Reklamasi dan Kontestasi Politik Terhadap Ruang

 “ Teluk Benoa adalah kawasan suci yang disakralkan, harus tetap di jaga sampai kapanpun”Suriadi Darmoko (Koord. Bidang Politik ForBali).

Polemik Reklamasi Teluk Benoa di Bali pertama kali muncul kepermukaan sejak Tahun 2013. Berawal dari adanya SK Gubrenur Bali No.2138 tertanggal 26 Desember 2012 tentang reklamasi. Meskipun terbit sejak tahun 2012 tetapi SK Gubernur baru diketahui oleh masyarakat umum sejak 8 Juli 2013 melalui pemberitaan di media massa. Awalnya, pada tanggal 26 Juni 2013 telah beredar informasi bahwa telah terbit SK Bupati tentang reklamasi tetapi pada saat itu belum diketahui keberadaan SK tersebut. Kemudian pada tanggal 28 Juni 2013, seorang wartawan mengkonfrimasi Gubernur Bali tentang keberadaan SK dan menanyakan soal reklamasi di Teluk Benoa tetapi Gubernur menyangga adanya SK dan menampikan soal reklamasi Teluk Benoa.
Meskipun saat itu SK tentang reklamasi sudah ada, Bupati Bali hanya berasumsi bahwa itu cuma rencana reklamasi dan baru dalam tahap proses kajian. Bupati baru mengakui keberadaan SK tentang izin & hak pemanfaatan pengembangan Teluk Benoa setalah di desak dan diperlihatkan secara langsung SK yang dimaksud. Menurut Suriadi Darmoko, SK yang ada hanyalah SK pada tahapan perencanaan reklamasi, karena pada kegiatan reklamasi ada dua tahapan yaitu pertama adalah tahap perencanaan yang meliputi studi kelayakan, studi kajian yang masa berlakunya maksimal 2 tahun sedangkan tahap kedua adalah pelaksanaan yang izin berlakunya maksimal 5 tahun.

Izin yang dikeluarkan oleh gubernur selanjutnya digunakan sebagai legitimasi untuk melakukan reklamasi dengan membuat daratan baru dengan luas 838 Ha dengan masa berlaku izin selama 5 Tahun. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab meledaknya kemarahan warga terhadap gubernur karena adanya rencana reklamasi tersebut dan izin tentang reklamasi Teluk Benoa bertentangan dengan Peraturan Presiden tentang reklamasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam Peraturan tersebut melarang reklamasi di kawasan konservasi, sementara Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2011 menetapkan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi.

Karena kuatnya desakan publik, pada tanggal 3 Agustus 2013 Gubernur Bali mengadakan dialog dengan masyarakat dengan membangun kesepakatan bahwa jika hasil studi menunjukan bahwa reklamasi Teluk Benoa layak maka akan diteruskan dan jika tidak akan diberhentikan. Pertemuan ini kemudian ditindak lanjuti dengan sk bupati yang baru tertanggal 16 Agustus 2013 tentang tahapan perencanaan yang di dalamnya memuat tentang studi kelayakan.

Pada September 2013 hasil studi yang dikeluarkan oleh Udayana menunjukan bahwa reklamasi di Teluk Benoa tidak layak. Berdasarkan pada kesepakatan dialog publik yang diadakan sebelumnya harusnya reklamasi Teluk Benoa dihentikan. Namun pada 23 Desember 2013 ternyata Gubernur Bali mengajukan permohonan perubahaan Perpres no. 45 Tahun 2011 tentang kawasan konservasi yang mengatur Teluk Benoa. Akhirnya pada 30 Mei 2014 terbit Perpres no. 51 Tahun 2014, Perpres ini mengubah posisi Teluk Benoa dari status konservasi menjadi kawasan non-konservasi selain itu Teluk Benoa di jadikan sebagain Zona Penyangga yang memperbolehkan adanya kegiatan revitalisasi. Ironisnya Perpres ini mengatur secara detail luas revitalisasi yaitu 700 ha. Implikasinya status Teluk Benoa sebagai kawasan non-konservatif melegitimasi terjadinya upaya reklamasi.

Sebelum disyahkannya perpres no. 51 Tahun 2014 yang terbit 30 Mei 2014, pada 28 Januari 2014 melalui Koran kompas, Wisnu Chandra selaku direktur dari Artha Graha Network telah menyebutkan akan melakukan reklamasi seluas 700 Ha dan ruang terbuka hijau 50 % dengan dana $ 3 Milyar. Tentu saja ini menjadi polemik, karena ada indikasi kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha. Izin tentang reklamasi seluas 700 Ha sendiri baru terbit pada bulan Juli 2014. Selanjutnya 25 Agustus 2014 pembaharuan izin dan Oktober 2014 baru pembahasan Amdal.

Reklamasi di Bali sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi. Sejak Tahun 1994 telah terjadi reklamasi di daerah pulau Serangan. Awalnya luas pulau serangan hanya 100-an Ha tetapi sejak tahun 1994-1998 pulau tersebut di reklamasi dan luasnya menjadi 400-an Ha. Tujuan reklamasi pulau Serangan sendiri untuk kawasan parawisata terpadu tetapi sampai sekarang pulau tersebut justru menjadi pulau yang tak berpenghuni karena penduduknya di paksa untuk angkat kaki, ironisnya sejak tahun 1994 – sekarang pulau tersebut dikomersialisasikan dengan pengawalan ketat.

Belajar dari peristiwa itu, sejarah telah membuktikan bahwa reklamasi hanya merugikan masyarakat khususnya di Bali. Dari pengalaman itulah, Suriadi Darmoko bersama masyarakat Bali dalam aliansi forBali terus menyuarakan penolakan atas reklamasi Bali sejak Tahun 2013. Awalnya aksi massa yang dilakukan pada Tahun 2013 hanya berjumlah 20-an orang namun mengalami perkembangan yang sangat pesat, aksi terakhir yang dilakukan 20 maret 2016 ForBali mampu menghadirkan 28.000-an massa yang terdiri dari 35 desa adat dan gabungan ormas di Bali yang telah menyatakan deklarasi menolak reklamasi pantai termasuk 4 desa adat yang langsung berhadapan dengan Teluk Benoa.

Kontestasi Ruang dan Ekspansi Kapital

“Gubernur yang membiarkan reklamasi terus berlangsung adalah pengkhianat rakyat” – Gregorius Sri Waryanto (Dosen UKDW).

Sedangkan menurut Gregorius, reklamasi merupakan representasi dari kontestasi politik terhadap penguasaan ruang. Ada 3 pertarungan persepsi yang melihat proses reklamasi secara berbeda. Pertama, persepsi yang dibangun atas motivasi kesadaran ekologi yang melihat reklamasi dari pendekatan lingkungan. Persepsi ini cenderung meletekan reklamasi sebagai upaya harmonisasi menjaga kelesetarian lingkungan dan ekologikal yang ada disekitarnya.
Kedua, persepsi yang didorongan atas kesadaran dari motivasi yang melihat ruang sebagai komiditas. Pendekatan ini meletakan basis ekonomi sebagai unit analisis dari reklamasi. Asumsinya reklamasi bukan sebatas menjaga ekosistem dan ekologikal tetapi melihat bahwa reklamasi adalah motif ekonomi yang di eksekusi oleh elit dengan didorong ambisi kekuasaan. Terakhir, pendekatan persepsi yang lebih modern melihat proses reklamasi sebagai kontestasi dari kesadaran publik terhadap ruang, yang secara filosofis meletakan defenisi ruang sebagai bagian dari semua yang ada dibawah bumi sampai kepada ruang angkasa sebagai ruang publik. Hal tersebu mengkondisikan ruang dapat dinikmati secara bersama dan atas asas berkeadilan. Untuk itu pendekatan ini menekankan pada kontrol publik terhadap ruang sebagai barang publik.

Kesadaran persepsi ini oleh Gregorius di bentuk atas dua faktor utama yaitu perubahaan budaya yang signifikan & intervensi penggunaan teknologi yang begitu massif. Perubahaan budaya di defenisikan sebagai bentuk dari reproduksi sosial terhadap tafsir sosial yang membentuk masyarakat yang berakibat pada perubahaan cara pandang masyarakat terhadap ruang yang sifatnya masih sangat primitif menjadi pardigma yang lebih modern. Implikasinya tafsir baru terhadap ruang terus direproduksi sebagai suatu dampak dari perubahaan kultur. Sedangkan perubahaan teknologi memberi legitimasi pembacaan secara konstruksif terhadap dinamika pembangunan dan pengembangan pesisir sebagai bagian dari dinamika perubahaan yang di intervensi melalui teknologi. Akibatnya reklamasi disatu sisi menjadi bagian dari pengembangan IT yang semakin modern dan disisi yang lain menjadi problematic, karena berangsung pada dua dunia yang berbeda antara laut dengan daratan.

Imbasnya, ruang pada reklamasi dijadikan sebagai komoditas yang dapat di reporudksi ke dalam bentuk capital (motif ekonomi) dengan tendensi kekuasaan politik. Selain itu kepentingan publik akan di distorsi oleh kepentingan elit politik yang berkuasa melalui pelembagaan yang dilegitimasi, misalnya aturan hukum yang di buat oleh penguasa untuk melegalkan legitimasi reklamasi sebagai akses formal yang mengaminkan perbuatannya.

Selain itu secara sosial, Reklamasi akan memicu terjadinya konflik dan memecah masyarakat. Hal ini karena perbedaan persepsi dalam masyarakat akan terbangun menjadi basis yang pada akhirnya akan mempertentangkan masyarakat pada pilihan setuju dan tidak setuju pada reklamasi, sehingga secara sosial ini berimplikasi terhadap rusaknya tatanan sosial. Misalnya di Bali yang sangat kental dengan budaya lokalnya (Desa adat), dengan adanya reklamasi Teluk Benoa berpotensi besar memicu konflik.


Reklamasi juga berimplikasi domino. Mengingat konteks di Teluk Benoa- Bali merupakan salah satu dari tiga daerah penyangga yang digunakan sebagai basis penghidupan masyarakat. Selain itu juga dijadikan sebagai tempat yang suci dan disakralkan oleh masyarakat sehingga reklamasi selain berimplikasi sosial juga akan memiliki efek domino. Lebih lanjut Suriadi Darmoko (Koordinator Politik dari ForBali) mengatakan bahwa alasan penolakan reklamasi di Teluk Benoa karena beberapa poin, diantaranya:

• Letak teluk Benoa yang sangat startegis karena berada di daerah sekitar Bandara
• Teluk Benoa menjadi penyangga konservatif bagi produksi makanan
• Teluk benoa menjadi salah satu bagian dari segitiga terumbungkarang dunia
• Sekitar 3000-an nelayan menggantungkan hidupnya pada teluk Benoa
• Titik perlintasan burung antar Benua ( Terdiri dari 22 Negara, Indonesia termasuk salah satunya)
• Teluk Benoa menjadi pertemuan 5 sungai besar
Sedangkan Gregorius menekankan bahwa publik harus merebut kembali ruang yang telah di distorsi oleh kekuasaan politik dengan membangun kesadaran sosial. Ini penting untuk menyadarkan masyarakat bahwa ruang adalah hak bersama yang mengkondisikan akses yang sama pula sehingga keberadaan ruang harus berada pada kontrol publik. Selain itu kesadaran terhadap ruang senantiasa dihidupkan untuk mereproduksi tafsir sosial yang lebih modern terhadap ruang yang selama ini telah di akuisisi oleh elit politik.

Pembacaan pemantik dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM edisi 19 April 2016 terhadap reklamasi pantai banyak mengeskplorasi kasus di Teluk Benoa, yang konteks sosialnya berbeda dengan daerah lain seperti Reklamasi di Jakarta & Makassar. Konteks Bali sangat kental dengan adat dan kebudayaan lokal yang dimiliki sehingga relevan ketika analisis Greg menjadikan budaya dan IT sebagai basis infratsruktur terhadap pembangunan reklamasi. Ini dikuatkan oleh pernyataan Darmoko yang menceritakan bagaimana kemudian masyarakat di Desa adat Bali menjadi salah satu gerakan sosial yang terus menerus menyuarakan penolakan terhadap reklamasi karena selain merusak ekosistem juga mencederai basis nilai budaya yang dimiliki di Bali khsususnya Teluk Benoa sebagai tempat yang di sakralkan. Tetapi tentu saja analisis ini sifatnya spasial dan tidak relevan ketika digunakan untuk menganalisis reklamasi yang ada di Jakarta & di Makassar karena kedua daerah tersebut merupakan daerah heterogen yang aspek budayanya (cultural) cenderung lebih bervariatif dan terfragmentasi antara satu dengan yang lain.

Aspek lain yang terlupakan dari analisa Greg adalah ketika secara bias mendefenisikan konflik antara kekuatan kapital dengan masyarakat. Kecenderungan konflik yang dianalisis oleh Greg adalah konflik yang berbasis ambisi politik dan penguasaan terhadap ruang publik tetapi disaat bersamaan mengabaikan peran dan keterlibatan kekuatan kapital sebagai bagian dari relasi sosial yang berkonflik. Sementara di Jakarta & Makassar sendiri Reklamasi merupakan bagian dari revitalisasi ruang yang syarat dengan motif ekonomi.

Lefebvre (dalam Sutinah dkk,2010. p.105) meskipun secara eksplesit tidak berbicara tentang reklamasi pantai tetapi menaruh perhatian pada produksi & reproduksi ruang. Berasumsi bahwa ruang akan mampu memproduksi sistem kapitalisme. Nampaknya analisis ini setidaknya akan memberikan jawaban bagaimana kemudian reklamasi pantai telah dijadikan sebagai komiditas. Implikasinya sistem kapitalisme berbasis ruang ini kemudian menciptakan struktur sosial antara kapital dengan masyarakat. Sehingga reklamasi pantai harus diletakan pada analisis yang lebih komprehensif dengan memetakan motif ekonomi dan kepentingan politik yang mendasari reklamasi.
Reklamasi sendiri menjadi bagian dari produksi & mereproduksi ruang karena telah mengubah ruang dari non ekonomis menjadi bernilai ekonomis. Transformasi ini di ikuti dengan fungsi dan substansi ruang yang menjadi lebih bernilai. Seperti kasus reklamasi di Jakarta Tahun 1980 yang dilakukan oleh PT. Sarinah Indah di Pesisir pantai Pluit yang telah mengubah pantai menjadi perumahaan elit (Kompas, 11/11/2016). Implikasinya akan berdampak pada privatisasi ruang, selain itu juga berdampak pada pendapatan nelayan yang akan semakin berkurang. Seperti pada kasus Bali yang hampir 3.000-an nelayan yang menaruh penghidupannya pada Teluk Benoa.

Belajar dari Bali

Gerakan ForBali adalah gerakan sosial yang dibangun secara populis. Tujuannya untuk mengorganisasi masyarakat melawan kekuatan kapital dalam kontestasi terhadap ruang publik. Gerakan ForBali menjadi penting sebagai referensi gerakan sosial karena mampu membangun dan merangsang kesadara publik yang ada diseluruh lapisan sosial masyarakat di Bali, seperti pemuda Bali, paguyuban Bali, dan Desa adat Bali. Ini penting mengingat beberapa daerah telah menghadapi konflik Reklamasi seperti Jakarta dan Makasar. Apalagi Yogyakarta yang dalam hal ini memiliki konteks serupa dengan Bali, yaitu daerah yang dibangun berbasis parawisata. Akibatnya ruang yang seharusnya di nikmati oleh publik akan dijadikan sebagai sarana reproduksi kapital. Implikasinya lanjutannya hak publik tentang ruang akan diperlakukan secara tidak adil sementara disaat bersamaan akan tumbuh sektor lain yang tidak lagi diperuntukan untuk publik (Privat).

Refleksi Gerakan ForBali tolak reklamasi perlu di kontekstualisasikan. Gerakan ini sebagai jawaban atas dinamika sosial yang terus bergerak dan berinovasi. Akibatnya pola kehidupan sosial juga mengalami perubahaan yang signifikan. Pada kondisi itu gerakan sosial juga harus mengikuti perubahaan yang terjadi sehingga tidak ditinggalkan oleh masyarakat sebagai basis massa dari gerakan. Menurut Darmoko ForBali tolak reklamasi mulai sejak tahun 2011. Pola yang dibangun pada saat itu tidak sebatas pada gerakan yang berbasis pada aksi jalanan tetapi gerakan sosial yang mencoba paradigma baru termasuk dengan memanfaatkan panggung kebudayaan ataupun seni. Misalnya di Bali, setiap pesta pernikahan selalu dipasang spanduk yang bertuliskan tolak reklamasi, undangan yang dicetak juga ikut disertakan point-point dari alasan penolakan reklamasi yang selanjutnya disebarkan kepada masyarakat.

Wujud lain dari gerakan populis ForBali juga nampak dari gerakan jejaring yang dibangun sampai ke masyarakat di desa. Bagaimana kemudian ForBali mengorganisasi pemuda dan pemudi yang ada di masing-masing desa adat di Bali yang selanjutnya mendeklarasikan secara bersama penolakannya terhadap reklamasi pantai. Selain itu juga membangun komunikasi secara intensif dengan pemuka-pemuka adat yang ada di masing-masing desa adat.

Eksistensi ForBali tolak reklamasi semakin kuat disebabkan oleh kondisi internal Bali. Desa adat yang ada di Bali sangat mengedepankan nilai-nilai demokrasi. Pengambilan keputusan harus melalui mekanisme musyawarah atau dalam bahasa Bali disebut sebagai Parupan (Rapat Adat), kemudian jika tidak mendapat keputusan dilakukan dengan cara voting. Sebagai contohnya, ketika Desa Adat Tuban ingin mengambil sikap tentang reklamasi pantai, maka hal yang dilakukan oleh kepala adat adalah mengumpulkan warga selanjutnya dilakukan musyawarah. Hasilnya adalah desa Tuban menolak reklamasi pantai berdasarkan dari keputusan rapat adat melalui mekanisme voting dengan perolehan suara yang tidak setuju reklamasi 493 orang (82,17%), yang setuju reklamasi 5 orang (0,83%), sedangkan yang golput 34 orang (5,67%) dan yang tidak tahu 68 orang (11,33%). Menurut Darmoko desa adat dibangun atas kesepakatan moral yang lebih mengedepankan nilai-nilai adat masyarakat ketimbang dengan personal sehingga mekanisme yang digunakan adalah mekanisme adat bukan mekanisme kepala adat (sebagai person) tetapi adat sebagai lembaga sosial.

Selanjutnya ForBali mendapat simpatisan banyak dari masyarakat Bali karena mampu mendeskripsikan budaya sebagai narasi yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Darmoko yang menarasikan budaya dan artefak-artefak Bali menjadi narasi berbasis gerakan tanpa menghilangkan esensi dan substansinya. Bagaimana kemudian Darmoko dan aliansi ForBali mengubah perspesi masyarakat yang hanya memahami adat sebagai sesuatu yang passif menjadi sesuatu kekuatan gerakan sosial. Reproduksi wacana ini selanjutnya menjadi kesadaran bagi masyarakat Bali terhadap kontestasi ruang serta pertarungan prinsip yang diyakini masyarakat Bali bahwa pesisir dan semua ruang publik adalah sarana ibadah yang harus di jaga dan disucikan. Alhasil, masyarakat Bali dengan sukarela ikut tergabung dalam gerakan ForBali untuk menolak reklamasi.

Terkahir, gerakan ForBali yang dibangun sangat serius dan nyata, terlihat dari beberapa aksi yang dilakukan sangat rapi, sistematis, terukur dan sangat akuntabel. Pengaturan mulai dari siapa yang berbicara, konten yang dibicarakan mekanisme kerja dan keanggoatan yang sangat jelas. Misalnya pada salah satu gerakan sosial yang dibangun di desa, ForBali bersama dengan pemuda pemudi Bali memasang spanduk “Tolak Reklamasi” di beberapa desa adat selanjutnya dilakukan foto bersama dengan masyarakat. Imbasnya masyarakat secara langsung bisa melihat aksi dan gerakan yang dilakukan oleh ForBali.

Ekspansi ruang oleh kapital akan terus berlangsung ketika publik tidak segera mengambil alih kontrol terhadap penggunaan ruang, selain itu penggunaan ruang secara sepihak akan berdampak pada efek domino mulai dari konflik sosial sampai dengan ketidakstabilan ekologi lingkungan. Diperlukan aksi sosial untuk membangun kembali kesadara publik terhadap pentingnya ruang sebagai hak bersama oleh publik. Diskusi penting sebagai sarana wadah membangun wacana begitupun dengan aksi jalanan, termasuk membangun gerakan sosial yang populis dengan melibatkan seluruh struktur sosial yang ada pada masyarakat. ForBali telah memberikan literasi yang nyata bagaimana kemudian masyarakat adat mau bergabung menjadi bagian dari ForBali Tolak Reklamasi.

Leave a Reply