Mandat UUPA, Konflik Agraria, dan Basis Gerakan Rakyat Hari Ini
Setiap kali tanggal 24 September masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Tani Nasional. Pada tanggal tersebut merupakan tanggal disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di tahun 1960. Tujuan awal lahirnya UUPA itu adalah untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana bisa rakyat Indonesia mampu mengisi kemerdekaan tanpa diberikan hak untuk mengatur kebutuhan paling mendasar mereka? Apakah kemerdekaan masih berarti bagi masyarakat kecil ketika disektor ekonomi dan agrarian terjadi ketimpangan yang mewujudkan ketidakmerdekaan? UUPA digagas oleh para pendiri bangsa untuk menjawab pertanyaan diatas dan untuk menghapus peninggalan kolonialisme dan feodalisme yang membelenggu masyarakat Indonesia kala itu – terutama struktur penguasaan atas tanah yang timpang.
56 tahun berlalu setelah disahkannya UUPA, kondisi ketimpangan agraria belum jua teratasi. Badan Pertanahan Nasional mencatat, 56% aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dimonomopli oleh hanya 0,2% penduduk Indonesia. 175 Juta hektar (setara dengan 93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh pemodal swasta/asing. Lalu menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), sekitar 35% daratan Indonesia dikuasai oleh 1.194 pemegang kuasa tambang, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batubara. Sementara itu jumlah petani gurem (petani dengan luas lahan garapan <0,5 ha) di Indonesia sebanyak 31,7 Juta keluarga (Badan Pusat Statistik, 2013). Ketimpangan agraria berbanding lurus dengan banyaknya jumlah konflik agraria. KPA mencatat dalam 11 tahun terakhir terjadi 1.772 konflik di atas luasan wilayah hampir 7 juta hektar yang melibatkan lebih dari 1 juta kepala keluarga.
Reforma Agraria dan semangat UUPA 1960 kembali menjadi rujukan dari gerakan rakyat dan aktivis untuk mengatasi persoalan agraria yang kian mencuat ke permukaan. Dalam konteks ini gerakan-gerakan rakyat di akar rumput berderap menuntut negara untuk segera hadir dan membenahi struktur ekonomi yang kerap mengorbankan rakyat kecil.
Diskusi MAP Corner-Klub MKP bertajuk “Hari Tani Nasional: Ketimpangan Penguasaan Tanah dan Masa Depan Reforma Agraria” pada 27 September 2016 bersama Nazir Salim (Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional) dan P.C. Wignya Cahyana (Ketua Umum Paguyuban Rakyat Kampung Basis Pinggiran Sungai – Paku Bangsa) mengurai beberapa poin penting terkait isu-isu agraria Nasional saat ini.
Menengok Kembali Mandat UUPA 1960
UUPA adalah salah satu alat negara untuk mengatur bagaimana proyeksi pembangunan nasional yang dijalankan oleh dan untuk rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 33. Dalam hal ini, Nazir Salim menyebut bahwa , “UUPA adalah semangat kebangsaan yang dilahirkan oleh para pendiri bangsa”, sedang menurut Wignya merupakan “…Janji kemerdekaan”. Tahun 1960an, struktur kekuasaan atas tanah di Indonesia sudah timpang. Di daerah, tanah sebagian besar dikuasai oleh para ambtenaar (Pegawai Negeri Sipi- zaman Hindia Belanda) dan para pemuka agama. Sedang di sisi lain masih banyak petani miskin yang kesulitan menafkahi keluarganya jika hanya bergantung pada luas lahan pertanian yang sempit atau bekerja sebagai buruh tani. Oleh karena itu melalui UUPA negara memfasilitasi distribusi atas tanah kepada petani-petani miskin di daerah agar supaya dapat mensejahterakan keluarganya. Sasaran dari UUPA adalah tanah absente dan tanah kelebihan maksimum yang ditetapkan sesuai kondisi lokal suatu wilayah, sebagaimana hal ini ditegaskan dalam Perpu Land Reform tahun 1960.
Dalam pelaksanaannya, UUPA tergolong sulit dilaksanakan dikarenakan benturan konstelasi politik dan kekuasaan di pusat maupun di daerah. Belum UUPA mampu dilaksanakan sepenuhnya, UUPA justru dilupakan atau bisa dikatakan “dikhianati” oleh rezim Orde Baru. Dengan jargon Trilogi Pembangunan: Stabilitas, Pertumbuhan, dan Pemerataan, rezim Orde Baru melahirkan 3 undang-undang pada tahun 1967, yakni UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Dari sini terlihat titik dimana konflik terkait agraria yang belum mampu dipecahkan sejak pemerintahan Soekarno justru kian meluas oleh sebab pembangunan yang massif dan lahan dikuasai oleh korporasi dan segelintir orang.
Eskalasi konflik agraria di Indonesia mulai memanas sejak tahun 1970an. Menurut Nazir Salim, setidaknya ada tiga macam akar konflik agraria, yaitu: 1) Tenurial Security atau keamanan kepemilikan lahan. Hal inilah yang seringkali menimbulkan pertentangan klaim kepemilikan lahan, karena tidak ada keamanan status kepemilikan lahan. 2) Dominasi perusahaan asing ataupun Indonesia yang menguasai lahan begitu luas. Misalnya di Sumatra, sekitar 7 juta lahan hanya dikuasai oleh 4 perusahaan. Sehingga yang terjadi adalah lahan masyarakat untuk sekedar bersubsisten kian menipis. Hal ini lantas diperparah dengan 3) Land Grabbing, dimana lahan pertanian rakyat kerap dikorbankan dengan dalih pengadaan lahan untuk kepentingan umum.
Tahun 2016, rezim Jokowi-JK, melalui Kepala Staff Kepresidenan menurunkan SK untuk membentuk kepanitiaan penggagas reforma agraria. Salah satu poin penting dalam SK tersebut adalah 5 agenda pokok yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu per Juni 2016-Juli 2017. Agenda-agenda tersebut adalah:
- Penyelesaian konflik agraria;
- Memperjelas objek sasaran reforma agraria;
- Pemberdayaan masyarakat;
- Merancang peraturan;
- Membentuk lembaga reforma agraria di tingkat daerah.
Peraturan macam apa yang mampu dihasilkan panitia ini? Dalam waktu satu tahun apakah Menpan mampu memunculkan PP reforma agraria? Apakah mampu membentuk kelembagaan yang kuat? Sebab jika melihat Visi-Misi objek reforma agraria Jokowi-JK, dari 9,1 juta hektar lahan yang akan dijadikan objek Reforma Agraria, 4 Juta lebih adalah kawasan hutan ternyata adalah lahan yang sudah ditinggali masyarakat sekitar, sehingga 1700-an desa yang masuk kawasan hutan akan dikeluarkan,termasuk 600ribu hektar di antaranya merupakan hasil produk perluasan kawasan hutan. Artinya ini tidak ada kawasan baru. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa negara tidak memaksimalkan tanah-tanah absente dan tanah yang melebihi batas maksimum untuk dijadikan objek reforma agraria? Jika alasannya adalah tidak memiliki anggaran untuk memberikan ganti-rugi atas tanah absente dan tanah yang melebihi batas maksimum, di Indonesia masih memiliki 17juta hektar lahan HGU. Jika negara memang serius menangani mandat UUPA, maka hanya dibutuhkan minimal PP atau Perpres agar HGU yang sudah habis tidak boleh diperpanjang.Hal inilah yang ditekankan Nazir Salim, apakah saat ini negara mau melaksakanan reforma agraria sebagaimana dimandatkan UUPA? Sebab reforma agraria tidak hanya bicara soal redistribusi tanah pada petani miskin, tetapi juga pengurangan bahkan penghapusan hak milik pribadi.
Menyoal Basis Gerakan Rakyat dan Ketimpangan Kelas Petani
Lambatnya respon negara terhadap konflik agraria mengurai pertanyaan basis perjuangan rakyat seperti apa yang mampu memaksa negara untuk tidak terjebak dalam pengaturan yang kian menyengsarakan rakyat kecil. Sebab dalam beberapa dekade terakhir, watak negara terhadap kebijakan tata ruang dan pertanahan justru bias pemodal ketimbang penguatan ekonomi dari masyarakat kelas bawah. Di sisi lain, akibat dominasi sistem ekonomi kapitalis yang turut mempengaruhi pola pikir masyarakat kelas bawah dalam memaknai kepemilikan atas tanah. Maka dari konteks ini, reforma agraria tidak bisa lagi dikatakan sekedar redistribusi tanah oleh negara tetapi juga mempertanyakan struktur ekonomi seperti apa yang dapat menjamin pertanahan produktif untuk menopang perekonomian rakyat kecil.
Wignya dalam diskusinya memberikan uraian komrehensif mengenai landasan perjuangan kaum miskin kota yang turut beresonansi dengan gerakan petani di pedesaan. Bisa ditelusuri bagaimana sejarah kaum miskin kota di Yogyakarta tak lain sebagian besar dari mereka adalah pihak yang kalah dari konflik agraria di pedesaan, selebihnya mereka adalah petani-petani desa yang turut kehilangan tanahnya akibat himpitan ekonomi. Ditekankan Wignya, konflik agraria yang mencuat akhir-akhir ini – khususnya di Yogyakarta, hanyalah gunung es atau akumulasi dari struktur peraturan agraria yang melenceng jauh dari gagasan pendiri bangsa Indonesia.
Lebih dari 20 titik konflik agraria di Yogyakarta, misalnya ancaman penggusuran perumahan rakyat di bantaran Kali Code, pembangunan bandara di Kulon Progo, ancaman penggusuran perumahan dan lahan pertanian warga di Parangkusumo, Cemoro Sewu, dll. Wignya menyadari bahwa konflik tersebut tidak bisa sepenuhnya menempatkan pelegitmasian SG dan PAG sejak tahun 2012 sebagai akar konflik, sebab jauh sebelum SG dan PAG reforma agraria memang tidak pernah serius dijalankan oleh pemerintah.
Lantas menyoal basis gerakan rakyat, Wignya menyadari betul bahwa kekuatan gerakan rakyat kita hari ini masih sangat kecil. Hal ini ditunjukkan dengan bagaimana kesadaran rakyat sendiri soal pemaknaannya terhadap tanahnya melalui redistribusi maupun sertifikasi tanah. Alih-alih revolusioner, basis gerakan rakyat hari ini bagi Wignya dirasa masih banyak yang pragmatis dan oportunis. Sehingga yang terjadi adalah basis perjuangan rakyat seringkali baru terjalin ketika muncul kebijakan penggusuran atau ancaman terhadap kelompok mereka. Belum lagi gerakan rakyat di area konflik agraria masih berhadapan dengan urusan dapur mereka sendiri ketika melakukan aksi turun ke jalan. Sebagaimana dicontohkan Nazir Salim, gerakan rakyat di Sumatra justru kolaps karena gerakan tidak mampu mengakomodasi basis material anggota gerakannya sendiri. Nasir memaparkan penelitiannya tentang lama (waktu) gerakan rakyat mampu tetap bergerak dengan intensitas perjuangan yang tetap. Temuan Nasir menunjukan bahwa perjuangan yang dilakukan disebuah desa di Riau, mereka bergerak menuntut land reform hanya mampu bertahan 2 tahun (dengan intensitas hampir setiap bulan bergerak). Setelah itu terjadi permasalahan terkait ekonomi keluarga dari setiap aktivis dan berpengaruh pada berkurangnya kekuatan gerakan. Artinya belum ada basis perjuangan yang kuat di tubuh gerakan rakyat itu sendiri, sehingga perlu memikirkan kembali metode perjuangan gerakan rakyat.
Wignya memberikan 3 agenda dasar yang diperlukan dalam perjuangan gerakan rakyat. Pertama, gerakan membutuhkan adanya pendidikan berorganisasi, berpolitik, dan yang terpenting penyuluhan terkait agraria agar gerakan mampu melayangkan tuntutan maksimum terkait konflik agraria yang tengah mereka hadapi. Lalu kedua, kebutuhan gerakan rakyat di akar rumput adalah untuk senantiasa berserikat dan mengorganisir diri dengan gerakan di sektor lain. Dan yang ketiga, adalah pentingnya memikirkan agenda perjuangan selain turun ke jalan. Jalur-jalur agitasi dan advokasi melalui media gerakan menjadi pilihan untuk mengangkat isu-isu perjuangan agraria.
Maka di tengah maraknya konflik agraria dan bangkitnya kembali pewacanaan reforma agraria sebagaimana dimandatkan UUPA. Lagi-lagi gerakan rakyat diharapkan mampu untuk kembali memetakan kebutuhan di kelas-kelas petani sebelum mengajukan tuntutan reforma agraria. Sebab rakyat saat ini lebih membutuhkan perubahan-perubahan struktural yang konkrit daripada serangkaian aksi-aksi seremonial. Akhirnya, signifikansi gerakan tetap ada pada rakyat, bahwa mereka adalah bagian tak terpisahkan dari barisan perlawanan terhadap pengingkaran struktural atas mandat nasional tentang pengelolaan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.