Penghancuran Kelas Pekerja: Peran Angkatan Darat & Negara Sekutu dalam Gerakan Kontra Revolusi 1965
Urusan Indonesia berkembang dalam cara yang terlihat menggembirakan. Umat Islam membakar kantor pusat PKI di Djakarta semalam dan sepertinya mereka bergerak menyerang orang-orang Komunis di antero negeri… Untuk pertama kalinya, Angkatan Darat tidak mematuhi perintah Soekarno. Jika hal ini berlanjut dan PKI dibersihkan… kita akan memiliki hari baru di Indonesia.
(George Ball, Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, 08 Oktober 1965)
Ada “Sebuah Fajar Baru”, ada “Secercah Cahaya di Asia” begitu judul berita yang terbit di New York Times. Sementara majalah Time menulis tentang adanya “berita terbaik untuk Barat dari Asia” setelah bertahun-tahun. Headlines berita di atas adalah respon terhadap konflik yang terjadi di Indonesia setelah peristiwa pembunuhan 6 Jenderal dan 1 Perwira Angkatan Darat pada 01 Oktober 1965. Berbagai negara dan media di Barat (negara Sekutu atau Blok Kapitalis) merayakan peristiwa itu karena menjadi momentum penghancuran revolusi sosialis di Indonesia. Peristiwa 1965 menjadi kesempatan bagi kelas kapitalis dan sekutunya untuk melakukan gerakan kontra-revolusi dengan melakukan kekerasan massal terhadap kaum kiri.
Kekerasan massal yang mengikuti peristiwa 1965, telah melibatkan berbagai akademisi untuk menelusuri sebab musababnya. Berbagai versi dengan perspektif yang lebih luas dan mainstream, menggambarkan peristiwa berdarah itu disebabkan oleh “amuk massa”, aksi spontan, konflik horizontal, dan kekerasan yang dilatarbelakangi faktor budaya[1]. Aksi kekerasan massal ditenggarai terjadi karena tindakan balas dendam terhadap “pemberontakan kaum kiri” dan aksi sepihak yang sebelumnya mereka lakukan. Kondisi itu yang diyakini melecut amuk massa yang bersifat spontan dan memicu konflik horizontal. Penjelasan tentang karakter dan budaya ini telah lama digemari oleh para pejabat Indonesia dan sekutunya serta muncul dalam banyak narasi populer.
Dalam bukunya “Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966”[2], Geoffrey B. Robinson seorang Profesor Sejarah di Universitas California Los Angeles (UCLA) memberikan perspektif berbeda dalam melihat kekerasan pasca September 1965. Bukannya dipengaruhi masalah karakter dan budaya yang memicu spontanitas dan konflik horizontal, Robison melihat ada tindakan terstruktur. Itu karena adanya kesamaan tentang cara penangkapan, interogasi dan eksekusi, sehingga menilai kejadian itu bukan “amuk massa”.
Robinson melakukan penelitian terhadap peristiwa kelam ini sejak tahun 1980an. Narasi baru yang dituliskannya adalah tentang peran utama Angkatan Darat. Selain itu juga tentang keterlibatan Amerika Serikat, Inggris dan negara blok kapitalis lainnya dalam menyokong kekerasan massal. Terakhir, tentang adanya kondisi historis yang turut memicu terjadinya musim menjagal.
Dalang Peristiwa 65 & Rekayasa Narasi Resmi
Pagi buta pada 1 Oktober 1965, tim kecil yang berisi prajurit Angkatan Darat di bawah pimpinan Letkol Untung menculik 7 jenderal dari rumah mereka di Jakarta. 3 orang jenderal melawan penangkapan dan di tembak di tempat, 3 lainnya di bawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma kemudian ditembak. Sedangkan satu jenderal lainnya yaitu Nasution berhasil melarikan diri, tetapi satu ajudannya tewas. Peristiwa itu sangat mengejutkan. Letkol Untung menyebut gerakan yang dilakukannya sebagai Gerakan 30 September (G30S).
Interpretasi terhadap peristiwa G30S tentang siapa dalang dan apa motifnya mengemuka. Gerakan yang dipimpin oleh Letkol Untung menyerah tidak sampai satu hari setelah mendapat serangan. Angkatan Darat di bawah komando Soehato menuding PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai dalang peristiwa itu dengan motif untuk merebut kekuasaan. Propaganda yang terbukti bohong disebarluaskan untuk memicu kemarahan rakyat bahwa kemaluan para jenderal dipotong, mata mereka dicongkel oleh para Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia, underbow PKI) sembari menari telanjang dengan lagu genjer-genjer.
Soeharto dan perwira lainnya melakukan mobilisasi dan mengizinkan aksi politik massa dalam bentuk demonstrasi, petisi hingga aksi kekerasan untuk menghancurkan PKI yang dituduh sebagai pemberontak. Dalam menjalankan strategi ini, Angkatan Darat mendapatkan sekutu sipil yang memiliki kepentingan sama, yaitu menghancurkan politik kelas pekerja. Sebagian besar mereka adalah dari kelas menengah terdidik, partai dan tokoh Katolik berpengaruh, Partai NU, Masyumi, dan para intelektual dan budayawan dari spektrum “liberal” (hal. 82-83). Di tingkatan mahasiswa, aksi-aksi itu didukung oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), hingga HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia). Tujuan akhir dari aksi ini tidak sekedar menghancurkan PKI, tetapi juga memukul mundur gerakan revolusi sosialis yang diusung Soekarno, menjadikan rakyat tidak memiliki kapasitas politik, dan menghadirkan kembali kekuasaan kapitalisme di Indonesia.
Robinson dalam bukunya “Musim Menjagal”, menilai narasi resmi dari Angkatan Darat itu bermasalah. Pertama, narasi resmi ini tidak memberi motif yang masuk akal bagi upaya PKI untuk melakukan kudeta. Pada pertengahan 1965, PKI telah mencapai kesuksesan politik yang hampir tidak terbayangkan[3] melalui strategi parlementer yang ditempuh dan kedekatannya dengan Presiden Soekarno. Sehingga kita perlu bertanya, mengapa PKI akan membahayakan semua yang telah diperolehnya dengan mencoba merebut kekuasaan? Apalagi dengan pemberontakan bersenjata? Strategi yang secara eksplisit mereka hindari selama 15 tahun dan tidak mereka siapkan. Para agen hingga duta besar negara Barat dalam telegram dan surat rahasia mereka turut tidak percaya dengan narasi resmi pemerintah. Akan tetapi mereka tidak memperdulikannya dan memanfaatkan itu untuk menghancurkan kelas pekerja di Indonesia.
Kedua, terkait dengan bukti. Penculikan dan pembunuhan pada 1 Oktober 1965 jelas dilakukan bukan oleh anggota PKI. Namun dilakukan oleh prajurit-prajurit reguler di bawah komando perwira-perwira Angkatan Darat berseragam. Terlebih, para pemimpin di Jakarta didukung oleh 2.500 prajurit, sementara di Jawa Tengah didukung oleh sejumlah komando dan satuan Angkatan Darat reguler. Sementara bukti terkait kesaksian dan pengakuan dari para tahanan diperoleh dengan melakukan tekanan, paksaan dan penyiksaan.
Kekerasan massal pada tahun 1965-1966 adalah hasil dari interpretasi tertentu dengan menggunakan pembunuhan para jenderal sebagai batu pijakan. Kekerasan massal yang membunuh antara 500 ribu hingga 2 juta orang seringkali dikaburkan dan ditutupi oleh rezim dan Angkatan Darat dengan memfokuskannya pada peristiwa 1 Oktober 1965 serta tudingan pemberontakan PKI. Hal itu dilakukan agar kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan menjadi terdistorsi dan seolah-olah menjadi tindakan pembenaran dengan dalih “menyelamatkan negara”.
Peran Angkatan Darat dalam Pembunuhan Massal
Kami putuskan mendorong warga sipil anti-komunis untuk membantu kerja kami. Di Solo, kami mengumpulkan para pemuda, kelompok nasionalis, organisasi keagamaan. Kami beri mereka latihan dua atau tiga hari, lalu menugaskan mereka untuk membunuh orang-orang komunis.
(Sarwo Edhie, Komandan RPKAD atau Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat)
Penahanan dan pembunuhan massal yang terjadi pada tahun 1965-1966 kendati terjadi di hampir seluruh pelosok negeri, namun ada variasi dalam hal waktu. Pembunuhan massal pertama dimulai di Aceh dalam hitungan hari setelah dugaan upaya kudeta. Kemudian tetiba berhenti pada November 1965 dengan korban mencapai 10.000 orang. Di Sumatera Utara baru dimulai pada awal November 1965 yang menyasar ke seluruh area perkebunan dan pertanian yang menjadi basis utama PKI. Aksi kejahatan kemanusiaan di Sumatera Utara eskalasinya mulai sangat kecil pada Maret 1966 dengan sekitar 40.000 orang atau mungkin dua kali lipatnya terbunuh.
Di Provinsi Jawa Tengah, pembunuhan massal dimulai sekitar minggu ke tiga bulan Oktober 1965 dan berlanjut hingga pertengahan 1966. Diperkirakan 140.000 orang tewas di Provinsi yang padat penduduk ini. Di sebelahnya yaitu Provinsi Jawa Timur kekerasan secara sistematis meningkat secara dramatis pada awal November 1965 dan berakhir pada pertengahan tahun 1966. Diperkirakan 180.000 orang telah tewas yang berpusat di daerah Kediri, Blitar, Pasuruan, dan daerah pesisir timur.
Awal bulan Desember, setelah dua bulan pasca dugaan kudeta, aksi pembunuhan massal dimulai di Bali. Sekitar 80.000 orang dibunuh dalam sekitar waktu 3 bulan. Pembunuhan bahkan dimulai lebih lama lagi di daerah-daerah lain. Misalnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, pembunuhan massal baru dilakukan pada Februari 1966 dan berakhir pada pertengahan Maret 1966. Sekitar 6.000 orang terduga komunis dibunuh dengan kejam. Sementara di Provinsi padat penduduk seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat yang menjadi basis dari PKI, hampir tidak terjadi pembunuhan secara massal. Yang terjadi adalah penahanan massal.
Luasnya penyebaran geografis kekerasan dan waktu yang berbeda-beda menunjukan bahwa akar konflik itu tidak sepenuhnya bersifat lokal atau permusuhan pribadi atau karena amuk massa yang spontan. Kondisi tersebut terjadi karena peran utama dari Angkatan Darat dalam proses pembunuhan massal, walaupun bukan berarti bahwa Angkatan Darat berbuat sendiri (hal. 203).
Waktu dan intensitas kekerasan yang berbeda dipengaruhi oleh peran Angkatan Darat dan kondisi politik lokal yang berbeda. Sehingga pembunuhan massal tidak merupakan akibat langsung dari ketegangan agama, budaya dan sosial ekonomi di daerah tertentu. Akan tetapi akibat dari kemampuan para komandan Angkatan Darat di setiap daerah untuk menyulut dan memobilisasi ketegangan tersebut demi menghancurkan kaum kiri (hal. 205). Angkatan Darat memanfaatkan kelompok sipil anti-komunis dalam proses pembunuhan itu.
Hubungan erat antara sikap dan kemampuan para komandan Angkatan Darat di daerah tertentu dapat dilihat dalam tiga pola. Pertama, pada daerah dengan komando militer setempat yang bersatu dan memiliki pasukan memadai, pembunuhan massal terjadi secara cepat seperti kasus di Aceh. Panglima Daerah Militer Aceh, Brigadir Jenderal Ishak Djuarsa dan atasannya langsung Letnan Jenderal Ahmad Mokoginta memiliki pandangan anti-komunis sehingga bersatu memobilisasi pembunuhan dan menentang Soekarno dan PKI. Sementara di Jawa Barat komando daerah militer di bawah Jenderal Ibrahim Adjie juga bersatu dan kuat. Pembunuhan massal relatif kecil terjadi karena Adjie memiliki loyalitas terhadap Soekarno yang mematuhi himbauan Soekarno untuk tidak menggunakan kekerasan dan menghentikan konflik.
Kedua, di daerah dengan komando Angkatan Darat yang terpecah secara politik, menghadapi perlawanan, atau tidak memiliki pasukan yang memadai, pembunuhan massal tertunda dalam beberapa waktu. Contohnya di Sumatera Utara, Panglima Daerah Militer dan Gubernur Ulung Sitepu bersimpati terhadap kaum kiri. Setelah mereka diganti secara paksa dengan Angkatan Darat yang sangat anti-komunis, eskalasi pembunuhan massal mulai terjadi. Hal yang sama terjadi di Bali.
Ketiga, di daerah-daerah yang kepemimpinan militernya tidak mencapai mufakat atau yang pasukan loyalnya tidak memadai, pembunuhan baru dimulai bersamaan dengan atau tepat setelah kedatangan pasukan Soeharto dari luar daerah itu. Itu seperti yang terjadi di Jawa Tengah, kedatangan pasukan RPKAD yang dimobilisasi dari Jakarta kemudian dengan cepat bergerak menghancurkan kekuatan kaum kiri di Provinsi itu.
Dengan alur peristiwa kejahatan kemanusiaan di atas dan keterlibatan Angkatan Darat, kita dapat memahami prosesnya. Bahwa pertama, kekerasan 1965-1966 dengan variasi dan pola tidak dapat dipahami dengan baik tanpa mengakui peran penting pimpinan Angkatan Darat yang memprovokasi, memfasilitasi serta mengorganisasinya. Kedua, pimpinan Angkatan Darat mengambil serangkaian keputusan dan memberi perintah untuk menahan, mengangkut, menggolongkan, mendaftar, mengintrogasi, serta mendakwa sebagian besar orang. Ketiga, untuk menjalankan tindakannya, Angkatan Darat memobilisasi jaringan kelompok milisi sipil dari Banser NU, Pemuda Marhaen, hingga Pemuda Pancasila. Keempat, setelah proses itu mereka kemudian merebut kekuasaan, pimpinan Angkatan Darat dapat menulis dan menyebarluaskan sejarahnya sendiri terkait kekerasan ini dengan merebut kekuasaan dan membungkam versi alternatif. Itu mengapa kejatahan kemanusian terus berupaya dibenarkan hingga saat ini dan para pelakunya belum diadili.
Negara Sekutu Bukan Penonton, Mereka Terlibat
Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan negara sekutu lainnya (blok kapitalis) dengan tegas menolak bertanggung jawab atas peristiwa kekerasan massal yang terjadi pasca September 1965 di Indonesia. Mereka menilai kekerasan terjadi karena konflik horizontal yang bersifat lokal dan tidak ada pengaruh dari kekuatan asing. Robinson dalam buku terbarunya secara detail memberi penyangkalan terhadap sikap negara-negara sekutu. Dengan data terbaru dari telegram dan surat rahasia CIA (badan intelegen AS) dan M16 (badan intelegen Inggris) menguatkan argument dari Robinson bahwa mereka pada dasarnya bukan penonton, mereka terlibat dalam kekerasan massal yang terjadi. Kekuatan Barat turut membantu penghancuran kelas pekerja di Indonesia dan terlibat dalam pelengseran Soekarno sebagai Presiden.
Operasi bersama yang dilakukan oleh negara-negara sekutu dalam meluluhlantakan PKI dan melengserkan Soekarno untuk diganti dengan pimpinan Angkatan Darat yang loyal terhadap mereka memiliki tiga unsur utama (hal. 246). Pertama, pola jaminan rahasia kepada pimpinan Angkatan Darat terkait dukungan politik dan sikap tidak ikut campur. Artinya negara-negara Barat tersebut memberi “lampu hijau” untuk menjustifikasi kekerasan berdarah.
Kedua, operasi perang psikologis cangging yang dirancang untuk mencoreng nama PKI dan Soekarno serta memunculkan perlawanan terhadap keduanya. Dan terakhir adalah melalui program bantuan material kepada Angkatan Darat dalam bentuk beras, katun, peralatan militer, perbekalan medis, uang tunai, dan juga senjata untuk kegiatan menghancurkan gerakan kiri di Indonesia.
Sebelum satu dekade dugaan kudeta September 1965 terjadi, Amerika Serikat bersama kekuatan Barat lain telah bekerja dengan berbagai cara untuk melemahkan Soekarno dan PKI. Mereka memberi pendidikan kepada militer agar anti-komunis, memberi bantuan kepada partai-partai yang anti-komunis dan dukungan terhadap pemberontakan militer yang anti-Soekarno. Artinya upaya penghancuran gerakan kiri di Indonesia sudah dijalankan sejak lama. Tujuannya tidak lain untuk membuka kembali cengkeram negara barat di Indonesia.
Konflik Kelas, Depolitisasi Kehidupan & Langkah ke Depan
Kekerasan massal yang terjadi di Indonesia pasca September 1965 adalah konflik kelas sosial yang menghancurkan kelas pekerja. W.F Wertheim sudah menulis pada tahun 1966 bahwa kekerasan massal tersebut tidak hanya menghancurkan PKI, tetapi menghancurkan seluruh aliran pemikiran dan budaya progresif yang telah menjadi bagian sentral dalam revolusi Indonesia. Sehingga peristiwa tersebut sering disebut sebagai gerakan kontra-revolusi yaitu sebuah gerakan yang membawa arah perbaikan menjadi mundur kebelakang. Dari upaya mencapai sosialisme menjadi upaya membangkitkan kembali kapitalisme seperti saat era kolonial.
Robinson dalam bukunya “Musim Menjagal” tidak menjelaskan secara jauh bahwa kebungkaman yang terus berlangsung dalam menyikapi kejahatan kemanusiaan salah satunya dipengaruhi oleh depolitisasi gerakan rakyat. Rezim Soeharto bersama Angkatan Darat bekerja untuk mendepolitisasi masyarakat agar tidak bergerak dalam ranah politik. Kebijakan “massa mengambang” (floating mass) dijalankan agar masyarakat mendedikasikan dirinya untuk “pembangunan” dibanding terlibat dalam aktivitas politik. Kebijakan yang dijalankan rezim Soeharto dan para sekutunya ini yang turut membuat kebungkaman terhadap kejahatan kemanusiaan pasca September 1965 berlangsung lama. Harapan sempat mengemuka saat Reformasi terjadi, namun masih berkuasanya eksponen yang diuntungkan dari peristiwa 65 dan masih lemahnya gerakan rakyat membuat upaya penyelesaian kasus 65 masih belum terjadi.
Di catatan terakhir bukunya, Robinson menekankan bahwa ada tiga hal yang harus dilakukan oleh gerakan sosial. Pertama, mendesak pemerintah untuk memperjelas catatan sejarah dengan membuka arsip-arsip mereka dari periode 65 sehingga tidak terjadi pembohongan sejarah. Kedua, menuntut pemerintah untuk mendorong semua tindakan yudisial (yang terpercaya) terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang telah mereka lakukan. Terakhir, kita harus melakukan apa pun untuk menghentikan kebungkaman dan ketidakpedulian mengerikan yang telah membuat kejahatan ini berlalu tanpa disadari juga dihukum selama lebih dari setengah abad.
___________________________________________
[1] Sebuah berita di New York Times pada April 1966 memberikan penjelasan berikut: “orang Indonesia itu lembut dan secara naluriah ramah, tetapi ada ciri Melayu yang aneh yang tersembunyi di balik senyum mereka, rasa haus darah yang terpendam dan penuh kegilaan. Ini telah memberi salah satu dari sedikit kata bahasa Melayu kepada bahasa-bahasa lainnya: ‘amok (amuk)’. Kali ini, seluruh bangsa ini tengah mengamuk”.
[2] Buku dari Robinson “Musim Menjagal” ini dibedah dalam Diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM yang diselenggarakan pada 09 Oktober 2018 dengan pemantik Najib Azca (Dosen FISIPOL UGM) dan Yoseph Yapi Taum (Wakil Direktur PUSDEMA USD).
[3] PKI merupakan partai komunis tertua di Asia yang menjadi partai komunis non-penguasa paling besar di dunia pada tahun 1965. Pada 1963, PKI mengklaim memiliki anggota terdaftar sekitar 3,5 juta orang dan sekitar 20 juta lainnya merupakan anggota organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI.
Historinya sangat bagus dan lengkap sekali