Kemiskinan Ilmu Ekonomi, Kekayaan Untuk Borjuasi
“Apakah ilmu ekonomi sama seperti ilmu fisika atau kimia yang merupakan ilmu pasti dan terpisah dari ilmu sosial politik?” pertanyaan tersebut seperti hantu, bergentayangan di ruang-ruang kuliah hingga kantor rapat kerja pemerintah. Ekonom arus utama percaya bahwa ilmu ekonomi pada dasarnya serupa dengan ilmu pasti karena saintifitas metodenya. Melalui ekonomi dan statistik, maka ramalan pertumbuhan ekonomi dan perhitungan tentang resesi ditancapkan jauh di depan. Para intelektual dan ahli “pembangunan” merancang bangunan ekonomi nasional seperti teori Dalton dalam ilmu kimia. Bahwa materi tersusun atas atom-atom yang berbeda, tidak saling mempengaruhi, dan bersifat independen. Jika dalam ekonom arus utama, kemiskinan contohnya, dilihat sebagai akibat dari kesalahan individu, tidak ada individu lain yang merebut surplus nilainya, dan tidak ada pengaruh ekonomi politik yang menjadikan orang menjadi hidup miskin.
Keyakinan ekonom arus utama atas keserupaan ilmu ekonomi dengan ilmu-pasti, didasari atas kemampuanya dalam menggunakan metode analisis saintifik seperti halnya ilmu fisika. Paradigma ini berkembang sejak ekonom aliran neoklasik mendominasi perkembangan ilmu ekonomi pada abad 19. Dipengaruhi pandangan positivis, Alfred Marshal dan Carl Menger mempunyai misi utama untuk menjadikan ilmu ekonomi agar memiliki kemampuan prediksi akurat sebagai Hard Science. Lewat buku Theories of Political Economy, Caporasso dan Levine (1992) menunjukan jika logika utamanya didasari atas anggapan bahwa memaksimalkan kepuasan individu telah mampu mewakili maksimalisasi dari kesejahteraan sebuah sistem yang terdiri dari beberapa individu. Lantas analisis eknomi kemudian disterilkan dari proses politik untuk menghasilkan prediksi akurat dari rasionalitas individu.
Sebagai metode analisisnya, Menger menganggap penggunaan metode deduktif yang dilandasi analisis statisik merupakan pilihan paling saintifik dalam ekonomi. Survai Collander (2001) dalam artikel The Lost Art of Economics menunjukan bahwa ekonom arus utama lebih mengutamakan menguasai ilmu matematika dalam rangka mempelajari ilmu ekonomi. Akibatnya, para ekonom yang dihasilkan saat ini tidak jauh berbeda dengan ahli matematik atau statistik yang menyuguhkan analisis dangkal dan kering. Bahkan dalam pidato pengukuhanya sebagai guru besar ilmu ekonomi UNDIP, Purbayu Budi Santosa (2010) menunjukan jika ekonom arus utama terlalu memutlakkan pandangan positivisme. Menurutnya, mereka mengamini ajaran yang melihat realitas sosial dari sudut pandang permodelan sederhana kuantitatif dan asumsi yang tidak realistis.
Ilmu Ekonomi Klasik dan Kemiskinan Ekonomi Neoklasik
Bagi ekonom klasik seperti Adam Smith, Karl Marx dan Mill, ilmu ekonomi dimaknai secara luas dan terikat dengan ilmu sosial lain. Fine dan Milonaskis (2009) dalam buku From Political Economy to Economics menunjukan bahwa ekonomi menentukan dan juga ditentukan oleh proses politik. Maka, penggunaan rasionalitas individu sebagai unit analisis dalam ekonomi arus utama tentu belum cukup mumpuni untuk menjelaskan realitas sosial. Sebagaimana Marx mengungkapkan bahwa pilihan dari individu akan tetap terbatasi dengan struktur sosial individu itu berasal (Caporaso & Levine, 1982). Struktur sosial kemudian menjadi lebih ditekankan dalam unit analisis yang digunakan Marx. Tidak jauh berbeda dengan pandangan ekonom klasik, Revrisond Baswir (Dosen FEB UGM) dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP pada 20 Februari 2018, menekankan agar ilmuan ekonomi perlu melibatkan aspek historis dalam membangun analisisnya. Namun kondisinya sekarang, mereka justru mengagungkan metode saintifik yang sejatinya tidak lebih dari sekedar ilusi matematis dan statistik belaka.
Menilik asal usulnya, bangunan saintifik yang diagungkan ekonom arus utama ternyata hasil dari konstruksi penganut santifisme. Saintifisme (Scientism) menurut Fleetwod (2012) merupakan pendekatan yang mengupayakan penggunaan teori dan teknik mirip ilmu alam di ranah ilmu sosial. Saintifisme dapat mudah teridentifikasi lewat penggunaan berbagai bahasa dan konsep ilmu pasti, misalnya pengujian hipotesis, matematika, statistik, dan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dalam menganalisis permasalahan sosial.
Saintifisme dalam ilmu ekonomi bukan tanpa tujuan tertentu. Kehadiran metode saintifik dalam teori dan disiplin ilmu ekonomi, membuatnya berkaitan erat dengan akurasi dan dianggap sama dengan ilmu alam. Ilmu alam dalam sejarahnya telah menorehkan berbagai kesuksesan untuk membantu aktifitas manusia secara praktis (sebut saja penemuan mesin uap, lampu, dll), sehingga dipandang memiliki kebermanfatan yang lebih. Secara ideologis, hal ini memproduksi stigma yang memposisikan ilmu ekonomi terkesan “ilmiah”, “akurat” dan “sukses”. Di sisi lain, ilmu sosial mendapatkan dampak buruk dengan distereotipkan sebagai ilmu yang “tidak ilmiah”, “tidak akurat” sehingga demikian dianggap “kurang berhasil”. Pengaruh tersebut membuat ilmu ekonomi mendapat legitimasi yang lebih kuat untuk menjelaskan realitas sosial dalam pandangan masyarakat awam (Luvendjik, 2015).
Pandangan Max Lane (peneliti Institute of Southeast Asia Studies) dalam diskusi MAP Corner Klub MKP dengan tema “Ilmu Ekonomi & Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia pada 20 Februari 2018, menilai ilmu ekonomi sekarang tidak “membumi” (dapat digunakan) untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. “Asumsi ekonomi” yang disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bahwa perekonomian global akan membaik di tahun 2018, bisa dijadikan salah satu contoh kasusnya (Liputan6, 2017) . Menurut Mulyani, pertumbuhan ekonomi akan meningkat tiga persen lebih tinggi dari tahun 2017, dan akan berdampak positif bagi negara yang mengandalkan ekspor. Meskipun terdengar menjanjikan, kondisi perekonomian dunia dalam makna kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat pada realitanya tengah berada dalam kondisi yang memilukan. Laporan kesejahteraan dunia tahun 2017 yang dirilis Credit Suisse’s menunjukan, 1% orang terkaya telah menguasai kekayaan separuh penduduk dunia. Perbaikan ekonomi dunia yang di asumsikan Mulyani hanya bermanfaat bagi 1% orang terkaya saja.
Ilmu ekonomi arus utama yang bercorak neoliberal, menancapkan akarnya di Indonesia setelah terjadi proses kontra revolusi pada tahun 1965. Naiknya Soeharto sebagai presiden, tidak hanya didahului dengan genosida terhadap hampir 2 juta orang kiri, tetapi juga penghancuran ideologi kiri dan menancapkan ideologi kanan. Teori ekonomi prositivis menghegemoni dalam kondisi objektif tersebut.
Seperti yang dikatakan Max lane, ilmu ekonomi dalam kerangka negara neoliberal pada akhirnya hanya bermanfaat untuk kesejahteraan para pemilik modal. Implikasinya pertumbuhan ekonomi hanya akan menciptakan peningkatan keuntungan bagi perusahaan-perusaahan besar di dunia. Pertumbuhan ekonomi yang menjadi kata kunci dari asumsi Sri Mulyani, pada dasarnya tidak lebih dari apa yang disebut sebagai statistic laundry (Novianto, 2017). Statistic laundry memiliki fungsi untuk menyembunyikan ketimpangan dan kontradiksi ekonomi melalui angka-angka statistik yang kering. Maka tidak heran jika Revrisond menganggap ilmu ekonomi yang diajarkan sekarang di bangku-bangku sekolah hingga kuliah, bukanlah “ilmu”, melainkan sebuah propaganda bagi kepentingan kelas borjuasi.
Daftar Pustaka:
Caporaso, J. A., & Levine, D. P. (1992). Theories of political economy. Cambridge University Press.
Colander, David. (2001). The Lost Art of Economics: Essay on Economics and the Economic Profession. Northampton: Edward Elgar.
Fleetwood, S. (2012) From ”Political economy to economics” and beyond. Historical Materialism , 20 (3). pp. 61-80.
Kompas. (2016). “Pemerintah Dinilai Tak Miliki “Political Will” Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM”, diaksesdari https://nasional.kompas.com/read/2016/10/20/20430371/pemerintah.dinilai.tak.miliki.political.will.tuntaskan.kasus.pelanggaran.ham.
Liputan6.com, 2017. Sri Mulyani Ramal Ekonomi Global Membaik di 2018. Diakses dari http://bisnis.liputan6.com/read/3180096/sri-mulyani-ramal-ekonomi-global-membaik-di-2018
Milonakis, D., & Fine, B. (2009). From political economy to economics. Method, the Social and the Historical in the Evolution of Economic Theory, Abingdon: Routledge.
Novianto, Arif (2018). Mitos Kemajuan di Balik Angka Pertumbuhan. Diakses dari Kompas edisi Sabtu, 17 Februari 2018
Theguardian. (2015). Don’t let the Nobel prize fool you. Economics is not a science. Diakses dari https://www.theguardian.com/commentisfree/2015/oct/11/nobel-prize-economics-not-science-hubris-disaster