Profesionalisme Dunia Pendidikan, Dominasi Common Sense dan Matinya Pergerakan Mahasiswa
Dinamika pergerakan mahasiswa di Indonesia hari sedang dihadapkan dengan pada sebuah anakronisme sejarah. Hal ini ditandai dengan beberapa kontestasi lingkup mahasiswa seperti Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) untuk mengisi slot kekuasaan pada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Mahasiswa (Dema). Praktik yang dilakukan oleh organisasi mahasiwa ini memberi kesan bahwa arah serta idealisme gerakan sosial mahasiswa sedang dalam jeratan patronase politik dengan para elit politik nasional. Selain itu juga beberapa waktu lalu salah satu organisasi mahasiswa yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menyelenggarakan kongres yang mendapatkan porsi APBD 3 Miliyar dari Pemda Riau, lebih besar dibanding anggaran pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Riau tahun 2015 yang hanya Rp 1,4 miliar. Dititik ini kita melihat drama politik dimainkan oleh organisasi mahasiswa yang membangun afiliasi dengan pejabat negara. Bagaimana sebenarnya dinamika gerakan mahasiswa sekarang? Mengapa kajian kritis dan ruang berpolemik gagasan tidak lagi terdengar di kampus? Apa yang membuat mereka tercerabut dari gerakan sosial rakyat? Seperti apa implikasi patronase politik bagi gerakan mahasiswa? Untuk mendiskusikan isu ini, MAP Corner-MKP Klub, 8 Desember 2015 mengundang Dr Eric Hiariej, dosen Fisipol UGM yang juga mantan aktivis mahasiswa.
Menurut Eric, pergerakan mahasiswa saat ini cenderung pasif bahkan tidak ada. Jarang sekali terdengar mereka melakukan aksi yang besar, suatu aksi yang benar-benar memperlihatkan daya kritis mahasiswa. Mahasiswa seakan terbuai dalam damainya demokrasi. Setidaknya ada 3 penyebab kondisi pergerakan mahasiswa menjadi seperti sekarang ini.
Penyebab pertama adalah mahasiswa seakan kehilangan arah dan tujuannya semenjak masa reformasi tiba. Sosok Soeharto yang menjadi pemersatu gerakan mahasiswa menghilang. Presiden kedua Republik Indonesia ini sangat penting karena bukan hanya menjadi pemersatu namun juga menjadi orientasi gerakan mahasiswa. Pasca hilangnya Soeharto, pergerakan mahasiswa tercerai berai. Mahasiswa kehilangan orientasi untuk bersatu memberikan perlawanan. Padahal muncul musuh baru berupa sistem yang tidak kalah pentingnya.
Setelah rezim Soeharto tumbang, ada upaya-upaya serius untuk mengubah pergerakan dari menjatuhkan Soeharto menjadi perubahan sistem. Salah satu perubahan sistem yang dikawal adalah tentang dwifungsi ABRI. ABRI yang sebelumnya memiliki peran politik diluar kekuasaan militer dipaksa keluar. Hingga muncul peraturan yang menegaskan bahwa TNI tidak boleh terlibat dalam politik praktis. Pada akhirnya dwifungsi ABRI dicabut secara bertahap. Perlawanan selanjutnya adalah sistem Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN). Namun pelawanan terhadap sistem KKN ini tidak mudah. Bentuk KKN yang abstrak tanpa tahu pihak mana yang harus dilawan menyebabkan kebingungan dalam pergerakan mahasiswa.
Berkaca dari pergerakan mahasiswa masa lalu, pada tahun 1980-1990 pergerakan mahasiswa terkesan pasif dan tidak terlihat. Namun bukan berarti tidak ada pergerakan. Mereka melakukan pergerakan tidak secara terbuka seperti demonstrasi saat ini karena tindakan represif dari pemerintah sangat kuat. Untuk itu mereka berusaha masuk dan mencari teman dari dalam pemerintahan. Terjadi perubahan dalam perlawanan rezim Soeharto menjadi cara membangun koalisi melalui orang-orang yang ada di dalam. Berawal dari pergerakan sekelompok orang tersebut pada akhirnya Soeharto jatuh.
Bentuk pergerakan mahasiswa tahun 1980-1990an itu tampaknya gagal diterapkan oleh mahasiswa saat ini. Mahasiswa sekarang menjadi kesulitan menemukan cara dalam melawan sistem KKN yang ada. Salah satu perbedaannya terletak pada struktur pergerakannya. Mahasiswa dulu membaca buku dan sering berdebat dalam rangka meningkatkan cara berpikir kritis. Cara berpikir kritis ini yang dapat melawan sistem yang kompleks termasuk KKN. Struktur ini yang jarang ditemukan pada pergerakan mahasiswa saat ini. Akibatnya mahasiswa tergoda untuk turun langsung ke lapangan tanpa berpikir kritis dan analitis terlebih dahulu.
Penyebab kedua matinya gerakan mahasiswa, menurut Eric ialah tuntutan dunia kerja yang telah mengubah orientasi pemikiran mahasiswa. Dunia kerja sekarang berorientasi pada tenaga kerja yang patuh dan dapat diatur. Untuk mengakomodasi hal itu, perguruan tinggi berlomba-lomba men-setting lulusannya sesempurna mungkin. Sistem yang ‘serius’ ini memberikan dampak mahasiswa mengurungkan niatnya menjadi aktivis. Mereka terkesan bermain aman dengan menghindari dunia aktivisme.
Didalam perguruan tinggi pun mahasiswa diarahkan menjadi seorang profesional. Mahasiswa pada semester awal sudah belajar menjadi manajer, politisi, serta pekerjaan profesional lainnya. Mahasiswa yang disibukkan oleh kegiatan-kegiatan tersebut juga dituntut untuk lulus cepat. Lulus cepat menjadi prestasi tersendiri dalam curiculum vitae dalam melamar pekerjaan. Faktor lain adalah uang kuliah yang semakin mahal. Besarnya uang kuliah menyebabkan mahasiswa mau tidak mau harus lulus cepat.
Penyebab yang terakhir adalah permasalahan common sense. Mahasiswa sekarang merupakan mahasiswa yang kreatif. Terlihat dari berbagai kegiatan dan penelitian yang dilakukan mahasiswa. Namun, masalah dari common sense ialah mahasiswa cenderung menjadi taken for granted, mereka terjebak pada kebiasaan rutin yang dilakukan dan menerima semua realitas sebagai apa adanya. Padahal banyak permasalahan bangsa yang perlu diperhatikan. Prinsip menerima apa adanya menjadi keadaan yang mudah ditemui. Prinsip tersebut sepertinya terlihat baik karena mensyukuri apa yang terjadi. Hanya saja, dibalik itu daya kritis mahasiswa perlahan-lahan menjadi mati. Mahasiswa menjadi tidak skeptik atas isu-isu sosial yang ada di sekitar mereka.
Merubah common sense sangat penting karena hegemoni muncul akibat matinya pemikiran kritis mahasiswa. Tanpa adanya nalar kritis dari mahasiswa, penyelenggaraan negara sangat mungkin diselewengkan. Akibatnya tumbuh dan berkembang praktek-pratek menyimpang. Lama kelamaan kekuasaan negara dengan mudah dibajak untuk kepentingan elit, dibandingkan kepentingan rakyat. Untuk mengatasi hal inilah dibutuhkan perubahan common sense.
Salah satu cara dalam mengubah pemikiran kritis adalah dengan pembelajaran di kelas. Di kelas seharusnya sering muncul diskusi dan perdebatan mengenai ide dan konsep. Adanya perdebatan akan meningkatkan daya kritis mahasiswa karena mereka tidak hanya taken for granted apa saja yang diberikan dosen. Sayangnya, silabus perkuliahan hanya sedikit yang membahas mengenai perdebatan konseptual. Mayoritasnya membahas mengenai praktek. Padahal perdebatan kritis muncul ketika mempertanyakan kembali konsep yang ada. Karena terfokus pada masalah praktek, mahasiswa diarahkan menjadi problem solver. Mereka hanya dilatih untuk menyelesaikan permasalahan yang ada didepan mata, tanpa mempertanyakan apakah itu benar-benar masalah yang krusial.
Pada sesi diskusi ada pertanyaan menarik mengenai pemira di banyak perguruan tinggi. Pemira tersebut diikuti dan dimenangkan oleh kelompok organisasi mahasiswa tertentu dari tahun ke tahun. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana dampaknya terhadap keaktifan mahasiswa dalam organisasi? Adapula pertanyaan mengenai kecenderungan para aktivis mahasiswa yang kemudian ditarik menjadi pejabat dan politisi.
Menjawab pertanyaan pertama, Eric mengungkapkab bahwa organisasi mahasiswa terutama dalam kampus seperti BEM memang sedikit sekali penggemarnya. Bahkan mahasiswa pun tidak tertarik jika ditawarin jabatan tersebut. Tapi ada pula hal lain yang menyebabkan pasifnya mahasiswa seperti hiburan berkumpul di cafe, gelanggang mahasiswa, dan lain sebagainya. Namun yang menjadi masalah terutama di FISIPOL UGM, kegiatan tersebut tidak menumbuhkan sikap kritis, padahal ditempat lain bisa.
Selanjutnya untuk pertanyaan berikutnya, ia melihat bahwa untuk mengubah pemerintahan ada dua pendekatan yang dapat dilakukan. Yang pertama adalah institusional. Dari pendekatan ini, perubahan sosial diawali dengan mengubah lembaga. Mengubah lembaga dilakukan dari dalam baik dengan cara masuk ke lembaga tersebut maupun menggunakan link atau jaringan yang ada didalamnya. Ini merupakan pendekatan dominan yang dianut di Indonesia, termasuk oleh mahasiswa. Bukan hal mengejutkan, jika aktivis mahasiswa berusaha membangun jaringan dengan elit politik nasional, bahkan ketika mereka mesti terlibat dalam relasi patron-klien. Mahasiswa yang terlibat tidak merasa ada yang keliru dari pendekatan ini. Mereka bahkan merasa bangga dapat mengubah sistem ‘dari dalam’, sebuah argumen lama yang bukannya tanpa cacat. Daripada berhasil mengubah sistem dari dalam dan menginisiasi perubahan sosial, mahasiswa (mantan aktivis) yang terlibat dalam patronase politik kehilangan daya kritisnya dan terserap dalam alur sistem politik yang bobrok.
Tentu saja ada pendekatan lain. Eric mengingatkan, ada pendekatan ‘di luar sistem’ untuk menginisiasi perubahan sosial. Diluar sistem maksudnya ialah mahasiswa dapat fokus pada kegiatan sehari-hari warga negara, seperti buruh, petani, maupun pedagang kaki lima, dibanding fokus pada perilaku elit-elit politik di dalam sistem politik yang mapan. Dalam pendekatan ini, aktivis mahasiswa berupaya melakukan intervensi terhadap cara berpikir kelompok-kelompok warga negara tadi sebagai tulang punggung perubahan sosial. Mendatangi kelompok-kelompok warga yang terpinggirkan secara sosial, mengajak mereka dialog, membahas apa yang mereka butuhkan, sekaligus mendiskusikan apa yang bisa mereka lakukan, merupakan kegiatan penting yang bisa dilakukan mahasiswa.
Gerakan mahasiswa pasca Soeharto seperti mati suri setelah kehilangan tokoh yang harus dilawan bersama. Mahasiswa juga daripada memilih menjadi aktivis, cenderung memilih jalan aman dengan melatih dirinya menjadi seorang ‘profesional’, seperti keinginan pasar tenaga kerja. Selain itu, dominannya kesadaran common sense juga menyebabkan mereka tidak skeptik dan kritis dalam mengawal masalah sosial di sekitar mereka. Di balik cerita pesimis ini, tentu bukan berarti tidak ada cara untuk merubahnya. Bangkitnya gerakan mahasiswa mensyaratkan sebuah kondisi yang telah dilakukan aktivis mahasiswa generasi sebelumnya: kembali belajar, membaca buku dan berdebat! Diskusi kritis perlu terus di adakan. Debat dan bertukar pemikiran juga perlu dilakukan. Hanya dengan usaha mengasah nalar kritis seperti itu, kita bisa berharap hadirnya kebangkitan kembali pergerakan mahasiswa yang meredup selama ini.