademisi. Program ini terdiri atas: 1) Pelatihan intensif: untuk menyetarakan pengetahuan buruh (laki-laki dan perempuan), 2). Pemberian modal: dalam bentuk fresh money maupun facility, 3) Pendampingan: dengan melihat buruh bukan hanya sebagi objek namun menjadi bagian utuh dan utama dari program yang dijalankan tersebut. Pada bagian ini pun dilakukan evaluasi untuk terus membangun mental bagi kaum buruh yang memulai usahanya sehingga perlahan-lahan mampu berproduksi sendiri.
Namun nampaknya cara tersebut dipandang masih belum bisa menjawab masalah yang dialami oleh buruh perempuan. Alih-alih untuk misi mulia “penyelamatan kaum buruh terutama buruh perempuan”, pada kenyataannya malah banyak menimbulkan masalah-masalah baru dan cenderung tidak mampu dinikmati oleh buruh-buruh secara universal, pada akhirnya malah mengkotak-kotakkan perjuangan dan menimbulkan rasa kecil hati pada buruh yang tidak berkesempatan menikmati program tersebut. Hal ini pada akhirnya memicu semakin dalamnya fragmentasi dalam gerakan buruh demi memperjuangkan kesejahteraannya.
Akan tetapi bila melihat pada pencapaian-pencapaian di masa lampau yang salah satunya adalah seperti yang diperingati hingga hari ini yakni International Women’s Day, perjuangan kaum buruh perempuan saat itu adalah perjuangan bersama kaum tertindas. Perjuangan yang dilakukan tidak dalam waktu yang sekejab mata namun dibangun dan diperjuangkan bertahun-tahun. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Darwanti dalam kalimat penutupnya, dimana untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik bagi kaum buruh perempuan maka dibutuhkan militansi yang masif, serta tidak lupa memberikan penyadaran kepada kaum buruh. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan-pendidikan kepada buruh (terutama buruh perempuan), lewat mendirikan sekolah-sekolah buruh alternatif. Hal ini anggap perlu sebeb, hingga hari ini bahkan masih banyak buruh yang belum sadar hidupnya dieksploitasi oleh kapitalisme. Karena itu, tidak sekedar hanya lewat program-program yang menumbuhkan enterpreneurship pada buruh, namun yang lebih penting adalah menyadarkan, berjuang bersama, militansi tanpa batas demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi kaum tertindas.
Di akhir diskusi, baik peserta maupun kedua pemantik diskusi sore itu sepakat untuk merespon bahwa keadaan yang dialami oleh buruh perempuan di negara kapitalisme pinggiran seperti Indonesia hingga hari ini bukanlah merupakan suatu yang taken for granted. Ada yang melatarbelakangi represi yang hingga kini masih dialami oleh buruh perempuan. Hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah sistem kapitalisme yang terus dilanggengkan oleh kaum pemilik modal. Keadaan ini semakin ironis mengingat kapitalis di negeri ini mendapat suntikan kekuatan, yaitu lewat dari regulasi-regulasi yang dibuat oleh negara. Negara dalam hal ini tidak bisa dikatakan sebagai wasit yang adil, sebab pada dasarnya ia masih belum berpihak pada kaum buruh di negeri ini (terutama buruh perempuan), bahkan hukum pun masih terkesan seksis hingga saat ini. Untuk itu, cita-cita bersama demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik hanya akan menjadi angan-angan belaka bila tidak ada tindakan nyata dari berbagai kalangan yang “sadar”; baik itu dari kaum akademisi maupun rakyat yang tertindas untuk bersama bergandengan tangan merealisasikannya.
Lewat momentum International Women’s Day ini, diharapkan bukan sebagai hari perayaan saja. Lebih dari itu diharapkan sebagai hari untuk aksi dan militansi dari berbagai kalangan. Hingga hari ini banyak lembaga maupun organisasi yang mengakui dan ikut terlarut dalam euphoria International Women’s Day (bahkan tidak sedikit yang merayakannya seperti merayakan Valentine’s Day), tetapi hanya sedikit yang mengakui dan menyadari akar dan makna sejarahnya yang tak lain dan tak bukan adalah Hari Perempuan Pekerja. Mari…, kaum yang sadar, bergandengan tangan…rapatkan barisan solidaritas!!!. Kaum buruh dan kaum tertindas lainnya tidak akan mampu membebaskan diri dari jerat dan belenggu kapitalisme, tanpa lebih dahulu membebaskan kaum perempuan dari ketertindasannya!!! ***
Referensi
Habibi, Muhtar. 2016. Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi, dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980an. Tangerang Selatan: CV. Marjin Kiri.
Marx, Karl. 1976. Capital Vol. 1: A Crotique of Political Economy. Harmondsworth: Penguin Books Ltd.
Pangestu, Mari Elka dan Kelompok Kerja Indonesia Design Power-Perdagangan RI. 2008. Indonesia Kreatif Menuju Visi Ekonomi Kreatif Indonesia 2025: Rencana Pengembangan 14 Subsektor Industri Kreatif Indonesia (2209-2015). Jakarta: Departemen Perdagangan RI.
Ritzer, Goerge. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rodgers, Gerry. 2007. Labour Market Flexibility and Decent Work. DESA Working Paper No. 47. United Nations Department of Economic and Social Affairs. New York.
Veldhuisen, Harmen C. 2000. “The Role of Enterpreneurs in the Stylistic Development of Batik Pasisir”, in Fabric of Enchantment: Batik from the North Coast of Java. Los Angeles: Los Angeles County Museum of Art.
* Surplus Populasi Relatif adalah para pekerja yang tidak bisa terserap oleh akumulasi produktif kapital. (Marx, 1976)