Represi, Kriminalisasi, dan Upaya Penghancuran Ruang Demokrasi: Bahaya laten Orde Baru dan Sikap Gerakan Buruh
Aksi kontra-demokrasi petugas kepolisian pada saat aksi damai buruh menolak PP No.78/2015 tentang pengupahan pada 30 Oktober 2015 lalu berbuntut panjang. Pihak kepolisian, selain melakukan tindakan represif dengan melakukan pemukulan terhadap massa aksi dan perusakan mobil komando, juga menangkap 23 aktivis buruh, 1 mahasiswa dan 2 Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Kriminalisasi terhadap massa aksi damai ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia
Kejadian ini merupakan rangkaian peristiwa akibat keluarnya PP No.78/2015. Peraturan pemerintah yang dipandang oleh kaum buruh sebagai perwujudan rezim buruh murah mendapat penolakan dari kaum buruh. Terlebih buruh merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan. Azmir Sahara dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) mengatakan bahwa sosialisasi tentang RPP Pengupahan dilakukan hanya H-3 dari tanggal pengesahan PP tersebut. Terlebih tidak ada perwakilan resmi dari serikat buruh yang diajak secara terbuka membahas tentang perumusan PP pengupahan. Ini menunjukkan bahwa pembentukan hukum yang tidak partisipatif. Selain mengenai proses pembentukan hukumnya, beberapa hal yang menjadi keberatan utama buruh terhadap PP Pengupahan:
1. Formula penghitungan upah buruh yang tidak lagi melibatkan dewan buruh.
2. Peninjauan KHL (Kebutuhan Hidup Layak) yang dilakukan tiap 5 tahun sekali.
3. Mekanisme pengupahan yang dilempar pada mekanisme pasar
4. Menutup ruang demokrasi buruh, karena menghilangkan posisi tawar buruh dalam keterlibatannya menentukan kenaikan upah.
Kaum buruh melakukan penolakan keras terhadap PP pengupahan, puncaknya pada tanggal 24-27 Oktober 2015 kaum buruh melakukan mogok nasional. Perjuangan buruh melalui mogok nasional belum berhasil membuat pemerintah mencabut PP pengupahan.
Respon negatif pemerintah tidak menyurutkan semangat buruh. Gelombang aksi perjuangan agar PP pengupahan dicabut tetap dilakukan. Salah satunya pada tanggal 30 Oktober 2015 kaum buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Indonesia (GBI) dan beberapa elemen masyarakat lainnya melakukan aksi damai di depan Istana Negara. Aksi damai yang dilakukan mendapat represifitas dari petugas kepolisian dan penangkapan terhadap 26 orang. Kejadian berawal saat petugas kepolisian berusaha membubarkan massa karena waktu aksi sudah habis.
Pembubaran itu berdasar pada Peraturan Kapolri (PerKap) Nomor 7 tahun 2002 tentang tatacara penyelenggaraan pelayanan pengamanan dan penanganan perkara penyampaian pendapat dimuka umum, menyatakan bahwa penyampaikan pendapat dimuka umum dilaksanakan pada tempat dan waktu setempat antara pukul 06.00-18.00 WIB. Petugas kepolisian berusaha membubarkan massa dengan kekerasan, pengrusakan mobil komando, dan penangkapan. Pertanyaannya, Apakah PerKap itu bisa melegitimasi aparat kepolisian untuk menghentikan aksi damai “menyampaikan pendapat dimuka umum”. Apakah pembubaran harus dilakukan dengan kekerasan dan berujung penangkapan terhadap massa aksi damai? Atas dasar apa polisi menangkap 26 massa aksi dan menetapkan mereka menjadi tersangka?
Azmir, yang merupakan salah satu dari korban kriminalisasi, pada diskusi MAP Corner-Klub MKP (29/03/2016) menyampaikan bahwa aksi itu benar-benar merupakan aksi menyampaikan pendapat secara damai. Dapat dilihat dari tidak ditemukannya benda-benda yang berpotensi menimbulkan kerusakan. Pada saat direpresi oleh petugas kepolisian massa aksi juga tidak ada yang melawan. Akan tetapi pihak kepolisian membubarkan massa aksi dengan kekerasan, pengrusakan, dan penangkapan.
Hukum Vs Keadilan
Perlawanan buruh terhadap kebijakan yang dirasa tidak mensejahterakan buruh sejatinya dilindungi oleh konstitusi. Kebebasan menyampaikan pikiran dengan lisan maupun tulisan dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28. Kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum dijamin dengan UU No.9/1998. Memang dalam peraturan turunan tentang mekanisme menyampaikan pendapat dimuka umum “dibatasi” oleh peraturan turunannya dalam hal ini Peraturan Kapolri No. 9/2008. Akan tetapi tindakan yang dilakukan pihak kepolisian yang melakukan represifitas dengan “brutal” dan melakukan kriminalisasi terhadap masa aksi bertentangan dengan PerKap tersebut. Dalam Pasal 24 Perkapolri 9/2008 bahwa dalam menerapkan upaya paksa (dalam hal ini pembubaran aksi) harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif. Pihak kepolisian terlihat tidak professional dalam kejadian tersebut. Terlebih ada pengacara dari LBH Jakarta yang bertugas mengawal jalannya aksi juga direpresi dan ditangkap. Penangkapan pengacara yang sedang bertugas baru kali ini terjadi pada pasca reformasi.
Padahal pengacara yang mengawal aksi secara hukum mendapat hak imunitas. Alghiffari Aqsa (Direktur LBH Jakarta) menjelaskan bahwa kedua pengacara dari LBH bertugas untuk melakukan pendampingan, mendokumentasikan dan mengidentifikasi massa aksi yang ditangkap. Meski sudah menunjukkan identitasnya sebagai pemberi bantuan hukum keduanya malah ditangkap, dipukuli, dan diseret-seret oleh aparat kepolisian.
Kriminalisasi pun berlanjut, menurut Azmir, pada awal pemeriksaan status 26 orang itu masih sebagai saksi, akan tetapi dalam pelimpahan ke pengadilan status mereka adalah tersangka. Penetapan tersangka seperti dipaksakan, ada diantara mereka bahkan mendapat panggilan tentang kasus pencabulan. Panggilan dari pengadilan yang kedua menyebutkan mereka diduga melanggar pasal 216 dan 218 terkait tidak mengikuti perintah pejabat berwenang. Ikhwan Septa dari LBH Yogyakarta dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP (29/03/2016) menjelaskan bahwa pasal 218 harusnya dikenakan kepada masa aksi yang melakukan kerusuhan, tapi kali ini sebaliknya, aksi damai direpresi secara berlebihan oleh petugas kepolisian. Ikhwan melanjutkan, sikap pihak kepolisian tidak sesuai prosedur terlihat “yang penting ambil dulu pasal menyusul”. Ini merupakan bentuk kriminalisasi.
Ari Hermawan, Guru Besar Hukum UGM menjelaskan bahwa kriminalisasi adalah tidak ada perbuatan yang melanggar hukum, akan tetapi berusaha dipidanakan. Hukum pidana merupakan hukum materiil, menurut Ari seharusnya dilakukan penyelidikan secara mendalam untuk mengetahui kebenaran secara materiil. Senin, 23 Maret 2016 digelar sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap 23 aktivis buruh dua pengacara LBH Jakarta dan satu mahasiswa ditunda (28 Maret 2016) oleh majelis hakim lantaran tidak semua terdakwa hadir dalam sidang tersebut. Pengacara dari Tim Advokasi untuk Buruh dan Rakyat Tolak PP Pengupahan (Tim TABUR) menyatakan bahwa surat panggilan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak mencantumkan perkara yang didakwakan. Hal tersebut dinilai merupakan kesalahan yang sangat fatal dan cacat hukum.
Dari serangkaian peristiwa diatas terlihat bahwa pihak pemerintah berusaha mengkriminalisasi masa aksi, terlebih sikap kejaksaan yang tidak professional. Masyarakat pun bisa menilai bahwa kejadian tersebut tidak mencerminkan sifat keadilan. Padahal Ari menjelaskan bahwa yang terpenting daripada hukum adalah nilai keadilan. Hukum sesungguhnya adalah manifestasi eksternal keadilan dan keadilan adalah internal autentik dan esensi roh wujud hukum. Sehingga supremasi hukum (supremacy of law) adalah supremasi keadilan (supremacy of justice) begitu pula sebaliknya, keduanya adalah hal yang komutatif. Menurut Ardiansyah (2014) Ketika rasa keadilan ini benar-benar eksis dan dirasakan oleh mayoritas kolektif, maka kepastian hukum akan bergerak menuju rasa keadilan itu sendiri, Kepastian hukum adalah rasa keadilan itu sendiri sebab keadilan dan hukum bukanlah dua elemen yang terpisah. Apabila hukum sudah bertentangan dengan nilai keadilan sudah pasti hukum hanya digunakan sebagai alat untuk mengamankan kekuasaan penguasa. Ari mencontohkan kasus beberapa waktu lalu, seorang nenek yang mengambil kayu hanya untuk kebutuhan hidup dikenakan pidana sesuai hukum yang berlaku. Apakah itu merupakan sebuah keadilan? Negara sedang krisis akan nilai keadilan, bahkan Ari menyebutkan di Fakultas Hukum sekarang sudah tidak ada mata kuliah nilai keadilan. Maka tidak heran apabila produk dari pendidikan di fakultas hukum tidak memahami tentang keadilan.
Pemberangusan Ruang Demokrasi
Kriminalisasi yang dilakukan terhadap aktivis buruh, mahasiswa dan anggota LBH Jakarta tersebut bukan semata-mata masalah hukum. Ada tujuan lain dalam peristiwa kriminalisasi itu. Ikhwan menyatakan bahwa proses kriminalisasi terhadap massa aksi tersebut bukan merupakan kasus hukum, tetapi lebih pada proses politik. Senada dengan itu, Ari mengungkapkan bahwa kriminalisasi yang dilakukan pihak kepolisian bisa bertujuan untuk mengalihkan pokok perjuangan. Dengan adanya proses persidangan yang panjang membuat gerakan buruh mau tidak mau akan mencurahkan energinya untuk mengawal dan memperjuangkan aktivis yang dikriminalisasi. Dampaknya, disadari atau tidak perjuangan yang semula terfokus pada penolakan terhadap PP No.78/2015 akan terpecah. Selain menghabiskan energi, proses kriminalisasi menurut Ikhwan bisa berdampak traumatik kepada anggota lain. Proses kriminalisasi juga berpengaruh terhadap gerakan perjuangan yang lain.
Walaupun kriminalisasi memang sudah menjadi salah satu konsekuensi dari proses perjuangan. Isu yang diterima masyarakatpun pasca ada kriminalisasi menjadi bias. Masyarakat luas terbius dengan pemberitaan tentang kriminalisasi dan proses persidangan. Akibatkan isu yang menjadi tujuan awal dari proses perjuangan menjadi bias. Represifitas dan kriminalisasi dilakukan penguasa untuk memukul mundur gerakan rakyat. Gerakan buruh diharapkan mampu merespon kriminalisasi yang terjadi tanpa melupakan tujuan awal dari perjuangan tersebut.
Pada rezim pemerintahan yang sekarang nampaknya ruang demokrasi semakin terancam. Negara yang semakin pro terhadap pemilik modal menjadikan aparatur dan instrument hukumnya sebagai pengamanan kepentingan penguasa. Aksi-aksi demokrasi semakin direpresif. Logika developmentalist masih kental digunakan, percepatan pembangunan menjadi tujuan utama pemerintah. Perbuatan atau kegiatan yang dianggap mengganggu stabilitas pembangunan bisa dengan mudah dibubarkan bahkan aktornya kerap dikriminalisasi. Logika yang dipakai sama dengan logika pemerintahan pada masa Orde Baru. Ari Hermawan mengatakan bahwa dengan kejadian-kejadian belakangan ini nampaknya Indonesia seperti kembali ke rezim lama yaitu Orde Baru. Bedanya cara yang digunakan “sedikit” soft. Inikah yang disebut Orba gaya baru?
Strategi Mempertahankan Ruang Demokrasi
Sikap sepresi dan penangkapan aktivis di Jakarta ini hanya bagian kecil dari potret buram demokrasi di Indonesia. Banyak kasus kontra demokrasi lain yang terjadi belakangan ini. Lantas bagaimana strategi gerakan buruh maupun gerakan masyarakat menghadapi aksi-aksi kontra demokrasi yang dilakukan penguasa maupun kelompok lain?
Jika dilihat dari sejarah dan fakta empiris dimasyarakat, cara mempertahankan ruang demokrasi yang paling efektif adalah dengan kekuatan rakyat sendiri. Gerakan massa turun kejalan nampaknya merupakan strategi paling berdampak positif. Juliawan (2011) menyebutkan walaupun dalam politik formal gerakan buruh belum mampu menunjukkan pengaruh yang besar, akan tetapi melalui politik jalanan (street level politic) buruh mampu membuat bargaining position naik dan diperhitungkan. Aksi represi brutal oleh pihak kepolisian yang berujuang kriminalisasi, apabila dilihat dengan sudut pandang lain merupakan sesuatu yang positif. Ada semacam “ketakutan” penguasa terhadap kekuatan massa buruh sehingga dilakukan cara yang brutal. Sikap berlebihan penguasa mengindikasikan bahwa gerakan aksi massa buruh diperhitungkan. Critical mass berhasil mendapat “simpatik” dari para pembuat kebijakan.
Diharapkan dengan adanya kriminalisasi dan tindakan represif tidak menyurutkan gerakan perlawanan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Untuk menjaring massa yang lebih luas gerakan buruh harus mampu menjadi pelopor dan tidak menitipkan kepentingan kaum buruh kepada penguasa. Perbaikan dimulai dari internal gerakan buruh. Sebelum keluar memperjuangkan ruang demokrasi, serikat-serikat buruh wajib hukumnya menguatkan dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi diinternal serikat buruh. Gerakan buruh harus keluar dari isu sektoralnya dan bersolidaritas dengan gerakan rakyat yang lain untuk mempertahankan ruang demokrasi.