Menahan Ijazah, Menyandera Pekerja
Fenomena penahanan ijazah yang marak terjadi di Yogyakarta kembali mencoret citra Yogyakarta sebagai kota yang berbudaya dan santun. Di Yogyakarta, penahanan ijazah mengalami tren peningkatan yang cukup tinggi. Terhitung sejak tahun 2014, tercatat ada dua perusahaan yang diadukan ke Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Yogyakarta terkait dengan kasus penahanan ijazah yang dilakukan oleh perusahaan terhadap pekerja. Untuk tahun 2015, aduan terhadap kasus penahanan ijazah terus bertambah mencapai empat kasus aduan. Hingga awal tahun 2017, total aduan ke Dinsosnakertrans kota Yogyakarta mengenai penahanan ijazah sudah masuk 4 aduan. Dengan situasi ini, tren penahanan ijazah di proyeksi akan terus mengalami peningkatan sampai akhir tahun 2017.
Jika dilihat dari polanya, penahanan ijazah sebagai indikasi adanya praktik penyanderaan perusahaan terhadap pekerja. Dengan menahan ijazah perusahaan dengan mudah memperlakukan pekerja untuk mengikuti segala kehendak perusahaan. Alasannya, dengan adanya ijazah sebagai “jaminan” perusahaan dapat dengan mudah mengatur dan mendisplinkan pekerja untuk patuh terhadap segala bentuk peraturan perusahaan. Sementara dipihak lain, pekerja akan kehilangan posisi tawar terhadap perusahaan ketika harus di perhadapkan di hubungan industrial. Pola ini pada akhirnya, memperlemah posisi pekerja yang sedang tersandera dan disaat yang sama melanggengkan posisi politik perusahaan.
Di Yogyakarta, praktik menyandera pekerja diperkuat oleh struktur ketenagakerjaan yang ada. Salah satunya dengan struktur ketenagakerjaan yang di dominasi oleh perempuan. Pada hubungan industrial perempuan seringkali menjadi obyek yang sangat rentan untuk di perlakukan secara sepihak oleh perusahaan. Jika diamati, struktur ketenagakerjaan di Yogyakartahampir sebagian besar pekerja terdiri dari perempuan. Data menunjukkan bahwa sebanyak 44,88 % adalah perempuan dari 68, 38 % total penduduk usia kerja yang tergolong angkatan kerja di Yogyakarta (BPS, 2016).
Pada aspek yang lain tingkat pendidikan sebagian besar pekerja di Yogyakarta masih rendah. Data BPS tahun 2016, menunjukan bahwa rata-rata pendidikan pekerja di Yogyakarta masih didominasi oleh tamatan SLTA yang mencapai 38,78 % dari keseluruhan angkatan kerja. Bahkan masih banyak pekerja di Yogyakarta yang hanya mampu menyelesaikan pendidikan sampai SLTP (15,33 %). Tingkat pendidikan berkaitan erat dengan tingkat pemahaman pekerja terhadap hubungan kerja industrial. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, penahanan ijazah tidak diatur sebagai syarat hubungan industrial. Tetapi dengan tingkat pendidikan yang masih minim oleh pekerja, sehingga pekerja sangat mudah diperlakukan oleh perusahaan secara sepihak dengan memanfaatkan keterbatasan pada pekerja, termasuk salah satu contohnya melakukan penyitaan ijazah sebagai syarat kontrak perusahaan.
Selain itu, struktur produksi di Yogyakarta juga menjadi alasan kuat terhadap massifnya praktek menyandera pekerja oleh perusahaan. Sektor jasa dan perdagangan menjadi sektor andalan bagi Yogyakarta khususnya untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, sektor jasa & perdagangan menjadi sektor yang banyak menyerap tenaga kerja perempuan sekaligus sektor yang paling banyak menggunakan pekerja kontrak.Sektor jasa & perdagangan menyerap sampai 54, 99 % tenaga kerja dengan system kontrak (BPS, 2016). Mekanisme kontrak sebagai salah satu mekanisme yang berpotensi paling besar melegalkan praktik penyanderaan terhadapa pekerja. Caranya cukup sederhana, muatan materi kontrak menyertakan syarat penahanan ijazah sebagai syarat perusahaan, sehingga dengan sendirinya pekerja harus memutuhi aturan tersebut.
Jika terus dibiarkan, praktik menyandera pekerja oleh perusahaan akan berdampak padapelanggaran terhadap hak kebebasan pada pekerjaan. Dengan menahan ijazah, pekerja tidak bisa melakukan banyak hal termasuk menuntut perusahaan untuk mengubah status pekerja dari kontrak ke tetap. Selama ijazah masih ditahan oleh perusahaan, pekerja akan sulit mengeskpresikan kebebasan politiknya pada perusahaan termasuk salah satunya untuk berserikat.
Imbasnya pada sistem penggajian yang dapat di berlakukan oleh perusahaan secara sepihak.Situasi ini karena hilangnya posisi tawar pekerja terhadap perusahaan. Sementara sebagai tebusan atas penyanderaan oleh pihak perusahaan, pekerja harus taat dan patuh sampai masa penyanderaan berakhir.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Majalah Sedane.
Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.
Gila, di jogja masih ada yang seperti itu.
Gimana penyelesaiannya kalo menurut sodara?