Jogja Istimewa, Ketimpangannya: Dalam Cengkeram UUK & Pembangunan Neoliberal
Ketika kita mendengar kata “Jogja”, mungkin yang terlintas dibenak kita adalah tentang keistimewaannya. Sebagai pengetahuan awam itu lumrah. Kata “Jogja Istimewa” bahkan digunakan sebagai tagline resmi oleh pemerintah dan terpampang di berbagai sudut kota. Tidak mengherankan jika wacana dan diskursus tersebut seringkali dipahami sebagai kebenaran yang tak terbantahkan. Akan tetapi apakah benar Jogja memang benar-benar istimewa? Apa yang istimewa dari provinsi ini?
Di satu sisi, bagi sebagian kalangan, keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dapat terlihat dari pengangkatan secara otomatis Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur DIY melalui Undang-Undang Keistimewaan (UUK). Dalam pasal 18C UUK, menjelaskan bahwa calon Gubernur adalah Sultan Hamengku Buwono dan calon Wakil Gubernur adalah Adipati Paku Alaman. Kebijakan ini sebenarnya cukup problematis, sebab melambangkan pengakuan sistem Swapraja (monarki-feodal) di tengah demokrasi.
Di sisi yang lain, jika kita menengok kondisi real di DIY, maka keistimewaan Jogja (bermakna positif) menyimpan tanda tanya besar. Ada jarak cukup lebar antara jargon, harapan, dan realitas kehidupan masyarakat.
Ketimpangan Meningkat: Pembangunan Untuk Kelas Atas
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), rasio gini atau rasio ketimpangan di DIY mencapai angka 0,43 pada bulan Maret 2017. Angka tersebut melebihi rasio ketimpangan nasional yang hanya 0,39. Selain itu, angka kemiskinan DIY berada diatas rata-rata nasional yaitu diangka 13,12%.
Pada kondisi yang bersamaan, DIY juga menjadi provinsi dengan Indeks Pembangunan Manusia tertinggi nomer dua nasional dan juga menjadi provinsi dengan angka kesejahteraan tinggi. “Kondisi anomali tersebut terjadi kerena adanya kenaikan pertumbuhan ekonomi di DIY yang tidak dibarengi dengan pemerataan” ungkap Tri Wahyuni dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM pada 22 November 2017 dengan mengangkat tema “Ketimpangan Ekonomi dan UU Keistimewaan DIY”.
Kondisi itu dikarenakan adanya konsentrasi pembangunan pada wilayah-wilayah tertentu dan dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Tri menjelaskan bahwa pembangunan di DIY hanya terfokus pada wilayah perkotaan dan untuk pemanfaatannya sendiri hanya dinikmati oleh kelompok dengan latar belakang ekonomi menengah keatas.
Ketidak mampuan ini salah satunya dikarenakan upah minimum rakyat (UMR) DIY hanya berkisar Rp 1,4 Juta. Angka tersebut terbilang cukup rendah dibanding dengan UMR kota-kota besar lainnya, seperti Jakarta misal yang UMRnya sebesar Rp 3 juta. Masih lemahnya gerakan kelas pekerja di Yogyakarta menjadi faktor pendorong tetap kecilnya UMR DIY.
Kondisi tersebut berimplikasi pada rendahnya daya beli masyarakat DIY. Rendahnya daya beli ini kemudian menjauhkan masyarakat kelompok menengah kebawah dalam mengakses pembangunan yang ada. Bagaimana tidak, masyarakat pasti lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan pokok terjangkau terlebih dulu dari pada berbelanja barang-barang mewah dan hasil pembangunan lainnya yang ada di DIY.
Selain itu adanya pembangunan pusat perbelanjaan dan hotel tidak diimbangi dengan peningkatan ketersediaan lapangan kerja. Tri Wahyuni menyebutkan bahwa kondisi tersebut merupakan dampak dari pengalihfungsian lahan pertanian DIY yang dulunya sektor pertanian kini menjadi sektor jasa dan perumahan. Hal ini yang berpengaruh pada mata pencaharian masyarakat DIY, yang dulunya bertani kini lebih kepada penawaran jasa dan industri. Sementara angka laju pencari kerja (atau yang tereksklusi dari pekerjaan sebelumnya) tumbuh lebih banyak dibanding laju ketersediaan lapangan kerja.
Kondisi itu menunjukan apa yang diungkapkan Harvey (2005) bahwa pembangunan yang dibalut iklim investasi yang baik dan pertumbuhan ekonomi, pada kenyataannya tidak class neutral. Selalu ada yang diuntungkan dari proses pembangunan neoliberal tersebut. Kita dapat menyaksikan proses pemaksaan pembangunan Bandara NYIA di Kulonprogo, bahwa pembangunan itu didorong dan dibentuk dari kaca mata kelas atas. Sehingga kita dapat menebak siapa yang akan sangat diuntungkan dari pembangunan itu.
Kondisi itu menunjukan apa yang diungkapkan Harvey (2005) bahwa pembangunan yang dibalut iklim investasi yang baik dan pertumbuhan ekonomi, pada kenyataannya tidak class neutral.
Menurut Kus Antoro, “Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ya dari ketimpangannya itu” ucap Penggiat Forum Komunikasi Masyarakat Agraria (FKMA) dalam diskusi rutin MAP Corner-Klub MKP. Kus Antoro berpendapat bahwa pembangunan di DIY tidak merata. Ia juga menegaskan adanya pertumbuhan ekonomi dan dana keistimewaan justru berbanding lurus dengan tingkat ketimpangan. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi dan dana keistimewaan maka akan semakin tinggi ketimpangan yang ada di DIY. Menurutnya hal ini justru disebabkan oleh UUK itu sendiri. “Kalau kita berbicara tentang Undang-Undang Keistimewaan, berarti kita sedang berbicara tentang arena perebutan wacana sampai materi. Yang ujung-ujungnya kita bisa menilai untuk siapa” terang Kus Antoro.
UUK, Salah Satu Pemicu Konflik dan Ketimpangan
Ada tiga pembahasan penting jika membicarakan tentang keistimewaan dan ketimpangan di DIY menurutnya; Penguasaan tanah sebagai alat produksi, Penguasaan Tata Ruang sebagai Pengaturan Fungsi Lahan, dan Penggunaan Anggaran Dana Istimewa.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY 2017, tanah SultanaatGrond (SG) dan Paku Alamanaat Grond (PAG) ada seluas 34.882,8867 ha atau setara 10,67 % Luas DIY. Data tersebut masihlah data sementara yang kemungkinan bisa mengalami peningkatan. Adanya penguasaan tanah tersebut secara tidak langsung berimplikasi terkait dengan penataan ruang dan pemanfaatan tanah.
Sebagai bentuk pelegalan atas hal SG & PAG, ada beberapa undang-undang yang mengatur hal tersebut. Diantaranya tercantum dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No 112 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Desa, Perdais No 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten, Perdais No 2 Tahun 2017 tentang Tata ruang Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten. Selain itu terkait pengunaan ruang dan tanah diatur dengan mekanisme tersendiri. Dimana adanya penggunaan tanah atau ruang harus mendapat izin dari kasultanan atau kadipaten, baik pengajuan oleh masyarakat biasa mau pun investor.
Untuk penggunaan dana keistimewaan sendiri diatur dalam pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Keistimewaan. Penggunaan dana tersebut hanya dikhususkan pada lima kewenangan. Diantaranya; kebudayaan, pertanian, tata ruang, kelembagaan, tata cara pengisian gubernur atau wakil gubernur. Semenjak 2015, ada tiga Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berkoordinasi untuk mengatur penggunaan dana keistimewaan DIY. Antara lain; Dinas Sekretariat Daerah (Setda), Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM), dan Dinas Kebudayaan.
Pembahasan selanjutnya yang disampaiakan oleh Purwo Santoso dalam diskusi tersebut lebih membahas terkait perebutan wacana dari Undang-Undang Keistimewaan. Mengingat ia merupakan salah satu tim perumus dari Undang-Undang Keistimewaan. “Dalam perumusan Undang-Undang tersebut ada satu klausa yang selalu dijadikan titik pijak perumusan, yaitu untuk sebesar besar kemakmuran rayat.” Ungkap Purwo Santoso. Namun diterima atau tidak, kondisi di lapangan bukanlah seperti yang diharapkan.
Adanya UUK seakan mempersilahkan kepada Kasultanan dan Kadipaten untuk melalukan monopoli atas segala sumber daya yang ada di DIY. Mulai dari penguasaan atas tanah, penentu fungsi dan pengatur tata ruang, pengatur jalur sirkulasi investasi, pengendali kelembagaan, pemerintahan lokal, percaturan politik hingga keamanan sosial. Melalui UUK pula, Kasultanan dan Kadipaten seakan melalukan praktik negara dalam negara dan membentuk relasi baru antara pengukuhan aset-aset Swapraja, untuk pembanguann neoliberal, dengan kedok keistimewaan.
Nafas ingin menyejahterakan sebanyak-banyaknya masyarakat DIY melalui UUK seakan jauh panggang dari api. Karena yang ada hanya memunculkan banyak sekali polemik dan permasalahan. Selain soal ketimpangan dan pemerataan, akibat lain dari adanya UUK yaitu munculnya konflik agraria. Beberapa waktu terakhir, penggusuran dengan menggunakan klaim Sultanaat Grond (SG) dan Paku Alamanaat Grond (PAG) massif terjadi dan menimbulkan konflik agraria di DIY. Sebagai akibat adanya klaim SG & PAG ada kurang lebih 19 kasus konflik agraria di DIY, diantaranya ;
- Pembangunan Bandara Internasional Di Kulonprogo,
- Pertambangan Pasir Besi Dan Pembangunan Pabrik Baja Di Kulonprogo,
- Penggusuran Pemukiman Warga Di Parangkusumo,
- Penggusuran Tambak Udang Di Parangkusumo,
- Pematokan Tanah Sultan Ground (SG) Di Atas Tanah Negara Di Parangkusumo,
- Pematokan Tanah SG Di Atas Tanah Hak Milik Warga Di Mancingan Parangtritis,
- Perampasan Hak Tanah Melalui Perubahan Status Hak Guna Bangunan Di Jalan Solo Kotabaru,
- Penggusuran Sekelompok Warga Di Suryowijayan,
- Ancaman Penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) Dengan Dalih Tanah SG Di Gondomanan,
- Revitalisasi Kantor Kepatihan Yang Berdampak Penggusuran Di Suryawijayan,
- Perampasan Tanah Desa Melalui Pembalikan Nama Sertifikat Tanah Desa Seluruh DIY,
- Diskriminasi Rasial/Etnis Melalui Pelarangan Hak Milik Atas Tanah Di Seluruh DIY,
- Penolakan Perpanjangan Hak Guna Bangunan Di Jogoyudan, Jetis,
- Penolakan Permohonan Sertifikat Hak Milik Tahan Di Blunyahgede,
- Pembangunan Apartemen Di Kawasan Padat Penduduk Di Jalan Kaliurang Km 5,
- Penarikan Sertifikat Hak Milik Dengan Dalih Pembaruan Sertifikat Di Mantrijeron,
- Perampasan Hak Tanah Melalui Pembatalan Hak Milik Atas Tanah Di Pundungsari,
- Perampasan Tanah Negara Dan Warga Atas Nama Penertiban Tanah SG Dan Pariwisata Di Seluruh Gunungkidul,
- Pengusiran Dan Pembongkaran Paksa Kios Warga Dengan Dalih Tanah SG.
Jika kita menilik peraturan UU lebih dalam, SG dan PAG sudah tidak berlaku setelah adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Mengingat SG dan PAG merupakan tanah swapraja (feodal) yang sudah dihapuskan oleh Diktum IV UUPA. Oleh sebab itu yang seharusnya menjadi aturan dasar dalam mengatur pertanahan di DIY ialah UUPA sebagai aturan khusus dari UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Dari kondisi tersebut, UUK seakan menjadi bukti otentik pelanggaran hukum oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses penerbitannya. UUK yang seharusnya bisa menjadikan DIY semakin istimewa justru malah sebaliknya. ***
Jogja adalah salah satu kota dengan perkembangan tercepat jadi tidak heran dengan hal ini