Via Vallen dan Perjuangan Melawan Pelecehan Seksual
Siapa yang tak kenal Via Vallen hari ini? Via merupakan salah satu penyanyi dangdut dari Jawa Timur yang karirnya tengah naik daun. Dengan jadwal manggung yang begitu padat (sampai di tingkat nasional), Via bertransformasi menjadi salah satu pedangdut kelas atas dengan kekayaan yang cukup fantastis (Rp 15 milliar/bulan)[1]. Berangkat dari daerah “pinggiran”, Via tengah disanjung banyak pihak karena cukup mampu mengubah image negatif musik dangdut. Dalam setiap penampilanya Via konsisten untuk tidak menampilkan goyangan seronok ataupun berpaiakan seksi. Via hanya mengandalkan kualitas suaranya yang berada di atas rata-rata.
Sayangnya, perjalanan Via dalam menggubah image musik dangdut, mendapat corengan di penghujung bulan puasa tahun ini. Via menjadi korban kekerasan seksual oleh salah satu pemain bola asing yang merumput di Indonesia, yang belakangan diketahui bernama Marko Simic[2]. Sontak berbagai headline media massa langsung dipenuhi oleh peristiwa ini. Kronologisnya, dimulai ketika pemain bola tersebut, mengirim pesan yang bernada “ajakan berbuat mesum” kepada Via melalui salah satu akun media sosialnya. Secara implisit, pesan yang dikirimnya bertujuan untuk meminta Via datang ke kamarnya dan menjadi pemuas kebutuhan seksualnya. Via tidak tinggal diam, dan justru langsung melawan. Via mengunggah bukti percakapan yang memuat pesan ajakan ini, ke media sosial. Alhasil jagat dunia maya gempar atas tindakan pelecehan itu.
Sinis Memandang Pelecehan Seksual
Secara tidak langsung, kasus Via kembali membuka diskusi mengenai isu pelecehan seksual di tingkat nasional. Tentu, kita tidak lupa dengan kisah memilukan tentang Yuyun, siswa SMP Bengkulu yang meregang nyawa di tengah kebun karet tahun 2016 lalu. Sedikit mengingatkan, detik-detik akhir hayat Yuyun begitu tragis. Berada jauh dari keluarga tersayang setiap detik dilaluinya dengan dera pukul, tendang, dan diperkosa bergantian tanpa henti, hingga nafasnya tidak lagi berhembus[3].
Seolah-olah tidak pernah belajar dari pengalaman, sebagian masyarakat Indonesia masih abai terhadap kasus pelecehan seksual. Hal ini, tercermin dari komentar negatif terhadap upaya perlawanan yang dilakukan Via. Menurut mereka, perlawanan yang dilakukan Via dianggap terlalu berlebihan. Kekerasan seksual dianggapnya sebagai ranah pribadi yang sebaiknya tidak untuk di publikasikan. Bahkan, tindakan yang dilakukan pelaku kekerasan seksual dianggap sebagai “hal normal” sebagai warga negara asing. Sehingga, langkah melawan dengan mengunggah bukti pelecehan, dianggapnya tindakan yang tidak tepat karena mempermalukan si pelaku di depan publik[4]. Berikut beberapa kutipan komentar:
“A : mungkin caranya mas bule kurang sopan, tapi ini ranah pribadi mbok yoo lebih menjaga. Jangan di umbar di sosial media, jangan kan mba Via yang artis, aku saja orang biasa kadang dapat DM (pesan lewat instagaram -pen) yang kurang sopan, tapi cuekin saja.
B : Aku sih ga setuju sama sikap via vallen yang nge-publish (mengunggah -pen). Kalau yang nge DM itu orang biasa, apa dia masih akan publish? My point is, dia ga permalukan Via di depan umum kok, kenapa via harus permalukan orang itu? kalau emang ga suka, ya bilang langsung ke orangnya. Ga usah di publish. Biar apa? biar dunia tau kalau via digonain pemain bola ganteng? terus kamu punya harga diri? okay, si pemain bola yang mulai dan dia salah, tapi dia itu bule dong, menurut persepsi dia itu normal, dan gue yakin niatnya tidak untuk melecehkan.
C : Kenapa sih harus di publish Via Vallen? Biar apa coba? kalau marah ya langsung marah saja sama babangnya (Pelaku -pen), atau langsung block. Kenapa di publish, biar semua orang tau kalau dia bukan cewe murahan?, weel ya , kalau kita memang cewe baik-baik, tanpa harus begitu juga orang bisa menilai sendiri kok.
Membaca komentar yang bernada menyalahkan korban pelecehan seksual, menimbulkan kepiluan. Pada banyak kasus pelecehan seksual, hampir keseluruhan korbanya enggan melawan, menyampaikan, atau bahkan menceritakan. Ada berbagai macam alasan yang menyertainya, mulai dari takut dengan pelaku karena memiliki kekusaan, ataupun malu dengan stigma negatif yang laris sekali berhamburan. Namun masalah kekerasan seksual akan sukar terselesaikan jika korbanya tidak berani bersuara secara luas ke publik. Jikalau ada korban yang berani melawan, tentunya perlu didampingi dan diberi apresiasi bukan justru disalah-salahkan. Reaksi negatif masyarakat, tidak dapat lepas dari mengakar kuatnya budaya patriarki dalam konstruksi sosial di Indonesia hingga hari ini.
Dinamika Akar Pelecehan Seksual
Budaya patriarki meletakan pembagian yang fundamental antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dianggap memiliki power yang lebih, dan perempuan sebaliknya. Pembagian ini secara turun temurun telah dilanggengkan sebagai hukum alamiah[5]. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, tesis utama patriarki memicu perdebatan. Bentuk dari marginalisasi perempuan tidak serta merta menjadi hal yang alamiah turun dari langit, melainkan ada faktor historis yang melatarbelakanginya. Pandangan feminisme radikal menganggap penindasan perempuan karena hal yang sifatnya alamiah karena perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Sistem sex atau gender (sexualitas biologis) menjadi sumber fundamental dari marginalisasi[6]. Di sisi lain, segala bentuk marginalisasi terhadap perempuan termasuk pelecehan seksual perlu dilihat dari sisi historisnya. Perspektif ini berakar dari kaum feminis marxis yang menyampaikan bahwa penyebab utama penindasan perempuan adalah bercokolnya relasi kelas yang eksploitatif dalam sistem kapitalisme.
Meskipun Marx tidak menulis secara khusus dan panjang lebar tentang penindasan perempuan, karyanya merupakan sumber metodelogis dan teoritis yang diperlukan untuk bergulat dengan penindasan perempuan di bawah kapitalisme.[7] Perempuan dalam sejarahnya tidak semuanya mengalami kekerasan dan segala bentuk penindasan. Segala bentuk superioritas laki-laki merupakan akar masalah dari penindasan perempuan. Termasuk, pelecehan seksual yang sekarang menyerang perempuan lintas kelas. Dalam konteks historis analisis kelas dalam pandangan Marxis dimulai ketika ada pembagian kerja secara seksual, stratifikasi gender, konstruksi ideologis, atau diskursus gender, dan lainya. Lewat artikel Capitalism, and The Oppresion of Woman, Gimenez menjelaskan jika hubungan antara struktur politik dan hukum, berjalan semakin sejajar dengan kehendak pasar. Pada kondisi ini, negara semakin segaris dengan kepentingan pasar sehingga abai terhadap relasi eksploitasi yang dialami pekerja dalam produksi. Demikian juga pembagian kerja secara seksual yang mendasari hubungan dalam kapitalisme antara laki-laki dan perempuan sebagai produksi dan reproduksi. Perempuan karena perannya sebagai “pekerja domestik”, maka ia dijadikan nomor dua dari segi ekonomi rumah tangga setelah laki-laki. Oleh karenanya, perempuan dalam sistem kapitalisme memiliki beban ganda, pertama sebagai tenaga kerja dan kedua bertugas menjaga reproduksi sosial dalam keluarga agar tenaga kerja (suami) siap untuk bekerja lagi esok hari[8].
Tidak dipungkiri bahwa beragam aliran dan perspektif feminisme telah secara aktif melahirkan gagasan bagi kesetaraan gender yang mendorong penghapusan pelecehan seksual. Akan tetapi pada kenyataanya, kekerasan terhadap perempuan masih terjadi setiap saat sampai sekarang. Berdasarkan data Komnas Perempuan Dari sejumlah 284.015 kasus kekerasan terhadap perempuan, 91% atau dalam angka sebesar 259.150 kasus terjadi pada ranah personal. Dalam hal ini kekerasan terjadi terjadi kepada istri yang jumlahnya sebesar 245.548 kasus. Hal ini menunjukkan adanya relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan yang didominasi oleh laki-laki. Tetapi data tersebut tidak menunjukkan angka riil jumlah kekerasan terhadap perempuan dalam segala macam bentuknya karena kekerasan yang sebenarnya masih banyak terjadi melebihi data yang dipaparkan.
Momentum Melawan Pelecehan Seksual
Kejadian yang dialami Via menyiratkan bahwa pelecehan seksual terjadi secara lintas kelas. Namun, tidak dapat disangkal jika perempuan dari kalangan “borjuis” seperti Via lebih mudah untuk mendapatkan simpati dari massa dibandingkan dengan perempuan proletar. Hal ini terbukti dari munculnya tagar atau hastag bertajuk #saveviavallen sebagai dukungan aksi perlawanannya terhadap sexual harassment yang dialaminya. Hastag tersebut jumlahnya mencapai angka 3,755 di media sosial Instagram sejak awal kemunculan kasus hingga sekitar seminggu setelahnya. Selain itu, kasus pelecehan Via juga memenuhi segala jenis media baik media cetak, elektronik, maupun online. Komnas Perempuan juga memberi dukungan yang menilai langkah yang dilakukan Via dengan melawan pelaku cukup tepat[9].
Kasus Via juga cukup positif mengarahkan masyarakat untuk mulai menolak dogma-dogma konservatif, yang cenderung menyalahkan korban pelecehan seksual. Padangan konservatif umumnya, menyalahkan pakaian yang dikenakan korban sebagai sebab pemicu pelecehan seksual. Dengan kasus Via yang tidak memakai pakaian neko-neko (seksi), sebagian kalangan masyarakat mulai menyadari jika penindasan terhadap perempuan bukan lagi salah dari pakaian yang dikenakan korban. Melainkan, terdapat budaya patriarki yang terus mereproduksi penindasan terhadap perempuan.[10]
Namun, momen ini tidak tepat apabila hanya berhenti kepada pembelaan terhadap Via saja. Masalah pelecehan seksual yang dialami perempuan proletar jauh lebih masif intensitasnya. Tidak hanya ditindas di ranah domestik oleh suami, perempuan proletar harus masih menerima perlakuan tidak adil dari perusahaan tempatnya bekerja. Riset pada 2017 yang dilakukan Perempuan Mahardhika dan FBLP di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta Utara, menunjukkan 93,6 persen dari 437 korban pelecehan tidak melaporkan. Dari 773 buruh, terdapat 56,5 persen yang pernah mengalami pelecehan seksual.[11]
Sayangnya kesempatan melawan oleh para buruh perempuan yang mengalami pelecehan seksual ini, berbeda dengan Via. Resiko yang mereka hadapi tidak hanya sebatas pada nyinyir netizen saja melainkan lebih fundamental, yakni pemecatan. Pelaku pelecehan seksual, umunya merupakan atasan mereka yang mempunyai relasi kuasa kepadanya.
Kapitalisme dipercaya oleh tokoh-tokoh feminis seperti Clara Zetkin, Rosa Luxemburg, Alexandra Kollontai sebagai sumber penindasan terhadap perempuan. Menurut pandangan mereka, kapitalisme menggunakan budaya patriarki agar perempuan tetap berada dalam posisi tersuboordinat. Utamanya peremuan proletar yang digunakan oleh sistem kapitalisme sebagai cadangan buruh murah. Perempuan yang dianggap lemah, tidak berhak mendapatkan upah yang sama dengan laki-laki, sehingga mendapatkan upah yang lebih rendah. Hal ini dibuktikan dengan data BPS mengenai Tingkat Kesenjangan Upah Gender yang semakin melebar. Dari tahun 2011 hingga 2014, rasio kesenjangan upah yang awalnya 0,218 semakin melebar hingga 0,223.
Momentum perlawanan terhadap pelecehan seksual yang sedang muncul karena kasus Via, perlu dihubungkan dengan agenda yang lebih jelas. Dalam menghapus pelecehan seksual melawan budaya patriarki saja tidaklah cukup. Perlawanaan terhadap tindak pelecehan seksual perlu selalu melihat konteks sosial dominan yang mengkondisikan kuatnya budaya patriarki kontemporer, yakni kapitalisme. Sepanjang sejarahanya, perlawanan terhadap kapitalisme selalu melibatkan suatu pertarungan kelas rakyat proletar melawan para majikan. Perlawanan terhadap pelecehan seksual karenanya akan lebih efektif apabila bergabung dengan gerakan rakyat proletar yang lebih luas dalam melawan kapitalisme.
Artikel ini ditulis oleh Anindya Dessi Wulansari dan Hardian Wahyu Widianto (awak MAP Corner-Klub MKP UGM).
[1] Selengkapnya lihat: https://seleb.tempo.co/read/1068474/berkat-lagu-sayang-honor-via-vallen-rp-150-juta-sekali-manggung, diakses pada 15 Juni 2018
[2] Selengkapnya lihat: https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20180606160406-142-304044/pemain-persija-respons-soal-kasus-simic-dan-via-vallen diakses pada 15 Juni 2018
[3] Pada 6 April 2016, terdapat kasus perkosaan yang menimpa gadis di SMP di Bengkulu bernama Yuyun. Pelaku terdiri dari 14 pemuda yang tengah mabuk setelah meminum arak. Selain diperkosa, yuyun juga dianiaya terus menerus, hingga meregang nyawa. Jasad Yuyun dibuang ke jurang dan ditutupi dengan dedaunan kering .
[4] Koment salah satu akun di postingan Via.
[5] Bloodworth, Sandra. 2003. The Poverty of Patriarcy Theory. Publish By Socialist Review. Issue 2, P5- 33. Hlm 1
[6] Sudiono, Linda. 2018. Pembebasan Perempuan Indonesia Perspektif Historis dalam Kebijakan Publik dalam Pusaran Perubahan Ideologi. Yogyakarta: UGM Press. Hlm 266
[7] Gimenez, Martha E.2005. Capitalism, and The Oppresion of Woman. Journal of Science and Society. Vol 69 No 1. Pp 11-32. Hlm 13
[8] Beban Ganda dan Komodifikasi Perempuan dalam Kapitalisme, diakses dari https://mapcorner.wg.ugm.ac.id/2018/04/beban-ganda-dan-komodifikasi-perempuan-dalam-kapitalisme/
[9] http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-44367891
[10]Ibid
[11] Buruh Wanita Masih Jadi Korban Pelecehan. https://nasional.tempo.co/read/1067291/buruh-wanita-masih-jadi-korban-pelecehan-seksual. Diakses Pada 12 Juni 2018. Pukul 13.33 WIB