Buruh Batik: Ironi Perempuan sebagai Pekerja dan Pejuang Kebudayaan

Latar Belakang

Masyarakat Indonesia kini merayakan batik sebagai bagian dari budaya populer. Jika sepuluh tahun lalu batik masih dianggap sebagai bentuk wastra yang dipakai pada acara formal, kini semua orang mengenakan batik sebagai tren mode pakaian kekinian. Belum lagi penyelenggaraan Indonesian fashion festival menempatkan batik sebagai material utama yang di-explore tidak berkesudahan untuk memenuhi demand pasar yang tinggi. Kesemarakan industrialisasi batik semakin terasa setelah pengakuan dari dunia internasional, seperti World Heritage atau ‘Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity’ oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009. Kemudian di tahun 2015 lalu kota Yogyakarta dipilih oleh World Craft Council/WCC sebagai ’International Batik City’. Demikian, batik telah menjadi industri yang dipermanis dengan slogan ‘kain tradisional milik Indonesia’.

Batik juga masuk menjadi bagian dalam sub-sektor industri fashion yang merupakan salah satu dari 14 komponen program Ekonomi Kreatif yang dicanankan pemerintah Indonesia sejak tahun 2009 (Pangestu dan Kelompk Kerja Indonesia, 2008: 99). Berdasarkan data Kementerian Perindustrian tahun 2011-2015 terdapat pertumbuhan unit usaha dari 41,623 unit menjadi 47,755 unit, dengan tenaga kerja dari 173,829 orang menjadi 199,444 orang. Sementara itu nilai produksi batik sebesar USD 39,4 juta dan total nilai ekspor sebesar USD 4,1 juta. Meskipun omset perdagangan batik terhitung tinggi belum seluruh masyarakat yang terlibat dengan pembuatan batik bisa tersejahterakan. Jika para juragan dan pemilik modal bisa mendapatkan keuntungan maksimal dari hasil perdagangan batik, tidak demikian dengan para pembatik atau buruhnya. Buruh batik masih berupah rendah dan termarjinalkan oleh akses kemandirian karena dalam membuat batik masih sangat bergantung pada sistem yang dibuat oleh juragan. Di kota Yogyakarta misalnya, para buruh hanya dibayar sekitar RP 35.000 – 40.000 atau kurang dari 3 US Dolar tiap harinya, atau jika dihitung per-lembar kain yang telah dicanting (3-4 hari kerja) hanya diupah RP 90.000. Maka jika dihitung tiap bulannya buruh batik hanya mendapatkan upah kurang dari 1 juta (80 US Dolar), padahal Upah Minimum Regional yang ditetapkan pemerintah
propinsi Yogyakarta adalah 1,3 juta (95 US Dolar). Ini mengkhawatirkan karena di Yogyakarta saja yang telah mendapat julukan sebagai Kota Batik Internasional, buruh batiknya masih diupah di bawah standar hidup.

Penciptaan Tenaga Buruh Batik

Awalnya membatik bagi perempuan Jawa dilakukan sebagai kegiatan berkesenian salain untuk mensuplai kebutuhan sandangan anggota keluarga maupun acara-acara seremonial di lingkungan sekitarnya. Batik dari lingkungan keraton dibuat menurut standar-standar tertentu untuk menciptakan simbolisasi kebesaran raja dan bangsawan. Meningkatnya permintaan batik memperluas jaringan produksi dan perdagangan, termasuk pendatang asing terlibat dalam produksi batik. Pendatang Tionghoa yang awalnya penjual bahanbahan batik kemudian membeli kain batikkan dari wanita pribumi dan mewarnai dengan menyewa jasa pencelup lelaki pribumi (Veldhuisen, 1993: 28). Cara tersebut semakin banyak diikuti sekaligus menjadi awal terbentuknya kewirausahaan batik untuk kemudian menjadi industri. Memasuki pertengahan abad ke 19 terjadi invasi industri besar-besaran dari perusahaan-perusahaan Eropa termasuk yang kemudian menyokong kebutuhan industri batik seperti kain katun dan pewarna sintetis (Kertscher, 1954: 6). Ini mengubahpola pembatikan di Jawa terutama cara penghidupan masyarakatnya karena semakin banyak penduduk tidak lagi membuat sendiri batiknya namun membeli (Kertscher, 1954: 5).

Metode home industry mulai marak di pertengahan abad ke-19 ketika perempuan Indo-Eropa membuat ‘Batik Belanda’ dengan workshop yang didirikan di salah satu bagian rumahnya dan mengerjakan seluruh proses pembatikan di tempat tersebut (Veldhuisen, 2000: 40). Mereka juga adalah pengusaha yang pertama kali menerapkan jam kerja, upah mingguan serta membagi tanggung-jawab kerja para buruh sesuai dengan tahapan proses. Pembedaan pekerjaan ini membuat buruh teralienasi pada sekat-sekat pembedaan kerja dan menjadi asing pada proses lainnya. Pengusaha Peranakan Tionghoa dan Arab terutama di Lasem dan Rembang, Jawa Tengah, menerapkan aturan baru yaitu dengan memberikan upah di muka (fee in advance) sehingga buruhnya tinggal di salah satu bagian rumahnya agar target produksi batik bisa terpenuhi (Veldhuisen, 2000: 40).

Para pendatang yang memiliki workshop batik merupakan juragan yang menggagas ide motif batik untuk kemudian dibuat buruhnya. Para juragan tersebut tidak memiliki kemampuan membatik dan hanya mengawasi secara ketat proses pembatikan, menentukan pewarnaan batik, serta memasarkan produk hasil workshopnya. Komersialisasi batik juga membuka kesempatan kepada kelompok pribumi untuk mendirikan pabrik batik di luar tembok keraton yang disebut ‘sudagaran’ atau ‘saudagaran’ (Doellah, 2001: 124). Dalam produksinya para saudagar meniru pola yang dijalankan kelompok pendatang atau dengan relasi juragan-buruh. Seiring meningkatnya perekonomian di Jawa di awal abad ke-19 jumlah produser batik terutama di pesisir utara Jawa, tumbuh cukup subur (Ingleson dalam Brenner, 1998: 3 38). Dari tahun 1850-1939 produser batik di Jawa menunjukkan pekerjaan pembuatan
batik yang paling baik (Elliott, 2004: 42). Tahun 1928 pemerintah kolonial Belanda sempat membentuk badan penyelidikan dan penerangan pemerintah “Batik Proefstation” di Jogjakarta (Kertscher, 1954: 32) untuk mengetahui kondisi buruh dan upah yang diterimanya. Kemudian di tahun 1930 terbit buku ‘Batikrapport’ atau Batik Report karangan pegawai pemerintah bernama Kat Angelino yang mengulas informasi upah, pembedaan pekerjaan buruh dan kondisi ekonomi industri batik di kota-kota di Jawa dan Madura (Brenner, 1998: 42).

Bias Gender dalam Division of Labor

Pabrik batik yang didirikan oleh para pengusaha dari kelompok pendatang sejak awal abad ke-19 telah menandai babak baru produksi batik terutama menghasilkan perburuhan batik yang seluruhnya berasal dari kelompok pribumi. Pekerjaan membuat batik yang labor-intensive disekat-sekat berdasarkan urutan teknik atau proses pembuatannya. Penerapan division of labour ini menkooptasi buruh pada sekat-sekat pembedaan kerja; seperti treatment kain sebelum dibatik, mencorek pola, membantik tulis (dengan canting), ngecap (dengan canting cap), mewarnai/nyelup, mencolet/nyolet (mewarnai bagian-bagian motif) menutup/nembok, hingga menghilangkan lilin ataunglorod.

Lebih jauh lagi, pembedaan pekerjaan dilakukan berdasarkan keahlian yang bias gender. Perempuan yang dinilai memiliki ketelatenan dan ketelitian tinggi diberikan pekerjaan utama membatik tulis, mencolet/nyolet dan menutup/nembok. Pekerjaan tersebut tersebut, terutama membatik tulis, membutuhkan kesabaran, keuletan serta pengalaman yang mumpuni karena menggoreskan dengan canting yang berisi lelehan lilin malam panas sangat berbeda dengan menggoreskan dengan pena atau bolpoint. Bisa dikatakan saat mencanting kepekaan rasa dalam mengolah jiwa dan pikiran diperlukan agar tapakan lilin-malamnya bisa sempurna. Sementara untuk buruh laki-laki kebalikannya atau dipasrahi pekerjaan yang tidak menuntut konsentrasi dan kesabaran, namun energi yang besar dalam pengerjaannya; seperti treatment kain, ngecap, mencelup/mewarnai, atau nglorod.

Subordinasi terhadap perempuan semakin terasa dalam pemberian upah. Buruh perempuan mendapatkan upah yang lebih sedikit karena dalam pengerjaan batik tulis menghabiskan waktu lebih lama (pembuatan batik tulis alusan bisa mencapai waktu hingga 3 bulan) dan melalui serangkaian teknik yang cukup rumit. Sementara buruh lakilaki yang sebagian besar pembuat batik cap akan mendapatkan upah lebih banyak karena dalam pengerjaannya, batik cap lebih mudah dan cepat selesai. Memang, harga batik tulis lebih mahal daripada batik cap, namun ketika perputaran produksi batik cap lebih cepat hal itu lebih menguntungkan baik juragan maupun pekerjanya. Perempuan terlebih lagi harus menanggung stigma sebagai ‘kelas kedua’ karena dalam paradigma masyarakat patriarki pekerjaan yang dibebankan perempuan hanya sampingan, untuk mengisi waktu senggang, atau untuk membantu suami dalam memenuhi ekonomi keluarga. Hal ini sekali lagi tampak sistem yang terbentuk di pabrik batik di mana pekerjaan membatik tulis oleh buruh perempuan meski yang paling rumit namun bisa dilakukan setengah hari kerja, atau dibawa dan dikerjakan di rumah masingmasing sehingga mereka bisa leluasa mengurus keluarganya. Karena patron kerja yang demikian membuat buruh perempuan tidak memiliki posisi tawar yang tinggi, dan sekali lagi harus tunduk pada aturan pemberian upah yang minim. Bahkan dalam hal pengembangan potensi diri buruh perempuan aksesnya masih didiskriminasi karena
dipaksa untuk asing pada proses batik lainnya; contohnya pembatik canting tidak secara otomatis tahu bagaimana mencolet, atau mencelup warna. Hal tersebut sekaligus menegaskan terjadinya transkultural yaitu mengubah tatanan masyarakat secara fundamental dengan mereduksi proses kreativitas yang awalnya melibatkan olah jiwa, olah rasa dan konsentrasi, menjadi serangkaian kerja industri yang kaku dan membelenggu.

Hegemoni (atas nama) Kebudayaan

Dunia perbatikkan di Jawa bukan hanya dianggap sebagai kain tradisi semata namun dikultuskan melalui motif-motif yang memuat simbol-simbol budaya dan filosofi Jawa yang adi luhung. Dalam bentuknya yang lebih kontemporer batik diasosiaasikan sebagai kain khas atau asli Indonesia sehingga mencerminkan kekayaan budaya bangsa. Para buruh dengan demikian menyadari (consciously) bahwa dirinya sebagai pengabdi yang menjadi sumber pelestari kebudayaan Jawa tanpa berfikir/tidak menyadari (uncosciousnessly) bentuk eksploitasi yang ditimbulkan untuknya. Para buruh terhegemoni
melalui konsep nguri-nguri kabudayan yang seolah adalah sebuah kewajaran bagi mereka untuk ’mengabdikan diri’ pada batik sebagai bagian persembahan untuk mereka yang memiliki strata lebih tinggi yaitu bangsawan, orang kaya, atau juragan yang mengatur pekerjaan mereka. Bentuk domestication ini terus dibentuk dan dipelihara oleh pihakpihak yang memiliki kepentingan dan diuntungkan oleh sistem pemburuhan tersebut. Karl Marx dalam Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat 1844 (terjemahan Ira Iramanto, tanpa tahun) memberi gambaran bahwa dengan adanya kapitalisme, buruh bukan hanya bekerja dengan kesadaran semu (false consciousness) tapi juga menjadi asing pada objek kerjanya karena selain tak dapat menikmati produk hasil buatannya. Ini merupakan bentuk perenggutan diri sendiri atau self estrangement di mana kerja buruh batik hampir tidak memberikan apa-apa selain upah minim. Sementara oleh juragannya, batik buatannya itu dijual dengan sofistikasi budaya agar harga dapat melambung tinggi dan ia mendapatkan laba sebesar-besarnya atau surplus value. Relasi pemilik modal dengan buruh ini juga didasarkan atas kekuasaan dan kemampuan majikan agar kaum buruhbekerja seluruhnya demi mereka. Embel-embel batik sebagai manifestasi kebudayaan bangsa yang adiluhung semakin melegitimasi juragan untuk mengekploitasi kerja buruh, karena tanpa disadari buruh menerima begitu saja sistem kerja dan upah rendah sebagai sebuah kewajaran.

Penutup

Industri batik di Indonesia sudah berlangsung lebih dari seratus tahun dengan sistem produksi yang sama atau dengan relasi juragan-buruh. Lebih dari itu, perburuhan batik juga bersifat mewariskan atau menurun dari satu generasi ke gerasi berikutnya. Ini berarti seorang buruh, terutama pembatik, mengikuti pekerjaan yang pernah dilakukan oleh ibu atau generasi sebelumnya, dan besar kemungkinan anak atau keturunan perempuannya juga akan menjadi buruh.

Seiring dengan perkembangan gaya hidup yang semakin tinggi, banyak generasi penerus buruh batik enggan mengikuti jejak ibunya karena penghasilan yang didapatkan tidak sebanding dengan kebutuhan yang ingin dipenuhi. Mereka paham bahwa bekerja menjadi pembatik bukan hanya dianggap sebagai pekerjaan kasar dan berupah rendah, tetapi juga menjaga gengsi ditengah-tengah budaya hedonis anak muda masa kini yang tidak akan mendapatkan keuntungan materi cukup dari membatik. Banyak diantara mereka memilih untuk bekerja sebagai pelayan di toko di mall atau bahkan menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri. Jika demikian kurang dari sepuluh tahun lagi, industri batik di Indonesia akan berangsur hilang karena kekurangan Sumber Daya Manusia.

Tindakan penyelamatan buruh batik perlu segera dilakukan. Pemberdayaan para buruh batik melalui inisiasi kelompok usaha telah dilakukan oleh beberapa lembaga pemerintah maupun swasta. Pemberian pelatihan proses membatik secara komprehensif (mulai dari pra-produksi, produksi hingga promosi) bagi seluruh anggota kelompok dapat mengawali usaha untuk menghapus sekat-sekat dalam division of labor. Itu juga termasuk menghapuskan hirarki dalam kelompok sehingga tidak lagi ada relasi juragan-buruh karena semuanya memiliki posisi dan pengetahunan yang sama untuk memajukan
usahanya. Selain pemberian modal usaha sebagai startup bisnis, pendampingan oleh pihakpihak terkait juga penting dilakukan terutama untuk mengevaluasi dan menumbuhkan terus mental kemandirian bagi para anggota yang sebelumnya para buruh ini. Akhirnya, batik akan terus dihormati dan ditempatkan secara mulia jika para pembuatnya, atau para buruh batiknya diberdayakan dan diperlakukan secara baik. Karena pada hakekatnya estetika batik bukan hanya terletak pada keindahan dan kemolekan motifnya saja, namun utamanya justru terletak pada prosesnya di mana pada parapembuatnya menggunakan kerangka pengalaman kebertubuhan mereka untuk menciptakan karya seni bernama batik. Buruh batik pada akhirnya menjadi aspek signifikan dan perlu dihargai atas nama keberlanjutan pengembangan kebudyaan batik Indonesia.

Pustaka:

Brenner, Suzanne April, 1998. The Domestication of Desire: Women, Wealth, and Modernity in Java. New Jersey: Princeton University Press

Doelah, Santoso, 2002. Batik: Pengaruh Zaman dan Lingkungannya. Surakarta: Danar Hadi

Elliot, Inger McCabe. 2004. Batik Fabled Cloth of Java. Singapore: Periplus

Kertscher, W, Perindustrian Batik di Pulau Djawa, diterjemahkan oleh Poey Ken Sin, Leverkusen: Pabrik Tjat Pewarna, 1954

Marx, Karl. No year. Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat 1844, translated by Ira Iramanto. Jakarta: Hasta Mitra

Pangestu, Mari Elka dan Kelompok Kerja Indonesia Design Power-Perdagangan RI. 2008. Indonesia Kreatif Menuju Visi Ekonomi Kreatif Indonesia 2025: Rencana Pengembangan 14 Subsektor Industri Kreatif Indonesia (2209-2015). Jakarta: Departemen Perdagangan RI

Veldhuisen, Harmen C. 1993. Batik Belanda 1830-1940, Dutch Influence in Batik from Java History and Stories. Jakarta: Gaya Favorit.

____________________. 2000. “The Role of Enterpreneurs in the Stylistic Development of Batik Pasisir”, in Fabric of Enchantment: Batik from the North Coast of Java. Los Angeles: Los Angeles County Museum of Art.

Internet:
Pujiastuti, Lani. 2015. “Diakui Dunia, Ekspor Batik RI Meningkat Setiap Tahun”. https://finance.detik.com/ekonomi-bisnis/3034083/diakui-dunia-ekspor-batik-rimeningkat-setiap tahun. Diakses Maret 2017

Rully. 2015. “Tahun 2015, Industri Batik Dalam Negeri Mengingkat 14,7% Dengan Nilai Ekspor Batik Mencapai Rp 50,44 Trilyun”. http://vibizmedia.com/2015/10/02/tahun-2015-industri-batik-dalam-negerimeningkat-147-dengan-nilai-ekspor-batik-mencapai-rp-5044-triliun/. Diakses Maret 2017

Siregar, Boyke P. 2015. “Menperin: Industri Batik Alami Perkembangan Pesat. http://wartaekonomi.co.id/read/2015/06/24/62136/menperin-industri-batik-alamiperkembangan pesat.html. Diakses Maret 2017

Ditulis Oleh: Karina Rima Melati (Dosen AKINDO)

Makalah ini diberikan saat diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM dengan tema “Buruh Perempuan di Kapitalisme Pinggiran” yang diselenggarakan pada 07 Maret 2017.

Leave a Reply