Pembangunan yang Memarjinalkan dan Perebutan Kontrol Atas Kota
Kota yang kudambakan, tawarkan kekerasan
Nyeri merobek hati, tak dapat aku hindari
Sombongnya engkau berjanji, kau lambungkan anganku
Mimpiku singgah di langit, kau bohong (Kota – Iwan Fals)
Seiring bertambahnya jumlah penduduk di muka bumi, jumlah hunian juga semakin dibutuhkan. Cara hidup yang dimoderasi logika modernism, menjadikan manifestasi terhadap hunian dibentuk melalui selera pasar. Oleh sebagian orang itu menjadi peluang besar. Para pengembang (developer) menangkap peluang itu untuk meraup pundi-pundi keuntungan.
Baru-baru ini salah satu pengembang yang ada di Indonesia “Lippo Group” meluncurkan sebuah proyek hunian mewah. Mereka berambisi menciptakan “kota baru” di seberang Jakarta yang dilabeli Meikarta. Meikarta dibangun di atas lahan seluas 500 hektare. Tanah itu dibeli sejak tahun 1990 dengan harga kurang lebih Rp 5.000/ m² dan menghabiskan dana sekitar Rp 12,5 miliar. Saat ini, harga tanah itu menjadi Rp 2 juta/m² dan nilainya sudah Rp 10 triliun (tirto, 21/08/17). Potensi keuntungan Rp 9,98 triliun didapat oleh Lippo Group dari hanya menjual tanah kosong. Tapi logika akumulasi kapital Lippo Group tidak seperti itu. Mereka berupaya menyulap tanah kosong itu menjadi sebuah hunian mewah yang dapat menarik gelontoran uang dari kelas menengah ke atas.
Dalam Diskusi MAP Corner yang diadakan pada tanggal 17 Oktober 2017 salah seorang pemantik Gregorius Sri Wuryanto mengatakan bahwa “Lippo dalam memasarkan Meikarta hanya menjual imajinasi kepada para calon pembelinya”. Dia juga menambahkan bahwa saat ini kita menghadapi mesin propaganda yang disokong oleh developer modal besar untuk memanipulasi kesadaran tentang hunian yang layak dan itu adalah Meikarta.
Dalam membangun persepsi kepada para konsumen, Lippo Group menghabiskan uang mencapai Rp 700 miliar untuk beriklan. Narasi yang coba dibangun oleh Lippo Group melalui Meikarta adalah bahwa kota Jakarta begitu menakutkan karena setiap hari penduduknya dihantui kemacetan, polusi, dan kehidupan yang kumuh. Padahal kita tahu bahwa para perusahaan properti ini memiliki andil dalam membentuk kota Jakarta seperti itu. Sebuah kota yang menyingkirkan orang miskin ke pinggiran dan menjadi kota yang begitu menakutkan. Sekarang para pebisnis properti mulai membentuk kota baru dan mengincar kota lain sebagai target sasaran ekspansi kapitalnya, seperti Yogyakarta.
Di Yogyakarta dalam sepuluh tahun terakhir pembangunan hotel begitu menjamur. Kondisi ini dibenarkan oleh Dodo salah satu aktivis Jogja Ora Didol sebagai pemantik ke-dua dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM. Dodo mengatakan bahwa “(…)Yogyakarta sebagai kota yang dikenal dengan budayanya seharusnya menjaga agar lingkungan tetap aman, asri dan tentram”. Dia juga menambahkan bahwa dalam membangun kota seharusnya memperhatikan aspek kemanusiaan agar tidak terjadi diskriminasi dalam masyarakat.
Dodo mengkritisi bahwa banyak hotel yang dibangun di belum ada AMDALnya akan tetapi proses pembangunan sudah dilakukan. “Ada manipulasi sehingga izin Amdal itu dikeluarkan” ungkap Dodo.
Pola pembangunan kota di Indonesia sekarang ini seperti apa yang diungkapkan oleh David Harvey, bahwa sejak dari dulu kota muncul melalui konsentrasi sosial dan geografis dari surplus produksi (2012: 5). Di bawah kapitalisme, kontrol surplus produksi berada di tangan kelas pemilik modal atau kapitalis. Pengembangan tata kota menjadi bergantung pada kepentingan para pemilik modal tersebut. Kondisi itu sebagaimana menurut Harvey, kemudian meminggirkan kelas sosial yang tidak memiliki alat produksi dan tidak memiliki kontrol atas surplus produksi, yaitu kelas pekerja (ibid).
Jamak kita temui, kelas pekerja menjadi korban dari pembangunan kota yang dirancang dari kaca mata kelas atas. Ekspansi hunian di Kota Yogyakarta dari para perusahaan properti memicu pertentangan dengan masyarakat sekitar. Sumur yang mengering, kemacetan, dan penyingkiran masyarakat kelas bawah menjadi keadaan yang berjejalin dengan ekspansi itu (Tirto, 20/10/2017).
Perjuangan kontrol atas kota perlu partisipasi dan peran aktif dari masyarakat kelas pekerja untuk menempatkan diri sebagai subjek yang aktif. Bukan sekedar objek yang sekedar menunggu kebaikan hati penguasa. Pembangunan yang memarjinalkan kelas pekerja menjadi permasalahan yang tidak akan pernah usai ketika sistem kapitalisme masih berkuasa. Sehingga untuk merebut kontrol atas kota merupakan perjuangan kelas pekerja yang revolusioner (Harvei, 2012). Hak atas kota itu bukan merupakan insiatif atau kerja individu dan kelompok akan tetapi merupakan kerja kolektif dari rakyat. Dengan demikian hak atas kota itu mengandung dua aspek fundamental pertama adalah penolakan terhadap kapitalisme dan yang kedua adalah partisipasi rakyat yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya dalam proses pembangunan perkotaan.
Kota selama ini telah menyerap surplus produksi dari sel-sel pinggiran dan sebaliknya kota juga menyebar jaring kapitalnya untuk meraup surplus produksi tersebut di pinggiran. Permasalahan kota sampai saat ini bahwa yang menikmati surplus itu hanya kaum pemilik modal. Sehingga kontrol atas kota adalah kontrol terhadap kepemilikan alat produksi secara bersama. Dengan cara itu maka surplus produksi tidak lagi dinikmati segelintir orang, akan tetapi dapat dinikmati secara kolektif. ***
Menurut saya tidak ada case memarjinalkan pihak manapun, kalo diliat dari sisi positifnya justru Meikarta banyak membantu dalam mengatasi defisit hunian dan menyediakan lapangan kerja.
Meikarta tidak memarjinalkan pihak manapun kok,