Dibalik Gemerlap Industri Transportasi Online & Mitos Sharing Ekonomi
Munculnya transportasi online di tengah hiruk-pikuknya industri transportasi konvensional saat ini ibarat pisau bermata dua. Disatu sisi industri ini dinilai memberikan berbagai manfaat, seperti biaya yang murah, efisiensi, dan berbagai kemudahan lain yang praktis kemudian menarik banyak konsumen. Industri ini juga diklaim mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sehingga membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di sisi yang lain industri ini turut memicu munculnya konflik sosial. Tercatat kasus bentrokan antara pengemudi transportasi konvensional (ojek pangkalan, supir angkot, dan supir taksi) dengan pengemudi transportasi online (gojek, uber, dan grab) meningkat akhir-akhir ini. Terakhir pada rabu 22/3 terjadi bentrokan antara pengemudi ojek online dengan supir angkot terjadi di Bogor mengakibatkan sejumlah orang terluka dan beberapa kendaraan rusak (DetikNews, 2017). Selain konflik horizontal, industri ini juga dinilai bermasalah dalam hal ketenagakerjaan. Status pengemudi yang kurang jelas sebagai buruh atau sebagai wiraswasta menjadi salah satu contohnya.
Kondisi yang dialami pengemudi transportasi online
Menanggapi isu-isu negatif yang menerpa industri transportasi online, Dipo Dwi membenarkan klaim tersebut dalam Diskusi MAP Corner-Klub MKP Selasa 21 Maret 2017. “Kemarin ada penurunan harga untuk pengiriman Go-food menjadi 4 ribu tunai untuk tiap transaksi dan masih dipotong biaya pulsa yang bisa mencapai 3 ribu” keluh Ketua Paguyuban Dojek Driver Jogjakarta (Pagodja) yang baru tahun ini diresmikan itu. Menurut Dipo situasi ini jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang lebih mudah mendapatkan penghasilan. Padahal seingat Dipo, pada awalnya ada perjanjian pembagian keuntungan 80% untuk pengemudi (drivers) dan 20% bagi PT. Gojek Indonesia (PT.GI) serta biaya promo ditanggung PT. GI. Masalah selanjutnya terkait dengan tidak transparannya dana jaminan direkening. Sudah ada beberapa rekannya terkena suspend (permberhentian sementara) karena mengambil uang direkeningnya sendiri. Padahal tidak jelas berapa dana yang ditransfer oleh PT GI dan yang seharusnya disimpan direkening.
Masalah kecelakaan lalulintas menjadi masalah ketiga yang menghantui para pengemudi. Dipo menuturkan bahwa belum lama ini terdapat salah satu pengemudi mengalami kecelakaan sehingga harus dirawat di Rumah Sakit. Dari kejadian itu PT.GI tidak memberikan bantuan apapun kepada pihak pengemudi. Hanya jika pengemudi meninggal akan diberikan tali asih sebesar 5 juta. “Jangankan jaminan kesehatan, perlindungan atau asuransi kecelakaan pun tidak ada” ungkap Dipo. Parahnya lagi tiap kali mereka komplain mengenai masalah ini, selalu opsi mengundurkan diri yang disodorkan perusahaan industri transportasi online terbesar di Indonesia itu.
Perlakuan tidak mengenakan lainnya terkait dengan konsumen pengguna Gojek. “Sebagian besar konsumen berlaku baik pada kami, namun tidak jarang konsumen juga memaki pengemudi dengan berbagai sebutan. Belum lagi jika konsumen memberikan bintang satu (red- pelayanan buruk) hanya gara-gara masalah sepele seperti kurang kerupuk” ujar Dipo. Padahal dampaknya sangat besar terhadap karir pengemudi seperti suspend bahkan pemutusan mitra (PHK). Hal senada juga diutarakan Nurbudisetyo selaku pengemudi Go-car. Pria yang juga merangkap sebagai ketua grup Go-Car 3 Yogyakarta tersebut mengeluhkan perlakuan kurang menyenangkan yang diterimanya. “Sebagian konsumen sering kali tidak mau mengerti kondisi kami, padahal kami sudah berusaha memberikan pelayanan sebaik mungkin” ujarnya.
Kontroversi Plat Kuning dan Plat Hitam
Melihat gemerlapnya industri transportasi online saat ini, Lilik Wahid Budi Susilo mengingatkan masyarakat agar tetap berhati-hati dalam menyikapinya. Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM itu menjelaskan bahwa pada dasarnya angkutan umum dibedakan dengan angkutan pribadi berdasarkan fungsinya, bukan dari kepemilikannya. Jika fungsinya untuk mengangkut orang dan berbayar maka merupakan angkutan umum yang ditandai dengan plat kuning. Namun yang terjadi saat ini angkutan pribadi yang berplat hitam difungsikan sebagai angkutan umum. Ketika Ignatius Jonan menjabat sebagai Menteri Perhubungan, beliau tegas tidak merestui praktek semacam ini. Baru setelah Presiden Jokowi bertemu dengan Nadim Makarim (CEO PT GI) Peraturan Menteri Perhubungan nomor 32 tahun 2016 disahkan. Padahal peraturan itu tidak selaras dengan dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Di dalamnya dijelaskan bahwa angkutan umum orang dan barang hanya dilakukan oleh kendaraan bermotor umum (plat kuning).
Permasalahan plat kuning dan plat hitam terlihat hanya sederhana di permukaan, namun jika ditelaah lebih jauh ada alasan yang menjadikannya penting. Pertama terkait dengan pengemudi angkutan itu sendiri. Pengemudi kendaraan umum plat kuning harus mendapatkan pelatihan terlebih dulu untuk mendapatkan statusnya. Izin yang diberikan pun berbeda karena menggunakan SIM B 1. Kedua identitas pengemudi benar-benar terjamin karena selain tercantum dalam daftar karyawan perusahaan, ada kartu identitas beserta yang tertera di dalam kendaraan yang menandakan dia seorang pengemudi. Ketiga jika terjadi kecelakaan maupun tindakan kriminal maka perusahaan transportasi yang menaunginya wajib bertanggungjawab memberikan bantuan. Disisi lain pemilik kendaraan plat hitam tidak mendapatkan pelatihan untuk mengemudi sebagai pengemudi, kartu identitas sebagai pengemudi dipertanyakan, serta nihil kewajiban untuk bertanggungjawab bagi perusahaan dalam hal kecelakaan dan kriminalitas.
Tidak adanya batasan jam kerja juga menjadi permasalahan tersendiri dalam industri transportasi. Dengan mekanisme target sebagai capaian, bisa jadi pengemudi bekerja hingga 12 jam atau lebih. Akibatnya kesehatan dipertaruhkan, atau setidaknya beresiko memicu kecelakaan karena kondisi tubuh yang kurang fit. Masih terkait kemanan, Lilik sangat tidak setuju dengan adanya ojek motor baik online atau pangkalan sebagai angkutan umum. Berdasarkan analisanya motor dikategorikan sebagai kendaraan vulnerable. Artinya jika terjadi kecelakaan maka resiko terluka bagi penggunanya sangat tinggi. Atas dasar ketidaklayakan inilah motor dilarang sebagai angkutan umum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan. Namun lagi-lagi kedua aturan ini dikesampingkan karena tekanan politis.
Mempertaruhkan Persaingan Sehat Industri Transportasi
Tidak hanya bermasalah pada ketiga hal di atas, strategi industri transportasi online yang digunakan saat ini bersifat destruktif. Artinya munculnya industri ini mematikan usaha transportasi yang lain. Seandainya destruktif itu terjadi atas kondisi yang sama bukan menjadi masalah. Pada prakteknya kondisi persaingan diantara transportasi online dan konvensional tidak sehat. Lilik kemudian menganalogikan jika biaya produksi barang atau jasa sebesar 8 ribu maka untuk mendapat keuntungan dijual 9-10 ribu. Yang terjadi saat ini, jasa transportasi dijual 4 ribu atau dibawah harga produksinya. Alasannya karena saat ini masih mendapat subsidi yang asal sumber dananya masih dipertanyakan. Padahal beberapa taksi konvensional saat ini juga telah memiliki aplikasi online, namun harga jasa mereka masih jauh lebih mahal jika dibandingkan transportasi online. Mekanisme merugi dulu (bleeding) untuk menguasai pasar inilah yang nantinya berujung pada monopoli. Atas dasar inilah seharusnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai menyelidiki pihak terkait.
Resiko lain akibat praktek mekanisme bleeding adalah perusahaan tidak membiayai penyusutan modal yang dimiliki pengemudi. Semua biaya perbaikan kendaraan sepenuhnya dilimpahkan kepada pengemudi. Padahal pengemudi yang mayoritas tidak mengenyam pendidikan tinggi itu sama sekali tidak memikirkan penyusutan modal maupun break even point untuk mencapai keuntungan. “Ibarat mengajak bisnis orang yang tidak tahu bisnis” ujar Lilik. Hal ini sama saja dengan memperdaya pengemudi. Padahal menurut dia bisnis transportasi merupakan bisnis jangka panjang yang keuntungannya tidak didapatkan secara instan. Mekanisme bleeding juga sangat berpotensi disalahgunakan sebagai upaya menggelembungkan harga saham saja, setelah meningkat dapat dilepas ke pasar dengan harga yang lebih tinggi. Seperti kasus yang terjadi pada industri semen PT. Holchim Indonesia.
Konflik Sosial Masyarakat Kelas Bawah & Mitos Sharing Ekonomi
Yang tidak kalah penting munculnya industri transportasi online memicu konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Konflik berupa bentrokan antara pengemudi transportasi yang kian marak ini perlu menjadi perhatian khusus. Pasalnya bentrokan ini hanya terjadi di kalangan pengemudi saja sedangkan para pemilik perusahaan baik transportasi online maupun konvensional seakan lepas tangan. Bahkan menurut Nurbudisetyo, para pemilik usaha seakan-akan mengompori para pengemudi agar bentrokan terjadi. Argumen itu muncul setelah beliau berdiskusi dengan rekan-rekan seprofesinya baik transportasi online maupun konvensional. Dipo menambahkan bahwa dalam konflik tersebut PT GI tidak meminggul resiko apapun. Semua diterima oleh driver selaku mitra. Resiko sepihak dan seakan lepas tangan atas konflik yang ada inilah yang membuat mereka ragu status mitra. Konflik sosial juga yang menjadi perhatian Lilik bahwa dampak buruk (eksternalitas) transportasi online lebih besar dibandingkan keuntungannya. Dalam bisnis yang sehat, eksternalitas harus diperhitungan serta ada sebagian keuntungan yang digunakan untuk menanggungnya.
Industri yang menyerap ribuan tenaga kerja ini juga digadang-gadang menguntungkan semua pihak dengan mengakomodir konsep sharing ekonomi. Artinya adalah adanya mekanisme berbagai keuntungan diantara aktor dalam relasi produksi. Mudahnya dengan adanya sharing ekonomi ini pengemudi yang menjadi mitra juga bisa mendapat keuntungan. Namun pada prakteknya, keuntungan yang tidak seberapa itu selalu dibayang-bayangi resiko yang begitu besar. Kecelakaan, konflik sosial, tidak adanya perlindungan dan asuransi kesehatan maupun kecelakaan, hingga penyusutan modal yang tidak disadari pengemudi menjadi biaya eksternalitasnya. Disisi lain pemilik bisnis ini tidak menerima resiko seperti yang pengemudi dapatkan. Melihat alur ini bisa diketahui siapa yang benar-benar diuntungkan dengan berdirinya bisnis ini.
Terakhir perlu ditegaskan lagi bahwa masyarakat jangan hanya terbuai dengan murahnya harga yang ditawarkan transportasi online. Perlu dipertimbangankan lagi faktor keselamatan sebagai salah satu penentu keputusan. Selain itu diakui ketiga pemantik bahwa perlu adanya perubahan dalam industri transportasi online ini, mulai penerapan standar keamanan, izin dan pelatihan mengemudi hingga kondisi kerja dan pengupahan yang layak bagi pengemudi. Tak lupa pengemudi perlu membentuk serikat pekerja yang berlandaskan hukum agar posisi mereka kuat dalam memperjuangkan haknya. Karena tidak banyak yang bisa diharapkan dari belas kasihan para pemilik modal, sudah saatnya mereka menentukan nasibnya sendiri