Ekonomi (multi)nasional dan Kuli-Kuli (multi)nasional
Penjajahan Belanda serta bentuk-bentuk kolonialismenya seringkali menjadi sasaran kesalahan tiap kali terjadi pembahasan mengenai terpuruknya ekonomi Indonesia selama beberapa dekade di bawah kepemimpinan 6 presiden yang berbeda. Banyak orang kemudian melabeli kondisi ekonomi pasca-kemerdekaan ini dengan berbagai macam sebutan mulai dari ekonomi imperialis, ekonomi kapitalis ataupun ekonomi neoliberalis. Namun, pelabelan atas kondisi ekonomi Indonesia dengan sebutan ekonomi khas kolonial merupakan sebutan yang cukup baru. Walaupun kata kolonial sendiri sebenarnya telah terekat sangat lama dalam sejarah kelam negara-negara nusantara –yang kini dikenal sebagai Indonesia-. Awan Sentosa, seorang peneliti di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada adalah salah seorang akademisi yang lebih memilih istilah tersebut dalam memaknai perjalanan ekonomi Indonesia pasca kemerdekaan. Tentunya, pemilihan istilah ini berlandas pada indikator-indikator tertentu, yang diyakini oleh Awan sebagai ciri utama yang memberi karakter pada perekonomian nasional. Kehadiran Awan Sentosa sebagai pemateri pada diskusi mingguan MAP Corner yang diselenggarakan pada hari selasa, 21 Juni 2011 di lobi MAP UGM dengan tajuk “Dominasi Asing di Dalam Perekonomian Indonesia” merupakan kesempatan bagi banyak pegiat diskusi untuk lebih mengenali karakter perekonomian nasional yang di klaim Awan Sentosa sebagai perekonomian kolonial tersebut.
Dalam mengawali diskusi, Awan Sentosa tidak langsung menguraikan indikator-indikator yang diyakini sebagai basis bagi argumennya, melainkan membawa ingatan para pegiat diskusi mengenai forum ekonomi global yang dilaksanakan di Indonesia pada tengah bulan ini. World Economic Forum adalah forum ekonomi global yang mungkin hanya menjadi berita “sekedar lewat” bagi banyak masyarakat Indonesia. Tanpa mengetahui bahwa forum ekonomi ini adalah core node bagi terciptanya sebagian besar perjanjian-perjanjian kerjasama ekonomi internasional, selain sebagai tempat untuk membicarakan isu sistem keuangan dunia, investasi dan perdagangan, serta isu terkini tentang krisis pangan dan energi. Begitu pentingnya peran forum ini, politisi handal dunia bahkan beberapa kepala negara turut hadir, menyemarakkan kegiatan dimana para CEO perusahaan dunia membahas secara ad hoc peluang kerjasama ekonomi dan bisnis. Tidak sedikit pejabat yang mengungkap kebanggaan mereka atas penyelenggaraan World Economic Forum di Indonesia. Bagi mereka, forum ini adalah representasi dari dilihatnya Indonesia sebagai negara yang paling potensial untuk dijadikan sasaran investasi asing
Sayangnya, akselerasi ekonomi dan peningkatan PDB (produk domestik bruto) berdiri sendiri sebagai tujuan utama pembangunan ekonomi Indonesia selama beberapa dekade ini. Dan hal ini tercermin di dalam agenda-agenda perjanjian bisnis dan ekonomi internasional yang dibuat di dalam forum internasional seperti World Economi Forum. Penegasian atas kepentingan nasional yang terangkum dengan jelas di dalam UUD 1945 dilakukan dengan serangkaian manipulasi regulasi dan undang-undang. Seharusnya penjelasan UUD 1945 mengenai ekonomi kerakyatan dan demokrasi ekonomi berfungsi sebagai pegangan bagi para pengambil kebijakan untuk membangun konstruksi perekonomian nasional yang berkeadilan dan memperioritaskan kesejahteraan. Akselerasi ekonomi yang hanya dimaknai secara sempit sebagai peningkatan PDB melalui cara instan seperti ekstraksi sumber daya alam dibawah kepemilikan asing dengan mengabaikan keberlanjutan ekosistem hanya akan membawa perekonomian Indonesia pada akhir kehancuran. Tentunya makna ekonomi seharusnya berada pada koridor kesejahteraan dimana ekonomi adalah alat bagi manusia untuk meninggikan derajat melalui kemandiran dan kedaulatan.
Indonesia: Pemain penting dalam eksportir bahan mentah
Deindustrialisasi di Indonesia dicirikan dengan semakin menurunnya peran industri dalam perekonomian nasional. Kondisi ini membuat para policy maker hanya menyandarkan peningkatan devisa dan PDB Indonesia pada ekspor bahan mentah yang semakin meningkat. Dependensi ekspor bahan mentah hanya akan mengakibatkan fluktuasi penerimaan devisa, dikarenakan 1) labilnya permintaan karena sangat ditentukan oleh keadaan ekonomi suatu negara dan; 2) menurunnya terms of trade. Posisi Indonesia sebagai eksportir bahan mentah tentu memaksa beberapa pihak kembali berpikir mengenai kemampuan Indonesia untuk mandiri. Banyak pihak yang berkomentar bahwa ketersediaan bahan mentah yang melimpah, jumlah tenaga kerja yang besar dan sumber daya manusia yang cukup berkualitas, cukup membuat Indonesia tampil secara mandiri sebagai aktor ekonomi yang diperhitungkan dalam peta perekonomian global. Namun, pertanyaan yang masih tersisa kemudian, apakah ketiga faktor tersebut memang cukup mampu membuat Indonesia mandiri? Perlu digarisbawahi bahwa kekuatan finansial merupakan salah satu instrumen yang berperan penting dalam menentukan kemandirian dan kedaulatan ekonomi suatu negara. Mengigat bahwa Indonesia belum mampu bermain dengan baik dalam kompleksitas politik negosiasi baik pada lembaga bantuan keuangan internasional seperti World Bank (WB), ADB (Asian Development Bank) dan IMF (International Monetary Fund) ataupun pada Organisasi Perdagangan Dunia, WTO maka keterpurukan Indonesia memang sulit untuk dihindari.
Tingginya jumlah angka utang luar negeri semakin membuat ekonomi Indonesia menjadi terbelakang. Transaksi utang luar negeri memaksa Indonesia untuk terus melaksanakan kewajiban pembayaran pinjaman luar negerinya meskipun sumber keuangan negara terbatas. Hal ini menjadi bukti bahwa Indonesia tengah berada dalam posisi keterjebakan utang (debt trap) yang sangat parah. Perlu dipahami bahwa sepertiga nilai APBN Indonesia digunakan untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang dan bukan digunakan untuk kepentingan rakyat. Akibatnya, terjadi kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan ekonomi. Memang benar pada saat ini proporsi utang terhadap PDB mengalami penurunan, tetapi yang perlu dipahami adalah PDB Indonesia memiliki angka disparitas yang sangat tinggi. Kue pertumbuhan ekonomi yang diagungkan oleh mahzab neoklasik itu hanya dinikmati oleh segelintir pihak tanpa pernah dirasakan oleh banyak pihak yang lain.
Terjeratnya Indonesia pada utang-utang luar negeri dengan angka yang cukup fantastis mengakibatkan Indonesia berada dalam posisi tawar yang cukup lemah ketika berhadapan dengan raksasa-raksasa multinasional. Melalui penjeratan utang inilah maka intervensi asing memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan Indonesia baik dalam hal ekonomi, politik dan sosial. Lembaga pemberi pinjaman internasional kemudian dianggap sebagai kepanjangan tangan negara-negara maju yang berperan sebagai pemegang saham utama lembaga tersebut untuk mengintervensi negara-negara pengutang.
Penetrasi finansial yang dilancarkan oleh lembaga pemberi bantuan internasional dijalankan dalam beberapa kebijakan moneter dan finansial antara lain, Pertama, melalui kebijakan anggaran ketat, selain untuk mengendalikan stabilitas makro dan menekan inflasi, juga dimaksudkan agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang. Kebijakan ini juga termasuk mengambil langkah untuk menghapus subsidi pendidikan, kesehatan, perumahan, usaha kecil dan menengah (UKM), agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang. Kedua, liberalisasi keuangan untuk memperlancar transaksi global dan menjamin modal dan dividen setiap saat dapat keluar dari negara berkembang. Ketiga, liberalisasi industri dan perdagangan memudahkan negara-negara maju mengekspor barang dan jasa ke negara berkembang. Dan Keempat, privatisasi atau penjualan aset-aset milik negara dimaksudkan agar peranan negara di dalam ekonomi berkurang sekecil mungkin.
Melalui sentuhan utang inilah maka negara-negara pengutang seperti Indonesia kemudian mengalami kemunduran. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan big push theory (utang yang digunakan untuk membiayai pembangunan) pada kenyataannya menyebabkan keterbelakangan negara pengutang. Strategi dan kebijakan ekonomi yang dibuat kemudian selalu menempatkan Indonesia pada posisi subordinat dari kepentingan asing. Lalu apakah utang luar negeri perlu sedemikian dihindari? Sebenarnya, tidak ada yang salah jika kita berutang dan menggunakan utang tersebut untuk pembangunan ekonomi produktif dan kesejahteraan rakyat. Namun akan menjadi pengecualian jika utang tersebut dibebankan kepada negara pengutang beserta dengan pertimbangan politik yang bias dan persyaratan yang memberatkan.
Indonesia: Tempat untuk memutar kelebihan kapital negara-negara industri maju
Orde baru melancarkan propaganda bahwa intergrasi ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia, melalui kerja sama dengan IMF, WB dan investasi asing adalah satu-satunya cara membangun Indonesia. Secara eksternal, utang luar negeri meningkatkan ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada modal asing. Meningkatnya peran asing dalam pasar modal Indonesia diindikasikan dengan pemodal asing yang terbilang cukup aktif di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada dasarnya, derasnya aliran modal asing yang masuk ke dalam ekonomi Indonesia telah menjadi fenomena umum selama dua dekade terakhir. Dalam hal ini, Indonesia menjanjikan rate of return yang tinggi kepada para investor. Bayangan atas expected future value inilah yang kemudian menjadi pemicu bagi para investor negara maju untuk menanamkan modalnya di pasar modal Indonesia. Arus modal asing memang dapat membawa keuntungan bagi negara yang dituju seperti menciptakan investasi asing berbasis non utang yang pada gilirannya akan meningkatkan tabungan domestik, mengurangi cost of capital dan meningkatkan harga saham dan price earning ratio suatu perusahaan. Namun, derasnya arus modal asing justru menjadikan Indonesia terlalu menggantungkan perkembangan ekonominya pada negara-negara maju sebagai investor utama. Dalam konteks ini, policy maker menempatkan perekonomian Indonesia dalam posisi yang sangat rentan mengingat bahwa ekonomi domestik tentu bersifat reaktif terhadap dinamika dan gejolak perekonomian negara asal investor. Sedangkan ketergantungan Indonesia merupakan wujud dari marginalisasi kedaulatan Indonesia atas kebijakan ekonomi domestiknya seiring dengan tumbuhnya dominasi asing. Ketergantungan ini menciptakan inflexibility pemerintah dalam memanfaatkan potensinya untuk mendorong perekonomian.
Salah satu cara untuk melihat pemutaran kelebihan kapital asing juga dapat diikuti dari banyaknya jumlah bank di Indonesia yang sebagian atau keseluruhan sahamnya dimiliki pihak asing. Data Bank Indonesia (BI) menyebutkan 5 dari 10 bank terbesar di Indonesia dimiliki asing. Sepuluh bank terbesar itu kini menguasai pangsa pasar hingga 66 persen. Sementara itu, empat bank terbesar lainnya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sisanya adalah bank swasta nasional. Aset kelompok bank asing yang semakin mendominasi, tidak terlepas dari syarat-syarat regulasi dalam mendirikan bank di Indonesia yang relatif mudah. Dominasi ini sendiri memarginalisasi peran negara dalam menyusun strategi, undang-undang dan kebijakan ekonomi karena negara asing akan terus mendikte gerak pemerintah jika ketiga hal tersebut bertolak belakang dengan kepentingan asing. Dengan kata lain, dominasi ini menganggu independensi sebuah negara. Sebagai contoh, bank-bank di Indonesia memiliki kapital yang menganggur namun bank-bank ini tidak mampu memobilisasi kapital domestik dikarenakan kebijakan moneter Indonesia berada di bawah kendali negara asing yang melarang pemobilisasian kapital nasional tersebut
Peningkatan modal asing dalam pasar modal Indonesia berimbas pada kebijakan ekonomi yang menguntungkan agen-agen oligarki kapital asing. Keuntungan yang berasal dari excess nilai tenaga kerja dan sumber daya alam nasional semakin banyak dibawa ke luar negeri padahal mekanisme pasar bebas semacam ini hanya membuka jalan yang lebih luas bagi imperium global. Penanaman modal asing kemudian tidak akan membantu perekonomian nasional namun sebaliknya justru akan memperkuat kedudukan kaum oligarki kapital asing di dalam Negara.
Indonesia: pasar potensial bagi pemasaran produk perusahaan multinasional
Secara eksternal, utang luar negeri juga meningkatkan ketergantungan negara-negara dunia ketiga pada pasar luar negeri. Jika dilihat melalui demografi penduduk, maka Indonesia bisa dikategorikan sebagai negara yang sangat berpotensi menjadi pasar sasaran bagi negara-negara asing untuk mengekspor produknya. Di sisi lain, investasi asing yang menguasai sektor-sektor perekonomian Indonesia kemudian juga menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi pemasaran produknya. Serbuan produk-produk asing yang memenuhi pasar dalam negeri diperparah dengan sikap masyarakat Indonesia yang masih import minded. Konstruk budaya yang digencarkan oleh media secara terus menerus membuat masyarakat mengikuti dan menjadi konsumen tetap produk asing. Dengan demikian, tidak hanya sumber daya alam dan pasar modal yang berhasil dikuasai oleh pihak asing, consument market Indonesia pun kini juga “dijajah” dikarenakan perusahaan dan pengusaha lokal tidak bisa bersaing akibat produknya kurang diserap pasar. Dengan cara demikan maka pola konsumsi nasional akan dibentuk oleh kebebasan kekuatan pasar internasional sehingga tidak lagi menempatkan prioritas pengutamaan kepentingan nasional. Penghentian pola-pola subsidi ekonomi rakyat merupakan penegasian terhadap upaya pembangunan industri nasional dan kewirausahaan berbasis ekonomi kerakyatan. Hal ini terjadi seiring dengan hilangnya kontrol dan akses terhadap kekayaan alam dan struktur perekonomian, kemudian sejumlah industri lokal pun berguguran dan mati.
Indonesia: Negara Supplier Buruh
Indonesia yang sudah terjebak dengan hegemoni oligarki kapital asing semakin sulit untuk membebaskan diri. Pandangan paradigma trickle down effect yang meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi melalui investasi asing dapat membuka lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja Indonesia tidak menemukan geist-nya pada level praksis. Investasi asing memang menciptakan lapangan pekerjaan tetapi rasio dari jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia dengan jumlah profit yang didapatkan oleh oligarki kapital asing tentu tidak sebanding. Belum lagi ditambah dengan fakta bahwa sebagian besar jumlah pekerjaan yang tersedia hanya diperuntukkan pada level menengah ke bawah.
Kegagalan Indonesia dalam mengolah sumber daya alamnya melalui industri strategis terencana serta diabaikannya pembangunan pertanian yang modern menyebabkan tingginya jumlah pengangguran di Indonesia. Pengangguran yang sebagian besar unskilled, ada yang memilih untuk berjuang di sektor informal dan ada yang tidak memiliki pilihan lagi selain mengkomodifikasi tenaganya sebagai buruh murah di perusahan-perusahaan multinasional. Penghisapan ini merupakan strategi negara-negara maju untuk menciptakan efisiensi biaya produksi dengan menggunakan tenaga kerja yang murah sehingga tidak perlu menggunakan tenaga kerja terampil dan semi-terampil di negerinya yang berupah tinggi. Di sisi lain, ekonomi nasional yang timpang, tidak adil, eksploitatif menyebabkan banyak pengangguran memilih bekerja di luar negeri sebagai buruh dengan harapan mendapatkan masa depan yang lebih baik. Dikirimnya jutaan buruh migran ke luar negeri tidak dilengkapi dengan regulasi ketat yang mampu melindungi hak para buruh. Substansi kebijakan tentang penempatan tenaga kerja ke luar negeri pun rupanya lebih mengatur tentang masalah teknis operasional, teknis administratif serta target pemenuhan devisa ketimbang mengatur prinsip-prinsip kemanusiaan. Ketiadaan instrumen legal bagi buruh migran Indonesia menjadi ironi jika dihadapkan pada realitas kerentanan yang dihadapi buruh migran Indonesia saat ini. Terutama terdapat fakta bahwa jumlah buruh migran Indonesia yang sebagian besar perempuan sangat rentan terhadap tindak kekerasan yang berbasis pada diskriminasi gender karena sebagian besar buruh migran perempuan ini berada dalam jarring konstruksi masyarakat yang patriarkis. Pemaknaan buruh migran hanya sebagai aset dan bukan manusia adalah salah satu ciri dari ekonomi Indonesia yang masih kolonial.
Legal Drafting yang Transparan dan Adil serta Redesign Pendidikan: Kunci untuk Memutus Lingkaran Setan?
Untuk menganalisa bentuk perekonomian Indonesia pada masa ini, kita perlu menarik garis historis pertumbuhan ekonomi Indonesia di era pra-kemerdekaan yang memang bersifat kolonial. Seperti kalimat Pearl Buck yang sederhana “if you want to understand today, you have to search yesterday” maka penelusuran jejak rekam sejarah ekonomi Indonesia pra-kemerdekaan tentunya akan memberikan kontribusi penting dalam studi ini. Ciri ekonomi kolonial Indonesia, sedikit banyak memang merupakan warisan dari perekonomian kolonial Hindia Belanda.
Organisasi yang datang ke negara-negara nusantara (sekarang dikenal sebagai Indonesia) adalah organisasi dagang dimana para pemegang sahamnya berasal dari Belanda. Sejak awal kedatangan Belanda di Indonesia memang berniat untuk melakukan penjajahan ekonomi walaupun pada akhirnya menggunakan penjajahan fisik sebagai instrumen untuk mencapai maximization profit yang diinginkan. Mekanisme sistem yang lebih kapitalis-liberal ditandai dengan adanya sistem tanam paksa. Lewat keputusan yang sewenang-wenang tapi secara ekonomi logis, segala tindakan yang berkaitan dengan sistem ini menghilangkan semua yang tersisa pada sistem administrasi masyarakat lokal dan berkompromi dengan struktur adat istiadat desa. Pada masa itu sistem tanam paksa merupakan sistem yang kongkrit, kompherensif dan intensif. Sistem tanam paksa mampu mentransformasikan desa Jawa menjadi unit administratif birokrasi dengan satu kepentingan untuk mengikat penduduknya membayar kewajiban-kewajiban dan hak-hak kolektif kepada pemerintah Hindia Belanda.
Ekonomi Indonesia sepenuhnya belum pantas disebut sebagai ekonomi yang merdeka. Hanya pada beberapa masa dari kepemimpinan Soekarno, secara sepihak ia mampu membatalkan perjanjian KMB (konferensi meja bundar) dimana salah satu isinya Belanda mau memberikan kemerdekaan bagi Indonesia dengan syarat Indonesia harus membayar biaya penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu pula, Soekarno membentuk pokok ekonomi kerakyatan yang dirangkum dalam UUD 1945, dimana ekonomi kerakyatan itu dilaksanakan melalui koperasi dan nasionalisasi perusahaan asing. Pada akhirnya proses pembentukan ekonomi kerakyatan ini tidak mampu berjalan secara sempurna. Pembangunan ekonomi kerakyatan dirusak oleh konflik politik internal yang diwarnai dengan kepentingan pribadi dan golongan. Dan hal ini masih diperburuk dengan kenyataan bahwa priyayi dan kelas menengah yang menjadi kaki tangan Belanda dan diuntungkan oleh penjajahan Belanda masih banyak menduduki birokrasi level atas atau bergabung dalam partai politik nasional. Maka dari itu ciri ekonomi kolonial pada masa Hindia Belanda tidak bisa selamanya hilang di era Soekarno.
Di era Soeharto, globalisasi ekonomi yang dikendalikan kaum fundamentalis pasar semakin merusak sistem tatanan ekonomi nasional. Dengan alasan rasionalisme pembangunan maka oligarki militer-kapitalis berkolaborasi bersama ‘Mafia Berkeley’ yang menduduki posisi-posisi penting di dalam struktur ekonomi Indonesia berhasil mengembalikan perekonomian berkarater kolonial. Utang yang semakin tinggi -beberapa puluh persen diantaranya dikorupsi oleh Soeharto dan lingkaran kecil klientelenya sehinga muncul anggapan utang itu utang “najis” (odious debt) yang tidak pantas dibayar- membuat Indonesia terjerat pada perjanjian bisnis dan ekonomi internasional yang menyesatkan. Negara pengutang seperti Indonesia yang semakin bangkrut akan bersikap semakin tunduk kepada negara kreditor. Secara tidak langsung, utang dianggap bertanggung jawab atas lahirnya rezim-rezim diktator, kerusakan lingkungan dan meningkatnya tekanan migrasi. Lewat subordinasi secara ekonomi politik ini maka negara-negara maju semakin mudah untuk menguasai akses sumber daya alam dan pasar. Semakin lama perekonomian Indonesia semakin memiliki ketergantungan politik-ekonomi kepada korporat dan pemerintah negara maju.
Kebijakan ekonomi pasca reformasi pun tidak banyak berubah mengingat bahwa bangunan perekonomian Indonesia sejak era reformasi berada di atas dominasi perekonomian asing dan dalam suasana keterjajahan ekonomi. Disinilah kebijakan perekonomian pasca reformasi menjadi seirama dengan arus utama ekonomi global. Dengan demikian, ciri perekonomian di era ini tidak begitu banyak berubah bila dibandingkan dengan perekonomian pada era pra-kemerdekaan. Indonesia tidak pernah beranjak pada tahap deindustrialisasi dimana ekspor masih bersandar pada bahan mentah; Indonesia masih menjadi tempat pemutar kelebihan kapital asing; Perekonomian Indonesia hanya menjadi pasar bagi kepentingan perusahaan multinasional dan; Indonesia masih menjadi negara penyedia buruh.
Dari penjelasan di atas bisa diketahui bahwa konstruk ekonomi kolonial Indonesia merupakan suatu bangunan yang sengaja dibentuk demikian dan bukan merupakan suatu kondisi yang muncul secara alamiah. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam reformasi ekonomi untuk menyelesaikan krisis ekonomi antara lain melalui koridor hukum dan pendidikan.
Hukum adalah payung dari segala kebijakan dan strategi. Melalui undang-undang maka hukum memberikan kepastian mutlak untuk melindungi ekonomi Indonesia yang seharusnya bersifat kerakyatan. Namun selama ini, penjelasan di dalam UUD 1945 maknanya dikerdilkan, tidak ada lagi ekonomi kerakyatan dan demokrasi ekonomi dimana kemakmuran menjadi milik bersama dan tidak ada oligarki yang menguasai alat-alat produksi. Penegasian atas isi dari UUD 1945 melalui privatisasi perusahaan nasional, penghapusan subsidi, deregulasi dan pasar bebas merupakan akibat dari munculnya judicial corruption. Selama ini judicial process yang membahas struktur perekonomian selalu diwarnai dengan korupsi, suap dan ancaman yang dilancarkan oleh agen-agen kapitalis asing. Maka tidak mengherankan pembuatan undang-undang ekonomi selalu merepresentasikan kepentingan negara maju dan perusahaan-perusahaan multinasionalnya. Judicial corruption ini adalah awal dimana ekonomi Indonesia mulai digerogoti kepentingan asing.
Pendidikan pun tidak mampu menjadi gelombang kuat yang menentang hegemoni ini. Pendidikan ekonomi dicekoki dengan nilai-nilai corak neoklasik. Pendidikan mengenai pembangunan ekonomi kerakyatan dan demokrasi ekonomi serta filsafat-filsafat ekonomi telah makin ditinggalkan. Institusi pendidikan kemudian hanya berfungsi sebagai mesin yang memproduksi kelas pekerja yang lemah tanpa terinspirasi untuk melawan hegemoni para majikan asing. Di sisi lain, liberalisasi pendidikan mengakibatkan pendidikan semakin sulit untuk diakses karena biayanya yang semakin mahal. Sebagian besar masyarakat tidak mampu melawan komersialisasi pendidikan ini. Cita-cita untuk memeratakan pendidikan berkualitas bagi seluruh masyarakat semakin jauh untuk dicapai. Dengan demikian, rakyat kecil yang sudah menjadi korban dari ketimpangan ekonomi kini akan mewarisi kemiskinan karena tidak berdayanya mereka dalam pendidikan. Upaya untuk melakukan perubahan perlu didukung dengan koreksi mendasar dalam dunia pendidikan.
Hanya melalui tindakan radikal untuk mereformasi judicial process melalui legal drafting dan reformasi pendidikan yang menanamkan nila-nilai kesadaran dan ekonomi kerakyatan maka reformasi ekonomi dapat berjalan. Tanpa menindaklanjuti kedua poin kunci ini, kiranya keterpurukan ekonomi Indonesia akan terus berlanjut. Apabila keadaan demikian terjadi, maka jangan salahkan pengamat seperti Awan Santosa jika meyakini kolonialisme terhadap ekonomi Indonesia yang secara ironis dibantu sebagian saudara sebangsanya sendiri, ternyata masih berjalan hingga detik ini.
Oleh: Indri Dwi Apriliyanti