Hollande dan Kemenangan Melawan Pemangkasan Anggaran Publik: Kebangkitan Sosialisme Eropa?
Pemimpin Partai Sosialis Prancis Francois Hollande mengalahkan presiden Prancis Nicolas Sarkozy dalam pemilihan presiden yang digelar pada Mei 2012 lalu. Kemenangan Hollande ini boleh dibilang sesuai dengan prediksi beberapa jajak pendapat sebelumnya, di mana kekecewaan terhadap Sarkozy semakin lama semakin tampak memuncak.
Kemenangan Hollande memang menggema di seluruh dunia. Dalam hal ini, sebagai pribadi, Hollande sendiri memang tidak disangka untuk dapat tampil memuncaki Pilpres Prancis lalu. Namun, gelombang kekecewaan terhadap sistem dan kondisi yang telah lama dirasa tidak memuaskan publik Prancis, pada akhirnya membawa Hollande tampil sebagai figur yang digadang-gadang mampu untuk mengubah kondisi di Prancis dengan sosialismenya.
Hollande, dalam kasus Prancis ini menjadi menarik. Hal ini karena pada dasarnya Hollande merupakan simbol bahwa publik Prancis telah memilih untuk melakukan tindakan politis memilih kelompok yang berbeda, yang diharapkan akan memilih posisi dalam melawan kekuatan modal uang (finance capital) yang dalam sejarah pernah mengalami masa kelamnya pada 2008 dengan krisis keuangan global. Pun, Hollande digadang sebagai wakil dari kelompok muda, buruh, kaum intelektual, dalam aksi pendudukan Wall Street dalam menyerang kelompok “1%”—sebutan dari kelompok penentang pada para kapitalis global. Kondisi global belakangan dengan antagonisme yang terwujud dalam aksi nyata melawan “1%” tersebut tidak ubahnya turut menjadi dukungan tidak langsung bagi mulusnya jalan Hollande dalam Pilpres Prancis lalu. Gerakan “99%”—sebutan bagi rakyat yang menjadi objektifikasi kapitalis global—yang sebelumnya telah terekspose dalam publik dunia membuat imajinasi konstituen Prancis mengenai perubahan mengena pada kelompok sosialis, yang pada saat ini terepresentasi dengan sosok Hollande.
“Di seluruh kota, banyak orang yang mengucapkan terima kasih kepada kami. Mereka memberikan harapannya kepada kami dan menyuarakan penolakannya terhadap kebijakan penghematan. Anda adalah bagian dari pergerakan itu, di Eropa dan bahkan mungkin juga di penjuru dunia,” ujar Francois Hollande di hadapan ribuan pendukungnya seperti dikutip Sky News (7/5). Dari kutipan ini, tampak bahwa Hollande merupakan figur yang menjadi simbol perlawanan terhadap kondisi yang telah ada sebelumnya.
Implikasi kemenangan Hollande dengan posisi ideologis yang dibawanya menjadi tema MAP Corner-Klub MKP edisi 22 Mei 2012. Kali ini Erich Hiariej, dosen Fisipol UGM, didaulat sebagai pemantik diskusi.
Kemenangan Hollande
Hollande, gagal bersaing dengan Sarkozy pada Pilpres 2007. Namun, sejarah menunjukkan bahwa pada 6 Mei 2012—tanggal momen Pilpres Prancis lalu—di area Place de la Bastille, lambang bersejarah Revolusi Prancis, Hollande dielu-elu oleh para pendukungnya. Memang, pada beberapa bulan sebelum momen Pilpres, prediksi kemenangan Hollande telah menggema dengan adanya hasil jajak pendapat. Dan dengan kemenangan Hollande yang terbukti dengan momen Pilpres tersebut, muncul harapan baru mengenai perubahan yang ada dengan kondisi Prancis dan Eropa secara umum. Sejak kekalahan kelompok sosialis dalam politik dalam negeri dan di beberapa negara Eropa secara umumnya sejak tahun 1995, tidak pelak bahwa respon publik terhadap kemenangan Hollande terkadang terdengar berlebihan.
Namun kenyataan bahwa kelompok sosialis berhasil memenangi Pilpres bagaimanapun memang menjadi harapan baru kelompok menengah dan urban di Prancis, terlebih dengan kelas buruh dan anak muda. Kebijakan konservatif dari presiden sebelumnya, Sarkozy, yang tampak lebih memilih kebijakan pengetatan anggaran, pemotongan subsidi dan dana pensiun, dianggap sebagai tendensi atah politik Sarkozy pada kelompok pengusaha besar dan para pemilik modal. Dengan kemenangan Hollande ini, opini publik mengarah pada anggapan bahwa buruh telah memenangi langkah awal dalam mengubah kondisi dan keberpihakan kebijakan pada kelompoknya.
Presiden terpilih Prancis itu lahir pada 12 Agustus 1954 di wilayah utara Prancis. Hollande sendiri memiliki tiga gelar diploma dari Ecole des Hautes Etudes Commerciales de Paris (HEC), Institut d’Etudes Politiques de Paris (Sciences Po), dan Ecole nationale d’administration (ENA), yang semuanya merupakan universitas elit di Prancis. Dari sini, logika bahwa salah satu kekuatan politik Hollande berasal dari golongan intelektual dapat dijelaskan. Dengan sokongan tersebut—atau paling tidak bahwa kampus-kampus tersebut adalah latar-belakang Hollande—kelompok intelektual Prancis secara vested interest dapat diraih simpatinya.
Hollande pernah menjabat Sekretaris Partai Sosialis pada 1997-2008. Dia pun merupakan walikota Tulle, kota di wilayah tengah Prancis, pada 2001-2008, sekaligus anggota parlemen untuk wilayah Correze. Dengan latar belakang akademis tersebut, dan dengan pencitraan sebagai karakter “polos”, Hollande telah berhasil menonjolkan diri sebagai figur yang “stabil” yang dalam hal ini menjadi bertolak-belakang dengan dengan citra Sarkozy yang “banyak tingkah”. Di sini, sentimen “anti-Sarkozy” memang berperan begitu besar dalam pemenangan Hollande.
Secara peta politik Prancis belakangan ini, Hollande dianggap sebagai wakil dari “kiri-tengah” (kubu sosial-demokrat). Bagi pada buruh, Hollande menjadi harapan bahwa lapangan kerja akan semakin terbuka lebar, berikut dengan kualitas hidup mereka. Oleh para guru di Prancis, yang sebelumnya merasa bahwa timbal-balik atas kerja mereka dengan kondisi materialis dan ekonomi Prancis selama ini, pun Hollande merupakan awal dari harapan menuju perbaikan. Hal yang menjadi penting untuk diperbincangkan adalah mengapa Hollande bisa memenangi Pilpres. Di sinilah kecerdikan Hollande sebagai politisi yang mungkin bisa dibilang “oportunis”, mampu melihat kesempatan. Peningkatan belanja negara yang pada masa Sarkozy adalah “tabu” dalam kebijakan pemerintah, justru menjadi brand yang dikampanyekan Hollande.
Hollande menjanjikan adanya kenaikan gaji sebagai strategi mendapatkan dukungan massa dan kekuatan politik dari Parti de Gauche, pecahan sayap kiri Partai Sosialis, dan mitra koalisinya, yaitu Partai Komunis Prancis. Dalam kaitannya dengan kelompok yang selama masa pemerintahan sebelumnya mengalami kesulitan akses publik dan kelompok minoritas, sikap politik Hollande menawarkan tantangan terhadap agenda besar politik multikulturalisme. Hollande menyatakan bahwa multikulturalisme merupakan ambiguitas yang menampilkan bahwa masyarakat tidak memiliki pijakan dan agenda bersama. Oleh karena itu, Hollande lebih menekankan pada sikap politik dan pemilihan kebijakan yang berdasar para laicite atau sekularisme yang akan memberikan jaminan kebebasan bagi semua orang untuk menjalankan keyakinannya masing-masing.
“Dalam menempatkan posisi berbeda dengan Sarkozy, Hollande secara terbuka mengatakan bahwa dirinya menentang kebijakan keuangan negara yang hanya menampilkan penghematan, dan secara terbuka pula mengatakan akan membuka negosiasi pakta fiskal Eropa yang disepakati akhir Desember lalu.. Satu hal yang membuat kemenangan Hollande adalah adanya kebijakan 75 persen pajak bagi siapa saja yang memiliki pendapatan di atas 1 juta euro per tahun dan peningkatan upah minimum”
Dalam menempatkan posisi berbeda dengan Sarkozy, Hollande secara terbuka mengatakan bahwa dirinya menentang kebijakan keuangan negara yang hanya menampilkan penghematan, dan secara terbuka pula mengatakan akan membuka negosiasi pakta fiskal Eropa yang disepakati akhir Desember lalu guna menambah beberapa klausul baru yang akan memfokuskan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Secara lebih teknis, Hollande menawarkan adanya kebijakan anggaran belanja negara yang berimbang pada 2017 dan akan mengajak berbagai pihak untuk mendukung terbentuknya Badan Suku Bunga Eropa.
Satu hal yang membuat kemenangan Hollande adalah adanya kebijakan 75 persen pajak bagi siapa saja yang memiliki pendapatan di atas 1 juta euro per tahun dan peningkatan upah minimum. Dalam kebijakan luar negeri, Hollande mengatakan akan menarik pasukan Prancis dari Afghanistan hingga akhir tahun ini. Prancis, di bawah Hollande hanya akan mengintervensi urusan negara lain di bawah mandat PBB.
Ketahanan Hollande?
Berbeda dengan kebanyakan perubahan dalam rezim, kemenangan Partai Sosialis dan Hollande di Prancis ini dilakukan dengan Pilpres yang cenderung lancar dan damai. Perubahan dengan melalui proses konstitusional menggambarkan bahwa pilihan rasional dalam pikiran di level publik telah tergambar, simpati terhadap kampanye yang dilakukan pihak sosialis yang menempatkan diri berbeda dengan Sarkozy.
Dalam kampanyenya yang dilakukan di Toulouse, Hollande berjanji untuk menekan tingginya angka pengangguran, termasuk dengan mempekerjakan 60.000 guru dalam masa jabatannya, sejalan dengan penciptaan 150.000 lapangan kerja lain. Hal unik dalam kampanye di Prancis ini adalah, adanya loyalitas dan militansi tinggi dengan adanya kampanye dari rumah ke rumah. Di sini, kandidat yang melakukannya bukan hanya satu. Dengan fakta bahwa taktik kampanye di Prancis begitu militan semacam ini, kemenangan kubu sosialis menunjukkan bahwa memang peta dalam kecenderungan politik publik Prancis telah berubah hingga pada tingkatan individu dengan kesadaran. Sarkozy dengan modal besar, dan di sokong dengan kampanye rumah ke rumah tetap tidak bisa membawanya pada kemenangan di Pilpres.
Memang, dalam hal ini Hollande yang oleh beberapa pihak dinilai kurang mampu berpolitik menunjukkan gaya berpolitiknya yang berbeda. Oportunisme pada masa kampanya dengan menunggangi sentimen “anti-Sarkozy” dilanjutkan pada politik pencitraan dan penunggangan eforia kemenangan kubu “non-Sarkozy” yang meriah pada publik Prancis pasca putaran pertama. Pada kampanye putaran kedua, setelah unggul dari Sarkozy pada putaran pertama dengan 28,6 persen suara, debat publik menjadi sokongan peraihan simpati Hollande, dengan menampilkan sosok argumentatif. Tokoh sayap kanan Marine Le Pen tidak menyatakan keberpihakan politiknya pada kedua kandidat, namun Hollande mendapatkan dukungan dari tokoh partai poros tengah Francois Bayrou, yang menempati posisi kelima saat putaran pertama.
Lalu, hal yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah berapa lama Hollande akan bertahan di tengah eforia “anti-Sarkozy” ini. Cerita tentang partai sosialis, yang tidak pro terhadap pengetatan anggaran, memang bukan cerita baru. Di Australia, Kevin Rudd memenangkan pemilu. Begitu pula kemenangan Barack Obama. Rudd pernah berjanji lebih mengalokasikan anggaran untuk publik, sebagaimana janji Hollande. Hollande akan menghadapi masalah yang sama dengan Rudd dulu. Salah satunya masalah BBM. Bagi lawan Hollande, yaitu Sarkozy, soal BBM ini secara sederhana dihadapi dengan “kalau tidak bisa beli bensin, jangan punya mobil”.
Tetapi, Hollande menjanjikan akan memperbanyak anggaran publik untuk menghadapi masalah ini. Pun dia berjanji akan mengembalikan solidaritas atau fraternite warga Perancis. Dalam bahasa ekonomi politik, dia ingin mengembalikan Keynesianisme. Sederhananya dia ingin menyejahterakan buruh dengan subsidi. Lagi-lagi pertanyaannya, dari mana modal didapat. Tentunya, dalam setiap pilihan politik akan selalu terdapat dukungan dan skeptisisme. Lebih lanjut, Hollande mengatakan ingin mengubah persetujuan tertib fiskal antara negara anggota Uni Eropa. Dalam hal ini, termasuk pada negara yang punya andil besar dalam gerakan ekonomi dan modal finansial serta politik di Uni Eropa, yaitu Jerman. Tanggapan pertama Merkel, kanselir Jerman, adalah ancang-ancang menghadapi kebijakan ini. Merkel menegaskan bahwa tidak akan membantu sepeser pun kalau harus menolak kebijakan ikat pinggang ini. Akan menarik menyimak bagaimana Hollande menghadapi tantangan ini.
Kepemimpinan model Hollande ini oleh banyak pengamat akan membawa dampak yang begitu besar dan luas pada zone euro. Di sisi lain pula, muncul kemudian pandangan yang meragukan penyelesaian krisis ekonomi Eropa yang sekarang tengah melanda. Kemenangan Hollande dengan prediksi negatif pada perbaikan zona euro ini membawa pada reaksi negatif pasar, dengan tanda-tanda awal adanya penurunan euro 0,9 persen ke posisi terendah dalam tiga bulan terakhir terhitung pada momen kemenangan Hollande. Nilai tukar mata uang Uni Eropa ini melemah terhadap 16 mata uang lainnya.
“…adanya tanggapan negatif dari pihak luar Prancis dan pasar secara umum, terlihat bahwa Hollande seakan berdiri pada satu kaki dalam masa depan kemenangannya, yaitu hanya dukungan politik dari publik Prancis yang terdiri dari kelompok buruh, intelektual, minoritas, dan kaum muda itu.. Bila dia menetapkan kenaikan pajak terhadap orang-orang kaya tentu akan muncul resistensi, meski itulah cara untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri agar secara bertahap bisa mengurangi utang”
Dengan kenyataan adanya tanggapan negatif dari pihak luar Prancis dan pasar secara umum, terlihat bahwa Hollande seakan berdiri pada satu kaki dalam masa depan kemenangannya, yaitu hanya dukungan politik dari publik Prancis yang terdiri dari kelompok buruh, intelektual, minoritas, dan kaum muda itu. Dalam konteks antarnegara di Eropa, kemenangan Hollande ini membuka kemungkinan kecenderungan politik kebijakan anti-pengetatan anggaran di Italia, Yunani, dan Jerman. Pasca kemenangan Hollande, Kanselir Angela Merkel dikabarkan mengalami pukulan telak di negara bagian Schleswig-Holstein. Tentu banyak pula pihak yang bersikap skeptis dan mengkhawatirkan perkembangan baru di Prancis dan Uni Eropa pada umumnya. Tidak mudah bagi Hollande, pada satu pihak ingin mengurangi defisit, namun dia juga tidak setuju dengan pengetatan anggaran.
Bila dia menetapkan kenaikan pajak terhadap orang-orang kaya tentu akan muncul resistensi, meski itulah cara untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri agar secara bertahap bisa mengurangi utang. Apa yang dia sebut sebagai anggaran berimbang, bukan lagi anggaran defisit, akan memaksa pemerintah menyesuaikan pengeluarannya dengan kemampuan pendapatannya sehingga jumlah utang bisa ditekan. Dengan janji yang telah diucapkan pada kampanyenya, Hollande harus berfokus pada persoalan dalam negeri. Hal ini adalah konsekuensi dalam memilih kampanye yang menawarkan kebijakan perbaikan kondisi perekonomian yang begitu besar harapan perubahannya. Tentunya, konsekuensi lanjutan dari sikap politik Hollande ini akan dimaklumi bahwa tindakan politik high-profile antarnegara dengan berperan sebagai penolong perekonomian Eropa menjadi tidak dimungkinkan.
Analis politik Bruno Cautres mengatakan bahwa tidak ada yang tahu pasti kapasitas Francois Hollande dalam menghadapi besarnya problema ekonomi, dan dalam mengayomi tugasnya sebagai presiden Prancis. Menurutnya, Hollande mengejutkan banyak orang selama kampanye dengan mengangkat berbagai isu berat dan kemampuan menangani isu-isu pelik. Lebih lanjut, pelaku bisnis Juan Pablo Vargas justru khawatir akan masa depan Prancis dan Eropa, karena tidak ada kepastian apakah Jerman akan meneruskan pendanaan untuk segala-galanya kalau Hollande merubah semua semua strategi keuangan Prancis. Vargas mengatakan bahwa dirinya khawatir Prancis akan diasingkan dari Jerman, dan kalau itu terjadi maka runtuhlah Uni Eropa, yang tentu tidak akan ada bagusnya bagi siapa pun. Ekonom Tomasz Michalski menyebut seruan Hollande tentang pertumbuhan disimpulkan di negara lainnya di Eropa sebagai peningkatan protes umum terhadap langkah penghematan ekonomi. Dikatakannya bahwa Hollande tidak akan mau merundingkan kembali persetujuan tentang tertib fiskal, karena dia ingin merubahnya dan menyimpulkannya dengan sebuah persetujuan tentang pertumbuhan.
Hollande dan Pola Politik
Kemenangan Hollande ini menarik bukan hanya dari karakter probadinya dan pola kampanye yang digunakan sehingga sanggup memenangi Pilpres Prancis lalu. Justru, respon dan dampak yang akan muncul dengan kasus kemenangan Partai Sosialis dan arah kebijakan Hollande inilah yang menarik untuk diperhatikan. Bagaimanapun sebuah perubahan adalah sebuah ancaman bagi sistem yang sudah ada, dan sekaligus merupakan harapan adanya kondisi yang lebih baik bagi sebagian pihak yang lainnya. Di Asia, adanya perbaikan dalam kondisi krisis ekonomi Eropa sangat besar dampaknya, mengingat nilai perdagangan yang sangat besar pula dalam hubungan Eropa-Asia. Bagi Indonesia, krisis ekonomi Eropa akan menimbulkan penurunan permintaan ekspor.
Secara rasional dengan mempertimbangkan tren politik yang ada di Eropa, diragukan memang untuk terbentuk pemerintahan yang pro terhadap anggaran publik. Di sini, yang tampak adalah adanya keinginan untuk melakukan kebijakan radikal, tetapi tidak tersedianya dana untuk melakukan hal itu di sisi lain. Alih-alih akan memunculkan sosialisme, yang lebih jelas akan muncul kemudian adalah sikap pragmatik. Dalam kebijakan model Hollande ini, dalam sejarah, yang dapat dibilang sukses melakukannya adalah Lula Da Silva di Brazil. Dia dapat mempertahankan simpati publik, tetapi tetap bisa menjaga hubungan baik dengan Amerika di sisi lain sekaligus.
“Terkadang, istilah media mainstream seringkali dengan mudah menyebut sosialisme untuk mereka yang menjadi ‘musuh’ Amerika. Dalam hal ini, untuk mengidentifikasi sosialisme ada 3 kata kunci : equality, justice, dan public. Secara kasar, asal memenuhi tiga kategori ini akan disebut sosialis. Kita akan melihat bagaimana kebijakan Hollande akan memenuhi tiga kategori ini. Idealnya, memang akan sulit untuk menggunakan terminologi sosialisme. Akan lebih mudah untuk menggunakan terminologi pro publik atau tidak”.
Mungkin, terburu-buru untuk mengatakan Hollande ini sosialis atau tidak. Siapapun belum tahu bagaimana langkahnya saat menjabat nanti, apa kebijakannya benar-benar pro anggaran publik atau tidak. Apalagi Hollande adalah bekas birokrat. Terkadang, istilah media mainstream seringkali dengan mudah menyebut sosialisme untuk mereka yang menjadi “musuh” Amerika. Dalam hal ini, untuk mengidentifikasi sosialisme ada 3 kata kunci : equality, justice, dan public. Secara kasar, asal memenuhi tiga kategori ini akan disebut sosialis. Kita akan melihat bagaimana kebijakan Hollande akan memenuhi tiga kategori ini. Idealnya, memang akan sulit untuk menggunakan terminologi sosialisme. Akan lebih mudah untuk menggunakan terminologi pro publik atau tidak. Jika Hollande bisa mempertahankan kekuatan politik yang pro anggaran publik, jalan Hollande mungkin akan lebih mudah.
Dalam hal ini, ada 7 agenda kebijakan yang akan dilakukan/dihadapi Hollande. Pertama, rencana negosiasi pakta fiskal zona euro versus agenda Merkel dan mantan Presiden Nicolas Sarkozy yang telah berperan dalam penyusunan perjanjian fiskal zona euro untuk mengekang pengeluaran pemerintah melebihi anggaran. Kedua, pemotongan gaji presiden dan menteri hingga 30 persen. Ketiga, mematok harga bahan bakar minyak. Keempat, kenaikan pajak. Kelima, penurunan usia pensiun. Sebelumnya, Sarkozy pernah menaikkan usia pensiun dari 60 menuju 62. Keenam, keluar dari Afganistan. Ketujuh, legalisasi pernikahan gay.
Bagaimanapun, kebijakan selalu menuai konsekuensi dengan sifatnya yang selalu menguntungkan sekaligus merugikan sebagian kelompok yang berbeda. Ke depannya, kita tunggu saja.
Oleh: Sayfa Auliya Achidsti