Sentimen SARA, Pembonsaian Demokrasi, dan Pentingnya Politik Kelas
Akumulasi suara menggunakan politik identitas begitu dimungkinkan karena ketidakwarasan situasi politik hari ini. Itu salah satunya dapat terlihat dari apa yang terjadi di DKI Jakarta. Kelompok yang menentang pasangan petahana memanfaatkan politik identitas yang berbasis SARA sebagai strategi kampanye untuk mendulang suara dan menjatuhkan lawan politiknya. Roy Murtadho dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM menyampaikan bahwa, politik identitas atau isu SARA tidak hanya dimanfaatkan oleh mereka yang menyerang, tetapi juga dirawat oleh mereka yang terserang isu ini. Kondisi ini selaras dengan kecenderungan psikologi masyarakat Indonesia dimana ketika semakin mereka diserang maka semakin mendapat simpati. Formula ini kemudian dibaca seolah – olah pendukung Ahok-Djarot menolak isu SARA, namun disisi lain sebenarnya memanfaatkanya. Rakyat dapat membaca permainan ini apabila bersikap kritis dalam melihat suatu problem sosial. Celakanya rakyat belum mampu untuk itu, sehingga agenda politik identitas menyita perhatian mereka dari pada perhatian yang seharusnya difokuskan rakyat kepada isu substantif mengenai perdebatan program, track record, dan idiologi calon pemimpin.
Secara teoritik isu SARA sebenarnya tidak sama sekali baru. Pasca abad ke-19 intelektual Jerman dengan mahzab Franfrut berpendapat bahwa ke depan (abad ini) terdapat pergeseran dari politik redistribusi ke politk rekognisi (pengakuan). Politik pengakuan atas hak indiviudal yang unik dan harus dihargai entah sebagai subjek atau masyarakat politik di sebuah negara. Sampai saat ini itu terjadi di Indonesia. Namun, hal ini juga belum pasti karena tidak selalu politik distribusi kini tidak lagi relevan sehingga digantikan pengakuan. Hasil penelitian komnas HAM tentang hak ulayat masyarakat adat menyebutkan bahwa tidak cukup hanya ada pengakuan identitas masyarakat adat. Identitas tidak bermakna apabila tanah (sumber daya mereka) yang mereka miliki direbut. Roy Murtadho menyampaikan agar debat teoritik politik rekognisi dengan politik distribusi harus ditinjau ulang, dikembalikan kepada problem real indonesia saat ini.
Pasca runtuhnya orde baru, politik identitas sangat pesat berkembang. Asumsinya kondisi ini terjadi karena telah terbukanya “kran” politik elektoral. Karena demokrasi liberal setelah sekian tahun dibungkam, kini mereka menyeruak karena memiliki fredom of spesch untuk berbicara diruang publik. Gerakan kiri yang fokus mengangkat politik kelas, cenderung tidak mampu mengisi kekosongan ruang demokrasi yang ada dan belum mampu menjadi gerakan yang besar, sehingga ruang-ruang kosong itu dimanfaatkan oleh kaum fundamentalis sebagai cikal bakal fasisme. Menurut Roy apabila ingin mengembalikan politik kelas sebagai gerakan rakyat lewat politik elektoral, maka perlu dibangun partai alternatif yang solid. Upaya untuk membangun partai alternatif bukan mejadi hal mudah, sulitnya upaya mempersatukan irisan – irisan ideologis untuk menciptakan visi minimalis menjadi masalah utama. Kebhinekaan Indonesia sesungguhnya dapat terwujud apabila terjadi redistribusi sosial ekonomi politik sebagai dimanatkan dalam pancasila.
Gerakan kiri dan pro demokrasi sepakat bahwa fasisme yang mengalihkan perhatian rakyat dari anarki sistem kapitalisme menjadi sekedar sentimen SARA menjadi musuh besar bagi demokrasi. Namun masalahnya menurut Roy Murtadho gerakan kiri juga dikritik dalam hal politik identitas. Kelompok kiri dianggap sebagian kalangan hanya memperjuangkan politik kelas dan mengabaikan problem identitas itu sendiri. Selain itu, mereka tidak memiliki formula untuk mengantisipasi timbulnya agenda isu SARA. Gerakan islam toleran contohnya, hanya mampu menangkap bangkitnya isu SARA sebagai kesalahan yang muncul dari penafsiran terhadap bangsa dan agama. Roy menambahkan bahwa politik identitas harus dibawa ke permasalahan substantif terkait bagaimana kehidupan yang layak dijalankan yaitu terkait identitas kelas sosial, bukan mengaburkannya pada identitas SARA.
“Tidak cukup melawan isu SARA dengan menitipkan kepada politik borjuasi yang juga bermain dalam hal itu sendiri” ungkap Roy. Apabila menitipkan pada politik borjuasi dengan agenda utamanya akumulasi dan pelanggengan oligarki, sesungguhnya sia – sia. Karena siapapun yang menang dalam pertarungan hari ini, tentu mengakomodasi kepentingan para kartel yang sudah bermain di belakang parpol. Realias yang terjadi apabila representasi dari gerakan rakyat atau organisasi mahasiswa ketika masuk partai politik hari ini, semuanya sama menjadi sama dan tidak lagi menjadi progresif. Maka harus ada partai rakyat dengan diffrensiasi ideologi yang jelas menyatakan bahwa partai ini mengusung ideologi progresif sesuai dengan UUD 45.
Pantikan yang dipaparkan Roy mendatangkan berbagai pertanyaan diskusi. Pertama, salah satu peserta menyampaikan bahwa gerakan rakyat juga sedang membangun kekuatan politik alternatif menjelang 2019. Peserta menanyakan respon Roy terkait hal ini apakah mungkin mewujud dalam satu wadah. Menurut pandangan Roy sangat mungkin kekuatan baru ini ikut dalam pemilu. Terkait peluangnya kedepan tergantung pada kesepakatan semua elemen gerakan rakyat tadi, dapat menemukan visi politik minimalis. Sesaat mereka harus mau melepaskan baju-bajunya untuk untuk bergabung menjadi satu bagian besar dengan kesamaan satu visi politik minimalis. Artinya gerakan buruh, gerakan tani, gerakan lingkungan, gerakan agama yang progresif, dituntut untuk mampu mencapai konsolidasi gerakan dalam mengarungi demokrasi elektoral. Keadaan itu membuat menjadi mungkin dalam memenangkan demokrasi elektoral yang sejak saat Orba berkuasa sampai saat ini dikuasai oleh partai politik yang nir-idiologi dan bersifat oportunistik.
Sedangkan pada sesi terkahir tanya jawab, salah seorang peserta diskusi menanyakan mengenai korelasi sebab akibat politik identitas dengan tingkat pendidikan masyarakat. Hal ini memungkinkan, namun Roy lebih lanjut mengungkapkan bahwa sepanjang pengalamannya belum ada korelasi yang benar – benar menjelaskan antara tingkat pendidikan dengan tindakan intoleran. Bahkan menurutnya, semakin masyarakat tidak teridik maka semakin toleran pula dirinya. Dia mencontohkan seperti para buruh, petani, atau tukang becak yang bekerja tidak pilih-pilih berdasarkan sentimen SARA, mereka juga memiliki kecenderungan lebih pluralis dibanding dengan orang-orang yang terikat dengan pendidikan agama tapi nalar kritisnya kurang. Sehingga kelompok terakhir ini memiliki kecenderungan apabila “dipantik” sedikit saja dengan sentimen SARA mereka menjadi sangat mudah terprovokasi dan rela melakukan memobilisasi massa atau bahkan mengorbankan nyawa mereka.