“Menolak Tunduk”: Menumbuhkan Kesadaran Melawan Ketidakadilan
Permasalahan perburuhan dalam sistem kapitalisme tidak akan pernah ada habisnya. Sistem kapitalisme membuat terbaginya masyarakat menjadi dua kelas yang saling berkontradiksi. Kelas kapitalis yang meguasai sarana produksi dan kelas buruh yang hanya memiliki tenaga untuk dijual kepada pemilik modal. Tujuan dari pemilik modal adalah untuk mengakumulasi kapitalnya, sedangkan tujuan kelas buruh adalah untuk mencapai kesejahteraan. Maka tidak mengherankan apabila untuk mendapatkan keuntungan dan mengakumulasi kapitalnya buruh menjadi korban.
Mulai dari hak normatif sampai hak demokrasi buruh sering terabaikan demi sebuah “efisiensi”. Seperti yang diceritakan oleh Muryanti dalam diskusi dan bedah buku “Menolak Tunduk : Cerita Perlawanan dari Enam Kota” yang dilakukan MAP Corner-Klub MKP (Selasa, 29 November 2016). Muryanti menjelaskan buruh menghadapi kondisi kerja yang buruk serta mengalami ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari. Muryanti dan 1300 buruh di pabrik tempatnya bekerja tidak mendapatkan upah selama 3 bulan. Setelah buruh menuntut diberikan upah yang terjadi malah PHK massal secara sepihak yang didapatkan buruh.
Dina Septi dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) dalam diskusi menceritakan awal tumbuhnya perlawanan buruh bukan karena untuk menghancurkan kapitalisme atau menciptakan internasionalisme, akan tetapi karena hal-hal “sepele”, pelanggaran dan ketidakadilan yang mereka alami di pabrik. Mulai dari hal-hal kecil sampai pelanggaran yang tidak manusiawi. Misalnya buruh tidak diizinkan untuk buang air kecil ketika proses produksi sepatu berjalan. Serta alih-alih memberikan cuti kepada buruh yang hamil, untuk ijin memeriksa kandungan saja tidak diberikan. Pernah kejadian perusahaan menghukum buruh yang sedang hamil selama 7 bulan karena lambat dalam bekerja, setelah diperiksakan ternyata bayi yang ada di kandungan sudah meninggal selama 7 hari. Ketidakadilan serta kondisi kerja yang jauh dari kata sejahtera seperti itu yang memunculkan bibit-bibit perlawanan dari buruh. Inilah yang menjadi nilai lebih dari buku “Menolak Tunduk : Cerita Perlawanan dari Enam Kota”. Terdapat bermacam cerita yang secara komprehensif menarasikan munculnya jiwa perlawanan sampai ketataran kesadaran kelas. Serta pengalaman perjuangan buruh yang memiliki keunikan dan hambatan masing-masing. Barangkali cerita-cerita tersebut yang luput dari pengamatan aktivis maupun akademisi.
Problematika Perlawanan serta Pentingnya Berserikat
Narasi munculnya nalar kritis dan perlawanan dari buruh harus dilihat secara komprehensif. Banyak hambatan-hambatan yang dialami buruh yang ingin berorganisasi dan melakukan perlawanan. Budaya konsumerisme yang menjalar kesendi-sendi kehidupan buruh menjadi penghambat buruh untuk sekedar berorganisasi maupun melawan. Tuntutan pemenuhan materi dari keluarga merupakan problem tersendiri. Karena harus diakui untuk berorganisasi dan berlawan dibutuhkan waktu, tenaga serta materi yang harus dikorbankan. Dengan 8 jam kerja serta lembur membuat waktu buruh untuk berorganisasi menjadi terbatas, belum lagi bagi buruh yang sudah berumah tangga harus membagi waktu dengan keluarga. Selain itu, ketakutan dari anak, istri atau suami mereka akan terancam keselamatannya akibat aksi perlawanan yang dilakukan para buruh juga menjadi pertimbangan. Terlebih pada buruh perempuan yang dihadapkan dengan sistem patriarkis seperti saat ini. Ijin berorganisasi sepenuhnya berada ditangan suami. Serta masih harus menanggung beban mengurus rumah tangga menjadi kendala tersendiri.
Namun hal tersebut bisa diatasi jika buruh sudah mengerti pentingnya berserikat. Sari Sita (dosen FEB UGM) dalam diskusi menyampaikan bahwa serikat merupakan alat yang digunakan kaum buruh untuk memperjuangkan kepentingannya. Buruh yang sudah sadar akan pentingnya hal itu harus memberikan pemahaman kepada keluarga, orang terdekat bahkan masyarakat luas tentang ketidakadilan yang dialami serta pentingnya berorganisasi. Dengan memberikan pemahaman kepada keluarga menurut Sari bisa memberikan motivasi serta mendukung perjuangan yang dilakukan kaum buruh. Seperti yang diceritakan Sobari disalah satu artikel dalam buku menolak tunduk, saat melakukan mogok kerja keluarga bahkan saudara, tetangga dan warga sekitar pabrik berbondong-bondong memberikan dukungan secara materi maupun moril.
Cerita heroisme buruh dalam berjuang menjadi penting untuk disebar luaskan. Narasi bagaimana serikat memperjuangkan kepentingan kaum buruh bisa menjadi contoh bagi serikat buruh yang lain. Tidak kalah penting yaitu membangun solidaritas antar buruh maupun antar serikat. Diceritakan oleh Maryanti bahwa rasa solidaritas serta kepedulian dari buruh antar serikat maupun antar pabrik memberikan semangat tersendiri bagi perjuangan kaum buruh.
Hikmah dari buku Menolak Tunduk
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari buku Menolak Tunduk. Setidaknya Sari Sita mengatakan ada 3 poin yang dapat diambil dari buku tersebut. Pertama, kejadian perburuhan dilapangan dengan kondisi ideal yang diamanatkan Undang-Undang maupun teori-teori masih jauh panggang daripada api. Banyak sekali terjadi pelanggaran hak normatif maupun hak politik dari kaum buruh. Kejadian-kejadian ketidakadilan yang selama ini luput dari potret media dinarasikan secara baik dalam buku ini. Kedua, dapat diketahui bagaimana peran sentral yang diberikan oleh serikat buruh. Selain menjadi wadah untuk memgadvokasi kepentingan buruh, serikat juga berfungsi untuk memberikan penyadaran bagi kaum buruh. Bahkan ada serikat yang memberikan pengajaran skill dalam berbahasa inggris, menulis serta pemahaman terkait ekonomi politik perburuhan. Ketiga, berguna untuk meningkatkan kesadaran dari kalangan buruh sendiri. Dengan membaca pengalaman buruh yang dinarasikan dalam buku tersebut maka dapat dijadikan contoh dan bahan renungan untuk menumbuhkan kesadaran buruh. Banyak buruh yang sulit diberikan penyadaran karena yang memberikan edukasi adalah orang luar, dengan adanya buku yang merekam kehidupan buruh lain secara langsung maka lebih mudah buruh untuk memahami. Selain itu bahasa yang digunakan dalam menarasikan penindasan tidak terlalu “ndakik-ndakik” dan berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari buruh.
Hemat penulis masih banyak manfaat yang dapat diambil, salah satunya bagi aktivis buruh. Dengan adanya buku ini diharapkan aktivis yang mengadvokasi buruh lebih komprehensif dalam memandang permasalahan dunia perburuhan. Penyadaran buruh tidak semudah teori yang didapat dari buku. Kehidupan buruh multidimensional sehingga diperlukan pendalaman dan pemahaman menyeluruh serta diperlukan strategi-strategi yang inovatif. Banyak hambatan yang dialami oleh kaum buruh dalam menumbuhkan perlawanan, baik perlawanan secara individu maupun perlawanan secara kolektif. Bagi akademisi penting bagaimana cara untuk membumikan teori yang didapat agar bisa tersampaikan dengan baik kepada buruh. Misalnya tanpa menyebutkan kata kapitalisme namun akademisi harus mampu menjelaskan menggunakan bahasa sehari-hari buruh. Selain itu buku ini sangat bermanfaat untuk merefleksikan teori yang selama ini didapat dengan kondisi riil yang ada di lapangan, sehingga terjadi dialektika antara teori dan praktik.
Tidak kalah penting yaitu keluarnya buku yang ditulis langsung oleh buruh (bahkan sudah buku ke-2) seharusnya menjadi cambuk bagi kalangan akademisi. Buruh yang disibukkan dengan kerjaan serta kehidupan yang tidak mudah saja masih sempat membaca bahkan menulis. Namun apa yang dilakukan akademisi? Berapa buku yang dibaca setiap hari? Berapa buku yang terbit setiap tahun? Harus diakui budaya literasi masih menjadi harapan yang seharusnya mulai diwujudkan oleh semua kalangan.
Apa yang Sebenarnya Diinginkan Kaum Buruh?
Pola hegemoni kapitalisme nampaknya masih sangat kuat mencengkram imaji dari mayoritas masyarakat Indonesia. Pikiran-pikiran yang menyalahkan buruh sehingga melegitimasi upah murah serta penghisapan yang dilakukan kelas pemodal masih tumbuh subur. Masih banyak kalangan yang ‘nyiyir’ terhadap perjuangan buruh. Argumen utama yang kontra terhadap perjuangan buruh menuntut kenaikan upah adalah rendahnya produktivitas buruh. Hal tersebut diungkapkan oleh Guru Besar Ekonomi UGM Sri Adiningsih (finance.detik(dot)com, 21/10/2014). Adiningsih mengatakan “Upah yang diterima itu refleksi produktivitas. Tapi produktivitas buruh Indonesia masih rendah karena 50% lulusan SD dan jarang yang ikut pelatihan”. Dalam diskusi dan bedah buku di MAP Corner juga muncul pernyataan serupa dari salah satu peserta diskusi ketika sesi tanya-jawab. Hanya dengan berdasarkan tingkat pendidikan dengan mudah menilai produktivitas buruh rendah.
Apabila dianalisis lebih dalam maka argument tersebut sangat dangkal dan tidak berdasar. Dalam laporan ILO 2015 yang berjudul Indonesia : Trends in wages and productivity menunjukkan bahwa produktivitas buruh tiap tahun mengalami peningkatan. Mengambil contoh pada buruh sektor manufaktur, produktivitasnya hampir tiga kali lebih besar dibanding total produktivitas buruh di seluruh sektor ekonomi. Namun disaat yang bersamaan upah Indonesia cenderung stagnan dan berada pada tingkat 2 terendah se ASEAN. Selain itu kontribusi sektor industri non-migas terhadap Produk Domestik Bruto setiap tahun mengalami peningkatan serta hampir menyumbang 20% dari total PDB.
Yanti menambahkan, dalam industri manufaktur gelar akademik sebenarnya tidak terlalu berpengaruh, karena yang paling dibutuhkan adalah keuletan dalam proses produksi. Jadi gelar lulusan SD maupun S3 saat bekerja dipabrik akan ditarget dengan jumlah produksi yang sama. Jadi, gelar akademik menjadi tidak relevan jika digunakan untuk menjustifikasi produktivitas buruh. Belum lagi jika dianalisis mengapa buruh tidak mendapat pendidikan yang layak (pendidikan tinggi). Apakah karena kemalasan, ataukah karena memang mereka tidak mampu untuk mengakses pendidikan yang semakin mahal?
Lantas apa yang sebenarnya diinginkan kaum buruh? Adanya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi serta perilaku yang tidak manusiawi dari pemilik modal terhadap buruh seharusnya pertanyaan tersebut sudah tidak relevan lagi untuk ditanyakan. Apalagi dengan sistem ekeonomi yang membagi masyarakat menjadi dua kelas seperti sekarang ini sebenarnya berapapun upah yang diterima buruh masih dieksploitasi. Artinya kerja buruh masih dimanfaatkan untuk memperkaya segelintir orang. Jadi selain menuntut kesejahteraan, menuntut hak-hak normatif, buruh sebenarnya berhak mengontrol alat produksi untuk kepentingan bersama. Dengan produksi yang dilakukan bersama maka akan tercipta tatanan masyarakat yang lebih egaliter.
Apa yang Harus Dilakukan Kaum Buruh?
Ditengah pusaran kebijakan Neoliberal seperti sekarang ini tidak ada pilihan lain selain berserikat dan melakukan perlawanan secara kolektif. Belum selesai dengan masalah kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel yang menfragmentasi dan yang tidak adil bagi kaum buruh, rezim Jokowi-JK meluncurkan segudang paket kebijakan ekonomi yang menjadi karpet merah bagi pemilik modal. Salah satunya yang mendapat penolakan keras dari kaum buruh yaitu PP No. 78/2015 tentang pengupahan.
Watak pemerintah yang semakin mesra dengan pemilik modal harus “diganggu” dengan mengkonsolidasikan serta menguatkan perjuangan kaum buruh. Perlu diingat bahwa kebijakan negara yang berpihak pada kaum buruh seperti pengurangan jam kerja dari 14 jam ke 8 jam, hak cuti hamil dan haid bagi perempuan, pelarangan pekerja anak dibawah umur, serta jaminan-jaminan sosial merupakan hasil dari perjuangan dari buruh. Artinya tidak ada kesejahteraan buruh yang merupakan hasil dari kebaikan penguasa maupun pengusaha. Apakah buruh hanya diangkap sebagai mesin produksi? Apakah buruh tidak pantas sejahtera? Apakah buruh akan selamanya hidup untuk kekayaan orang lain? Atau buruh berjuang untuk sejahtera? Itu semua menjadi PR serikat serta kita bersama untuk membantu kaum buruh mencapai kesejahteraan. Karena tanpa perjuangan yang kolektif tidak aka nada yang namanya kesejahteraan. Seperti kata Muryanti : tidak akan pernah ada perubahan tanpa adanya perjuangan dan pengorbanan.
Dan salam hormat kami untuk buruh yang berlawan dan berjuang MENOLAK TUNDUK!!!
Hidup buruh!!!
Hidup perempuan yang melawan!!!