Agamawan Jangan Memunggungi Nasib Umat
Setiap agama dekat dengan teologi pembebasan, pernyataan inilah yang disampaikan Roy Murtadho dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP pada selasa 7 Juni 2016 yang lalu. Dalam Islam, konsep pembebasan sendiri dimulai sejak zaman Rasulullah yaitu ketika Islam berusaha mengangkat hak-hak kaum termarginalkan seperti kaum budak dan perempuan. Bahkan ketika melafadkan Allahu Akbar, umat Islam mengakui dirinya sebagai makhluk kecil yang butuh bantuan. Tidak hanya dalam agama Islam, agama Budha yang diajarkan Sidharta Gautama memiliki sejarah membela golongan tertindas. Sidharta Gautama yang dulunya seorang pangeran rela meninggalkan istananya untuk membantu rakyat miskin. Hal yang tidak jauh berbeda diungkapkan Guru Besar UKDW, Banawiratma, dalam konteks agama Nasrani. Dia menjelaskan dengan contoh Lazarus yang miskin berada dipangkuan Bapa Abraham. Artinya Allah berkenan dan berdiri pada masyarakat miskin.
Banawiratma menjelaskan bahwa teologi pembebasan sendiri dapat diartikan sebagai teologi yang menghubungkan antara ketuhanan dengan ruang lingkup sosial. Agama sebagai paham ketuhanan tidak hanya dikaitkan dengan kegiatan spiritual semata, namun juga dikaitkan dengan kondisi riil sosial yang ada pada masyarakat. Paham yang dipopulerkan oleh Gustavo Gutierrez tersebut juga erat kaitannya dengan ajaran marxisme. Adanya perbedaan dan eksploitasi kelas dalam perspektif Marxis mendorong perlunya upaya pembebasan kelas bawah. Argumen tersebut sesuai dengan teologi pembebasan yang berpihak pada pihak miskin yang terus ditindas.
Kedekatan historis agama dan teologi pembebasan sayangnya tidak berjalan berdampingan dalam prakteknya. Para pemuka agama sering kali menyampaikan khutbah tanpa melihat kondisi dari umatnya. Banawiratma menganalogikannya dengan cerita lazarus dan bapa Abraham. Lazarus yang miskin diharuskan bersabar karena kebahagiaan akan datang ketika sudah dipangkuan bapa Abraham. Khutbah seperti ini tidak mengandung unsur teologi pembebasan sama sekali didalamnya karena pasrah akan nasib kehidupan duniawi. Gus Roy memberikan analogi serupa, yaitu ketika seorang ustad yang hanya menganjurkan membaca surat al waqi’ah kepada umat yang terjerat hutang kepada rentenir. Anjuran tersebut sama sekali tidak melihat kondisi nyata umat serta tidak memberikan solusi konkrit.
Kritik pedas juga disampaikan Banawiratma kepada umat yang sering melakukan ritual meriah tetapi tidak melihat kesalehan sosial. Tanpa memperhatikan kondisi sosial, agama justru dapat dimaknai anti pembebasan. Namun Banawiratma juga berpendapat bahwa agama dapat berjalan secara utuh untuk membebaskan manusia seutuhnya. Syaratnya, pembebasan secara batin yang dilakukan dengan ritual/mistis juga harus diiringi pembebasan secara lahir yaitu dengan memperjuangkan hak kaum miskin.
Konteks pembebasan yang terjadi di Indonesia menurut Gus Roy dapat dibedakan menjadi 2 yaitu sebagai diskursus serta sebagai praksis. Teologi pembebasan sebagai diskursus telah berjalan pasca diperkenalkan di Amerika Latin di era 1970an. Perkembangan teologi pembebasan sebagai diskursus, pengetahuan, dan pengalaman intelektual telah ada seiringan dengan pembaruan Islam pada masa itu. Namun sayangnya diskursus ini tidak diikuti dengan prakteknya. Agenda sosial yang berdasarkan pada teologi pembebasan tidak berjalan.
Tidak tumbuhnya agenda sosial sebagai pembebasan masyarakat tertindas menjadi masalah utama belakangan ini. Adanya gerakan-gerakan yang berusaha memperjuangkan kepentingan masyarakat miskin mendapatkan perlawanan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam yang damai. Santri-santri diharapkan hanya fokus pada kegiatan spiritual menghiraukan kegiatan sosial. Jika ada santri yang ikut memperjuangkan nasib petani atau buruh, justru dianggap menyimpang. Padahal jika sejarah ditelisik lebih jauh, Nabi Muhammad menjadi pelopor pembebasan pada masanya. Wahyu yang Rasulullah sampaikan diikuti gerakan nyata yang mendukung adanya perubahan. Gus Roy bahkan dengan berseloroh mengingatkan: ‘Nabi tidak hanya duduk-duduk dan membaca di rumah setelah menerima Wahyu dari Allah. Nabi mempraktekkan Wahyu itu dalam konteks sosial, termasuk bahkan jika harus melawan penguasa setempat’.
Terkait hal ini, Gus Roy mengajak semua pihak terutama ilmuan dan agamawan untuk tidak memunggungi masyarakatnya. Artinya kita diharapkan mau merasakan kondisi yang kaum miskin maupun kelas bawah alami. Atau setidaknya mau mendengarkan dan berusaha membantu semampunya. Kita juga dituntut untuk mempraktekan gerakan sosial dalam kehidupan nyata, tidak hanya sebatas argumen dan debat teori saja. Solusi yang tidak jauh berbeda dikemukakan Banawiratma. Ia melihat perlu adanya diskusi seperti yang diadakan MAPCorner-MKPKlub ini untuk membuka kesadaran berbagai pihak. Harapannya semakin luas diskusi mengenai agenda pembebasan akan menumbuhkan gerakan sosial yang berpihak pada rakyat kecil.
Poin terakhir yang perlu digarisbawahi dalam melakukan perjuangan pembebasan masyarakat tertindas adalah teologi pembebasan tidak mengharap kemenangan sesaat tetapi jalan panjang. Artinya proses perjuangan dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Gerakan kiri yang dimulai dari bawah memang harus dipupuk terus menerus karena masih lemah jika dibandingkan dengan kapitalis yang sangat kuat. Kasus jatuhnya Presiden Marcos dari Filipina tahun 1986 merupakan contohnya. Walaupun proses memerlukan jangka waktu yang lama tetapi suatu saat akan berhasil. Karena itu teman-teman yang berjuang di jalan pembebasan diharapkan konsisten hingga penindasan dan diskriminasi dapat diakhiri.