Pilkada Serentak, Pembajakan Demokrasi, dan Cengkeram Oligark
Pada tahun 2017 pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan dilaksanakan secara serentak di beberapa daerah di Indonesia. Pilkada serentak merupakan mumentum demokrasi yang dilaksanakan ke dua kalinya di Indonesia. Demokrasi elektoral telah mengkondisikan rakyat sebagai konstituen berhak memilih pemimpin mereka disetiap ajang pemilu. Secara formal, suara rakyat yang diberikan kepada para calon pemimpin di bilik-bilik suara diharapkan berekses pada kesejahteraan rakyat. Namun, dalam perjalanan demokrasi hingga saat ini, kenyataan tersebut tidak pernah terjadi. Kesejahteraan hanya dinikmati segelintir orang dengan mengorbankan banyak orang.
Adanya jarak antara niat, harapan, dengan realisasi dalam setiap pemilu tidak dapat dipungkiri dipengaruhi oleh cengkeram oligarki politik. Para oligark ini memiliki rouserces atau sumberdaya material yang begitu besar, yang mampu mempengaruhi jalannya demokrasi. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan sumber daya material sebagai basis dalam menentukan arah politik nasional maupun daerah dengan tujuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah agar dapat mendukung kepentingan mereka. Alhasil, para oligarki akan banyak menikmati keuntungan dari proses demokrasi tersebut.
Oligarki Politik dan pembajakan demokrasi
Dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM, AE Priyono secara tegas mengatakan bahwa oligarki politik merupakan kenyataan riil dalam berdemokrasi. Sehingga dalam mendiskusikan tema pilkada, demokrasi prosedural, dan oligarki politik merupakan pembicaraan mengenai realisme demokrasi. Untuk itu, ia memulai diskusi dengan membicarakan tentang definisi demokrasi itu sendiri. Dalam mendefinisikan demokrasi Priyono menekankan bahwa secara normatif ada tiga elemen penting yang berlaku dalam mengartikan demokrasi, pertama, kedaulatan rakyat dilihat dari partisipasi kerakyatan (popular); kedua, kompetisi politik; dan ketiga, partisipasi serta praktek politik publik atau kontrol publik. Ketiga elemen ini merupakan kriteria normatif dari demokrasi. Namun, dalam pelaksanaannya demokrasi hanya dilihat sebagai kompetisi politik semata oleh para elit, sementara partisipasi polular dan kontrol publik disampingkan dalam proses berdemokrasi. Demokrasi kompetitif inilah yang menyebabkan terjadinya ketimpangan politik karena yang mampu mempengaruhi dan mengendalikan politik nasional bahkan daerah adalah orang-orang yang memiliki sumber daya material yang memadai. Sementara rakyat yang tidak memiliki sumber daya akan tersisihkan dalam kancah perpolitikan.
Jeffrey A. Winters menjelaskan oligarki yang menekankan pada kekuatan sumber daya material sebagai basis dan upaya mempertahankan kekayaannya. Dalam penelitiannya terhadap dampak kekuasaan oligarki dalam ekonomi-politik Indonesia telah menunjukan bahwa ketidaksetaraan kekayaan yang ekstrem antar-warga senantiasa mengarah ke ketidaksetaraan politik dalam ranah demokrasi. Data tahun 2010 memperlihatkan bahwa rata-rata kekayaan bersih empat puluh oligark terkaya di Indonesia lebih dari 630.000 kali lipat PDB per kapita Indonesia. Dengan kekayaan tersebut, para oligark mengukuhkan posisinya sebagai pelaku utama dalam kehidupan politik Indonesia. Cengkeram mereka dapat dilihat dalam struktur dan operasi partai politik – termasuk kontrol oligarkis terhadap siapa yang bisa muncul mencalonkan diri untuk bertarung dalam pemilu dan bagaimana aparat politik digunakan untuk tujuan mempertahankan kekayaan (Winter, 2013: 34). Dalam konteks inilah, maka terjadi apa yang disebut oleh Priyono sebagai pembajakan terhadap demokrasi yang dilakukan oleh para elit (baca: oligarki politik).
Danial Indrakusuma sebagai pemantik diskusi ke-dua mengatakan bahwa proses oligarki dapat dilihat dari pembentukan kelas dan penguasaan terhadap negara. Pembentukan kelas ini akan menguntungkan kelas atas yang notabene memiliki sumber daya material, karena sumber daya material atau modal ini digunakan untuk mengakopasi politik nasional maupun politik daerah. Alhasil dari monopoli terhadap kebijakan ekonomi-politik pun tak terelakan oleh para oligark. Mekanisme kerja dari oligarki tidak hanya pada tataran pembentukan kelas-kelas di tingkat nasional, bahkan ditingkat daerah juga terjadi pembentukan kelas dalam bentuk agen-agen oligarki daerah melalui pemanfaatkan instrumen kebijakan otonomi daerah dengan tujuan untuk merampok sumber daya daerah.
Para ahli ilmu sosial seperti Winter maupun Robison dan Hadiz mengatakan bahwa struktur formal demokrasi elektoral dapat hidup berdampingan dengan dengan oligarki, terutama jika demokrasi itu bersifat prosedural. Meskipun mereka mengakui bahwa demokrasi dalam bentuk pemilihan umum yang bermakna dapat berefek terhadap kekuasaan oligarki, namun mereka menolak bahwa pengaruh oligarki dapat dikurangi melalui pemilihan umum yang kompetitif. Menurut mereka bahwa yang berubah dari para oligarki mungkin adalah strategi atau perilakunya, tetapi untuk menghilangkan atau menghapus kekuasaan oligarki itu sangat sulit.
Kesulitan dalam menghapus kekuasaan oligarki menurut para pemantik terjadi karena dua faktor: Faktor pertama, oligraki bukan hanya tercipta dalam demokrasi prosedural, akan tetapi dalam demokrasi substansial juga menciptakan oligarki. Danial mencontohkan hal tersebut terjadi di negara-negara maju yang notabene sudah melaksanakan demokrasi dengan cukup baik. Hal ini menunjukan bahwa fenomena oligarki sudah mengakar dalam demokrasi kita. Faktor kedua, demokrasi alternatif yang digaungkan oleh kaum pergerakan menuai kegagalan dan kemacetan, karena menurut Danial para kaum pergerakan dalam menghadapi oligarki menggunakan metode dari oligarki itu sendiri. Alhasil mereka terperangkap dalam cengkraman oligarki juga.
Prospek demokrasi kita dan solusinya
Jika tidak terjadi perubahan struktural maka prospek demokrasi kita ke depan tidak akan berubah bahkan mengkhawatirkan karena para elit menggunakan demokrasi sebagai agenda besar mereka untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaannya. Penguasaan terhadap struktur oleh para oligarki membuat proses demokrasi terutama demokrasi elektoral dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi. Kemudian demokrasi representatif yang diusung oleh civil society gagal untuk mengcounter demokrasi ortodoks (demokrasi liberal) karena adanya pembajakan yang dilakukan oleh elit partokratik.
Untuk melemahkan atau menghapus struktur oligarki, menurut Priyono harus ada demonopolisasi terhadap oligarki itu sendiri. Dengan melakukan demonopolisasi diharapkan dapat terjadi distribusi ekonomi-politik kepada seluruh rakyat secara adil. Hal ini dapat dilakukan, menurut Danial dengan cara kita harus mulai mencari akar permasalahan dari oligarki itu sendiri. Setelah menemukan dan menghilangkannya kemudian kita melakukan demokratisasi tenaga kerja produktif. Selain itu, tak kalah penting lagi menurut Priyono adalah melakukan eksperimen-eksperimen terhadap demokrasi agar dapat menciptakan demokrasi yang substansial sehingga demokrasi tersebut dapat berdampak positif bagi seluruh masyarakat terutama masyarakat lemah secara struktural.