Mendistorsi Hegemoni dan Anti-Esensialisme: Analisa “Mitos Tambang Untuk Kesejahteraan” dalam Kerangkeng Liberalisme
Judul : Mitos Tambang Untuk Kesejahteraan: Pertarungan Wacana Kesejahteraan dalam Kebijakan Tambang
Penulis : Hendra Try Ardianto
Penerbit : Yogyakarta, PolGov
Tahun terbit : November 2016
Jumlah hlm : xxxii + 264 halaman
KONFLIK antara masyarakat dan PT Semen Indonesia (SI) di Rembang, Jawa Tengah, sampai saat ini terus berlangsung. Perlawanan rakyat bersama jaringan aktivis untuk menolak pendirian pabrik semen di atas lahan pertanian terus dilakukan dengan beragam metode aksi. Dari mulai demonstrasi ke pembuat kebijakan, mendirikan tenda sekaligus memblokir kawasan konflik, hingga aksi pasung semen di depan Istana Negara.
Beragam analisa dari berbagai pihak –baik yang pro atau kontra, telah muncul seiring dengan semakin masifnya konflik. Paparan dan analisa dari mulai asal usul konflik, kontroversi soal wilayah pertanian itu sendiri, hingga reaksi perlawanan warga dengan mudah dapat dicari di internet. Namun demikian, kasus ini masih belum terekam dengan baik dalam bentuk buku, yang umumnya punya analisa lebih dalam dibanding artikel daring.
Salah satu buku yang berupaya menganalisis konflik itu adalah Mitos Tambang Untuk Kesejahteraan: Pertarungan Wacana Kesejahteraan dalam Kebijakan Tambang (selanjutnya disebut Mitos Tambang), karya Hendra Try Ardianto. Buku ini diolah dari tesis penulis buku di Pascasarjana Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gajah Mada (UGM).
Para akademisi studi kebijakan mungkin akan melabeli buku ini tidak lazim sekaligus tidak ilmiah. Hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan, karena analisa dalam buku ini berupaya mendobrak kemapanan kaum positivistik dalam studi kebijakan. Dalam Mitos Tambang, penulis dengan tegas menentang cara berpikir positivistik dengan menempatkan si-peneliti pada salah satu pihak, dan dengan begitu mengeliminasi pandangan arus-utama bahwa peneliti harus “objektif” dan “netral” terhadap objek penelitiannya.
Mitos Tambang menolak rasionalisasi studi kebijakan yang hanya berusaha menjelaskan realitas (ontologi) dan setelah itu memberikan rekomendasi yang bertopang pada political will pemerintah. Kajian Hendra berupaya melampaui hal tersebut. Dalam Mitos Tambang, Hendra menjabarkan bahwa kebijakan adalah arena political tempat bertarungnya berbagai kepentingan, bukan sebatas teknokratisme dan proseduralisme semata.
Dengan memadukan metode penelitian melalui wawancara mendalam (baik secara formal & informal), observasi partisipan, & analisis data di media, buku Mitos Tambang memiliki data yang cukup melimpah. Dalam kontek lokal pembangunan pabrik semen di Rembang, Hendra lebih dahulu menjelaskan tentang upaya dari Negara (Pemerintah Provinsi Jawa Tengan & Pemerintah Kabupaten Rembang) untuk melanggengkan “tambang untuk kesejahteraan” sebagai mitos. Langkah awal yang dijalankan adalah dengan melakukan artikulasi terhadap kondisi krisis di Rembang dan itu tertuju pada permasalahan “kemiskinan”. Berbagai pernyataan dan dokumen dari pemerintah kemudian menyasar kemiskinan sebagai kondisi krisis dengan menawarkan solusi alternatif yaitu pembangunan pabrik semen sebagai piranti menuntaskan kemiskinan.
Titik nodal “tambang untuk kesejahteraan” pada praktik selanjutnya dibentuk dari jahitan berbagai penanda mengambang yang terekspresikan dalam tiga hal. Pertama adalah artikulasi good minning practices sebagai metode penambangan yang baik. Kedua dengan membangun makna bahwa kebijakan yang benar hanya yang sesuai dengan prosedur dan berbasis pada kajian ilmiah. Terakhir dengan berupaya mencari restu dari berbagai pihak, seperti dari agamawan, masyarakat sipil, dan masyarakat adat Samin. Langkah itu digunakan untuk mewujudkan hegemoni pembangunan berbasis pertambangan (hal. 121).
Pada pembahasan selanjutnya Hendra memaparkan tentang latar belakang terjadinya pertentangan dalam mengugat Mitos Tambang. Terbentuknya perlawanan masyarakat petani Kendeng dipicu oleh munculnya dislokasi sosial dari struktur wacana yang dibentuk negara. Wacana tentang green industry tidak mampu diterima oleh masyarakat karena menyisakan berbagai ancaman kerusakan. Sedangkan makna tentang mematuhi prosedur dan ke-ilmiahan dibangun atas landasan manipulatif. Adanya dislokasi itu yang memunculkan antagonisme warga untuk berjuang melawan upaya pembangunan PT SI di Rembang yang berdiri pada aras idiologi liberalisme.
Dipembahasan terakhir, buku Mitos Tambang menawarkan pendekatan agonistik sebagai model solutif dalam menyelesaikan permasalahan kebijakan publik. Disebut agonistik karena model ini melihat bahwa setiap pengambilan keputusan, konsesus yang terbentuk tetap memberikan legitimasi atas ide dan hasrat dari berbagai pihak atau aktor perumus kebijakan.
Menariknya, setelah membaca buku ini lebih dalam, justru yang saya temukan adalah penulis menjadi apa yang dikritiknya sendiri. Mitos Tambang, bagi saya, justru menyuguhkan formalisme dalam bentuk yang lain dan mengabaikan perspektif strukturalis. Ada keterputusan antara tujuan penelitian dengan pembahasan yang dibangun.
Hendra melihat objek yang dia teliti layaknya kaum Hegelian, mereka yang menyangka realitas pertama dan utama dari semesta kenyataan adalah ide. Kenyataan tak lain cerminan dari ide itu sendiri. Dengan menggunakan pisau analisa Laclau &Mouffe (L&M) tentang hegemoni, Hendra justru terjebak pada pertarungan di level wacana atau super-struktur dan tidak berdiri pada realitas objektif (basis). Karena itu pula, solusi yang Hendra tawarkan cenderung liberalistik (padahal Hendra mengaku menentang liberalisme).
Sebaliknya, dalam resensi ini, saya akan menggunakan analisa ekonomi-politik. Saya akan memulai dengan menjelaskan kekurangan analisa hegemoni ala L&M yang menjadi pisau analisa utama Hendra.
Membawa Hegemoni, Meninggalkan Materialisme Dialektis
Jika berbicara tentang hegemoni, kita tidak mungkin meninggalkan analisa Antonio Gramsci sebagai orang yang berjasa menghadirkan konsep tersebut. Gagasan hegemoni Gramsci berakar pada pembedaan antara paksaan dan persetujuan sebagai mekanisme alternatif kekuasaan (2013). Hegemoni, menurut Gramsci, merupakan “kepemimpinan melalui intelektual dan moral.” Kekuatan hegemoni bekerja untuk meyakinkan individu maupun kelas sosial dalam menerima dan mereproduksi nilai-nilai dan norma-norma sosial dari kuasa hegemonik. Hegemoni berangkat dari gagasan marxisme dan mempertahankan tesis-tesis dasarnya seperti kelas sosial, modus produksi kapitalis, dan pembedaan antara basis dengan super-struktur (materialisme historis). Hal itu termanifestasikan dari penjelasan Gramsci tentang elit penguasa dengan subaltern, intelektual organik regresif dengan progresif, pembangunan blok historis, dan perang posisi.
Para pemikir post-strukturalis seperti L&M mengkritik gagasan ini. Menurut mereka, hegemoni terjebak pada prasangka naturalis, yaitu bahwa basis ekonomi sebagai penentu bagi artikulasi politik. Bagi L&M (2008), hegemoni diletakan pada nalar berlangsungnya wacana, bukan nalar subordinasi kelas sebagaimana dipahami Gramsci. L&M menegaskan bahwa hegemoni adalah pengakhiran (sementara) dari proses kewacanaan atau sebuah bentuk kemapanan wacana (hlm. 17). Selain penolakan terhadap pembedaan basis dan super-struktur yang ditentukan oleh logika ekonomi, pandangan L&M juga menolak identitas dan formasi kelompok yang bisa ditetapkan secara objektif. Terakhir, mereka menolak penegasian atas penguraian masyarakat yang terpilah-pilah dalam kelas-kelas tertentu (ibid). Menurut mereka perkembangan zaman telah menimbulkan pluralitas gerakan yang tidak lagi berbasis kelas, seperti gerakan lingkungan, agraria, feminis, adat, atau LGBT.
Wacana, sebagai nalar terbentuknya hegemoni, oleh L&M didefinisikan sebagai totalitas makna yang terstruktur, yang dihasilkan dari praktik artikulasi. Sementara makna adalah sesuatu yang cair dan tidak pasti (contigent) yang hanya bisa dipahami dengan menempatkannya pada wacana tertentu (hlm. 18). Sedangkan praktik artikulasi adalah proses pembangunan relasi di antara berbagai kelompok sehingga identitas mereka mengalami perubahan. Untuk mendapatkan makna spesifik, praktik artikulasi melakukan fiksasi terhadap makna yang semula cair dan tidak pasti. Sementara makna dapat ditetapkan ketika berada dalam formasi wacana. Dengan logika itu maka proses pertentangan muncul ketika ada kesalahan praktik artikulasi dalam membangun kemapanan wacana guna mencapai hegemoni. Hal tersebut dikarenakan adanya dislokasi dan kemudian memunculkan antagonisme yang merepresentasikan perlawanan (Laclau & Mouffe 2008).
Pandangan post-strukturalis gaya L&M ini mendapatkan berbagai kritikan tajam. Norman Geras mengkritik L&M karena dinilai melakukan kesalahan dalam membaca konsep Luxemburg tentang pemogokan massa dan argumen Althusser tentang determinisme. L&M bahkan dijuluki oleh Geras sebagai idealis yang malu-malu menunjukan wajahnya.
Setidaknya ada dua argumen mengapa Geras berkesimpulan demikian. Pertama, L&M mencerabut tradisi marxisme dalam hegemoni. Kedua, tawaran solusi demokrasi radikal dari L&M sebagai “intellectualy empty” (1988, 35). L&M telah mengganti perjuangan kelas dari tradisi gerakan sosial menjadi demokrasi radikal yang sebenarnya tidak demokratis. Itu karena L&M telah memotong perjuangan politik dari yang material menjadi sekedar dalam ranah diskursif atau di awang-awang (E.M Wood dalam Lavato 2015).
Sementara menurut Martin Suryajaya, problem mendasar dari perspektif L&M adalah bahwa mereka terjebak pada formalisme dan anti-esensialisme, yang berarti anti materialisme dan anti-realisme (2012). Ketika basis perhitungan ekonomi ditinggalkan, maka di tangan L&M proses hegemoni hanya berkenaan dengan “identifikasi”. Proses konstruksi dari hegemoni terhadap subyek kolektif menjadi hanya sekedar “mana suka”. Sehingga tidak ada alasan mengapa kaum petani Kendeng beraliansi dengan kaum buruh dan para aktivis, mengapa mereka harus dibela, mengapa pemerintah membela pengusaha, dan mengapa pabrik semen bersama pemerintah tetap memaksakan pembangunan di Pegunungan Kendeng Utara.
(Hanya) Berebut Makna Kesejahteraan, Mengabaikan Praktek Sosial
Hendra mulai menggunakan pisau analisa hegemoni L&M pada bab tiga. Di sini, ia membahas kemunculan “mitos” bahwa tambang baik untuk kesejahteraan warga Rembang.
Kekeliruan pertama yang dilakukan oleh Hendra adalah ia melihat hegemoni dapat direalisasikan dalam satu konteks sosial dengan mengabaikan basis struktur sosial dimana hegemoni itu hadir (hlm. 72, 79, 82, 119, 121). Hendra tidak mampu membedakan antara pembenaran untuk memberi karpet merah dalam ekspansi kapital dengan hegemoni. Contoh sederhananya, Hendra menilai sebelum Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah itu menerapkan kebijakan yang memperbolehkan ekspansi pabrik semen, ia akan membentuk hegemoni dengan mengeluarkan berbagai wacana terlebih dulu ke tengah masyarakat. Tujuannya tentu, agar kebijakannya itu dianggap wajar dan pada akhirnya berhasil.
Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Hegemoni kapitalisme telah menancap dalam super-struktur masyarakat sejak sistem ini mulai menjamah nusantara, berabad silam. Kebijakan pembangunan pabrik semen PT SI berdiri di tengah altar hegemoni yang sudah terbangun lama tersebut. Akan tetapi, karena hegemoni bergerak di relasi kehidupan masyarakat yang tidak tetap atau berubah-ubah, maka narasi-narasi hegemoni juga harus terus direpetisi dan direproduksi. Berbagai diskursus dan wacana kebaikan yang dilontarkan oleh kuasa hegemonik (merujuk penguasa politik dan ekonomi) dalam konteks pembangunan pabrik semen di Rembang bukanlah upaya membentuk hegemoni baru, melainkan untuk mengatasi permasalahan krisis hegemoni, di mana dalam kasus spesifik ini ada masyarakat yang tidak setuju dengan ekspansi pabrik semen.
Kuasa hegemonik membangun narasi kebaikan (contoh: pabrik semen membuat sejahtera masyarakat, membuka lapangan kerja, melawan perusahaan semen asing, dlsb. –ed) untuk membendung dan menambal krisis hegemoninya dalam struktur dan formasi sosial masyarakat, bukan untuk membuat hegemoni baru.
Dengan menggunakan perspektif L&M, Hendra terkerangkeng pada kekeliruan kedua yang cukup fatal. Kekeliruan tersebut adalah melihat terbentuknya perlawanan masyarakat semata sebagai akibat kesalahan wacana dari pihak liyan, atau dalam hal ini adalah PT SI dan Pemerintah (dibahas di bab 4). Argumennya, upaya membentuk kemapanan wacana melalui “mitos tambang untuk kesejahteraan” pada kenyataannya mengalami beberapa kesalahan (tidak dijelaskan tentang apa kesalahannya) dan menyisakan banyak celah yang kemudian menimbulkan dislokasi (hlm. 124-125). Akibat dislokasi itu, berbagai makna yang sebelumnya ditutup atau disingkirkan oleh Pemerintah & PT SI malahan mengemuka. Keadaan itu memunculkan antagonisme, yang berarti timbul pertentangan dan mengakibatkan konflik sosial. Dengan adanya dislokasi tentang wacana “tambang untuk kesejahteraan”, upaya perjuangan politik warga untuk mendefinisikan kesejahteraan dengan caranya sendiri niscaya bisa dilakukan (hlm. 125).
Pembacaan seperti itu jelas mengaburkan alasan utama penolakan masyarakat. Hasil penelitian yang saya lakukan di Pati menunjukan bahwa yang membuat masyarakat tergerak menolak pabrik semen adalah karena upaya ekspansi kapital itu sendiri (2016).
Pada akhir tahun 2010, ketika masyarakat baru mendengar informasi yang masih simpang siur bahwa Kecamatan Tambakromo dan Kayen, Kabupaten Pati, akan dibangun pabrik semen, mereka langsung meresponnya dengan membentuk simpul-simpul perlawanan seperti organisasi, aliansi, jejaring, dan juga berbagai aksi. Perlawanan itu muncul untuk menentang ekspansi kapital. Ini jadi bukti bahwa tidak perlu menunggu kesalahan dan celah wacana dari pemerintah dan PT SI agar perlawanan itu terjadi, sebab pada saat itu bahkan belum ada upaya untuk menghadirkan mitos “tambang untuk kesejahteraan”.
Perlawanan muncul dan menjadi gerakan yang luas karena pabrik semen mengancam kehidupan mereka, bukan karena kesalahan wacana “tambang untuk kesejahteraan”. Walaupun pada perkembangannya, memang wacana tersebut turut menjadi perhatian perlawanan. Namun itu lebih karena masyarakat menyadari bahwa menentang ekspansi pabrik semen juga harus membalikkan diskursus mereka. Dari sini dapat dilihat bahwa perlawanan yang dilakukan bukan hanya dalam ranah diskursif, melainkan juga, dan yang paling utama, dalam ranah praktik sosial. Mereka secara sadar menentang ekspansi pabrik semen dibanding hanya sekedar merebut wacana kesejahteraan saja.
Anti-Esensialisme dan Kebingungan Siapa yang Harus Dibela
Dieliminasinya formasi sosial dan analisa kelas sosial membuat buku ini ambigu ketika berbicara tentang tawaran solusi. Di awal Mitos Tambang, Hendra menjelaskan bahwa seorang peneliti harus memihak, karena netralitas adalah omong kosong. Pertanyaannya adalah harus memihak ke siapa, karena alasan apa, serta bagaimana caranya? Di bagian terakhir bukunya, Hendra menjawab bahwa peneliti harus berpihak pada “kelompok marjinal”(hlm. 217) dan “kaum lemah” (hlm. 229). Namun pertanyaan yang muncul adalah siapa itu kelompok marginal dan kaum lemah itu; bagaimana kita mengetahui bahwa mereka kelompok marginal atau tidak; serta prasyaratnya apa untuk menunjukan itu?
Pada konteks ini letak keambiguan itu muncul. Ketika basis ekonomi dieliminasi, maka tidak ada pembeda yang tegas antara kelas proletariat dan kelas borjuasi; serta antara orang miskin dan orang kaya (diukur dari segi ekonomi). Dalam perspektif L&M, identitas dan formasi sosial itu tidak objektif dan tidak tetap sehingga tidak bisa dijadikan penentu relasi dan kecenderungan politik. Akibatnya, “marjinalitas” dengan perspektif tersebut tidak diukur dari kelas sosial seseorang atau masyarakat. Dari pembacaan saya, Hendra cenderung menempatkan marjinalitas itu pada mereka yang menjadi subyek yang akan dihegemoni atau mereka yang tertekan akibat wacana-wacana hegemonik (hlm. 229).
Jika demikian, maka menjadi kabur siapa yang harus kita bela karena tidak ada keobjektivan terhadapnya. Bisa jadi suatu ketika kita harus membela petani Pegunungan Kendeng karena “wacana pertanian untuk kesejahteraan” mereka terancam oleh tambang dan mereka juga tengah tertekan karena menjadi subyek yang akan dihegemoni (posisi marjinal). Namun dengan pendekatan tersebut, pembelaan itu bisa berubah seketika. Contohnya yang terjadi sekarang, ketika PT SI membangun wacana baru yang menempatkan mereka di posisi marjinal, terancam oleh para pemain industri semen asing. Belum lagi wacana soal penolakan yang didukung oleh kompetitor asing (klaim PT SI, wacana palsu) dengan berbagai jargon nasionalistik.
Apakah keadaan itu berarti menjadikan PT SI sebagai kelompok marjinal dan pada posisi lemah karena mereka tertekan dan menjadi subyek yang berupaya dihegemoni oleh masyarakat tolak pabrik semen? Dengan logika yang sama, konsekuensinya kemudian kita menjadi harus membela PT SI guna melawan masyarakat. Hal itu yang menjadi problem utama pembacaan yang anti-esensialisme, yang berarti anti-materialisme dan anti-realisme. Menolak keobjektivan kelas sosial membuat keberpihakan kita bisa berubah-ubah.
Ini jelas berbeda dengan cara pandang Hegemoni Gramscian yang berpijak pada materialisme dialektis. Dalam pandangan Gramsci, yang harus dibela adalah kelas proletariat.
Kebijakan Agonistik dan Menjadi Apa yang Dikritiknya Sendiri
Dalam bab terakhir Mitos Tambang, Hendra menyajikan perspektif yang menarik dengan menawarkan penjelasan cukup panjang tentang solusi dan tentang apa yang harus dilakukan. Hal itu jarang ditemui dalam berbagai penelitian akademis. Dalam penelitian-penelitian yang menggunakan metode positivistik, setelah menjelaskan rasionalisasi data, mereka kemudian menawarkan rekomendasi remeh temeh yang menopangkan diri pada kebaikan hati penguasa. Buku Mitos Tambang yang ditulis seorang akademisi cum aktivis tidak puas hanya sekadar menjelaskan. Hendra membangun argumen tentang kebijakan agonistik sebagai jalan terang bagi kelompok marjinal.
Seperti yang telah dijelaskan di awal, permasalahan dalam pemilihan pisau analisa turut membawa konsekuensi pada analisis data dan juga pada tawaran solusi. Saya kutipkan satu paragraf:
Andaikan saya dipaksa untuk memberikan saran untuk memperbaiki kebijakan yang dianggap “bermasalah”, maka saran itu adalah: rebut formasi wacana yang ada. Artinya, gerakan sosial perlu terus dikembangkan untuk mempengaruhi formasi wacana yang berlangsung dalam kebijakan. Bahkan jika mampu, sampai menyeret negara/pemerintah menjadi bagian dari batas politik (political frontier) yang sama dengan warga… (hlm. 227)[1].
Tawaran solusi tentang “rebut formasi wacana yang ada” dengan “mempengaruhi formasi wacana yang berlangsung dalam kebijakan” menunjukan bahwa cita-cita yang diperjuangkan adalah membentuk kesetaraan politik. Tujuan akhir cita-cita itu adalah untuk membuat kekuatan diskurisf negara/pemerintah menjadi setara dengan warga. Pada kondisi itu maka gerakan rakyat dapat berpeluang besar untuk merebut narasi wacana dalam setiap kebijakan, sehingga pemerintah menjadi berpihak pada rakyat. Solusi tentang apa yang harus dilakukan gerakan tersebut tidak bisa dipisahkan karena ketika menganalisa kebijakan dengan menggunakan pendekatan agonistik (hlm. 205-219).
Dalam konteks sosial, agonistik berarti relasi konfliktual antara berbagai identitas politik sekaligus syarat dasar bagi penguatan demokrasi. Model analisis agonistik adalah visi untuk mengubah antagonisme menuju agonisme. Ini artinya, agonisme meyakini bahwa dalam suatu konflik selalu ada relasi antagonistik, tetapi bukan untuk meniadakannya. Dalam suatu konflik terdapat beberapa jenis ikatan bersama antara pihak-pihak yang terlibat, tetapi harus diperlakukan sebagai lawan, bukan musuh yang harus dimusnahkan (Mouffe 2005, 20).
Dengan penjelasan seperti itu, visi agonisme ini selaras dengan ide demokrasi radikal dan plural dari L&M. Demokrasi radikal yang dimaksud adalah adanya ekuivalensi antar warga atau kesetaraan dalam konteks diskursif untuk saling bertarung memperebutkan makna hingga mencapai kemapanan wacana. Sementara demokrasi plural terjadi ketika demokrasi tersebut menjaga individualitas yang unik dari tiap-tiap warga yang mengakui perbedaan di antara mereka.
Visi agonistik dan demokrasi radikal-plural tersebut pada akhirnya terjebak pada demokrasi liberal. Itu karena relasi sosial yang dituju adalah relasi liberalistik yang membuka ruang bagi kebebasan individu. Sementara kesetaraan yang dikonstruksikan hanya melalui operasi diskursif (tidak berhubungan dengan basis atau persoalan ekonomi) (Suryajaya 2012, 229). Itulah mengapa perjuangan gerakan sosial cenderung lebih diarahkan dalam perselisihan tentang “makna semantik” dibanding untuk merubah “tubuh” relasi sosial dalam masyarakat (DeLanda 2006).
Jika gerakan sosial menentang ide liberalisme, maka perjuangan politik yang ditempuh tidak hanya sebagai bentuk pembangunan “makna baru” dari perebutan formasi wacana. Namun yang lebih penting adalah pembangunan “realitas baru” atau pembangunan tatanan “masyarakat baru”. Itu selaras dengan cita-cita sosialisme tentang politik reditributif dan emansipatif. Redistribusi yang dimaksud adalah redistribusi ekonomi untuk memangkas ketidaksetaraan atau ketimpangan dalam relasi kelas sosial. Melalui kesataraan penguasaan ekonomi, maka kesetaraan dalam politik menjadi mungkin (emansipasi).
Dalam buku Mitos Tambang, penjelasan hingga solusi yang ditawarkan tidak menyentuh persoalan hakiki dalam masyarakat. Kesetaraan politik yang ditawarkan menjadi utopis karena tidak didahului dengan perjuangan mencapai kesetaraan ekonomi. Padahal realita keseharian dengan gamblang menunjukan bahwa mereka yang menguasai ekonomi hampir selalu menguasai medan wacana dan menentukan keputusan politik.
Atas dasar itu maka visi agonistik dan demokrasi radikal-plural cenderung memfasilitasi ide liberalisme. Padahal dalam penjelasannya, Hendra menentang dan mengkiritik liberalisme. Sehingga dalam buku Mitos Tambang, Hendra menjadi apa yang dikritiknya sendiri.
Siapa yang diuntungkan dari solusi agonistik dan demokrasi radikal-plural ini? Jawabannya, tidak lain adalah para pemilik modal atau kaum borjuis. Hal ini disebabkan karena kontradiksi pada level modus produksi di kesampingkan hanya jadi salah satu efek diskursif saja, dan cita-cita gerakan sosial semata hanya untuk mencapai kesetaraan dalam politik dengan mengabaikan visi tentang kesetaraan ekonomi. Dalam konteks tersebut maka proses akumulasi kapital terus berjalan dan kebijakan pembangunan yang mengancam kehidupan masyarakat terus dilakukan.
Daftar Pustaka:
DeLanda, Manuel 2008, A new philosophy of society: assemblage theory and social complexity, – , Bloomsbury Academic.
Geras, Norman 1987, “Post marxism?”, New Left Review, 163: 4082.
Geras, Norman 1988, “Ex-Marxism without substance”, New Left Review, 169, hlm. 34-62.
Gramsci, Antonio 2013, Prison Notebooks: Catatan-Catatan Dari Penjara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Laclau, E. & Mouffe, C 2008, Hegemoni dan strategi sosialis, Resist Book, Yogyakarta.
Lovato, Brian C 2015, Democracy, dialectics, and difference: hegel, marx, and 21st century social movements. Routledge Publisher, London.
Novianto, Arif 2016, Perlawanan rakyat: analisa kontra-hegemoni dalam ekonomi politik kebijakan pembangunan pabrik semen di pati, Skripsi S-1 Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM.
Suryajaya, Martin 2012, Materialisme dialektis: kajian tentang marxisme dan filsafat kontenporer, Resist Book, Yogyakarta.
[1] Pemberian garis bawah tidak ada di buku Hendra, penulis memberikan garis bawah untuk menunjukan pada pembaca kalimat yang problematis sehingga menjadi titik poin ke pembahasan selanjutnya.
Resensi Buku ini sebelumnya dimuat di Jurnal Bhumi Vol 3, No 2, Tahun 2017. Naskah asli resensi buku ini dapat didownload di sini: Download.
Dimuat ulang untuk tujuan penyebaran keilmuan dan pendidikan.
Thankyou for much information