MAP Corner 21 Februari (jpg) tema ancaman pasal karet terhadap demokrasi indonesia
Akhir-akhir ini aksi saling lapor melapor semakin marak dipertontonkan dengan motif pelaporan yang berbeda-beda. Mulai dari fitnah, pencemaran nama baik, hingga penistaan agama. Kasus Ahok kemudian Rizieq Shihab menjadi salah satu kasus lapor melapor yang sempat marak diperbincangkan selain kasus yang juga menimpa para aktivis dan masyarakat bawah. Sifat multi interpretasi dan gampang disalahgunakan membuat pasal karet dalam UU ITE dan UU Penodaan Agama itu memiliki potensi seperti UU Subversif pada masa kolonial dan orba. Dimana delik subversif yang digunakan untuk meredam kritik dan mengkriminalisasi lawan politik.
Sampai tahun 2016 saja, sekitar 2.700 laporan masuk ke Kepolisian terkait dengan pelanggaran Undang-Undang Informasi, Transaksi, dan Elektronik (UU ITE). Pelanggaran itu meliputi pasal 27 tentang penghinaan, fitnah dan ujaran kebencian; Pasal 28 tentang kebencian SARA dan Pasal 29 tentang informasi yang disertai ancaman. Salah satu korban UU ITE adalah Saut Situmorang karena dinilai melakukan penghinaan di media sosial.
Apakah masa depan demokrasi Indonesia akan terancam dengan adanya UU dan Pasal karet ini? Apa yang membedakan UU ITE dan Penodaan Agama dengan UU Subversif? Mengapa pasal karet ini masih tetap ada dan dipertahankan di iklim demokrasi Indonesia ini? Bagaimana implikasinya?
Mari datang dan ikuti diskusi MAP Corner Klub MKP dengan tema “Ancaman Pasal Karet Terhadap Demokrasi Indonesia” yang diselenggarakan pada 21 Februari 2017, pukul 15.00 WIB. Pemantik dalam diskusi tersebut adalah:
1) Saut Situmorang (Sastrawan & Korban UU ITE)
2) Tri Agus Susanto (Dosen APMD)